Selasa, 30 Desember 2008

Republik-Antre

Republik-Antre

Oleh: Puguh Utomo

Jumat, 5 Desember 2008, sekitar pukul 19.00 saya membeli bensin di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Setiba di sana ternyata sudah terjadi antrean panjang. Sedikitnya ada 20 pengendara sepeda motor mengantre bensin di SPBU tersebut. Laki-laki-perempuan, tua-muda, ikut mengantre. Karena saking banyaknya, antrean terpecah menjadi dua deret. Di samping itu, lahan SPBU juga tidak sanggup menampung pengantre yang mengular itu. Bahkan, beberapa di antaranya harus rela mengantre sampai dibadan jalan.

Di depan saya ada seorang perempuan muda sudah mengantre, sementara di sebalah kirinya seorang laki-laki setengah baya juga ikut mengantre. Beberapa kali perempuan muda tersebut menoleh ke arah laki-laki tersebut. Tampaknya perempuan muda tersebut menggurutu sebab laki-laki tersebut bermaksud menyerobotnya. Setelah itu, perempuan yang memakai celana jins pendek bersepan tersebut memanggil temannya yang juga perempuan, seumuran dengannya, untuk menemaninya dalam antrean. Agaknya perempuan muda tersebut merasa takut.

Kira-kira lima belas menit kemudian tibalah giliran tangki bensin motor saya diisi. Saya membeli Rp 10.000,00. Awalnya jarum penunjuk sudah berada di tanda merah. Setelah tangki diisi jarum menunjukkan bahwa tangki bensin motor saya telah penuh. Maklum, per 1 Desember 2008 harga bensin turun Rp 500,00. Hal itu dipicu oleh resesi global yang menggila di penghujung 2008. Awalnya, dengan keadaan tangki motor seperti itu dan dengan harga Rp 10.000,00 jarum penunjuk tidak sampai ke posisi maksimal.

Sepulang dari SPBU saya langsung meluncur, membeli dua jagung. Saya sempat bertanya ke penjual jagung (50 tahun), mengapa beberapa hari ini terjadi antrean panjang di SPBU. Penjual jagung mengatakan bahwa sekarang harga bensin turun Rp 500,00. Dia juga mengatakan bahwa dirinya pagi tadi juga membeli bensin dengan membawa jirigen sebagai wadahnya di SPBU yang sama, tempat saya mengisi bensin. Namun, pagi tadi sekitar pukul 06.00 SPBU masih sepi pembeli. Saya sempat heran mengapa dahulu saat harga bensin naik di setiap SPBU di Jember selalu terjadi antrean panjang. Demikian juga saat harga bensin turun juga terjadi antrean. Saat saya menulis ini, terlintas di pikiran bahwa itu bisa jadi disebabkan oleh spekulasi pembeli bensin.

Republik-antre. Frase itu terpikir saat saya sedang mengantre di SPBU tersebut. Selama memikirkan frase itu saya juga teringat bahwa telah ada judul buku yang ditulis oleh Tamrin Amal Tomagola, yakni Republik Kapling (2005). Selain itu, Fuad Bawazir memberi judul bukunya dengan Republik Keluh Kesah (2007). Sementara itu, di salah satu stasiun televisi ada acara parodi politik bernama Republik Mimpi. Dengan demikian, tulisan ini terinspirasi oleh kata “republik” tersebut. Memang, “republik-republik” tersebut mengesankan pesimisme. Dan lagi, mungkin masih ada sebutan “republik” yang lain. Namun, mengenai Republik Indonesia (RI), kita tidak boleh pesimis.

Antre. Di negara maju pun juga terjadi antre. Di loket pembelian karcis di stasiun, di bandar udara, di bank, tempat pemungutan suara (TPS), dan lain sebagainya. Dengan demikian, antre bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Dengan kata lain pula, pada zaman sekarang, antrean sudah merupakan keniscayaan.

Berbicara antre, dahulu saya juga sempat mengantre membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Yang diantrekan, yakni slip pembayaran SPP yang telah dikumpulkan satu hari sebelumnya. Keesokannya saya musti berjibaku dalam kerumunan. Untungnya saat itu tidak terjadi saling dorong. Sekalipun demikian, saat itu saya berpikir untuk menyetor uang saja harus mengantre dengan berdiri selama kurang lebih tiga jam. Memang, saat itu adalah hari-hari terakhir pembayaran SPP sehingga antrean lebih panjang.

Sementara itu, Sabtu, 6 Desember 2008 menjelang hari raya Idul Adha 1429 Hijriyah, saya hendak mudik dengan kereta api (KA). Maklum, saya terdorong ingin kembali ke akar sosial-saya. Saya tidak mengira di stasiun Jember sudah terjadi antrean. Seingat saya selama enam tahun terakhir, baru kali ini saya pulang kampung pada momentum Idul Adha. Saat itu, untuk mendapatkan tiket KA harus ikut mengantre selama kurang lebih 15 menit. Dalam antrean itu saya berjumpa dengan dua orang teman yang berada di antrean belakang. Akhirnya dua orang teman saya tersebut titip ke saya untuk dibelikan tiket. Sebetulnya tindakan itu kurang tepat sebab bisa saja membuat orang lain yang ikut mengantre menjadi dongkol meskipun hanya disimpan dalam hati.

Namun, antrean bisa menjadi kejadian yang memedihkan. Misalnya, kasus antrean zakat di Pasuruan yang menelan korban sampai 21 orang meninggal. Sementara itu, siang tadi saya menonton televisi. Dalam salah program berupa berita kriminal, salah satu stasiun televisi swasta menayangkan tentang para pendaftar tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang berebut masuk mendapatkan kartu peserta ujian. Dalam tayangannya para pendaftar terlihat berdesak-desakan. Bahkan, ada perempuan hamil yang menangis dalam desak-desakan tersebut. Akhirnya, perempuan tersebut “diselamatkan” oleh polisi pamong praja guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Perempuan tersebut oleh petugas lalu didudukkan di kursi dan diberi air minum dalam kemasan. Setelah duduk, perempuan tersebut masih menangis. Pembawa acara dalam program tersebut juga mengomentari tentang indikasi ketidaksiapan panitia perekrutan CPNS. Tayangan tersebut bertempat di kabupaten tempat saya lahir. Saat itu saya sempat mengelus dada, trenyuh.

Kemudian, Senin 8 Desember 2008 sejumlah stasiun televisi menayangkan tentang pembagian daging kurban. Di sejumlah tempat, pembagian daging kurban terjadi antrean yang mengakibatkan kericuhan, terjadi aksi saling dorong, dan berdesak-desakan. Meskipun demikian, di beberapa tempat yang lain pembagian justru berlangsung lancar. Berkenaan dengan itu, tidak ada tayangan antrean dalam pemilihan kepala daerah.

Demikian juga dengan tindakan para petani yang mengantre pupuk yang terjadi di banyak tempat, seperti yang televisi tayangkan. Mereka mengantre karena pupuk sedang langka. Kelangkaan itu tidak hanya terjadi kali ini saja. Sebelumnya, pada setiap musim tanam juga terjadi kelangkaan pupuk.

Puguh Utomo

Mahasiswa Program Studi Sosiologi

FISIP Universitas Jember

Prodi Sosiologi dan Metode Kualitatif

Prodi Sosiologi dan Metode Kualitatif

Program Studi (Prodi) Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Jember (Unej) telah berdiri sejak tahun 2001. Kemudian, pada 2005 telah ada lulusan dari Prodi Sosiologi sekaligus sebagai lulusan angkatan pertama. Berdasarkan pada hal itu Prodi Sosiologi tergolong jurusan yang relatif muda. Meskipun demikian, tentu juga tidak bisa dipungkiri bahwa semenjak awal berdirinya hingga saat ini Prodi Sosiologi telah memberikan kekhasan tersendiri terutama dalam tradisi akademik baik di tingkat fakultas maupun tingkat universitas.

Kemudian, bila memperhatikan skripsi yang dibuat oleh mahasiswa sosiologi maka ada hal yang tampak mencolok. Seperti diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa sosiologi mengambil penelitian kancah. Sementara itu, metode penelitian yang dipakai hampir kesemuanya menggunakan metode kualitatif. Sementara itu, hanya satu dua saja yang menggunakan metode kuantitatif.

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini, dalam tradisi penelitian, secara umum dikenal dan dibedakan dua macam metode, yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Sebagian besar literatur tentang metode penelitian, secara umum juga menyebut metode kualitatif dan metode kuantitatif. Kurikulum mata kuliah pun juga membedakan antara metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Pembedaan itu juga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan di antara kedua metode penelitian tersebut.

Sedikit menengok pada sejarah penelitian di Indonesia, tentu tidak dapat dilepaskan dari sosok Clifford Geertz (1926-2006), seorang indonesianis asal Amerika. Geertz pada dekade 1950-1960-an, melakukan penelitian di Indonesia tentang pertanian, perdagangan, perkotaan, Islam, politik klasik, hingga politik aliran. Lewat penelitiannya tersebut Geertz dinilai telah melawan suatu tradisi besar dalam dunia ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif. Kemudian, lewat penelitiannya itu pula lahirlah thick description theory. Selanjutnya, pandangan Geertz tersebut akhirnya menginspirasi sebagian ilmuwan lintas bidang, termasuk ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu sosiologi. Di balik itu, pada tataran empiri, seperti halnya awal-awal sosiologi, metode kualitatif menemukan momentum dan relevansinya.

Bertolak dari hal itu, bila berbicara pada lingkup Prodi Sosiologi maka tidak hanya berbicara tentang mahasiswanya, tetapi juga tentang dosen pengajar yang menjadi bagian dari struktur Prodi Sosiologi. Diakui atau tidak, pada kenyataanya tidak sedikit dosen sosiologi yang menaruh minat yang tinggi terhadap metode kualitatif. Apalagi penerapannya dalam suatu penelitian. Tentu hal tersebut juga tidak terlepas dari paradigma yang dikenalkan oleh Geertz.

Di sisi yang lain bisa diasumsikan bahwa ada hubungan fungsional antara minat dosen-dosen atas metode kualitatif dan pilihan mahasiswa dalam menentukan metode penelitian. Namun, perlu dikatakan di sini bahwa minat dosen-dosen tersebut tidaklah sebab yang sebenarnya mengapa metode kualitatif tumbuh subur di Prodi Sosiologi. Hal tersebut tampak dari kelonggaran yang diberikan dosen kepada mahasiswa sosiologi dalam memilih metode penelitian.

Dalam pada itu, sisa-sisa perdebatan antara kualitatif dengan kuantitatif sebetulnya masih berlangsung. Dalam hal ini, lambat laun mengemuka suatu pandangan bahwa penelitian bidang sosiologi akan lebih lebih reliable jika menggunakan metode kualitatif maupun perpaduannya (kualitatif-kuantitatif). Pandangan-pandangan seperti itu juga sering dijumpai pada beberapa pustaka khususnya pustaka tentang metode penelitian. Akhirnya, asumsi tersebut sering menjadi pijakan dasar, tetapi tidak mutlak, pengadaptasian metode kualitatif ke dalam penelitian sosiologi.

Kendatipun demikian, penelitian-penelitian yang dilakukan sebetulnya juga perlu mempertimbangkan objek telaah. Ingat bahwa kualitatif dan kuantitatif hanyalah metode. Jadi, sebuah penelitian yang seharusnya sesuai dengan memakai metode kualitatif tentu tidak bisa dipaksakan misalnya dengan menerapkan metode kuantitatif, demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain, pemilihan metode juga bergantung pada objek studi. Pertimbangan tersebut juga berkait dengan kualitas daripada hasil penelitian nanti.

Di sisi yang lain, minat pada metode kualitatif di Prodi Sosiologi tampaknya masih belum diiringi oleh pengembangan terhadap metode kualitatif itu sendiri. Selama pembelajaran setiap pembelajar menafsirkan secara beragam. Apabila tidak ada konsensus, maka dikhawatirkan di antara persilangan tersebut muncul subyektifitas-subyektifitas yang cenderung menjauh dari tuntutan ilmiah. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan interaksi yang terbuka baik antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, maupun sesama dosen.

Tentu minat yang tinggi pada metode tersebut itu tidak akan diakui sebagai konspirasi di Prodi Sosiologi. Artinya, minat tersebut tidaklah hasil kesepakatan bersama secara sengaja ramai-ramai memilih metode kualitatif. Meskipun hal itu sudah menjadi kenyataan, tetapi akan diakui bahwa minat tersebut berlangsung secara alamiah dan tidak ada paksaan sama sekali. Berkenaan dengan itu, setiap individu dipandang telah membuat pertimbangan atas apa yang menjadi pilihan ketika menentukan metode penelitian. Lagi pula, dalam paradigma konstruktivisme dan paradigma teori kritis, dalam ilmu sosial, keberadaan metode kualitatif cenderung lebih mapan.

Jika diperhatikan maka minat terhadap metode kualitatif ini agaknya merubah orientasi dalam tradisi penelitian di lingkungan FISIP. Setidak-tidaknya, penerapan metode kualitatif di lingkungan FISIP diharapkan akan membuka dialog baru khususnya dalam dunia penelitian. Tentu hal itu tidak dimaksudkan sebagai kompetisi antar metode. Sekali lagi, sudah tidak saatnya lagi mempertentangkan kedua metode tersebut. Meskipun silang pendapat akan tetap ada, tetapi hendaknya lebih dimaknai sebagai alternatif cara pengembangan sains lewat penelitian untuk menemukan sisi yang faktual.

Terlepas dari hal itu, pada semester III dan IV mahasiswa sudah dikenalkan mata kuliah metode penelitian baik metode kualitatif maupun metode kuantitatif. Namun, mahasiswa sosiologi tampaknya masih menaruh minat pada metode kualitatif. Padahal, sebagian besar di antara mereka terutama di akhir studi telah mengenal penelitian, yakni pendekatan kuantitatif sejak di jenjang sekolah menengah. Maklum, kurikulum di sekolah menengah menekankan pendekatan kuantitatif. Di samping itu, seperti ditulis di atas minat tersebut tidak melulu disebabkan oleh minat dosen maupun keberadaan literatur metode kualitatif dan metode kuantitatif.

Di satu sisi, minat terhadap metode kualitatif akan mengundang beberapa asumsi. Misalnya, minat tersebut karena ikut-ikutan tren belaka. Berkenaan dengan itu, ada desas-desus bahwa penguasaan terhadap metode kuantitatif dirasa masih lemah sehingga metode kualitatif menjadi prioritas. Ada pula pandangan, entah betul entah salah, bahwa dalam suatu penelitian penerapan metode kualitatif dirasa lebih mudah dibanding metode kuantitatif. Tentu hal itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun begitu, pilihan metode kualitatif sebetulnya turut mengasah keterampilan yang tidak ada pada metode kuantitatif. Di sisi yang lain, asumsi-asumsi tersebut bisa jadi merupakan kesimpulan yang terlalu terburu-buru, kecuali jika memang hal itu benar adanya. In abstracto.

Generasi dalam Prodi Sosiologi

Generasi dalam Prodi Sosiologi

Oleh: Puguh Utomo

Sebagaimana diketahui bahwa Program Studi (Prodi) Sosiologi berdiri pada 2001, sedangkan sekarang memasuki tahun ajaran baru, 2008. Berkaitan dengan hal itu, Program Studi Sosiologi telah ada delapan generasi. Apabila setiap generasi rata-rata terdiri atas 35 orang (mahasiswa) maka tinggal dikalikan, dan hasilnya 280 mahasiswa. Jumlah itu bisa lebih, sebab tahun-tahun setelah itu, kuota mahasiswa sosiologi pada setiap generasi mengalami penambahan.

Jumlah itu dihitung dari mahasiswa yang masih aktif maupun yang sudah lulus. Apabila melihat masa studi mahasiswa yang rata-rata empat tahun maka kelulusan dalam Program Studi Sosiologi dimulai pada 2005. Demikian seterusnya, setiap tahun Program Studi Sosiologi meluluskan sejumlah mahasiswanya.

Seperti dikemukakan di atas, bahwa telah ada delapan generasi dalam Program Studi Sosiologi. Inilah yang nantinya menarik, sebab setiap tambahan generasi berarti ada regenerasi pada setiap periode, saat tahun ajaran baru. Kemudian, dalam satu generasi, umumnya individu dalam generasi akan lebih sering berinteraksi intern generasi, khususnya dalam perkuliahan. Begitu satu generasi memulai perkuliahan di hari pertama, seketika itu seolah-olah satu generasi telah menanam satu cita-cita bersama, tetapi sifatnya abstrak. Proses interaksi ini sendiri terbilang berlangsung cukup lama, bertahun-tahun, sehingga cukup bagi individu untuk mengenal satu sama lain. Pada saat berinteraksi itulah individu-individu dalam generasi tersebut menghasilkan keunikan pada generasinya.

Lagi pula, sejumlah momentum yang notabene pembauran, agaknya tidak serta merta menghilangkan identitas ke-generasi-an. Momentum tersebut misalnya populer dengan nama orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Pada momentum tersebut dilakukan oleh generasi sebelumnya terhadap generasi baru. Periode kepengurusan dalam himpunan program studi pun tergolong dalam pembauran ini. Meskipun pada periode ini waktunya cukup lama, sekitar satu tahun, tetapi sepertinya identitas ke-generasi-an tetap terpelihara. Selain hal itu, momentum lainnya yakni peluang individu dalam suatu generasi ikut ke dalam kelas pada generasi lainnya dan sebaliknya. Hal itu karena penerapan sistem kredit semester (SKS). Momentum itu pun tergolong dalam pembauran antargenerasi, tetapi itu hanya membentuk identitas ke-generasi-an yang sesaat.

Sungguhpun demikian, bukan berarti antar generasi sama sekali tidak terdapat hubungan, pola-pola pewarisan. Perlu diketahui bahwa proses interaksi interaksi individu-individu dalam generasi maupun antargenerasi, tidaklah terbatas pada pertemuan fisik dalam satu ruang dan waktu. Maksudnya, interaksi tersebut tidak hanya pertemuan dalam ruang kelas, dalam kampus maupun luar kampus. Bahkan, proses interaksi tersebut juga berlangsung dalam medium cetak maupun elektronik. Pembacaan skripsi terdahulu dan interaksi lewat telepon seluler, tergolong ke dalam bentuk interaksi yang terakhir tersebut. Dengan demikian, sebetulnya antargenerasi terdapat pola-pola pewarisan. Pewarisan itu pula yang menjadikan antargenerasi nyaris tanpa konflik. Namun, sekali lagi bahwa pola-pola pewarisan tersebut tidak kemudian meniadakan identitas ke-generasi-an.

Kemudian, paling tidak tinjauan terhadap generasi dalam Program Studi Sosiologi ini dapat ditinjau pada empat hal. Sebelum itu, sebagai sampel, keempat tinjauan itu anggaplah dialami oleh tiga generasi, yakni generasi pertama (2001), generasi kedua (2002), dan generasi ketiga (2003).

Tinjauan pertama adalah dari sisi dinamika kelas setiap generasi. Kedua, konsolidasi internal setiap generasi. Ketiga, ketertarikan setiap generasi terhadap organisasi, baik intra kampus maupun ekstra kampus. Terakhir, konsepsi generasi terhadap bidang akademisnya, sosiologi. Dari empat tinjauan tersebut, agaknya ketiga generasi tersebut relatif sama, dalam arti ketiganya mengalami ke empat-empatnya. Baik generasi pertama, kedua, dan ketiga sama-sama mengalami, entah itu dinamika kelas, konsolidasi internal generasi, ketertarikan terhadap organisasi, maupun konsepsi generasi terhadap sosiologi. Sampai pada tahap itu, kedudukan setiap generasi adalah sama. Meskipun akhirnya muncul penilaian yang berlainan terhadap setiap generasi, tetapi sebetulnya setiap generasi sama-sama mengaktualisasikan diri.

Dalam pada itu, ada baiknya meninjau generasi dari empat hal tadi. Pertama, bagaimana setiap generasi melahirkan dinamika kelas. Sesuai dengan hal itu, pada 2001, generasi pertama mulai mengenyam Program Studi Sosiologi, untuk pertama kali. Generasi ini oleh sejumlah kalangan sering dinilai sebagai generasi yang cukup kritis. Memang, individu yang kritis dalam generasi ini agaknya mudah dijumpai. Artinya, khususnya dalam ruang kuliah, individu pada generasi pertama ini berani mengutarakan pendapatnya terhadap sesuatu hal. Kekritisan ini pun agaknya berimbang antara mahasiswa dan mahasiswi, sehingga kelas kian dinamis. Mengapa dikatakan kritis? Karena kekritisan itulah yang paling menonjol dan membuat nilai lebih pada diri individu dalam generasi, dalam Program Studi Sosiologi.

Dinamika dalam kelas yang dibangun pada generasi pertama inilah yang akhirnya menuai penilaian. Kendatipun sebagai generasi pertama, tetapi generasi ini dianggap berhasil menampakkan wajah sosiologi. Dengan kata lain, generasi ini dianggap mampu menancapkan karakteristik sebuah program studi di antara jurusan-jurusan yang lain. Generasi ini pula yang nantinya diharapkan menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.

Selanjutnya, pada generasi kedua. Selama proses perkuliahan, generasi kedua ini juga dikenal sebagai generasi yang kritis. Walaupun begitu, kekritisan generasi ini dinilai tidak se-kritis generasi sebelumnya. Menariknya, kekritisan pada generasi ini lebih didominasi oleh mahasiswa, laki-laki. Kendatipun demikian, dari kalangan mahasiswi (perempuan) bukan berarti tidak ada yang kritis. Dalam suatu generasi bisa dipastikan bahwa akan ada individu yang kritis, sementara individu yang kritis tersebut cenderung akan mempertahankan ke-kritis-annya dalam generasinya.

Dua tahun selanjutnya, Program Studi Sosiologi kehadiran generasi ketiga, generasi 2003. Menariknya jumlah mahasiswa maupun mahasiswi pada generasi ini nyaris berimbang. Akan tetapi, jumlah individu yang kritis lebih didominasi oleh kalangan mahasiswa. Seperti generasi sebelumnya, generasi ini pun tidak kalah kekritisannya. Namun, kekritisan pada generasi ketiga ini dinilai masih kalah dibanding dua generasi sebelumnya.

Sampai pada generasi ketiga ini, seolah-olah sudah memupus harapan bahwa generasi selanjutnya akan lebih baik lagi. Selain hal itu, seperti generasi sebelumnya, pada generasi ketiga ini juga terdapat sejumlah individu yang dikenal kritis. Akan tetapi, menariknya kekritisan ini tidak berkaitan dengan masa studi yang cepat. Artinya, ada sejumlah individu yang kritis dalam suatu generasi, baik generasi pertama, kedua, maupun ketiga, tetapi ternyata masa studinya lambat.

Kemudian, tinjauan yang kedua, yakni konsolidasi internal generasi. Dalam hal ini konsolidasi ini berwujud kemampuan beberapa individu dalam generasi tersebut membentuk kelompok dalam bentuk kelompok diskusi. Sementara itu, diskusi dalam kelompok tersebut dipusatkan pada peningkatan wawasan terhadap sosiologi sebagai ilmu. Konsolidasi internal generasi ini amat kentara terlihat pada generasi pertama. Kendatipun demikian, bukan berarti generasi kedua dan ketiga tidak terjadi konsolidasi internal generasi. Konsolidasi tetap ada, tetapi cenderung tidak berwujud dalam sebuah kelompok yang dapat memperluas wawasan sosiologi.

Pada tinjauan ketiga tentang ketertarikan individu dalam organisasi, agaknya menarik untuk disimak. Setiap individu dalam setiap generasi umumnya memiliki ketertarikan terhadap organisasi, baik intra kampus maupun ekstra kampus. Dalam pada itu, yang menonjol justru ketertarikan terhadap organisasi ekstra kampus. Faktanya, pada setiap generasi, hanya sejumlah individu saja yang melibatkan diri ke dalam organisasi. Sejumlah individu yang kritis dalam kelas pun ternyata berlatar belakang organisasi ekstra kampus. Jarang ditemukan individu yang kritis, sementara individu tersebut sama sekali tidak bergabung ke dalam suatu organisasi tertentu.

Pada bagian inilah menandai bagaimana peran organisasi ekstra kampus ini. Akan tetapi, lepas dari ini, muncul pertanyaan, mengapa apabila individu yang kritis (yang notabene ada nilai lebihnya) ini memiliki latar belakang organisasi ekstra kampus, tetapi tidak memengaruhi individu yang lain untuk juga bergabung ke dalam organisasi ekstra kampus? Dalam hal ini tentu saja setiap individu memiliki ketertarikan yang sifatnya otonom dan selektif.

Kemudian, dalam hal tertentu, sedemikian kuatnya peran organisasi ekstra kampus sampai dapat melebihi solidaritas generasi dalam Program Studi Sosiologi. Isu “bendera” pun tidak terlepas dari peran tersebut. Sungguhpun demikian, isu tersebut cenderung tersembunyi meskipun pada momentum tertentu isu tersebut bisa sangat sensitif khususnya bagi sebagian individu yang tergabung pada suatu organisasi mahasiswa ekstra kampus, pada setiap generasi dalam Program Studi Sosiologi.

Tinjauan ke empat tentang konsepsi generasi terhadap ilmu yang digelutinya, sosiologi. Bertalian dengan hal itu, awalnya muncul pertanyaan, apakah dengan usia Program Studi Sosiologi yang relatif muda, itu memengaruhi konsepsi sosiologisnya? Maksudnya, apakah konsepsi sosiologisnya masih pada tahap pencarian bentuk? Sungguhpun demikian, pertanyaan itu tidak begitu mengemuka pada setiap generasi. Kiranya bentuk konsepsi terhadap sosiologi ini dapat diamati dari pemilihan tema, topik, dan judul dalam skripsi. Umumnya, tidak ada tema, topik, apalagi judul yang dominan.

Pada generasi pertama pun dapat dikatakan bahwa skripsinya cukup variatif. Bahkan, selain penelitian lapangan juga terdapat penelitian pustaka. Memang, cukup sulit mengidentifikasi konsepsi sosiologis pada hasil skripsi tersebut. Kelonggaran yang diberikan kepada setiap generasi dalam pemilihan tiga unsur tersebut turut mendukung betapa variatifnya tema, topik, dan judul dalam skripsi. Hanya saja pada peralihan antara generasi kedua dan ketiga sempat muncul kejenuhan tentang tema yang berhubungan dengan budaya. Oleh karena itu, sempat beredar rumor bahwa tema-tema seputar budaya, agar tidak dijadikan prioritas.

Jadi, bagaimana dengan generasi selanjutnya?

Puguh Utomo

Mahasiswa Program Studi Sosiologi

FISIP Universitas Jember

Keber-agama-an Mahasiswa Sosiologi

Keber-agama-an Mahasiswa Sosiologi

Kehidupan mahasiswa yang sedikit banyak berbeda dengan kehidupan pra-mahasiswa ditengarai memengaruhi keberagamaan mahasiswa. Terlebih kehidupan yang dialami oleh mahasiswa perantau. Oleh karena itu, di samping kebutuhan manusia akan agama, maka agaknya menarik membicarakan keberagamaan mahasiswa sosiologi atau perihal mahasiswa sosiologi dalam memeluk agamanya. Pada sisi tertentu, kemenarikannya justru terletak pada interaksi keberagamaan mahasiswa sosiologi yang sepertinya “datar-datar” saja, beragama sebagaimana umumnya. Bahkan, kecenderungannya beragama dengan corak humanistis. Dalam kaitan ini, kecendrungan tersebut dapat diamati sebab keberagamaan tersebut ada dalam kenyataan keseharian.

Tulisan ini pun hanya berpretensi menyelami keberagamaan generasi 2003, yakni selama mereka menjadi mahasiswa sosiologi. Dalam hubungan ini, tulisan ini tidak berpretensi menilai keimanan mahasiswa generasi ketiga dalam Program Studi Sosiologi Universitas Jember tersebut.

Pada dasarnya cukup sulit membicarakan keberagamaan. Hal itu karena fenomena keberagamaan tidak semata-mata gejala sosiologis maupun gejala psikologis. Dalam hubungan ini, terdapat segi rohaniah dalam keberagamaan, di luar gejala-gejala tersebut. Namun, dengan mengikuti pendapat Glock dan Stark (1965), keberagamaan dapat dilihat dari lima dimensi, yakni dimensi ideologi, dimensi intelektual, dimensi eksperiensial, dimensi ritus dan dimensi konsekuensial atau dimensi sosial. Dalam dimensi-dimensi itu, pada dasarnya saling bertalian antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Sementara itu, kelima dimensi tadi dalam tulisan ini lebih dimaknai secara bebas. Selain hal itu, agar lebih jelas, pemaknaan kelima dimensi tadi disertai dengan sejumlah contoh.

Pertama, dari dimensi ideologi. Ideologi di sini sebutlah sebagai pandangan yang didasari atas struktur etis agama. Dalam hubungan ini, segala hal harus didasarkan pada nilai-nilai keagamaan. Memang, ini tidak sungguh-sungguh terjadi, yakni mendasarkan, misalnya, Program Studi Sosiologi pada agama. Apabila pendasaran tersebut sungguh-sungguh terjadi, maka akan dinilai menyalahi keberadaan Program Studi Sosiologi sebagai bidang akademis, lembaga akademis. Akan tetapi, hal ini tidak berarti antara lembaga akademis dan nilai-nilai keagamaan saling bertentangan secara diametral. Sejalan dengan itu, pada bagian lain, tataran konseptual memunculkan wacana peng-agama-an pada sosiologi sebagai ilmu sosial. Kendati demikian, oleh mahasiswa sosiologi hal ini masih ditempatkan di ruang sunyi.

Sejalan dengan itu, sejumlah mahasiswa sosiologi yang mengambil topik skripsi tentang agama pun sebetulnya tergolong penempatan ideologi. Namun, dalam kaitan ini bukan penempatan ideologi yang sebenar-benarnya. Buktinya, tidak ada kecurigaan-kecurigaan maksud-maksud tertentu di balik pengambilan topik tersebut, disamping masih sedikitnya mahasiswa yang mengambil tentang topik tersebut. Pengambilan topik skripsi tersebut, khususnya pada tataran teoretis, menunjukkan bahwa tidak ada posisi yang sungguh-sungguh bertentangan antara sosiologi dan agama. Akan tetapi, faktanya, mahasiswa sosiologi yang meneliti tentang agama dalam pendekatannya dituntut agar bercorak sosiologis, profan, sehingga akhirnya antara sosiologi dan agama terjadi pergesekan.

Lebih lanjut pada dimensi ini, amat kentara pemakaian simbol-simbol religi seperti jilbab sebagai bagian dari busana muslimah oleh kalangan mahasiswi. Namun, seketika itu ada pertautan antara tuntunan beragama, simbol, dan fungsi dari yang disebut tadi, sedangkan hal ini tidaklah dilarang. Contoh lain yakni pemberian mata kuliah pendidikan agama di semester awal, keberadaan musala, peringatan hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa ada penyesuaian-penyesuaian, kompromi-kompromi yang stabil dalam dimensi ideologi tersebut.

Dimensi kedua, yakni dimensi intelektual. Dimensi ini menandai ketertarikan mahasiswa sosiologi dalam mempelajari agamanya. Pada saat yang sama, sebetulnya ada pergulatan batin pada mahasiswa sosiologi, yakni antara mempelajari agamanya dengan mempelajari sosiologi. Keduanya sama-sama memiliki “teori”. Titik ini mengisyaratkan bahwa sosiologi merupakan agama, “agama baru”, yang mendapat pengesahan dan terlembagakan dalam Program Studi Sosiologi.

Biarpun demikian, sosiologi rupanya tidak dapat menggantikan agama dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebaliknya, agama pun sepertinya tidak dapat menggantikan posisi sosiologi sebagai sains. Selanjutnya, mempelajari agama merupakan tanggungjawab pribadi, sedangkan mempelajari sosiologi merupakan tanggungjawab yang mengikat mahasiswa sosiologi yang semata-mata karena statusnya mahasiswa sosiologi.

Dalam hal ini, lembaga tempat mahasiswa sosiologi berkuliah tidak mewajibkan mahasiswa sosiologi untuk mempelajari, menghafal dalil-dalil maupun firman yang dimiliki oleh agamanya. Apalagi keharusan menjalankan struktur etis agamanya. Mahasiswa sosiologi justru dituntut mengerti tentang sosiologi. Lagi pula, tidaklah jadi soal beragama atau tidak beragama.

Sesuai dengan itu, perlu dicatat bahwa sosiologi sebagai metode, hal itu tidak menggiring pada jalur pengikisan nilai-nilai keagamaan. Dengan kata lain, tidak mengantarkan pada tempat kekafiran. Sebagaimana telah ditulis di atas bahwa tidak adanya posisi yang sungguh-sungguh bertentangan, juga memungkinkan tiadanya pertentangan-pertentangan yang tajam dalam keberagamaan ini. Oleh karena itu, isu ada tidaknya pengikisan nilai-nilai keagamaan pun tidak muncul ke permukaan.

Terkait dengan hal itu, organisasi intra maupun organisasi ekstra kampus yang berbasis agama sebetulnya dapat dimasuki oleh mahasiswa sosiologi dalam pemenuhan dimensi intelektual ini. Perlu diketahui bahwa organisasi-organisasi tersebut sebetulnya memiliki kekuatan untuk menghimpun. Akan tetapi, kenyataannya tidak semua mahasiswa sosiologi terhimpun ke dalam organisasi intra maupun ekstra kampus yang berbasis agama. Tentu saja hal ini bukan sebentuk ketidakpercayaan terhadap organisasi yang berbasis agama tersebut. Patut dicatat bahwa pemenuhan dimensi tersebut tidak hanya diperoleh dari organisasi-organisasi yang disebut itu tadi.

Sungguhpun demikian, keberadaan organisasi intra maupun organisasi ekstra kampus masih tetap mengorganisasikan keberagamaan kalangan mahasiswa. Hal tersebut menjadikan organisasi, khususnya organisasi ekstra sebagai kelompok strategis yang berperan dalam perubahan, dalam momen-momen tertentu. Sebetulnya peran ini sekaligus menandai dimensi konsekuensial keberagamaan seperti akan ditulis di akhir tulisan ini.

Adapun dimensi ketiga, yakni dimensi eksperiensial bermakna pengalaman dalam beragama. Pada dimensi ini, sejumlah mahasiswa mulai mengalami, atau setidak-tidaknya menanyakan keberagamaannya selama ini, sedangkan pertanyaan-pertanyaan itu kian bergelayutan saat akhir-akhir semester. Meskipun demikian, mahasiswa sosiologi masih menemukan manfaat pemenuhan batiniah saat dan/atau setelah menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Oleh karena itu, tahap ini sangat memungkinkan mahasiswa sosiologi untuk mengulangi, antara lain, pelaksanaan ritus. Kemudian, dalam dimensi yang lebih jauh, pengalaman-pengalaman keberagamaan ini tidak memunculkan fenomena pindah agama.

Dan lagi, dimensi keempat, yakni dimensi ritualistik menandai serangkaian ritus keagamaan yang dilakukan mahasiswa sosiologi. Umumnya, ritual yang dilakukan sebagaimana umat pada umumnya. Memang, pelaksanaan ritual ini amat pribadi, tetapi dapat dikatakan bahwa tidak ada bentuk-bentuk ritus yang “menyempal”. Apabila akar sosial pra-mahasiswa sosiologi memengaruhi keberagamaannya, maka meskipun sebagian mahasiswa sosiologi telah terpisah dengan akar sosialnya (kampung halamannya), bentuk-bentuk ritual masih tetap dilaksanakan. Lagi pula, tempat tinggalnya yang baru mengakomodasi pelaksanaan ritus, sehingga turut memelihara pelaksanaan-pelaksanaan ritus. Misalnya, keberadaan masjid tempat melakukan sholat jumat bagi yang muslim.

Kiranya ada sejumlah contoh lain seputar pemeliharaan pelaksanaan ritus yang berarti pula pemeliharaan memori kolektif keberagamaan ini. Ambillah contoh yang ada di sekeliling mahasiswa sosiologi, seperti acara buka puasa bersama yang mereka koordinir, musik religi yang mereka dengarkan, suara azan maupun acara kerohanian yang disiarkan oleh televisi maupun radio, tulisan hari-hari besar keagamaan di kelender, atau apapun yang mudah diakses yang berkaitan dengan keagamaan juga turut memelihara memori kolektif keberagamaan ini.

Kemudian, dimensi yang terakhir, yakni dimensi konsekuensial atau dimensi sosial. Dimensi ini merupakan implikasi dari keberagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Keyakinan bahwa agama memiliki sisi yang mulia, maka dimensi ini sering dikaitkan dengan sebuah pandangan hidup, dalam hal ini sebagai semangat belajar. Akan tetapi, kedua hubungan itu agaknya belum begitu menonjol di kalangan mahasiswa sosiologi. Memang, masih terlalu dini apabila mendasarkan dimensi ini hanya pada etos belajar. Jadi, setiap dari kita yang beragama-lah yang perlu merenungi hal-hal seperti itu.