Jumat, 02 Januari 2009

Mahasiswa Sosiologi dan Dilema Skripsi

Mahasiswa Sosiologi dan Dilema Skripsi

Oleh: Puguh Utomo

Suatu hari, saya berada di antara kira-kira sepuluh orang mahasiswa sosiologi. Kami berkumpul di dua buah kursi panjang yang di tengahnya ada meja besar berbentuk persegi panjang. Awalnya mereka masuk ke dalam ruangan Program Studi (Prodi) Sosiologi. Akan tetapi, mereka keluar lagi dari ruangan itu. Mungkin itu disebabkan oleh terlalu banyaknya mahasiswa sosiologi. Di situ, mahasiswa-mahasiswa sosiologi tersebut duduk berjajar sembari mendengarkan ketua Program Studi Sosiologi menyeleksi judul proposal seminar.

Satu persatu judul skripsi yang ditulis di selembar kertas dan telah diberi identitas nama tersebut dibaca oleh ketua prodi. Hasilnya, sejumlah judul dinilai mirip judul skripsi milik Jurusan Kesejahteraan Sosial (KS). Intinya, judul tersebut belum bercitarasakan sosiologis sehingga judul itu dikembalikan lagi pada mahasiswa. Dengan kata lain, judul tersebut ditolak dan diminta untuk diperbaiki. Tampak guratan kesayuan di wajah mereka saat judulnya ditolak. Permasalahan ke-sosiologis-an dalam skripsi sering dijumpai di Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Jember (Unej).

Suasana itu pun kembali mengingatkan saya saat duduk di semester VII. Kira-kira yang dirasakan oleh mahasiswa sosiologi itu juga seperti yang saya rasakan saat akan mempersiapkan proposal seminar, yakni tahap pembuatan skripsi. Saat itu hampir setiap hari disergap oleh rasa cemas dan bingung mengenai apa yang harus dilakukan dengan seminar proposal yang nantinya jadi skripsi. Tuntutan agar segera lulus pun tak bisa ditawar lagi.

Kiranya mahasiswa sosiologi tidak sulit menemukan skripsi karya alumni Prodi Sosiologi. Apabila di rak buku Prodi Sosiologi ada buku dengan ciri-ciri berukuran kwarto, bersampul coklat tua yang bertuliskan “Program Studi Sosiologi” maka hampir dapat dipastikan bahwa itu merupakan skripsi karya alumnus Prodi Sosiologi. Namun, mungkin koleksi tersebut tidak dipinjamkan. Meskipun demikian, mahasiswa sosiologi juga dapat menemukannya di rak perpustakaan FISIP. Selain hal itu, mahasiswa sosiologi juga dapat menemukannya di perpustakaan Unej di lantai III ruang skripsi.

Akan tetapi, sepertinya sebagian mahasiswa sosiologi sulit membuat skripsi. Sejumlah mahasiswa sosiologi memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dalam pembuatan skripsinya. Sampai-sampai ada mahasiswa sosiologi yang hingga masa tenggang studinya habis, belum mengerjakan skripsi. Oleh karena itu, mereka pun terancam drop out (DO). Sementara itu, mereka yang mengerjakan skripsinya dengan waktu yang lama pun tidak menjamin skripsinya akan berbobot.

Berbeda dengan itu, mungkin bukan masalah sulit tidaknya mengerjakan skripsi, tetapi lebih pada kemauan dan kegigihan mahasiswa sosiologi dalam mengerjakan skripsi. Lagi pula, ada anggapan di kalangan mahasiswa sosiologi bahwa untuk dapat lulus, tidak perlu ber-otak pintar. Dan lagi, beberapa kasus menunjukan bahwa apapun hasil karya skripsi yang dibuat oleh mahasiswa sosiologi, selama memuat unsur-unsur skripsi maka sebatulnya mahasiswa sosiologi pun akan diluluskan. Inilah dilema mahasiswa sosiologi terhadap skripsi.

Skripsi, skripsi, dan skripsi. Barangkali kata itulah yang hampir setiap hari ada di pikiran mahasiswa sosiologi, khususnya mereka yang sudah di semester akhir. Satu dua orang mahasiswa sosiologi mungkin menilai skripsi bagai duri dalam daging. Oleh karena skripsi pula, mungkin di antara mahasiswa sosiologi mengalami kebingungan yang tidak biasa, penurunan konsentrasi, sulit menentukan keputusan, kekecewaan, dan lain sebagainya. Bahkan, di antara mereka mungkin pernah mengalami mimpi buruk dalam tidurnya, tersebab oleh skripsi. Gejala-gejala itu menandakan adanya sindrom skripsi.

Walaupun demikian, dalam pengerjaan skripsi, pengalaman setiap mahasiswa sosiologi sangat kasuistis. Setiap mahasiswa sosiologi memiliki alasan sendiri-sendiri terhadap skripsinya. Di samping itu, setiap mahasiswa sosiologi juga memiliki pengalaman sendiri-sendiri dengan skripsinya. Ada mahasiswa yang mengerjakan skripsinya dengan cepat. Namun, ada juga yang mengerjakan skripsi dengan lambat.

Skripsi berkaitan dengan masa studi. Semakin cepat skripsi terselesaikan maka semakin cepat pula masa studinya. Namun, karena skripsi inilah yang umumnya membuat mahasiswa sosiologi lambat dalam studinya. Berkenaan dengan itu, terkadang di kalangan mahasiswa muncul gurauan bahwa “untuk masuk ke Prodi Sosiologi cukup mudah, tetapi lulusnya sulit.” Sebetulnya sebagian besar di antara mereka menyadari bahwa skripsi perlu disiapkan sedini mungkin. Akan tetapi, selama itu sebagian mahasiswa sosiologi kesulitan memantapkan diri mengenai apa-apa yang perlu ditulis dalam skripsi. Dengan kata lain, mereka kesulitan mengimajinasi skripsi yang sosiologis. Kemalasan seringkali dijadikan alasan dalam mengerjakan skripsi.

Apa yang akan ditulis dalam skripsi seharusnya sudah terbayang oleh mahasiswa sosiologi sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU) atau yang sederajat. Minimal bayangan tentang skripsi itu telah disiapkan di awal-awal semester. Pada masa itu biasanya mahasiswa telah memiliki kesadaran bahwa dirinya suatu saat nanti akan mengerjakan skripsi. Apalagi, dengan semakin populernya metode kualitatif dalam penelitian sosiologi maka persiapan itu merupakan upaya yang strategis. Sebagaimana pendekatan kualitatif tersebut salah satu cirinya, yakni penguasaan terhadap sasaran penelitian. Dengan strategi itu diharapkan seorang mahasiswa sosiologi dapat menyelesaikan studinya pada semester delapan.

Akan tetapi, strategi itu nyatanya tidak selamanya berjalan mulus. Pada jenjang SMU atau yang sederajat, umumnya konsep sosiologi masih terlalu dasar. Materi penelitian pun lebih didominasi oleh pendekatan kuantitatif. Bahkan, saat mahasiswa sosiologi duduk di semester empat, seolah materi dari SMU tidak terpakai lagi di jenjang perguruan tinggi. Kemudian, saat mahasiswa duduk di awal-awal semester sebagian besar belum siap dengan apa-apa yang akan ditulis dalam skripsinya. Pada saat yang sama selama perkuliahan pun kurikulumnya cenderung terlalu membebani mahasiswa. Ironisnya kurikulum tersebut sedikit sekali yang sungguh-sungguh berkaitan dengan skripsi. Kecuali pola pengajaran dengan kurikulum yang ada sekarang terbatas lebih menyentuh aspek kognitif.

Terkait dengan itu, pembudayaan terhadap skripsi pun mengalami kendala. Misalnya, pembuatan skripsi itu kurang didukung oleh kelengkapan pustaka, khususnya dari perpustakaan. Di samping itu, kebiasaan untuk menulis ilmiah dengan metode kualitatif, membaca hasil penelitian yang berstandar, berdiskusi secara intensif seputar metode penelitian, dan kebiasaan lain yang sejenis tampaknya juga masih sangat sepi dilakukan oleh mahasiswa sosiologi.

Puguh Utomo

Alumnus Program Studi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Informasi Seputar Metode Kualitatif

Informasi Seputar Metode Kualitatif
Oleh: Puguh Utomo
Di bawah ini saya mengumpulkan sejumlah informasi, pandapat dari buku dan internet seputar metode kualitatif. Tentu saja masih banyak informasi seputar metode kualitatif, sedangkan dibawah ini sekadar informasi yang menurut saya penting untuk diketahui. Semoga bisa memperluas wawasan tentang metode kualitatif.
  1. “Qualitative research is much more difficult to do well than quantitative research because the data collected are usually subjective and the main measurement tool for collecting data is the investigator himself” (Borg and Gall 1988 dalam Sugiyono, 2007:48).
  2. Menurut Salim (2001:89) metode-metode dalam penelitian kualitatif, yakni studi kasus, fenomenologi, grounded theory, etnometodologi, etnografi, dan biografi dalam pelaksanaannya dapat saling tumpang tindih. Namun, semua metode itu dapat saling melengkapi karena “metode yang satu akan dapat memperkuat, menambah dan menyempurnakan metode yang lain. Seringkali beberapa metode dipakai bersama, tetapi dalam titik minat yang relatif berbeda tergantung pada jenis masalah, lingkup kegiatan dan kerangka pemecahannya.”
  3. “Analisa kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data” (Purwoko)
  4. Asumsi-Asumsi Dasar
    Untuk memulai suatu penelitian kualitatif, Creswell (1994) menyarankan agar peneliti merumuskan terlebih dahulu asumsi-asumsi dasar pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian. Hal ini dimaksudkan agar peneliti tetap konsisten dengan sejumlah aturan umum dari pendekatan kualitatif sehingga jalannya penelitian sesuai dengan tujuan penelitian dan kerangka metode yang digunakan. Beberapa asumsi dasar yang sering dijadikan acuan adalah sebagai berikut.
    1. Tidak mementingkan angka, atau kuantifikasi fenomena. Diasosiasikan dengan kumpulan dan analisa data yang berupa kata-kata atau observasi langsung terhadap tingkah laku. Jadi fokusnya adalah lebih pada interpretasi daripada kuantifikasi (Cassel & Symon, 1994; Patton, 1994).
    2. Tidak memaksakan klasifikasi awal yang kaku pada sekumpulan data (Cassel & Symon, 1994).
    3. Responden adalah partisipan yang bukan hanya sekedar obyek dari kecurigaan ilmiah. Responden mengambil sikap yang lebih proaktif dalam proses penelitian (Cassel & Symon, 1994).
    4. Sangat menerima subyektifitas, sehingga yang bernilai adalah perspektif partisipan dan interpretasinya terhadap situasi (Cassel & Symon, 1994).
    5. Memungkinkan fleksibilitas dalam proses penelitian. Respon terhadap konseptualisasi individu tentang dirinya berhubungan dengan kemungkinan untuk merumuskan hipotesa baru dan mengubah hipotesa lama sejalan dengan kemajuan penelitian. Intervensi peneliti dapat berubah-ubah sejalan dengan perubahan sifat konteks situasi (Cassel & Symon, 1994; Strauss, 1987; Taylor & Bogdan, 1984).
    6. Proses penelitian dilihat sebagai proses sosial yang sangat dipengaruhi oleh pilihan-pilihan yang diambil peneliti seiring dengan perkembangan penelitian (Cassel & Symon, 1994).
    7. Penelitian kualitatif lebih tertarik pada arti (meaning), yaitu bagaimana partisipan menghayati hidupnya, pengalamannya, dan cara mereka mengekspresikannya (Creswell. 1994; Patton 1990).
    8. Peneliti kualitatif terlibat secara aktif dalam pengumpulan data, yaitu secara fisik menemui partisipan, lingkungannya, serta institusi tempatnya berada, dalam suatu situasi yang alamiah (Creswell,1994; Cassel & Symon, 1994; Patton, 1990).
    9. Penelitian kualitatif adalah penelitian deskriptif, dimana peneliti lebih tertarik dengan proses, arti dan pemahaman tentang pengalaman serta penghayatan subyektif partisipan (Creswell, 1994; Patton, 1990) (Tambunan).
Daftar Pustaka
Salim, Agus (penyunting). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari
Denzin Guba dan Penerapannya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Purwoko, Bambang dalam
Puguh Utomo
Mahasiswa Program Studi Sosiologi
FISIP Universitas Jember