Sabtu, 21 Februari 2009

Majelis Taklim SMUDA Nganjuk

Majelis Taklim SMUDA Nganjuk

Oleh: Puguh Utomo

Majelis Taklim (MT) merupakan satu di antara sekian ekstrakurikuler yang ada di Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 2 Nganjuk (SMUDA Nganjuk). Secara formal, sebagai ekstrakurikuler, kira-kira keberadaan MT telah ada di SMUDA Nganjuk sejak 1990-an. Saat itu, keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari peran siswa-siswi SMUN 2 Nganjuk khususnya yang beragama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa agama Islam merupakan agama mayoritas yang dipeluk di sekolah yang oleh masyarakat dinilai sebagai sekolah favorit di Kabupaten Nganjuk tersebut.

Sebagai organisasi, MT pun memiliki sejumlah kelengkapan organisasi ekstrakurikuler. Misalnya, anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART); sejumlah program kerja; visi dan misi sebagai sebuah organisasi ekstrakurikuler; simbol organisasi juga telah dimiliki oleh MT; seorang pembina ekstrakurikuler yang sekaligus berstatus guru; dan pendanaan yang disokong oleh sekolah yang diambilkan dari sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).

Tulisan ini sekadar sorot balik MT dalam rentang antara tahun 2000-2003. Selama rentang tahun itu pula telah terjadi tiga kali regenerasi. Kiranya banyak dinamika yang dapat dicatat selama periode tersebut.

Dalam pada itu, pertengahan 2000 merupakan awal-awal pengenalan kehidupan sekolah. Masa merupakan kesempatan bagi sejumlah perwakilan dari seluruh ekstrakurikuler memasuki setiap kelas. Perwakilan tersebut mengenalkan profil ekstrakurikuler masing-masing. Tak terkecuali perwakilan dari MT dengan mengusung keislaman dan keorganisasian. Biasanya yang dikenalkan berupa program-program kerja yang telah maupun yang akan dilaksanakan.

Kemudian, pada hari-hari pertama masuk sekolah mulai tampak kegiatan ekstrakurikuler. Setiap siswa-siswi yang tak lain adalah kelas I yang berminat berorganisasi memilih ekstrakurikuler masing-masing. Akan tetapi, siswa-siswi yang berminat masuk ke organisasi yang ada di SMUDA tidak lebih dari 50 % dari total 360 siswa-siswi yang masuk pada 2000. Sementara itu, citra keislaman dan keorganisasian menjadi daya tarik utama bagi mereka yang berminat masuk ke MT. Apabila dihitung-hitung antara jumlah siswa dan siswi yang masuk ke MT maka ada sekitar 50 siswa (termasuk siswi). Jumlah itu tergolong besar dibandingkan dengan ekstrakurikuler yang lain. Kendatipun ada citra keislaman, itu tidak berarti semua siswa-siswi yang beragama Islam masuk ke dalam MT.

Lagi pula, di ekstrakurikuler yang lain juga bukan berarti tidak ada siswa-siswi yang beragama Islam. Di ekstrakurikuler yang lain juga ada unsur keislaman. Sekali lagi bahwa setiap ekstrakurikuler mengkonstruksi identitasnya masing-masing. Identitas itu misalnya tampak dari program kerja yang dilaksanakan setiap ekstrakurikuler. Terkait dengan itu, hampir setiap ekstrakurikuler di SMUDA Nganjuk bersifat inklusif. Demikian juga dengan MT. Itu terlihat, misalnya siswi yang masuk ke dalam MT tidak disyaratkan harus berjilbab.

Begitu hari masuk sekolah dimulai maka kegiatan-kegiatan MT yang telah diprogramkan pun mulai dijalankan. Seperti halnya ekstrakurikuler pada umumnya, hampir semua kegiatan dilaksanakan di luar jam sekolah. Kegiatan MT sendiri, misalnya kegiatan seperti kajian yang dilaksanakan setiap seminggu sekali juga dilaksanakan di luar jam pelajaran. Bahkan, kegiatan seperti kathaman Al Quran setiap sebulan sekali dilaksanakan seusai maghrib. Yang terakhir ini dikhususkan untuk siswa atau ikhwan yang menjadi anggota MT. Tentu saja anggota MT yang masih duduk di bangku kelas I juga turut terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Koordinator dari setiap kegiatan yang sekaligus program kerja MT itu dilaksanakan oleh anggota MT khususnya yang duduk di kelas II. Akan tetapi, pada waktu ini kepengurusan belum terbentuk secara formal. Selang beberapa bulan kemudian baru dikukuhkan kepengurusan baru yang dipegang oleh anggota MT kelas II, tetapi juga melibatkan anggota MT kelas I.

Adapun MT memiliki program kerja yang tergolong cukup banyak. Dua kegiatan yang disebutkan di atas hanya sedikit dari sekian program kerja. Kegiatan yang lain misalnya tafakur alam (TA), kunjungan atau anjangsana, pondok Ramadhan, muslim excat group (MEG), peringatan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, halal bil halal, dan lain sebagainya.

Ada beberapa hal yang dapat dicatat dalam beberapa pelaksanaan program kerja tersebut. Kegiatan TA pertama misalnya, kegiatan itu mirip perkemahan yang dilaksanakan selama tiga hari dua malam di kaki Gunung Wilis. Peserta maupun panitia dalam TA ini seluruhnya laki-laki. TA kedua dilaksanakan pada 2001 selama kurang lebih lima hari di kaki Gunung Kawi di Kabupaten Malang. TA kedua ini bagi anggota MT kelas I tergolong TA yang terberat sebab kondisi medan sangat ekstrim. Suhu udara di malam hari sangat dingin dan perbekalan maupun fasilitas di medan pun cukup minim.

TA kedua ini kegiatannya cenderung militeristis. Misalnya, suatu hari peserta diminta bergulung di tanah. Namun, itu tidak terlalu sering. Dan lagi, pada malam terakhir terdapat ujian mental dan ujian fisik. Misalnya, pendirian peserta diuji dengan sejumlah pertanyaan yang menyindir. Dan lagi, terkadang disertai hukuman fisik seperti jump up. Sebetulnya, prosedur militeristis tersebut tidak tertulis dalam AD maupun ART. Dalam prosedur TA pun itu tidak diatur secara tertulis. Dengan kata lain, pola-pola militeristis tersebut tidak ada petunjuk yang jelas, seolah-olah berlangsung spontanitas.

Namun, spontanitas tersebut bukan tanpa alasan. Pola-pola tersebut sebetulnya telah ada pada benak sebagian panitia sebagai senior. Konon, sebelumnya pola-pola itu telah mengakar sehingga kemungkinan besar akan menurun ke yuniornya. Seolah-olah itu merupakan komitmen bersama, tetapi sebetulnya tidak semua panitia TA berpandangan militeristis. Ketika pola-pola tersebut berlangsung, ketua panitia TA, pengurus inti MT maupun pembina MT juga tidak dapat mengendalikan pola-pola yang militeristis tersebut. Di samping itu, sebagian besar ekstrakurikuler di SMUDA Nganjuk juga mempraktikkan pola-pola yang serupa.

TA merupakan satu-satunya kegiatan yang diselenggarakan di alam bebas. Pada dasarnya TA lebih bernuansa tantangan dan petualangan. Bagi sebagian sebagian ikhwan kegiatan itu cukup menarik khususnya yang suka tantangan dan petualangan. Meskipun demikian, kegiatan berupa perkemahan (camping) dan menjelajah (hiking) tersebut bagi sebagian ikhwan yang lain mungkin sebentuk kegiatan menyengsarakan diri. Namun, kenyataannya kegiatan TA lebih banyak menyedot anggota MT daripada kegiatan lain, misalnya khataman Al Quran.

Kemudian, selang beberapa bulan kemudian anggota MT yang naik ke kelas II diamanati untuk mengurus MT. Selain proses regenerasi, pengurus yang duduk di kelas III harus memfokuskan diri pada akademis. Saat itulah dimulai suka duka pengurus baru, yakni untuk periode 2001/2002. Pengurus baru ini pilih dengan sistem tertutup. Artinya, pengurus lama yang sekarang duduk di kelas III berkewenangan memilih enam pengurus inti mulai dari ketua, wakil, sekretaris I, sekretaris II, bendahara I, dan bendahara II. Ketua, sekretaris I, dan bendahara II seluruhnya laki-laki. Sebaliknya, wakil, sekretaris II, dan bendahara II seluruhnya perempuan. Sementara itu, pengurus pada setiap bidang dimusyawarahkan sendiri oleh pengurus inti yang telah terbentuk dan disahkan.

Pemilihan pengurus dengan sistem tersebut menandai betapa tidak mudahnya mengelola organisasi ekstrakurikuler. Pemilihan pengurus inti dengan penunjukan mengesankan kesepihakan. Hasilnya, pengurus inti bisa saja menerima amanat kepengurusan dengan keterpaksaan. Selain hal itu, penunjukan itu memungkinkan pengurus yang akan mengakhiri kepengurusannya tidak betul-betul mengetahui latar belakang pengurus yang baru. Selanjutnya, karena pengurus inti atau disebut juga pengurus harian dipilih oleh anggota MT yang sebentar lagi mengakhiri kepengurusan maka turut pula memengaruhi posisi pengurus inti di mata kelas II yang nanti bersama-sama duduk dalam satu kepengurusan.

Di satu sisi, kepengurusan tersebut merupakan satu struktur. Maksudnya, baik pengurus laki-laki (ikhwan) maupun perempuan (akhwat) terstruktur dalam satu kepengurusan. Namun, di sisi yang lain, kepengurusan itu seolah terpisah antara pengurus laki-laki dan perempuan. Itu terlihat dari sejumlah kegiatan, misalnya kajian yang dilaksanakan setiap seminggu sekali. Kendatipun demikian, sebetulnya itu tidak sungguh-sungguh terpisah. Malahan, itu sebagai perwujudan keorganisasian dalam MT.

Dalam kaitan itu, dari sisi sosiologi organisasi, ada beberapa hal yang bisa dicatat. MT merupakan organisasi ekstrakurikuler berbasis keagamaan, keislaman. Meskipun berbasis keagamaan, itu bukan berarti hanya berkutat pada dimensi peribadatan semata. Ada dimensi muamalah yang juga dijalankan, misalnya MEG, yakni semacam diskusi, belajar bersama khususnya mata pelajaran eksak. Apabila MT sebagai organisasi dakwah maka langkah itu bisa dimulai dengan satu hal misalnya prestasi dalam sekolah. Entah itu diwujudkan dengan nilai dalam rapot, perilaku di sekolah, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kehidupan wiyata mandala, khususnya lingkup sekolah. Justru kedua dimensi itulah tujuan utama MT meskipun itu dijalankan oleh setiap anggota MT secara berbeda-beda.

Berkait dengan keislaman dan keorganisasian maka cakupannya akan sangat luas dan mendalam. Untuk jenjang siswa-siswi SMU, cakupan-cakupan dalam keislaman dan keorganisasian itu sendiri belum sepenuhnya disadari. Islam sebagai agama, kenyataannya oleh setiap pemeluknya dinterpretasi dengan cara yang berbeda-beda meskipun dengan pedoman yang sama. Sebutlah pedoman itu merupakan sumber Islam yang utama, yakni Al Quran dan hadis. Interpretasi tersebut misalnya berwujud dengan keberadaan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), dan lain-lain yang juga berbasis pada keislaman. Demikian juga dengan keorganisasian yang setiap periode kepengurusan memiliki sistem pengelolaan keorganisasian yang berbeda-beda.

Selanjutnya, dalam kenyataan keorganisasian, anggota-anggota MT pun tak luput dari kenyataan keseharian. Misalnya, konflik internal MT maupun eksternal yang merupakan keniscayaan, dinamika yang harus dilalui oleh sebuah organisasi. Konflik itu sendiri bisa berdasar interpretasi terhadap keislaman dan bisa juga nilai-nilai lain yang dimiliki oleh individu masing-masing. Contoh mudah yang saat itu menjadi buah bibir, yakni bagaimana pandangan MT tentang pacaran.

Hal-hal seperti itu kiranya dialami oleh pengurus aktif MT, yakni pengurus 2001/2002. Bagaimanapun juga kepengurusan itu merupakan amanat yang mau tidak mau harus dilaksanakan meskipun tidak ada jaminan materi. Memang, itu pun bisa dimaknai sebagai amal saleh, tetapi justru seringkali pengurus itu sendirilah yang berkorban waktu, tenaga, biaya, serta bentuk-bentuk immateri yang lain. Dalam hal ini, pengurus sudah pasti diamanati untuk mengkoordinasi kegiatan seperti peringatan hari besar keagamaan seperti disebutkan di atas. Lebih-lebih saat itu pada 2001 sedang berlangsung pemugaran masjid maka anggota MT-lah terutama anggota laki-laki yang turut dikerahkan membantu beberapa pekerjaan dalam pemugaran tersebut.

Telah ditulis di atas bahwa keanggotaan MT cukup banyak. Namun, bukan berarti MT dapat mengikat erat-erat anggotanya meskipun telah ada AD dan ART yang pada 2001 diamandemen. Artinya, dalam berorganisasi sekaligus solidaritas internal MT sendiri sebetulnya didesain atas kesadaran dari dalam diri sendiri. Namun, solidaritas internal tersebut juga dipengaruhi oleh citra keislaman dan keorganisasian yang melekat pada MT. Dalam kaitan ini, setiap anggota tersosialisasi oleh keislaman maupun keorganisasian yang berbeda-beda sehingga memengaruhi pula sikap terhadap MT sampai seorang anggota MT menjadi alumni.

Akhirnya, secara pribadi saya mengapresiasi yang setinggi-tingginya untuk semua anggota MT khususnya pengurus MT 2001/2002. Kiranya ungkapan itu belum terlambat untuk sekadar mengenang kembali suka dan duka selama menjadi bagian dari ekstrakurikuler bernama Majelis Taklim.

Majelis Taklim, apa kabar?

Puguh Utomo

Pengurus MT 2001/2002

Alumnus Prodi Sosiologi, Universitas Jember

Minggu, 08 Februari 2009

Membuat Skripsi yang Sosiologis (Tulisan ini masih rintisan)

Membuat Skripsi yang Sosiologis

(Tulisan ini masih rintisan)


Pendahuluan

Tulisan ini merupakan pengalaman saya selama mengerjakan skripsi dengan penelitian kancah atau lapangan dengan metode kualitatif. Penelitian yang saya lakukan pada 2007 silam itu tentang Jemaah Lil Muqorrobien: Studi tentang Warga Syathoriyah di Kelurahan Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Penelitian itu sendiri tergolong ke dalam sosiologi agama.

Ada beberapa buku yang bisa dipakai untuk memperluas wawasan. Misalnya Pedoman Karya Penulisan Karya Ilmiah (2006) yang diterbitkan oleh Universitas Jember. Judul lain, misalnya Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian (2005) oleh Hamidi; Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif (2003) oleh Nasution; Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (2001) yang disunting oleh Agus Salim; Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa oleh Clifford Geertz; Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan Menulis oleh Hernowo.


1. Pemilihan Judul

Skripsi juga merupakan produk, yakni produk ilmu pengetahuan. Layaknya produk maka dalam pembuatannya mau tidak mau perlu mengikuti standar sebuah produk. Dalam hal ini, mahasiswa dituntut agar skripsinya memiliki nilai akademis dan tentu saja nilai sosiologis. Pemilihan judul ini biasanya bisa menunjukan apakah suatu skripsi sudah memuat unsur sosiologis.

Nilai akademis itu seperti nilai berita bagi seorang wartawan. Misalnya fakta pertama, matahari akan terbit dari ufuk timur. Fakta kedua, akan terjadi gerhana matahari cincin selama beberapa menit. Seorang wartawan cenderung akan memilih fakta kedua. Hal itu karena fakta kedua itu memiliki nilai berita. Matahari yang terbit dari ufuk timur adalah hal umum dan tidak bernilai berita bagi seorang wartawan.

Terkadang pemilihan judul ini menjadi pekerjaan yang gampang-gampang susah. Agar gampang memilih judul maka perlu banyak membaca buku-buku penelitian, jurnal berstandar yang masih berkaitan dengan sosiologi, skripsi berstandar, tesis, disertasi, dan bacaan yang lainnya. Lebih-lebih bacaan yang bersumber dari internet. Informasi-informasi tersebut kemudian dipilah-pilah, dicocok-cocokkan. Kira-kira mana yang bisa dibuat menjadi judul.


2. Latar Belakang

Salah besar apabila dalam latar belakang ini seorang mahasiswa sebagai peneliti hanya merangkai-rangkai pendapat orang lain. Misalnya, satu paragraf dari buku A diletakkan di latar belakang; tiga paragraf dari suatu judul dalam jurnal di letakkan di latar belakang di halaman pertama; dua paragraf dari internet diletakkan di halaman dua; enam paragraf dari koran diletakkan di halaman tiga sehingga jadilah latar belakang sebanyak empat halaman tanpa sudut pandang dari peneliti sebagai penulis. Cara itu menurut hakikat menulis adalah salah.

Kartanegara (2005:190) pun menekankan perlu adanya penilaian subjektif dari penulis dan menyayangkan cara-cara pengutipan yang berlebihan. Lebih-lebih itu akan salah besar dan lebih keliru lagi jika tanpa mencantumkan sumber yang dikutip. Dalam karya ilmiah, umumnya kutip mengutip merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Sungguhpun demikian, pengutipan ini idealnya dilakukan secara hemat.

Sudut pandang atau konstruksi pikiran peneliti sendiri sebagai penulis merupakan hal yang sangat penting. Dalam menulis, seperti yang dikatakan oleh Hernowo (2004:48), betapa pentingnya MENULISKAN PIKIRAN yang tidak lain adalah sudut pandang dari penulis sendiri. Barangkali penulis pemula akan sangat kesulitan memenuhi tuntutan itu. Bahkan, mungkin hasil tulisannya jelek, tetapi di situlah proses sejatinya. Bagaimanapun juga itulah hakikat menulis yang umumnya juga memerlukan proses tertentu.

Hal itu berlaku pula pada bagian latar belakang dan bagian lain dalam skripsi. Dengan demikian, kemampuan menulis, yakni menulis karya ilmiah merupakan syarat mutlak dalam mengerjakan skripsi. Dan lagi, karya ilmiah memiliki gaya bahasa tersendiri. Misalnya, tulisannya bersifat formal dan obyektif (Johannes dalam Ndraha, 1987:103). Dalam hubungan ini, kemampuan membaca juga memegang peranan penting. Banyak penulis berpendapat bahwa antara menulis dan membaca ibarat dua sisi mata uang.

Pola penyusunan kerangka tulisan juga bisa mengikuti dua pola. Pertama, pola alamiah yang meliputi urutan ruang dan urutan waktu; kedua, pola logis (Finoza, 2002:179-180). Pola-pola tersebut, misalnya perjalanan Kereta Api (KA) Logawa dari Jember ke Surabaya. Berdasarkan urutan ruang maka pertama kali KA akan berangkat dari Stasiun Jember. Setelah itu ke stasiun di Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, baru ke Surabaya. Demikian pula dengan urutan waktunya, yakni KA Logawa berangkat dari Jember pukul 05.00 dan tiba di Surabaya sekitar pukul 10.00.


2.1 Rumusan Masalah

Umumnya mahasiswa, termasuk pengalaman saya, kesulitan menyatakan rumusan masalah. Kesulitannya biasanya terletak pada fokus permasalahan dan mengapa rumusan masalah itu begitu penting.


2.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejumlah dosen tidak menginginkan tujuan maupun manfaat penelitian ditulis ulang. Misalnya menulis “tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai.” Pendefinisian ulang itu mengesankan bertele-tela meskipun itu bersifat fleksibel. Oleh karena itu, sejumlah dosen menginginkan agar langsung pada intinya, yakni apa tujuan maupun manfaat penelitian, tetapi biasanya didahului dengan satu atau dua baris sebagai pembuka.


3. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka biasanya diawali dengan kerangka teori.


4. Metode Penelitian

Penelitian kualitatif ada delapan metode.


5. Hasil dan Pembahasan

Dalam bab hasil dan pembahasan ini biasanya di awali dengan gambaran lokasi penelitian. Biasanya subbab pada bagian ini meliputi gambaran lokasi penelitian, kehidupan religi, kehidupan politik, bidang pendidikan, dan lain sebagainya. Umumnya, subbab tersebut menyesuaikan dengan topik penelitian. Jadi, sifatnya fleksibel. Pada saat yang sama, peneliti juga menganalisis data.

Analisis data ini sebetulnya merupakan seni menginterpretasi data dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, diperlukan seni dalam menulis ilmiah dengan metode kualitatif. Untuk analisis data, lebih mudah bisa melihat ilustrasi berikut ini. Ditemukan buah pisang, jeruk, semangka, pepaya, apel, mangga, nenas, salak, nangka, durian, dan sirsak.

Umumnya analisis penelitian kualitatif bersifat induktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum. Apabila di tempat penelitian peneliti menemukan buah-buahan di atas maka dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok, seperti berikut ini. Buah-buahan yang berkulit halus: pisang, jeruk, semangka, pepaya, dan apel. Kemudian, buah-buahan yang berkulit kasar: nenas, salak, nangka, durian, dan sirsak.

Dalam hubungan ini, anggaplah buah-buahan yang berkulit halus sebagai rumusan masalah yang pertama dan buah-buahan yang berkulit kasar sebagai rumusan masalah yang kedua. Dalam hasil dan pembahasan buah seperti pisang, jeruk, semangka, pepaya, dan apel dijelaskan secara rinci. Misalnya, bagaimana warnanya, bentuknya, dan lain sebagainya. Demikian juga dengan buah-buahan yang berkulit kasar.

Memang, dalam penelitian yang sesungguhnya pengelompokan itu bisa sangat rumit. Hal itu mengingat dalam ilmu sosial fenomena di kancah umumnya begitu kompleks. Sekali lagi, bahwa analisis data ini memerlukan imajinasi peneliti dalam menginterpretasi data. Dengan demikian, kemampuan menulis (seperti halnya seluruh bagian dalam skripsi) mutlak diperlukan. Sebagaimana metode induktif tersebut sebetulnya juga dipakai oleh Clifford Geertz yang membuat tipologi agama di Jawa, yakni Santri, Abangan, dan Priyayi. Tipologi itu cukup sensasional dalam wacana akademis meskipun tipologi itu dinilai kabur.

Demi etika penelitian, informan dalam penelitian kualitatif biasanya disamarkan. Misalnya, nama asli seorang informan adalah Suprapto maka nama itu disamarkan menjadi Paidi. Dalam penelitian kualitatif, profil informan biasanya dijelaskan secara rinci. Misalnya, umurnya, pekerjaannya, riwayat pendidikan, dan lain sebagainya. Bahkan, nama tempat penelitian pun terkadang juga disamarkan. Seperti halnya Geertz yang menyamarkan lokasi penelitian dengan Mojokuto yang sesungguhnya bukan nama asli tempat penelitian.

Sekarang, Mojokuto tersebut adalah wilayah Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur (Radar Kediri Group Jawa Pos, 18 November 2006). Kemudian, Rahman (2005:2) juga menyamarkan nama sebuah desa tempat penelitian dilakukan dengan mengatakan “Lintang Kulon adalah nama sebuah desa yang terletak di sebuah wilayah kecamatan di Provinsi Jawa Tengah.” Etika itu juga bertujuan menjaga kerahasiaan informan maupun tempat penelitian.

Mengenai hasil dan pembahasan, sampai sekarang, saya sebetulnya masih bingung khususnya jika membaca sejumlah skripsi dalam Program Studi Sosiologi. Pertama, ada skripsi yang menuliskan kutipan langsung (KL) dan kutipan tidak langsung (KTL) di bagian hasil dan pembahasan. KL dan KTL ini misalnya bersumber dari buku lain. Kedua, ada skripsi yang murni hanya menuliskan hasil temuan dalam hasil dan pembahasan. Ketiga, ada yang menilai itu semua bersifat fleksibel. Boleh menulis KL maupun KTL, tetapi boleh juga tidak menuliskannya.

Saya cenderung pada yang kedua, tetapi dengan catatan. Hasil dan pembahasan merupakan murni temuan penelitian. Khususnya penelitian lapangan. Alasannya, itu untuk menjaga keasilan hasil penelitian dalam bab hasil dan pembahasan. Lagi pula, bukankah KL atau KTL itu seperti teori dan teori ini sudah ditulis pada tinjauan pustaka.

Catatannya, KL dan KTL ini adalah tuturan, ucapan, kata dari informan. Intinya berbeda dengan bab tinjauan pustaka. Jadi, segala hal yang ditemukan saat meneliti diolah dan ditulis dalam bab hasil dan pembahasan. Dengan kata lain, penulisan di bab hasil dan pembahasan ini seperti yang wartawan koran lakukan dalam menulis berita.


6. Kesimpulan dan Implikasi Teoretis

Kesimpulan ini berisi pernyataan secara padat yang menjawab rumusan masalah.


Daftar Pustaka

Hernowo. 2004. Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan Menulis.

Bandung: Mizan Learning Center.


Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Seni Mengukir Kata: Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif.

Bandung: Mizan Learning Center.


Ndraha, Taliziduhu. 1987. Disain Riset dan Teknik Penyusunan Karya Ilmiah.

Jakarta: PT Bina Aksara.


Rahman, Bustami. 2005. Menggugat Dikotomi Santri-Abangan. Jember:

Kompyawiswa Jatim.




Jemaah Lil Muqorrobien: Warga Syathoriyah di Kelurahan Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk

RINGKASAN

Gerakan Tarekat dalam Agama Islam di Tanjunganom: Studi terhadap Tipologi Jemaah Lil Muqorrobien di Kelurahan Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur; Puguh Utomo; 030910302003; 2008, 103 halaman; Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember.

Penelitian ini bermula dari isu akademis berupa kebangkitan agama. Salah satu pendekatan ilmiah yang mengkaji agama, yakni sosiologi. Agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Islam yang ada di Kelurahan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, yang efektifnya dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2007. Di tempat itulah berkembang Tarekat Syathoriyah. Tarekat Syathoriyah tepatnya berada di sebuah pondok bernama Pondok Modern Sumber Daya At Takwa (POMOSDA). POMOSDA juga dikenal sebagai Pondok Sufi. Perlu diketahui bahwa Syathoriyah yang ada di Kelurahan Tanjunganom oleh pengikutnya disebut sebagai ilmu, sedangkan himpunan orang-orang pengamal ilmu Syathoriyah disebut dengan Jemaah Lil Muqorrobien.

Ada dua rumusan masalah dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana karakteristik Jemaah Lil Muqorrobien di Kelurahan Tanjunganom. Kedua, bagaimana tipologi Jemaah Lil Muqorrobien di Kelurahan Tanjunganom. Seperti dikemukakan oleh Glock dan Stark (1965 dalam Rakhmat 2004:111) karakteristik tersebut dilihat dari tiga dimensi, yakni dimensi eksperiensial, dimensi ritus, dan dimensi konsekuensial atau dimensial sosial. Kemudian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik Jemaah Lil Muqorrobien sekaligus untuk mengidentifikasi dalam gerakan keagamaan Jemaah Lil Muqorrobien tergolong tipologi yang mana.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan memakai paradigma konstruktivisme. Paradigma tersebut mengimplikasikan bahwa hasil penelitian merupakan hasil interaksi antara peneliti dengan informan. Kemudian, strategi dalam penelitian ini menggunakan fenomenologi yang memandang objek penelitian sebagai “gejala yang murni”. Informan dalam penelitian ini ada sembilan orang. Jumlah informan ditetapkan dengan menggunakan teknik snawball-ball, yakni pengumpulan data melalui wawancara-mendalam dari satu informan ke informan lainnya sampai dianggap tidak ditemukan lagi data atau informasi baru. Pengumpulan data juga dilakukan dengan pengamatan terlibat, yakni mengamati dan melibatkan diri dalam kegiatan Jemaah Lil Muqorrobien, baik yang dilakukan di pusat maupun di cabang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Jemaah Lil Muqorrobien dalam dimensi eksperiensial memiliki karakteristik tersendiri, misalnya diwujudkan dengan keyakinan pada seorang guru washitah. Sementara itu, pada dimensi ritus dalam Jemaah Lil Muqorrobien, yang membedakan dengan umat Islam pada umumnya, antara lain, pemakaian doa qunut dalam setiap sholat lima waktu. Selain hal itu, setiap Jemaah Lil Muqorrobien juga melaksanakan puji wali kutub yang dilaksanakan secara rutin setiap Jumat Legi dan Ahad Pahing di pusatnya, yakni di Kelurahan Tanjunganom. Pada dimensi konsekuensial, penelitian ini juga menunjukkan bahwa gerakan dalam Jemaah Lil Muqorrobien tergolong tipologi reformis-modernis.

Paguyuban Mitreka Satata


Paguyuban Mitreka Satata

Oleh: Puguh Utomo

Saat itu saya di bangku sekolah menengah atas (SMA) negeri 2 Nganjuk kelas III. Suatu hari SMA didatangi oleh sejumlah mahasiswa dari Universitas Jember (Unej). Mereka hendak briefing tentang dunia kampus. III IPS 3, kelas merupakan satu di antara kelas yang dimasuki. Rata-rata setiap kelas dimasuki oleh satu sampai dua orang mahasiswa. Dengan memakai jas almamater, mereka menerangkan perihal kehidupan kampus layaknya seorang guru.

Dalam satu penjelasannya, seseorang yang masuk di kelas III IPS 3 mengatakan tentang keberadaan paguyuban, yakni semacam perkumpulan mahasiswa dalam satu wilayah. Paguyuban itu biasanya ada di setiap kota tempat perguruan tinggi (PT). Selain hal itu, setiap paguyuban itu memiliki nama masing-masing. Misalnya, di Surabaya mahasiswa asal Nganjuk membentuk diri dalam paguyuban bernama Warga Bayu. Di Bandung bernama Warayang.

Sementara itu, di Jember bernama Mitreka Satata. Konon, briefing tersebut mampu memengaruhi minat siswa untuk memutuskan berkuliah ke Unej. Pada 2003 tercatat ada 16 alumnus SMAN 2 Nganjuk yang memutuskan berkuliah di Unej. Penulis merupakan satu di antara ke 16 tersebut. Kabarnya, jumlah itu merupakan tertinggi dalam sejarah SMAN 2 Nganjuk yang alumninya berkuliah di Unej. Kegiatan briefing itu pun dikoordinasi oleh paguyuban bernama Mitreka Satata.

Mitreka, mitre berarti mitra, rekan, atau teman. Satata, berasal dari bahasa sanskerta, artinya sederajat atau setara. Dengan demikian, Mitreka Satata berarti teman yang setara. Kelahiran Mitreka Satata sendiri diilhami oleh sebuah peristiwa. Saat itu ada mahasiswa asal Nganjuk yang mengalami kecelakaan. Saat itu pihak keluarga yang dari Nganjuk tidak dapat langsung mengurusi si mahasiswa yang mengalami kecelakaan. Kemudian, mengetahui hal itu akhirnya sejumlah mahasiswa asal Nganjuk waktu itu tergerak membantu si mahasiswa asal Nganjuk tersebut. Selanjutnya, sejumlah mahasiswa itu akhirnya berinisiatif membentuk paguyuban bernama Mitreka Satata. Kira-kira itulah sejarah Mitreka Satata yang saat itu diceritakan oleh salah seorang sesepuh Mitreka Satata, yang telah menjadi seorang dosen, saat acara buka puasa bersama, 8 Oktober 2005. Waktu itu, buka puasa bersama di adakan di sebuah rumah, persisnya kantor cabang suatu partai.

Mitreka Satata sendiri memiliki karakteristik layaknya sebuah paguyuban. Keanggotaannya sangat fleksibel sehingga tidak mengikat. Bahkan, lebih bersifat kekeluargaan. Hampir dapat dipastikan bahwa mitreka (untuk menyebut individu dalam Mitreka Satata) berstatus sebagai mahasiswa, khususnya yang berasal dari Kabupaten Nganjuk. Sederhananya, siapapun yang tinggal di Jember dan masih memiliki latar belakang Nganjuk maka dengan sendirinya menjadi bagian dari Mitreka Satata. Seperti disebutkan di atas, latar belakang itulah yang sebetulnya didasari oleh rasa persaudaraan, mendorong terbentuknya paguyuban. Waktu itu, sekretariatnya terletak di kawasan kampus di Jl. Kalimantan. Awalnya, sekretariat berupa bangunan yang memiliki tiga kamar itu merupakan sebuah rumah yang dikontrak oleh lima orang mahasiswa asal Nganjuk. Penghuni kontrakan itu sekaligus koordinator Mitreka Satata saat itu.

Kemudian, setelah masa kontrakan di Jl. Kalimantan habis para penghuninya berpindah ke Jl. Brantas. Mereka tetap menempati rumah kontrakan. Seiring dengan itu, rupanya sekretariat Mitreka Satata juga berpindah ke kawasan Jl. Brantas. Acara buka puasa bersama pada 2008 pun dilaksanakan di rumah kontrakan di Jl. Brantas.

Ada sejumlah kegiatan yang dilaksanakan oleh Mitreka Satata. Di antaranya, kegiatan briefing ke sejumlah sekolah di Nganjuk, seperti di atas. Selain hal itu, juga penyambutan mahasiswa baru asal Nganjuk. Itu dilakukan menjelang tahun ajaran baru, sekitar bulan Juli. Kendatipun tidak dapat menjaring seluruh mahasiswa baru asal Nganjuk, tetapi kegiatan itu merupakan wujud kepedulian seperti antara tuan rumah dan tamu. Kegiatan lainya, yakni acara buka puasa bersama. Ini biasanya juga rutin dilaksanakan sekali setahun di bulan Ramadhan. Acara buka puasa pada 8 Oktober 2005 itu sendiri dihadiri oleh sekitar 40 orang.

Adapun kegiatan lainnya, yakni les Bahasa Inggris yang diikuti oleh kurang dari sepuluh orang. Pertemuan dalam les ini, yakni sekali dalam seminggu. Saat itu, ada seorang pengajar dari sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris yang bersedia mengajar. Namun, kegiatan yang ditempatkan di sekretariat Mitreka Satata tersebut hanya berlangsung kurang dari dua bulan.

Kemudian, Mitreka Satata juga pernah mengadakan wisata ke pantai Pasir Putih Malikan (Papuma), kawasan wisata terkenal di Jember selatan. Akan tetapi, itu pun hanya diikuti oleh sebagian orang saja. Di samping itu, sebetulnya ada sejumlah kegiatan yang coba dilaksanakan oleh Mitreka Satata. Akan tetapi, dengan segala keterbatasan akhirnya hanya kegiatan-kegiatan tertentu saja, seperti buka puasa bersama, dapat dijalankan. Bahkan, pernah juga sekitar tahun 2004 Mitreka Satata menyelenggarakan halal bil halal di rumah salah seorang mitreka di Nganjuk.

Ada sejumlah manfaat yang dapat dipetik dari Mitreka Satata. Misalnya, saat ada pertemuan maka itu dimungkinkan antarmitreka bisa saling kenal dan ini merupakan sarana bagi interaksi sosial selanjutnya. Bahkan, jalinan keakraban itu memungkinkan mitreka seperti “di rumah sendiri”. Dari segi sosiolinguistik itu ditandai misalnya kesamaan logat. Itu mengingat jarak kampung halaman mitreka beratus-ratus kilometer. Di samping itu, dengan beragamnya mitreka yang dari berbagai jurusan dan program studi memungkinkan pula saling tukar pengalaman. Kemudian, mengingat mitreka merupakan perantau sehingga di antara mitreka dapat saling membantu satu sama lain. Dalam kaitan itu, satu dua kisah menceritakan bahwa jodoh pun ditemukan dalam Mitreka Satata.

Sungguhpun demikian, itu semua berpulang pada sikap setiap mitreka terhadap Mitreka Satata. Lagi pula setiap mitreka memiliki pilihan masing-masing. Sikap itu misalnya terwujud dari kegiatan-kegiatan yang memungkinkan dijalankan dan bermanfaat bagi mitreka. Hal itu mengingat setiap mitreka juga memiliki aktifitas sendiri baik berkait dengan kuliah maupun aktifitas dalam organisasi lain. Dalam hubungan ini, interaksi sosial mitreka di Jember pun amatlah luas. Setiap mitreka memiliki keinginan untuk membaur dalam lingkup sosial yang lebih luas. Itu terlihat misalnya tempat tinggal mitreka, yakni indekos yang tidak terpusat pada satu tempat tertentu. Kenyataannya, indekos para mitreka cenderung memencar.

Selain itu, perkembangan teknologi dan informasi, misalnya telepon seluler (ponsel), pun memengaruhi sikap seseorang dalam berinteraksi sosial. Memang, asumsi ini masih cukup lemah, tetapi bisa jadi ini pun memengaruhi keberadaan paguyuban Mitreka Satata. Tentu saja bukan menyalahkan perkembangan teknologi dan informasi, tetapi ponsel misalnya, seolah memperpendek jarak dan waktu dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, dengan perkembangan teknologi dan informasi tersebut cara berkomunikasi pada sepuluh atau dua puluh tahun silam tentu ada perbedaan dengan masa sekarang.

Mitreka Satata, apa kabar?

Puguh Utomo

(Orang Nganjuk)

Mahasiswa Program Studi Sosiologi

Universitas Jember

Kamis, 05 Februari 2009

Naik Kereta Api Nganjuk - Jember (Tahun 2003 - 2008)

-->
Naik Kereta Api Nganjuk - Jember (Tahun 2003 - 2008)

Kata “sepurberasal dari bahasa Belanda, spoor. Karena alasan tertentu dalam pengindonesiaan kata, akhirnya spoor diindonesiakan menjadi sepur. Dalam sejarahnya, kata sepur itu berkait dengan penjajahan Belanda terhadap Indonesia silam. Hal itu mengingat transportasi darat tersebut mulai dikenalkan di Indonesia sejak tahun 1864 oleh Belanda. Dalam kaitan itu, saya menjumpai rel untuk lori (gerobak yang berjalan di atas rel) di Desa Ngumpul. Desa Ngumpul terletak di sebelah barat daya dari kampung halaman saya dan berjarak kurang dari lima kilomoter. Baik kampung halaman saya maupun Desa Ngumpul masih berada dalam satu kecamatan, yakni Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Menurut orang-orang setempat, rel atau mereka menyebutnya lori itu merupakan peninggalan Belanda. Jadi, pembangunan sepur tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan Belanda. Rel untuk lori tersebut ukuran relnya lebih kecil daripada rel sepur untuk penumpang. Namun, lori yang terletak di tengah-tengah perkebunan kayu putih yang daunnya sebagai bahan baku minyak kayu putih itu sudah tidak dipakai lagi. Akan tetapi, relnya masih tetap menancap sampai sekarang. Hal itu berbeda dengan lori yang ada di sebuah wilayah di Kabupaten Lumajang seperti yang pernah saya jumpai. Di wilayah tersebut lori masih dipakai untuk mengangkut batang tanaman tebu.
Selain sepur, juga dikenal nama kereta api (KA). Media massa seperti televisi, koran, dan radio cenderung memakai kata KA. Misalnya, dalam pemberitaan arus mudik lebaran maupun kecelakaan yang menimpa transportasi massal tersebut. Namun, di wilayah Kecamatan Bagor ada sebuah perlintasan KA yang pada tiang rambunya masih tertulis sepur dan spoor. Perlintasan KA yang tak berpalang pintu dan pernah meminta nyawa tersebut berjarak sekitar lima kilometer dari kampung halaman saya. Dengan kata lain, baik spoor, sepur maupun kereta api sama saja. Hanya saja kata sepur lebih akrab di telinga orang-orang di kampung halaman saya yang notabene pedusunan.
Dulu, antara tahun 1991 sampai dengan tahun 1997, saat masih duduk di sekolah dasar (SD) saya biasanya dapat melihat sepur dari jarak sekitar empat kilometer. Dari jarak itu, KA terlihat kecil seperti ulat. Namun, dari jarak itu suaranya masih terdengar cukup jelas. Jangkauan penglihatan itu sangat memungkinkan sebab saya melihatnya dari gubuk, di hamparan sawah yang ditanami padi sehingga tidak menghalangi penglihatan. Biasanya KA melintas di pagi hari. Saat itu, saya berpikir kira-kira kapan saya bisa melakukan perjalanan dengan KA.
Kemudian, antara tahun 2003 sampai awal tahun 2008, angan-angan saya terkabul, sampai-sampai sudah tidak bisa menghitung secara pasti sudah berapa kali naik sepur dalam perjalanan Nganjuk-Jember. Perjalanan itu demi kepentingan studi akademis ke Universitas Jember. Kalau diperkirakan dalam setahun rata-rata saya mudik sebanyak tiga kali. Sementara sekarang saya sudah hampir enam tahun berada di Jember. Oleh karena itu, kira-kira saya sudah enam belas kali (pulang pergi) naik KA dalam perjalanan Nganjuk-Jember. KA yang saya naiki, yakni KA kelas ekonomi, yakni KA Sri Tanjung dan KA Logawa. Akan tetapi, KA Logawa merupakan yang sering saya naiki meskipun harga tiket Logawa Rp 23.000,00 lebih mahal Rp 2.000,00 daripada KA yang diambilkan dari nama seorang ratu pada kerajaan Blambangan dalam sejarah Kabupaten Banyuwangi tersebut.
Meskipun KA kelas ekonomi, tetapi saya merasakan ada beberapa kelebihan menggunakan jasa transportasi massal ini. Pertama, KA tidak membuat saya mabuk darat selama perjalanan Nganjuk-Jember yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu. Berbeda dengan itu, saya biasanya pusing dan mual-mual yang merupakan gejala mabuk darat jika naik bus meskipun bus ber-AC. Di samping itu, tarif sepur untuk perjalanan Nganjuk-Jember lebih murah sekitar 50% daripada tarif bus. Bus Nganjuk-Jember ongkosnya bisa sampai Rp 50.000,00. Kemudian, meskipun ini relatif, tetapi ada anggapan bahwa naik KA lebih aman dibandingkan dengan transportasi massal yang lain.
Di samping itu, ada sejumlah ketidaknyamanan jika naik KA, khususnya kelas ekonomi. Pertama, jadwal keberangkatan KA lebih mengikat. Dan lagi, kerapkali di stasiun Nganjuk, jadwal kedatangan maupun keberangkatannya tidak sesuai dengan jadwal di papan jadwal. Misalnya, jadwal kedatangan KA Logawa untuk tujuan Jember di Stasiun Nganjuk pukul 13.45, tetapi KA Logawa bisa datang pukul 14.45. Itu pula yang membuat perjalanan dengan KA relatif lebih lama dibandingkan dengan bus. Biarpun demikian, itu rupanya dianggap hal yang wajar. Umumnya, penumpang, seperti halnya saya lebih memikirkan perjalanan tersebut bisa selamat sampai tujuan. Namun, itu berbeda dengan keberangkatan Logawa yang dari Stasiun Jember, yakni pukul 05.00 tepat. Itu pun dikarenakan Logawa telah berada di Stasiun Jember.
Kedua, untuk KA kelas ekonomi seperti Logawa terkadang ada bau anyir terlebih dari setiap kamar kecil yang terletak di setiap sambungan gerbong. Ketiga, suara KA cukup bising bagi indera pendengar. Cat di dalam KA yang kurang terang pun membuat suasana di dalam KA tampak kusam. Bahkan, celah-celah sempit pada dinding kereta bagian dalam dihuni oleh kecoa yang biasanya keluar saat malam hari. Kemudian, pada masa-masa tertentu seperti lebaran, maka selalu sesak penumpang. Suatu ketika, pada masa itu saya pernah berdiri berjam-jam di sambungan KA, sampai Stasiun Wonokromo, Surabaya. Memang, dalam KA kelas ekonomi itu penumpang tidak bisa berharap banyak mendapatkan layanan yang istimewa.
Dalam pada itu, ada pengalaman-pengalaman tersendiri setelah berkali-kali naik KA. Selama naik KA yang melewati satu stasiun ke stasiun selanjutnya, membuat saya berpikir-pikir tentang stasiun. Keadaan setiap stasiun di setiap kabupaten atau kota seakan jendela untuk melihat keadaan kabupaten tempat stasiun itu berada. Keadaan itu terlihat misalnya dari jumlah jalur kereta, jumlah kios dalam stasiun, maupun arsitektur stasiun. Misalnya, keadaan Stasiun Nganjuk seolah-olah menunjukkan bagaimana keadaan kebupaten yang digolongkan ke dalam wilayah mataraman tersebut. Demikian juga dengan keadaan Stasiun Gubeng di Kota Surabaya seakan menampakan bagaimana keadaan Kota Pahlawan tersebut.
Adapun kelas ekonomi, kelas bisnis, dan kelas eksekutif dalam KA pun mencerminkan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Memang, pihak perseroan terbatas kereta api (PT KA) pun akan berpikir ekonomis sehingga ada kelas-kelas dalam KA meskipun masih ada ketidakjelasan antara perkeretaapian merupakan pelayanan publik atau murni bisnis. KA kelas ekonomi, misalnya harga tiketnya lebih murah dibandingkan dengan kelas bisnis, apalagi kelas eksekutif. Dengan harga tiket itu, KA kelas ekonomi, misalnya tidak menyediakan tirai untuk jendela KA seperti pada KA kelas bisnis maupun eksekutif. Kendatipun demikian, petugas stasiun yang biasanya memberitahu kedatangan maupun keberangkatan KA tidak membedakan KA kelas ekonomi, bisnis maupun eksekutif. Petugas stasiun dengan alat pengeras selalu mengatakan semua kelas KA sebagai KA ekspres.
Demikian juga pengalaman saya dengan sejumlah penumpang KA. Biasanya dalam perjalanan sekitar sepertiga hari itu saya berbincang-bincang dengan penumpang dari berbagai latar belakang. Misalnya, latar belakang mahasiswa, guru sekolah dasar (SD), pegawai toko buku, dan pelajar. Perbincangan itu biasanya dimulai dengan pertanyaan akan turun ke mana. Akan tetapi, seperti yang saya rasakan, dalam transportasi umum seperti KA, tidak semua penumpang terbuka terhadap suatu perbincangan. Akan tetapi, mereka yang lebih terbuka terhadap perbincangan biasanya menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya.
Di samping itu, KA pula yang menunjukan kepada saya, betapa tak sedapnya bau lumpur Lapindo yang menyembur sejak tahun 2005 di wilayah Sidoarjo. Saya menjadi salah satu saksi mata di antara jutaan saksi mata lainnya tentang keberadaan lumpur yang menenggelamkan puluhan desa tersebut. Saat KA melintas di kawasan semburan lumpur, tampak di sisi KA ketinggian tanggulnya mengalahkan tinggi atap KA. Saat terakhir saya melintasinya, tanggul penahan lumpur itu telah ditumbuhi rerumputan.
Sementara itu, KA kelas ekonomi seperti Logawa itu merupakan satu gambaran telaga kehidupan. Maklum, di sana pun terjadi perputaran modal. Di sana ada pedagang makanan, minuman, buah, alat dapur, buku, koran, tabloid, dan lain sebagainya. Ada pula pedagang peci, alat tulis, mainan anak-anak, sampai pedagang pulsa telepon seluler. Ada cleaning service, jasa persewaan bantal, sampai jasa pengharum ruangan untuk KA. Ada pengamen dan ada peminta-minta. Bahkan, terkadang ada bandit.
Puguh Utomo
Mahasiswa Program Studi Sosiologi
Universitas Jember