Senin, 29 Juni 2009

Masyarakat Wates Menyambut Panen

Masyarakat Wates Menyambut Panen

Sejak pertengahan Juni 2009 ini hampir tiap hari terdengar deru mesin perontok padi-keliling. Orang-orang di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Nganjuk mengenal alat itu dengan dos. Sesekali waktu gemuruh mesin perontok padi berbahan bakar solar yang biasanya dioperasikan oleh tiga orang itu juga terdengar di malam hari. Sekitar 20 tahun silam mesin beroda tiga dan dapat digerakkan seperti mobil itu belum dikenal. Selain itu, kadang-kadang juga terdengar suara mesin selep atau mesin penggiling padi-keliling yang beroperasi hampir setiap hari tanpa mengenal musim panen. Dulu, mesin selep ini permanen sehingga orang yang ingin gabahnya digiling menjadi beras maka perlu mengangkut gabahnya ke tempat penggilingan padi.

Pada saat yang sama, kesibukan orang-orang dewasa baik perempuan maupun laki-laki pun bertambah di dusun yang mayoritas warganya berprofesi sebagai petani ini. Sekarang, masyarakat berpaham keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan kini dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 200 ini menyambut panen padi. Dengan umur padi yang rata-rata 100 hari atau tiga bulan lebih, panen kali ini disebut dengan juki atau panen kedua.

Panen pertama, yakni rendeng yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi sebab bertepatan dengan musim hujan. Panen ketiga disebut dengan gadu, bersamaan dengan musim kemarau. Hasil panen di masa juki ini umumnya lebih rendah dibandingkan dengan rendeng maupun gadu. Pada masa juki pula biasanya cuaca tidak menentu dan ini berpengaruh terhadap perkembangan tanaman padi. Sementara itu, hasil penan terbanyak diperoleh saat panen gadu. Namun, panen gadu ini memerlukan biaya pemeliharaan padi yang tidak sedikit jika dibandingkan dengan masa panen lainnya.

Saat masa panen seperti sekarang, di beberapa halaman rumah warga yang telah memakai jasa perontok padi itu maka terlihat tumpukan jerami. Misalnya, tumpukan jerami terlihat di halaman rumah Pak Towo (45 tahun). Jika pemilik jerami memiliki sapi maka jerami itu disimpan di kandang untuk pakan. Jerami pun sekarang menjadi barang yang komersial. Jerami kering dalam satu bak penuh pick up bisa berharga Rp 200.000,00. Itu terkait dengan banyaknya warga yang sekarang memelihara sapi.

Kira-kira lebih dari 50 % kepala keluarga di dusun yang dikelilingi oleh pohon ini memiliki sapi yang umumnya dipelihara di belakang rumah dengan dibuatkan kandang. Bahkan, untuk pakan sapi berupa rumput, beberapa orang sampai mencarinya di dalam hutan. Rumput umumnya juga dicari di pematang sawah. Sapi sebagai binatang ternak juga sebagai aset ekonomi, selain kepemilikan sawah. Sebagai aset ekonomi, beberapa warga menjual anak sapi yang berusia kira lima bulan untuk membeli, misalnya sepeda motor.

Sementara itu, pada masa panen seperti ini di tempat-tempat tertentu di halaman rumah warga terlihat sejumlah orang laki-laki dewasa berkumpul membicarakan sesuatu. Umumnya mereka berembuk masalah pekerjaan memanen gabah. Misalnya, mereka membicarakan tentang rencana kerja esok hari untuk memanen gabah di sawah milik orang lain. Di samping itu, pertemuan itu sekaligus membagi-bagi upah hasil kerja memanen gabah yang telah mereka kerjakan. Rembukan itu berakhir begitu waktu menunjukkan kira-kira jam 20.30.

Sebagai salah satu potret masyarakat Dusun Wates dalam menyambut panen, hari ini, Sabtu, 20 Juni 2009 sawah milik Pak Wito yang juga warga Dusun Wates (60 tahun, bukan nama sebenarnya) juga panen. Hari itu, ada hal yang berbeda sebelum memotong padi, terutama jika dibandingkan dengan masa-masa panen 10 tahun silam. Biasanya sebelum padi dipotong, dilakukan acara bancakan dengan cara Jawa. Bancakan yang biasanya berisi panggang ayam, nasi, dan lauk pauk seperti gorangan tahu, mie dan sayuran itu dipimpin oleh seorang yang disebut sebagai tukang tanduk yang merangkap sebagai sesepuh dusun. Selain bertugas sebagai pemimpin upacara bancakan seorang sesepuh dusun biasanya juga dimintai petunjuk mencarikan hari dengan hitung-hitungan Jawa. Misalnya, hari untuk pernikahan. Kemudian, lafal dalam upacara yang disebut wiwit itu juga menggunakan bahasa Jawa. Selanjutnya, makanan itu lalu dimakan oleh pekerja yang akan memanen padi.

Hari itu upacara bancakan sudah tidak terlihat lagi. Hari itu makanan itu langsung dimakan oleh 15 pekerja yang hari itu memanen. Di samping itu, pemimpin upacara wiwit itu pun sudah tua dan tidak sanggup lagi untuk memimpin upacara wiwit. Generasi penggantinya pun sudah tidak ada. Panen-panen sebelumnya, biasanya upacara wiwit itu cukup dipimpin oleh salah satu pekerja santri dengan doa berbahasa Arab. Di Dusun Wates, sekarang wiwit itu tidak ada keharusan seperti upacara wiwit tahun-tahun yang lalu.

Selama kurun waktu enam tahun terakhir di dusun ini secara pelan-pelan banyak orang masuk sebagai santri, memeluk agama Islam dengan corak keagamaan khas pedesaan. Itu ditunjukkan misalnya, peningkatan jumlah orang sholat jumatan, sholat lima waktu, kegiatan yasinan, dan puasa Ramadhan. Kegiatan wisata rohani, yakni ziarah ke makam wali tertentu maupun wali songo maupun ziarah makam ke syekh tertentu belakangan ini juga agak rutin dilaksanakan setiap tahun. Lewat ziarah tersebut orang biasanya berpengharapan akan rezeki, keberhasilan-keberhasilan hidup seperti kelancaran usaha, hasil panen yang melimpah, dan lain sebagainya.

Peningkatan itu pun dipengaruhi oleh dinamika kelompok sifat paguyuban masyarakat di dusun ini. Dalam hal ini, justru peningkatan aktifitas keagamaan itu dipicu oleh khususnya konflik di antara tokoh, terutama tokoh keagamaan. Semenjak munculnya konflik terselubung di antara tokoh masyarakat yang berakar dari harga diri tersebut, Dusun Wates memiliki dua masjid. Sebelumnya, Dusun Wates hanya memiliki satu buah langgar yang juga digunakan sebagai sholat jumatan. Jadi, kini Dusun Wates memiliki tiga tempat ibadah.

Di antara masyarakat Jawa yang memegang teguh keharmonian, terkadang muncul bibit-bibit konflik sifatnya terselubung dan tak terhindarkan. Selain itu, pandangan sebagian anggota masyarakat Dusun Wates bahwa perlunya manut jaman (ikut zamannya) pun turut memengaruhi dinamika kelompok yang bersifat paguyuban ini terkait dengan aktifitas keagamaan.

Ada tiga petak sawah yang hari ini akan dipanen. Setiap petak rata-rata seluas 150 m2 (papan 150, begitu biasanya warga menyebutnya) dan terpisah dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Satu di antara tiga petak sawah itu adalah milik kedua orang tua Pak Wito. Karena sudah sangat tua dan tidak sanggup menggarap sawah maka kedua orang Pak Wito menggilir dua petak sawahnya kepada lima orang anaknya yang semuanya telah berkeluarga, termasuk Pak Wito.

Namun, sawah giliran yang digarap oleh Pak Wito itu sebetulnya tidaklah gratis. Setiap panen, Pak Wito memberikan 1/3 dari total hasil panen pada orang tuanya. Sawah giliran itu sendiri oleh Pak Wito digarap selama setahun atau tiga kali masa penen. Selanjutnya, tiba giliran saudara Pak Wito berikutnya.

Sekarang, sawah bernilai ekonomi tinggi. Dua puluh tahun yang lalu, katakanlah sebidang sawah bernilai Rp 20.000.000,- maka sekarang bisa bernilai sampai Rp 50.000.000,-. Oleh karena itu, sekarang jarang orang menjual sawah secara permanen. Beberapa orang hanya menjual sawah selama kurun waktu tertentu dengan sistem sewa. Beberapa di antaranya ada yang menjualnya dengan sistem gadai.

Seiring bertambahnya jumlah kepala keluarga maka papan untuk perumahan pun kian sempit. Beberapa lahan yang dulu berupa halaman rumah, kini telah dijadikan sebagai papan untuk perumahan. Sementara untuk keluarga yang secara ekonomi mampu, mulai menyiasati dengan rumah tingkat. Lahan yang semula persawahan pun kini mulai dijadikan papan untuk perumahan. Tercatat ada tiga rumah yang dibangun di atas lahan yang awalnya berupa sawah. Itu pun mengindikasikan perluasan wilayah dusun.

Memang, dibandingkan dengan 50 tahun silam, sekarang jumlah kepemilikan anak sudah menurun. Saat itu jumlah anak bisa mencapai enam orang. Kini, rata-rata setiap kepala keluarga memiliki dua anak. Namun, di dusun ini angka kelahiran tergolong tinggi, sedangkan angka kematian termasuk rendah. Itu terkait pula dengan usia pernikahan yang relatif muda. Rata-rata orang menikah di usia 20 tahun.

Sementara itu, untuk memanen sawahnya itu Pak Wito mempekerjakan 15 orang warga setempat yang semuanya laki-laki dewasa. Pengerjaannya sendiri dengan sistem borongan, bukan sistem harian. Dengan sistem itu Pak Wito mengupah 15 pekerja itu sebesar Rp 500.000,-. Panen sebelumnya, yakni tiga bulan yang lalu, upahnya masih Rp 450.000,-. Hari itu selain memanen padi milik Pak Wito, 15 orang itu juga memanen padi di seorang pemilik sawah yang lain dan diupahi Rp 400.000,-. Jadi, hari itu 15 orang itu mendapatkan upah Rp 900.000,-. Jika dibagi maka satu orang pekerja yang mulai bekerja sejak pagi sampai sore, mendapatkan upah kotor Rp 60.000,-. Biasanya hanya masa-masa panen seperti inilah pekerja-pekerja itu bisa mendapatkan upah seperti itu.

Dengan jumlah pekerja itu kira-kira padi dapat selesai dipotong dalam waktu lima jam. Setelah itu, padi itu diangkut dengan pick up yang disopiri oleh orang lain ke rumah keponakan Pak Wito. Di rumah keponakannya itu, padi milik Pak Wito itu akan di rontokkan dengan dos. Ongkos dos itu sendiri akan dibayarkan oleh keponakan Pak Wito, sedangkan jerami hasil dos itu menjadi milik keponakannya yang juga memelihara sapi. Pak Wito sendiri tidak memiliki sapi. Ongkos untuk dos itu sendiri Rp 135.000,-. Kemudian, dari hasil dos itu Pak Wito mendapatkan 55 sak atau karung dan setiap gabah dalam satu karung yang agak besar rata-rata berbobot 45 kg.

Petani lainnya, Pak Pardi (45 tahun) hari itu juga memanen gabahnya. Lain halnya dengan Pak Wito, Pak Pardi tidak menggunakan jasa dos. Sawah milik Pak Pardi oleh pekerjanya dipanen dengan cara alat perontok tradisional yang dalam bahasa setempat disebut dengan erek. Alat itu berkerangka kayu berbentuk persegi setinggi pundak orang dewasa itu ditutupi dengan sak. Di dalamnya terdapat roda berbentuk tabung dan bergerigi paku besar untuk merontokkan padi. Dulu roda bergerigi yang disambungkan dengan gerigi sepeda yang diikatkan dengan karet tali itu digerakkan oleh tenaga manusia dengan cara menginjak batang batang bambu.

Sekarang, mesin diesel kecil seharga Rp 800.000,- telah menggantikan tenaga manusia. Mesin itulah yang menggerakan roda bergerigi paku sebagai perontok padi. Dengan alat itu, gabah milik Pak Pardi langsung dimasukkan ke dalam karung. Selanjutnya diangkut dengan gerobak yang dijalankan dengan mesin traktor. Alat-alat itu menandai mekanisasi pertanian di dusun tersebut.

Kemudian, kini, umumnya harga gabah di tingkat petani jika dibeli oleh padagang Dusun Wates sendiri, yakni Rp 2.400,-. Jika dibeli oleh pedagang dari luar maka bisa sampai dengan Rp 2.500,-. Lazimnya pedagang dari luar tidak membeli langsung gabah dari petani sehingga tidak mematikan pedagang setempat. Pedagang luar umumnya hanya membeli dari tangan pedagang setempat. Akan tetapi, terkadang ada juga pedagang yang langsung membeli dari tangan petani. Mekanisme pasar pun berjalan, yakni petani menjual gabahnya ke pedagang luar dengan harga yang lebih tinggi.

Sebagian petani umumnya langsung menjual gabahnya karena segera membutuhkan uang. Namun, sebagian yang lain biasanya menyimpan gabahnya sampai harganya lebih tinggi. Jika harga sedang baik, kira-kira satu bulan berikutnya setelah panen harga gabah bisa mencapai Rp 3.000,-.

Pada masa panen seperti ini kesibukan Pak Wito dan istrinya (54 tahun) sebagai pedagang gabah juga meningkat. Selain sebagai petani, sudah 15 tahun terakhir Pak Wito yang lulusan Sekolah Dasar (SD) membeli gabah dari tangan petani lalu di jual kembali. Di dusun Wates ini Pak Wito merupakan satu di antara kira-kira sepuluh orang yang juga sebagai pedagang gabah. Sebagai pedagang, oleh Pak Wito terkadang gabah itu dijemur dan ditimbun untuk sementara waktu, menunggu harga gabah membaik, untuk diambil keuntungan dari harga pembelian semula. Sebagai pedagang pula, sudah tiga tahun ini Pak Wito mampu membeli mobil pick up untuk mendukung usahanya. Sebagai aset, mobil itu pun digunakan sebagai jaminan untuk meminjam uang di pegadaian di kecamatan kota.

Lewat pedagang seperti Pak Wito-lah, sebagai salah satu pintu perguliran uang di dusun tersebut. Dalam hubungan ini, Pak Wito juga sebagai orang yang meminjamkan uang dan sejumlah warga di Dusun Wates sebagai peminjamnya dengan bunga 5% setiap bulannya. Kini, di dusun ini sedikitnya ada dua orang yang aktif meminjamkan uang. Sekaligus sebagai pedagang, dalam hubungan itu biasanya seseorang yang meminjam uang ke Pak Wito biasanya juga menjual gabahnya ke Pak Wito sesuai dengan harga pasar di tingkat petani.

Seperti pertengahan Mei 2009 yang lalu sejumlah orang membutuhkan uang untuk biaya pengurusan sertifikat tanah. Sertifikat tanah kali ini merupakan kolektif dan Dusun Wates terpilih untuk pengurusan sertifikat tanah. Biaya sertifikat tanah pun bervariasi sesuai luas lahan. Ibu Saminah (55 tahun), misalnya mengeluarkan biaya Rp 4.400.000,- untuk tiga lahan miliknya. Kemudian, pada masa panen seperti inilah biasanya uang peminjaman itu dikembalikan.

Kini, petani di Dusun Wates ini telah menebar benih padi. Umumnya petani menanam benih dari satu varietas. Awal-awal penangkaran itu pula, petani juga memupuk benih. Biasanya, selama proses penangkaran itu benih diserang oleh hama kaper yang bertelur di benih. Oleh petani biasanya dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Benih itu kira-kira akan ditangkarkan dalam waktu kira-kira 25 hari. Setelah itu, benih ditanam dan menunggu kira-kira 100 hari ke depan untuk dapat dipanen.

Rabu, 24 Juni 2009

Pasien untuk Klinik FKG

Pasien untuk Klinik FKG


Saya beruntung saat itu bisa berteman dengan mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), Universitas Jember. Pada 2003 di tempat saya indekos yang saat itu dihuni oleh hampir 30 mahasiswa tersebut, di dua bangunan indekos, enam di antaranya mahasiswa FKG. Saat itu saya merupakan satu di antara dua mahasiswa dari ilmu noneksak yang indekos di situ. Saya sendiri dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), sedangkan yang satunya lagi dari Fakultas Ekonomi (FE). Di samping itu, saat itu saya merupakan satu-satunya anak kos yang menggunakan sepeda angin untuk pergi kuliah. Sebagian besar menggunakan motor dan sebagian lagi berjalan kaki.

Sisanya berasal dari ilmu eksak seperti dari Fakultas Pertanian, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Fakultas Teknik, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP), dan Fakultas Farmasi. Dari beragam fakultas itulah saya dapat mengetahui sedikit tentang mahasiswa dari fakultas lain. Di samping itu, di indekos itu saya mengenal orang dari beragam karakter, beragam latar belakang keluarga, beragam agama, beragam etnik, dan lain sebagainya.

Khusus untuk teman-teman FKG saya sebelumnya tidak tahu jika saat mereka ada di semester akhir dan memasuki masa klinik di fakultasnya maka mereka mencari pasien untuk tugas klinik. Kebutuhan akan pasien sendiri cukup beragam. Mulai dari pasien cabut gigi, karang gigi, pasien jembatan gigi, kawat gigi, dan lain sebagainya. Perawatan oleh mahasiswa FKG terhadap pasien-pasien tersebut memang kewajiban dalam sistem akademis keprofesian kedokteran gigi.

Tulisan ini sekadar kilas balik pengalaman penulis selama tinggal satu indekos dengan mahasiswa FKG. Penulis sendiri tidak memiliki latar belakang pendidikan formal kedokteran. Oleh karena itu, tulisan ini bukan penjelasan medis. Persisnya sejak Agustus 2003 sampai Februari 2005 penulis tinggal satu indekos dan berteman dengan mahasiswa FKG. Kemudian, Februari 2005 saat penulis pindah indekos, penulis satu indekos lagi dengan mahasiswa FKG sampai Februari 2008.

Berkenaan dengan itu, hubungan antara mahasiswa FKG yang masuk klinik dengan pasiennya menarik untuk dicatat. Di satu sisi status pasien itu berbeda dengan pasien pada umumnya. Misalnya, pasien yang dalam status perawatan mahasiswa FKG maka si pasien tidak perlu mengeluarkan uang sebagaimana pasien yang datang sendiri ke praktik dokter gigi. Sementara itu, tujuan mahasiswa FKG untuk perawatan di klinik tersebut semata-mata tidak bertujuan komersial. Sungguhpun demikian, dengan keberadaan Rumah Sakit Gigi dan Mulut di FKG maka juga ada pelayanan tertentu terhadap pasien.

Saya pun pernah menjadi pasien dari seorang teman, mahasiswa FKG. Kira-kira pada awal 2004 saat itu saya menjadi pasien karang gigi. Olehnya, saya dibawa ke klinik FKG. Tepatnya di ruangan berbentuk aula dan di situ ada puluhan kursi khusus untuk pasien gigi. Sementara itu, terlihat orang-orang dengan berjas putih yang sebagian terlihat memeriksa pasien di kursi khusus tersebut. Dalam hubungan ini, sebelumnya saya tidak begitu tahu bahwa karang gigi dapat merusak gigi. Kesalahan saya, yakni tidak membiasakan diri menyikat gigi secara teratur, khususnya sebelum tidur pun turut andil dalam pembentukan karang gigi tersebut. Sejak itu saya berusaha membiasakan diri menggosok gigi, terutama sebelum tidur malam.

Pada dasarnya siapa saja bisa menjadi pasien di klinik FKG. Mahasiswa, pelajar, anak-anak, orang tua, dan lain sebagainya bisa menjadi pasien selama profil giginya sesuai untuk perawatan di klinik FKG. Meskipun demikian, beberapa hal yang patut dicatat. Umumnya mahasiswa FKG sendiri mencari pasien sesuai dengan kewajiban di klinik. Terkadang beberapa mahasiswa FKG sampai perlu mencari pasien di luar kawasan kampus. Oleh karena itu, terkadang tidak mudah untuk mendapatkan pasien untuk klinik.

Walaupun demikian, ada juga perantara pasien untuk dirawat di klinik FKG. Perantara ini bekerja mencari pasien untuk mahasiswa FKG untuk dirawat di klinik. Kira-kira tahun 2007 akhir, seorang teman, mahasiswa FKG pernah bercerita bahwa jika memakai jasa perantara maka harus keluar uang untuk perantara, bahkan mahasiswa FKG juga musti mengeluarkan uang untuk si pasien. Jika ditotal, untuk seorang perantara dan seorang pasien, mahasiswa FKG bisa mengeluarkan Rp 30.000,00 untuk sekali datang ke klinik. Tentu saja setiap calon dokter gigi ini pengalamannya berbeda-beda dalam mencari pasien maupun perawatan terhadap pasien.

Keberadaan perantara pasien pun bisa dilematis. Di satu sisi perantara bisa mencarikan pasien sesuai dengan profil yang diinginkan oleh mahasiswa FKG. Namun, perantara pun juga menginginkan imbalan atas pasien-pasien yang telah didatangkan. Dalam beberapa kasus, perantara bisa saja memengaruhi atau bahkan mungkin berkonspirasi dengan pasien untuk mendapatkan imbalan tertentu, misalnya uang, dari mahasiswa FKG. Bahkan, menurut cerita, kontrol perantara terhadap pasien bisa lebih besar daripada mahasiswa FKG sendiri. Akhirnya, yang terjadi adalah komersialisasi pasien. Di tengah-tengah pengabdian mahasiswa FKG dan tugas mulia yang diembannya, komersialisasi tersebut tentu kurang menguntungkan.

Kemudian, saat mahasiswa FKG di klinik untuk merawat pasiennya, di samping berinteraksi dengan pasien, mahasiswa FKG juga berinteraksi dengan dosen, yakni di bawah pengawasan dosen FKG. Terkait dengan itu, kedokteran dengan sasaran manusia pun memerlukan standar teknis yang ketat. Kemudian, agar proses perawatan itu berjalan lancar maka perlu ada saling kerjasama, baik antara mahasiswa FKG maupun si pasien.

Terlebih profesionalitas dari mahasiswa FKG. Dengan kata lain, perlu ada kesepakatan-kesepakatan selama perawatan di klinik tersebut. Meskipun dalam perawatannya pasien tidak membayar, tetapi terkadang pasien bisa melarikan diri. Caranya dengan cara tidak datang ke klinik lagi untuk perawatan selanjutnya, padahal perawatan belum selesai. Terkadang satu dua pasien merasa ketakutan selama perawatan di klinik tersebut.

Sebagaimana telah ditulis di atas, dalam proses perawatan itu, pasien tidak membayar biaya untuk perawatan di klinik FKG. Justru mahasiswa FKG yang membayar untuk klinik seperti sejumlah alat dan bahan yang diperlukan untuk perawatan. Alat-alat kedokteran pun harganya terbilang mahal sebab sebagian besar masih impor. Sejumlah teman-teman FKG pun mengatakan bahwa selama di klinik ini mahasiswa FKG membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Sebetulnya antara pasien dan mahasiswa FKG saling membutuhkan. Di satu sisi pasien memerlukan perawatan terhadap giginya, sedangkan mahasiswa membutuhkan pasien untuk tugas akademis sekaligus praktik langsung di klinik. Seringkali mahasiswa FKG bertanggungjawab terhadap pasiennya. Misalnya, menjemput pasien dari rumahnya atau memulangkan pasien dari klinik. Selain itu, juga tanggung jawab mahasiswa FKG selama berlangsungnya perawatan di klinik.

Senin, 15 Juni 2009

Facebook

Facebook

Oleh: Puguh Utomo

Facebook (fb). Kiranya fb itu sulit dicarikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Apabila itu secara mentah-mentah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka menjadi “wajah buku”. Tentu saja terjemahan itu kurang pas. Namun, fb itu tampaknya tidak perlu diterjemahkan sebab nama dari bahasa Inggris itu sudah cukup akrab khususnya bagi penggunanya. Ada gula, ada semut. Di tengah-tengah kesenjangan teknologi informasi, saat ini situs jejaring sosial yang ditemukan oleh Mark Zuckerberg itu menarik perhatian banyak orang.

22 April 2009 saya mendaftarkan diri sebagai pengguna fb. Saat itu ada seorang teman yang mengirim surat elektronik, mengajak agar bergabung dalam fb. Sebetulnya itu bukan pertama kali saya diajak oleh teman saya agar bergabung dalam situs pertemanan. Sebelumnya beberapa teman juga menyarankan agar saya masuk ke fb. Sejumlah media baik elektronik maupun cetak juga memberitakan bahwa fb sedang populer. Bahkan, fb juga digunakan oleh para para politisi bertepatan dengan kampanye dalam pemilihan umum (pemilu) 2009, khususnya pemilu legislatif. Kemudian, baru setelah saya menerima surat elektronik itu saya segera mendaftarkan diri ke situs jejaring sosial tersebut.

Di samping itu, sejak akhir November 2009 saya juga bergabung di situs jejaring sosial lainnya bernama blog. Waktu itu ada seorang teman yang juga seorang penulis membuatkan saya sebuah blog. Umumnya sejumlah penulis memanfaatkan blog ini untuk mempublikasikan gagasannya dalam bentuk tulis. Dibandingkan dengan fb, blog ini lebih sepi pengguna. Oleh karena itu, saya berniat mempertautkan isi blog dengan fb.

Antarsitus pertemanan pun juga terjadi kompetisi. Saling geser-menggeser antar situs menjadi hal yang wajar. Barangkali fb suatu saat nanti juga akan ada yang menggesernya. Bagaimana pun juga penggunaan fb juga bagian dari budaya pop yang dalam kurun waktu tertentu akan berubah. Namun, dapat dicatat bahwa kebutuhan akan hubungan sosial antara satu orang dengan orang lainnya akan senantiasa tetap. Di samping itu, pada dasarnya fb sebagai alat juga merupakan barang konsumsi. Semakin lama suatu barang dikonsumsi maka nilai kepuasannya akan semakin berkurang, terkecuali mungkin internet itu sendiri sebagai mediasi yang tampaknya nilai kepuasannya akan bertahan lama.

Sebetulnya saya sudah lama mengetahui fb lewat koran dan televisi sebagai situs jejaring sosial, sedangkan fb sendiri oleh Mark mulai dikembangkan sejak awal 2004. Namun, saya sempat menilai bahwa fb itu mirip chatting lewat internet yang dulu juga sempat populer. Saya menilai bahwa chatting itu hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya. Oleh karena itu, chatting itu merupakan pekerjaan yang sia-sia dan hanya membuat ketagihan. Sampai sekarang saya hanya sekali memakai chatting dan itu pun saya diajak oleh seorang teman pada 2003.

Kemudian, begitu saya terdaftar di fb, saya segera mencoba fasilitasnya. Pertama kali saya saya mencari pengguna fb lainnya. Itu saya lakukan dengan mengklik nama Sekolah Menengah Umum (SMU) pada profil yang telah saya tulis. Betapa tercengangnya saya sebab dalam dunia maya itu ada beberapa teman SMU yang saya kenal. Sebagian besar di antaranya telah memasang foto diri masing-masing dengan pose yang berbeda-beda.

Saya pun akhirnya mengakui bahwa fb bisa membuat ketagihan meskipun saya belum banyak tahu aplikasi yang dimiliki oleh fb. Belum ada seminggu bergabung di fb rasanya sudah ingin membuka lagi fb. Di sana saya dapat menemukan teman-teman di SMU maupun saat kuliah. Reuni pun dapat berlangsung di fb, tetapi agaknya saya sangat sulit menemukan teman-teman SMP, SD, apalagi TK. Di dalam fb itu pula, saya membaca ungkapan-ungkapan teman-teman dalam bentuk tulisan yang unik-unik.

Terkadang saya berpikir bahwa ungkapan-ungkapan itu sungguh di luar dugaan saya. Misalnya, ada seorang teman SMU yang kemudian bisa mengungkapkan pikiran yang cukup unik di fb itu. Memang, psikologi seseorang juga mengalami perkembangan dan ini pun tercermin dari setiap ungkapan dalam fb. Pandangan setelah lulus kuliah, misalnya, akan berbeda dengan pandangan saat masih duduk di bangku SMU. Akan tetapi, mengapa itu dulu tidak terjadi misalnya lewat media majalah dinding (mading) yang ada di SMU? Itu mengingat jika antara mading dan fb sama-sama media. Boleh jadi, inilah kelebihan dari internet tempat fb berkembang biak.

Di antara fasilitas yang ditawarkan oleh fb, perlakuan dari pengguna fb pun tak dapat diabaikan. Secanggih apapun fb jika tidak ada perhatian dari penggunanya, manusia, fb pun akan sia-sia. Inilah yang membuat suatu penemuan perlu menyesuaikan dengan kebutuhan aktual dari manusia. Di fb itu seseorang bisa mengungkapkan hati dan pikiran, misalnya lewat tulisan. Maka dari itu, fb itu ibarat diary on line. Di samping itu, fb juga menawarkan fasilitas seperti publikasi foto, video, dan entah apa lagi aplikasi yang ditawarkan oleh fb.

Bisa jadi dalam situs jejaring sosial yang membuat penemunya menjadi jutawan itu merupakan kenyataan simbolik yang berbeda dengan kenyataan sehari-hari dalam arti pertemuan langsung dengan tatap muka. Memang, interaksi sosial dalam dunia maya menghasilkan kesan tersendiri dibandingkan dengan interaksi sosial di dunia nyata. Terkadang ada beberapa hal yang memungkinkan dapat disampaikan di dunia maya. Akan tetapi, sulit disampaikan dalam pertemuan fisik dan sebaliknya. Berkenaan dengan itu, sekarang ada pandangan bahwa perbedaan di antara dua dunia itu amatlah tipis. Bahkan, dunia maya pun telah sanggup memperpendek ruang dan menghemat waktu serta memungkinkan terciptanya interaksi antarmanusia yang lebih rumit dan lebih cepat karena efek berantainya. Kelahiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa jadi menandai hal itu.

Kemudian, kira-kira pertengahan Mei ini muncul pemberitaan dari media khususnya dari kalangan agamawan yang mengharamkan fb. Karena pandangan itu masih bersifat lokal maka bisa jadi pandangan itu tidak mewakili pandangan seluruh agamawan. Tentu saja “pengharaman” itu tidak perlu dimaknai secara mentah-mentah. Pandangan itu mencerminkan bahwa agama masih berperan sebagai sumber moral bagi manusia.

Bagaimanapun juga fb sebagai alat, memiliki sisi positif dan bisa juga memiliki sisi negatif. Itu terungkap dari sejumlah fakta atas akibat dari penggunaan fb. Tentu sisi-sisi itu tidak bisa dilimpahkan ke penemu fb. Fb sendiri sudah mengalami massalisasi dan tidak bergerak atas kemauannya sendiri, tetapi digerakkan dari satu tangan ke tangan lainnya. Terkait dengan itu, ada beragam karakter maupun kepentingan dari setiap individu maupun kelompok atas situs jejaring sosial tersebut.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi,

FISIP, Universitas Jember

Senin, 01 Juni 2009

Alumni Prodi Sosiologi

Alumni Prodi Sosiologi

Oleh: Puguh Utomo


Sampai wisuda 21 Maret 2009, dari 32 orang pada angkatan 2003 telah ada 21 orang yang menjadi alumni dari Program Studi (Prodi) Sosiologi, Universitas Jember (Unej). Sementara itu, masih ada 11 orang yang belum mengikuti wisuda dan sekarang mereka kini telah terhitung duduk di semester XII. Meskipun demikian, Juli 2009 nanti akan ada sejumlah orang yang akan mengikuti wisuda. Sayang, 11 orang tersebut tidak semuanya bisa mengikuti wisuda Juli nanti. Maklum, mereka itu belum menyelesaikan skripsi yang merupakan syarat utama kelulusan. Terkait dengan itu, tulisan ini sekadar menyorot alumni angkatan atau generasi 2003. Bagaimanapun juga alumni generasi 2003 juga bagian dari alumni Prodi Sosiologi.

Kemudian, sampai Maret ini tersiar kabar tentang alumni Prodi Sosiologi, khususnya pada generasi 2003. Kabar yang dimaksud yakni tentang pekerjaan atau profesi alumni Prodi Sosiologi yang beberapa di antaranya telah melangsungkan pernikahan ini. Berkaitan dengan pekerjaan, ada desas-desus tentang masa studi yang lama, sedangkan masa tunggu kerja alumninya pun masih cukup lama. Rata-rata keprofesian ini dikembangkan secara lebih intensif setelah menjadi alumni.

Penting untuk dicatat bahwa kenyataannya ke-profesi-an ini tidaklah seragam. Artinya, Prodi Sosiologi sebagai lembaga akademis yang nonkependidikan, tidak identik menghasilkan “sosiolog”. Paling tidak itu dalam arti sempit bahwa “sosiolog” itu identik dengan dosen sosiologi di universitas. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa tidak setiap alumnus menjadi dosen sosiologi sebagai karier atau profesi akademis. Lagi pula, sebagai prodi yang nonkependidikan atau ilmu murni, sosiologi tidak berlabel pendidikan profesi sebagaimana umumnya. Kemudian, ketidakseragaman profesi itu akan dibicarakan berikut ini.

Sementara itu, merupakan kenyataan sosiologis bahwa secara umum dalam dunia kerja dikenal ada dua sektor, yakni sektor negeri dan sektor swasta. Dua sektor itu dari sisi jender tidak ada perbedaan yang sangat mencolok. Artinya, baik alumnus laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki etos kerja yang sebanding.

Pada sektor negeri, sekarang dua orang dipastikan menjadi guru sosiologi pada jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU). Dengan sendirinya status mereka sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada lembaga pendidikan formal. Mereka ini sebelumnya telah mengantongi akta IV (A-IV) untuk mengajar. Namun, sampai Oktober 2008 tidak semua pemilik A-IV bisa terserap pada sektor lembaga pendidikan formal.

Meskipun rasio formasi guru sosiologi di setiap kabupaten masih tergolong rendah, tetapi formasi pada sektor tersebut cukup terbatas. Oleh karena itu, ketidakterserapan tersebut karena pintu seleksi yang memunculkan proses kompetisi. Walaupun demikian, kesempatan mengajar tidak harus melewati tes PNS. Buktinya, seorang alumnus juga telah mengajar di jenjang SMU meskipun masih berstatus sebagai guru honorer. Sementara sekarang kesejahteraan guru honorer atau non-PNS tidak lebih baik seperti guru PNS.

Sebetulnya sektor negeri tidak terbatas pada lembaga pendidikan formal. Beberapa departemen tingkat nasional juga membuka kesempatan PNS. Sektor ini tak mengharuskan memiliki A-IV. Namun, tampaknya belum ada alumnus generasi 2003 yang menempati sektor ini. Sekali lagi bahwa formasi untuk sektor negeri ini cukup terbatas. Selain itu, rasio antara formasi dan pendaftar pun tergolong tinggi. Terlebih lagi kompetisi untuk lolos pada sektor ini lebih ketat dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal. Barangkali kompetisi tersebut cukup berat bagi alumni generasi 2003.

Terkait dengan itu, sektor negeri pun tak terbatas pada dua pintu tadi. Maksudnya, masih ada kesempatan karier pada jenjang perguruan tinggi (PT). Kesempatan yang dimaksud, yakni rekrutmen dosen sosiologi. Sebagai contoh, rekrutmen yang diselenggarakan oleh almamater sendiri, yakni Prodi Sosiologi, Unej. Dalam artian ini, lembaga, yakni Prodi Sosiologi, Unej, berkemampuan menyediakan lapangan pekerjaan.

Awalnya memang disyaratkan bahwa formasi tersebut untuk jenjang strata 2 (S-2). Akan tetapi, akhirnya diturunkan menjadi S-1. Rekrutmen pada akhir 2008 yang lalu itu tercatat ada empat alumnus dari generasi 2003 yang mendaftar pada tes tersebut. Sementara itu, ada 12 pendaftar, sepuluh orang di antaranya dengan gelar S-1 berasal dari Prodi Sosiologi, Unej, dari berbagai generasi. Sementara itu, dua di antaranya dari almamater lain, tengah menyelesaikan S-2.

Adapun saat itu ada tiga formasi. Sebagai prodi yang relatif baru, yakni berdiri pada 2001, wajar jika formasi tersebut termasuk tinggi. Paling tidak itu dibandingkan dengan formasi dosen di lingkungan prodi maupun jurusan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Unej yang umumnya hanya satu formasi. Itu pun formasi untuk S-2 sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Namun, lagi-lagi bahwa formasi di sektor negeri cukup terbatas. Meskipun ada empat alumni Prodi Sosiologi yang mendaftar, hanya dua orang yang lolos pada seleksi tahap pertama. Selanjutnya, mereka tidak lolos pada seleksi tahap II. Sampai kini, baik tes calon PNS di jenjang SMU, departemen, maupun tingkat PT, tidak setiap alumnus Prodi Sosiologi generasi 2003 bisa lolos.

Satu dua alumnus pun dikabarkan memasuki dunia kerja pada sektor swasta. Tentu saja itu merupakan pilihan yang strategis sebab kesempatan bekerja tidak terbatas pada sektor negeri semata. Seketika itu ada proses sosiologis berkaitan dengan pandangan atas kesempatan bekerja tersebut. Kendatipun demikian, itu rupanya tidak menyurutkan minat alumni Prodi Sosiologi untuk memasuki sektor negeri.

Pada pemilihan umum (pemilu) legislatif 9 April 2009 yang lalu, seorang alumnus juga meramaikan bursa calon lagislatif kabupaten. Namun, perolehan suara alumnus yang wisuda 21 Maret 2009 itu masih belum memenuhi syarat untuk duduk di kursi dewan. Dalam kaitan ini, ada satu hal yang patut dicatat bahwa itu merupakan awal yang baik pada proses regenerasi dari rahim program studi.

Selanjutnya, sedikit alumnus dari generasi 2003 juga berkiprah dengan melibatkan diri dalam lembaga survei. Di Jember, kemunculan proyek survei itu sendiri agak ramai dimulai pada akhir 2003. Proyek yang merupakan ilmu terapan dalam penelitian tersebut ditempatkan di sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus (Ormek). Mereka yang mau dan mampu serta menjadi bagian dari Ormek bisa terlibat dalam survei tersebut sebagai tenaga pengumpul data. Terkait dengan itu, akhir-akhir ini tenaga survei rupanya tidak tertutup bagi mereka yang menjadi bagian dari Ormek. Artinya, dalam kesempatan tertentu mereka yang mau dan mampu meskipun bukan bagian dari Ormek bisa ikut dalam survei tersebut.

Survei yang sering berfokus pada ilmu terapan politik itu sendiri memakai pendekatan kuantitatif. Melihat cakupan geografis objek studi yang cukup luas maka memang cocok menggunakan metode kuantitatif yang instrumen penelitiannya, antara lain, kuesioner. Pada dasarnya survei itu sendiri berada di luar lingkungan akademis. Itu menandai bahwa pasaran penelitian metode kuantitatif masih laris.

Hal yang sama rupanya tidak terjadi dalam penelitian-penelitian bermetode kualitatif. Kecuali itu, metode kualitatif yang instrumen penelitiannya, yakni peneliti sendiri, tampaknya masih terbatas dikembangkan di lingkungan akademis, sedangkan di luar akademis masih cukup sepi. Buktinya, sekarang metode kualitatif masih banyak digunakan dalam skripsi-skripsi karya alumni Prodi Sosiologi.

Walaupun demikian, dalam pengertian di luar lingkungan akademis, metode kualitatif sesungguhnya dapat diterapkan dalam jurnalisme. Patut dicatat bahwa antara dunia akademis dan dunia jurnalisme ada perbedaannya. Misalnya, dunia akademis lebih berorientasi pada isu ilmiah atau akademis, sedangkan fokus jurnalis biasanya peristiwa maupun fakta sehari-hari untuk pangsa jurnalisme. Sementara itu, juga ada sisi-sisi persamaannya, misalnya baik peneliti kualitatif maupun wartawan sama-sama mensyaratkan kemampuan mengekspresikan pikiran dalam bentuk tulisan.

Dalam pada itu, dunia jurnalisme itu sepertinya belum dimasuki oleh alumni Prodi Sosiologi. Memang, seringkali ada pertimbangan-pertimbangan tertentu pada diri alumni dalam pemilihan karier. Dalam kaitan ini, setiap alumnus memiliki tujuan masing-masing. Maka dari itu, ini pun berkaitan dengan proses psikologis dalam diri setiap alumnus Prodi Sosiologi yang kebanyakan berasal dari keluarga lapisan menengah ini.

Berkenaan dengan itu, seorang alumnus dikabarkan juga melanjutkan strata 2 (S-2). Kenyataannya, alumnus yang melanjutkan jenjang itu bisa dihitung dengan jari. Apalagi jenjang itu membutuhkan kemauan, kemampuan, dan tentu saja jika dengan biaya mandiri maka keuangan juga harus mencukupi. Apabila dengan biaya mandiri, masa studi selama empat semester dan umumnya ditempuh selama dua tahun itu dari segi biaya pendidikan dan biaya hidup mirip dengan menempuh S-1 yang umumnya delapan semester.


Puguh Utomo

Alumnus Program Studi Sosiologi

FISIP Universitas Jember