Sabtu, 18 Juli 2009

Tokek...Tokek...Tokek...

Tokek...Tokek...Tokek...

Oleh: Puguh Utomo

Tokek...tokek...tokek.... Begitulah bunyi hewan bernama tokek yang hidup di antara usuk dan reng di atap rumah saya. Suara tokek...tokek...yang full bass & treble itu bisa sampai tujuh kali. Sebelum berbunyi tokek...tokek...tokek..., biasanya didahului dengan suara ték...ték...ték.... Karena bunyinya tersebut maka hewan yang masih bersaudara dengan cicak itu dinamakan tokek. Nama latin hewan itu sempat saya cari di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tetapi tidak ada. Lain halnya dengan, di KBBI cicak memiliki nama latin Hemydactylus frenatus.

Entah mengapa tokek bersuara seperti itu. Saya menilai bahwa suara seperti itu merupakan kebutuhan bagi tokek. Jika ayam berkokok itu untuk berkomunikasi dengan ayam lainnya dengan saling bersahut-sahutan maka mungkin suara tokek itu juga sebagai bentuk komunikasi. Namun, jika itu sebagai komunikasi maka itu agaknya akan terbantahkan sebab tidak ada tokek lain di dekat tokek itu berada. Lagi pula, saat tokek itu bersuara, tidak ada tokek lain yang juga menyahut untuk bersuara.

Mungkin penelitian yang mendalam tentang tokek bisa menjawab itu. Akan tetapi, di negeri yang memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 ini kemungkinan besar akan sulit mendapatkan publikasi hasil penelitian yang mungkin juga aneh tersebut. Jangankan penelitian tentang tokek, penelitian tentang manusia dan segala kepentingannya yang serius pun kiranya juga belum banyak di lakukan di negeri ini. Seringkali hasil penelitian-penelitian, termasuk hasil penelitian yang “aneh”, yang dikutip oleh sejumlah media seperti koran dan radio banyak mengambil hasil penelitian dari luar negeri. Perguruan tinggi seperti universitas pun dengan segala bidang akademisnya, sampai kini masih digadang-gadang atas hasil penelitiannya yang bermanfaat untuk manusia.

Terkait dengan itu, setahu saya, ciri tokek dewasa lebih besar daripada cicak. Kulitnya kasar dan berbintik-bintik merah. Mirip seperti cicak, tokek tergolong hewan dapat merayap. Selain itu, sama seperti cicak, tokek mungkin juga doyan makan nyamuk. Jika tokek makan nyamuk maka tokek juga sebagai predator alami yang turut mengendalikan populasi nyamuk.

Tokek juga dapat merayap di medium vertikal seperti tembok. Namun, tokek jarang terlihat merayap di dinding. Dibandingkan dengan cicak, tokek merupakan hewan yang tidak banyak bergerak dan suka bersembunyi serta termasuk hewan penyendiri. Karena itu pula, cicak lebih beken dibandingkan dengan tokek. Berkenaan dengan itu, tidak ada lagu tentang tokek, tetapi ada lagu Cicak-Cicak Di Dinding yang akrab di telinga, khususnya anak-anak. Dan lagi, suara tokek, setahu saya agaknya tak digunakan sebagai nada dering pada telepon seluler (ponsel). Setahu saya, paling-paling suara kucing lebih menarik digunakan sebagai nada deringnya.

Saat saya menulis ini pada jam 20.00 (01/07/2009), sesekali waktu tokek tersebut masih bersuara. Kemungkinan besar besok-besok tokek itu juga masih akan bersuara. Memang, tokek sering bersuara di malam hari. Ini pun masih teka-teki, mengapa tokek lebih sering bersuara di malam hari. Terkadang, tengah malam pun tokek juga bersuara. Jika begitu saya hanya mengira-ngira apakah tokek tidak tidur di malam hari, tetapi menghabiskan masa tidurnya di siang hari.

Tadi setelah maghrib keponakan saya yang usianya belum genap tiga tahun ke rumah saya. Meskipun keponakan saya itu laki-laki, dia mengatakan bahwa dirinya takut dengan tokek. Saya pun bertanya padanya mengapa dia takut. Dia pun tidak menjawab. Akan tetapi, saat saya bertanya apakah sebelumnya dia pernah melihat tokek, dia menjawab bahwa dia belum pernah melihat tokek. Saat dia hendak pulang dengan ibunya, keponakan saya itu pulang dengan langkah gontai dan wajah yang gelisah karena terbayang oleh tokek. Saya pun memaklumi bahwa pengalaman anak kecil tentang dunia dan kehidupan ini relatif masih minim.

Kiranya setiap hewan bersuara untuk menunjukkan identitasnya. Seperti singa yang mengaum, anjing yang menggonggong, dan ayam yang berkokok. Suara itu pun dapat menunjukkan keberadaan hewan tersebut. Sementara itu, tokek yang bersuara itu pun juga menunjukkan keberadaan hewan tersebut. Ada sebuah mitos bahwa keberadaan tokek yang ditunjukkan dengan suaranya itu menandakan penghuni rumah akan mudah mendapatkan kesusahan. Tokek...tokek...tokek....

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Senin, 13 Juli 2009

Alumni SMUDA Nganjuk

Alumni SMUDA Nganjuk

Oleh: Puguh Utomo

Acara perpisahan yang dikemas dalam pementasan seni pada 2003 itu menandai sekian ratus orang sudah tidak berstatus siswa atau siswi lagi. Mereka telah menjadi alumni angkatan 2003 pada SMU Negeri 2 Nganjuk. Saat menghadiri acara tersebut mereka sudah tidak berpakaian abu-abu putih lagi. Mereka berpakaian bebas, tetapi sopan. Acara perpisahan yang digelar sejak pagi tersebut, tidak setiap alumnus bisa hadir. Lagi pula, tidak ada keharusan untuk hadir. Meskipun demikian, acara perpisahan tersebut tetap dapat dilangsungkan.

Terkait dengan itu, di tengah-tengah acara sempat terjadi ketidaksepahaman antara pihak guru dengan sejumlah peserta yang akan mengisi acara perpisahan tersebut. Sejumlah guru menilai ada bagian dari sketsa yang kurang etis untuk dipentaskan. Namun, ketidaksepakatan itu dapat diredam dan tidak berimbas pada keseluruhan acara. Acara perpisahan tersebut diadakan di panggung permanen di sebelah utara aula SMU Negeri 2 Nganjuk atau populer dengan nama SMUDA Nganjuk.

Setiap tahun SMUDA Nganjuk meluluskan sekitar 300 lebih siswa-siswi dari sepuluh kelas. Kelas itu terdiri atas 5 kelas IPA, 4 kelas IPS, dan 1 kelas bahasa. Sistem akademis pada jenjang sekolah menangah memungkinkan sekolah meluluskan siswanya secara bersama-sama. Kelulusan pada 2003 itu pun mencapai 100%. Kelulusan tahun-tahun sebelumnya pun menunjukkan hal yang sama. Citra sebagai sekolah favorit pun mampu menarik banyak siswa lulusan berbagai Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk melanjutkan ke SMUDA Nganjuk.

Di satu sisi cukup sulit mengetahui penyebaran alumni SMUDA setelah mereka lulus. Artinya, sampai sekarang belum ada data kuantitatif yang menjelaskan hal itu. Selain itu, dari jumlah sekitar 300-an orang tersebut tampaknya penyebarannya sulit dipolakan. Meskipun demikian, ada asumsi untuk mengetahuinya. Di antaranya, yakni keterserapan sejumlah alumni di Perguruan Tinggi (PT) seperti universitas, institut, akademi dan di sekolah tinggi baik negeri maupun swasta, ikatan dinas maupun tidak ikatan dinas tergolong tinggi. Setidak-tidaknya itu untuk cakupan SMU di wilayah Kabupaten Nganjuk. Selebihnya, sebagian alumni langsung masuk ke dunia kerja.

Keterserapan tersebut setidak-tidaknya didukung oleh tiga hal. Pertama, rata-rata secara akademis alumni SMUDA Nganjuk cukup mumpuni. Kedua, umumnya sebagian alumni berasal dari keluarga dari lapisan menengah ke atas. Oleh karena itu, dari sisi finansial, biaya untuk pendidikan ke PT tersebut dapat tertutupi. Meskipun demikian, ada beberapa alumni yang dari sisi akademis cukup mumpuni, tetapi mengalami kesulitan dalam hal finansial. Ketiga, yakni pandangan untuk melanjutkan sekolah setelah dari jenjang SMU. Pandangan tersebut, misalnya melanjutkan sekolah juga merupakan investasi untuk masa depan.

Selama proses menempuh studi di PT itu sejumlah alumnus berkomentar tentang perubahan sudut pandang beberapa alumnus lainnya. Perubahan itu, misalnya berkaitan dengan pandangan religius pada tataran individual. Bagaimanapun juga proses psikologi seseorang akan mengalami perkembangan. Tak terkecuali pada diri individu alumni SMUDA Nganjuk. Bahkan, sedikit kasus menunjukkan bahwa di antara alumni mengarah pada proses psikologi yang negatif. Kemudian, perubahan sudut pandang itu biasanya dibandingkan selama rentang waktu tiga tahun di SMU dengan satu atau dua tahun sejak di PT.

Selain hal itu, terdapat kenyataan sosiologis pada diri alumni, yakni usia mereka relatif sama begitu mereka lulus dari SMUDA Nganjuk. Dengan usia alumni yang relatif sama maka sebetulnya ada satu kesejalanan sudut pandang pada alumni. Paling tidak kesejalanan tersebut adalah dalam menatap masa depan begitu mereka lulus dari SMUDA Nganjuk.

Kemudian, meskipun sudah alumni, tetapi dalam kesempatan tertentu diselenggarakan kegiatan reuni. Ikatan emosional yang terbentuk sejak SMU pun memprakarsai reuni tersebut. Prakarsa reuni itu pun dengan swadaya dari alumni sendiri. Sejak 2003 sampai 2009 sedikitnya telah diadakan dua kali reuni. Satu di antaranya pernah dilaksanakan di sekolah dengan gabungan beberapa angkatan, yakni pada Rabu, 17 November 2004. Sementara beberapa di antaranya diselenggarakan di salah satu rumah alumni. Itu biasanya untuk reuni satu angkatan.

Dalam satu angkatan, apabila saat mereka masih aktif sebagai siswa dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) maka tingkat kehadirannya bisa mencapai 100%. Akan tetapi, dalam reuni satu angkatan, kehadiran 100% itu mustahil. Misalnya, reuni yang diselenggarakan pada Kamis, 18 Oktober 2007, pasca hari raya Idul Fitri, di rumah salah satu alumni, yang datang tidak lebih dari 50%. Suatu saat nanti kemungkinan akan diselenggarakan reuni kembali, entah untuk satu angkatan maupun gabungan dari setiap angkatan.

Meskipun sama-sama alumni SMUDA Nganjuk, tetapi dari jumlah ratusan alumnus itu belum tentu setiap alumnus dapat saling kenal satu sama lain. Umumnya mereka sebatas tahu bahwa seseorang merupakan alumnus SMUDA Nganjuk. Namun, biasanya tidak begitu tahu, misalnya nama alumnus maupun di kelas berapa dulunya. Apalagi di SMU terdapat kelas-kelas yang membuat setiap alumnus hanya mengenal nama alumnus lainnya saat satu kelas saja.

Biarpun demikian, tidak satu kelas pun alumnus juga bisa mengenal alumnus lainnya seiring dengan luarnya pergaulan. Misalnya, seorang seorang alumnus dapat mengenal alumnus lainnya meskipun dulu tidak satu kelas, tetapi pernah satu organisasi ekstrakurikuler sekolah. Di samping itu, buku kenangan alumni SMUDA Nganjuk tahun 2003 yang diberikan pada setiap alumnus pun dapat membantu bahwa seseorang itu merupakan alumnus SMUDA Nganjuk.

Situs jejaring sosial seperti facebook (fb) pun turut dimanfaatkan sebagai sarana memelihara interaksi sosial antarsebagian alumni. Lagi pula, akses terhadap internet merupakan hal yang tidak terlalu sulit bagi sebagian alumni SMUDA Nganjuk. Dan lagi, fb pun dapat diakses melalui telepon seluler (ponsel).

Sekarang, pada 2009, sebagian alumni telah menempati posisi tertentu dalam masyarakat. Entah berkarya di sektor negeri maupun swasta, sektor publik maupun privat. Pada saat yang sama, satu generasi dari alumni 2003 SMUDA Nganjuk itu menjadi bagian dari proses regenerasi yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Tentu saja sampai tahun 2009 ini sebagian alumni juga telah melangsungkan pernikahan. Satu dua di antaranya telah melangsungkan pernikahannya dengan sesama teman satu almamater, SMUDA Nganjuk.

Puguh Utomo

Alumnus 2003 SMUDA Nganjuk

Alumnus Prodi Sosiologi Universitas Jember

Kamis, 09 Juli 2009

Bisakah “Kata” Diukir?

“Bacaan Wajib” para Mahasiswa

Bisakah “Kata” Diukir?

(Resensi Buku)

Judul : Seni Mengukir Kata: Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif

Penulis : Mulyadhi Kartanegara

Tahun terbit : 2005

Penerbit : Mizan Learning Center (MLC)

Tebal : 331 halaman


Buku ini mungkin akan membingungkan jika tanpa ada subjudul “Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif”. Permasalahannya, yakni bagaimana “kata” bisa diukir? Bukankah yang diukir itu misalnya kayu? Namun, itulah buku yang ditulis oleh Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor filasat lulusan Universitas Chicago. Keunikan judul itu pula yang menjadi kekhasan sejumlah buku yang diterbitkan oleh Mizan Learning Center (MLC) mengenai kiat-kiat dalam menulis. Buku berbentuk saku ini diberi kata pengantar oleh Hernowo, seorang penulis yang juga banyak menulis tentang kiat-kiat menulis. Buku-bukunya juga banyak yang diterbitkan oleh MLC. Kiranya tepat juga yang dikatakan oleh Hernowo bahwa buku ini layak menjadi “bacaan wajib” para mahasiswa.

Selain judulnya yang unik, buku yang terdiri atas empat bab ini pun ditulis dengan cara yang unik. Penulisannya menggunakan gaya buku harian dengan kata ganti orang pertama “aku”, yakni penulis sendiri. Dengan format tersebut penulis bercerita pada pembaca tentang pengalamannya dalam menulis. Oleh karena itu, kita akan membaca sebuah buku harian tentang bagaimana pengalaman Mulyadhi dalam melahirkan karya-karyanya dalam berbagai bentuk tulisan. Gaya penulisan buku harian itu juga dipertegas dengan tidak adanya daftar pustaka dalam buku ini meskipun dalam bahasannya juga mengutip beberapa tokoh. Keunikan lain dari buku ini juga ditunjukkan dengan ilustrasi karikatur seorang laki-laki yang sedang mengukir atau memahat “kata”.

Di samping itu, fisik buku ini tergolong buku saku. Itu tampak dari ukuran buku yang lebih kecil daripada buku pada umumnya. Memang, sejumlah buku terbita MLC dirancang lebih ramping. Kemudian, jika melihat isi maka di halaman tertentu banyak kutipan yang merupakan inti dari apa yang ditulis. Kutipan-kutipan itu terpisah dari teks dan ukuran hurufnya pun lebih menonjol. Tentu ini memudahkan pembaca dalam memahami dan mengingat isi terpenting dari apa yang ditulis. Lagi pula, kutipan-kutipan tersebut cukup merangsang kegairahan dalam menulis.

Menulis sebagai seni mengawali bab pertama pada buku ini. Dalam hal ini seni menulis berarti kepiawaian seorang penulis dalam menghasilkan karya berwujud tulisan. Oleh karena itu, agar seorang penulis piawai dalam menulis maka perlu ditunjang oleh misalnya motivasi dalam menulis, peran konsentrasi, sampai pada kebebasan yang harus dimiliki oleh seorang penulis.

Memang, motivasi dalam menulis, peran konsentrasi, maupun kebebasan dalam menulis merupakan hal yang umum yang menjadi modal dalam menulis. Namun, isi dari buku ini sesungguhnya merupakan arah baru dalam bidang menulis. Berdasarkan pikiran penulisnya, tulisan ini ditulis dengan apa yang senyatanya daripada apa yang seharusnya. Oleh karena itu, buku ini cocok pula bagi penulis pemula.

Adapun buku ini sebetulnya ditulis dengan pendekatan ilmiah. Itu tampak dari latar belakang penulisnya yang juga bergelut di dunia akademis, terutama filsafat. Misalnya, jenis tulisan berupa tulisan reflektif, fiksi ilmiah, dan novel filosofis. Jenis-jenis tulisan itupun merupakan pengalaman penulis sendiri. Jadi, Mulyadhi sendiri juga telah menulis jenis tulisan reflektif.

Umumnya sebagian penulis pernah mengalami kegagalan maupun kepahitan dalam menulis. Misalnya, pernah ditolak oleh penerbit sampai beberapa kali, bahkan sampai puluhan kali. Namun, itu rupanya tidak begitu diceritakan dalam buku ini. Dalam perjalanan kepenulisannya, tampaknya penulisnya tidak mengalami kendala yang berarti. Hanya diceritakan secara sedikit bahwa Mulyadhi pernah mengalami krisis kepercayaan saat mengerjakan skripsi (halaman 305), maupun menyangkut pemikiran sejumlah tokoh seperti Sigmund Freud maupun Darwin (halaman 272). Itu pun masih terkait dengan kajian filsafat yang didalami oleh penulis.

Pendekatan ilmiah itu masih dilanjutkan di bab 3, yakni seputar tulisan ilmiah. Misalnya di bab tersebut ditulis tentang risalah, skripsi, tesis master, disertasi, dan artikel ilmiah. Bab ketiga ini mulai berisi uraian untuk kalangan terbatas, seperti kalangan mahasiswa. Sekali lagi, kiranya masih jarang buku yang mengupas tentang bagaimana cara menulis, sekaligus penulis telah mengalami sendiri. Dalam kaitan ini, Mulyadhi juga telah membuat risalah, skripsi, tesis master, disertasi, dan artikel ilmiah. Oleh karena itu, contoh tulisan dalam buku ini pun selain termasuk fiksi, juga ada karya nonfiksi.

Kemudian, proses pengalaman dalam membuat jenis karya ilmiah itu diceritakan dalam buku ini. Misalnya, dikatakan “metode penyajian buku ini...naratif, yang di dalamnya aku pada dasarnya akan bercerita tentang berbagai pengalamanku dalam menulis.” Terkait dengan proses pengalaman tersebut, proses menulis pun tidak cukup satu atau dua hari saja. Dengan kata lain, prosesnya menulis perlu diasah secara terus menerus. Meskipun Mulyadhi tidak menyatakan secara tersurat bahwa proses menulis itu memerlukan waktu yang panjang, tetapi dalam karya tulisnya telah menunjukkan hal itu.

Satu hal yang juga dapat dicatat dari buku ini adalah keislamannya. Beberapa contoh jenis tulisan seperti skripsi juga tergolong dalam karya keislaman. Tentu saja itu tidak terlepas dari latar belakang pendidikan keislaman. Misalnya, salah satu karyanya yang juga dijadikan contoh, yaitu ilustrasi cover buku berjudul Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (halaman 145). Sebagai seorang penulis, Mulyadhi pun tergolong penulis produktif. Di lampiran, misalnya dalam waktu satu tahun, 2004, Mulyadhi dapat menghasilkan beberapa karya tulis, khususnya yang ilmiah.

Sebetulnya Mulyadhi pada contoh jenis tulisannya tidak hanya berbicara keislaman. Namun, juga lebih kontemporer. Itu terlihat dari sejumlah tokoh yang juga dikutip seperti Socrates (halaman 199). Pandangan kontemporer ini pun juga tak terlepas dari karekter kajian filsafat yang lebih mencari satu muara dari setiap pemikiran. Jadi, dalam buku ini juga terkandung maksud bahwa tidak ada pertentangan yang berarti antara filsafat barat dan Islam.

Di akhir bab, yakni bab keempat, diuraikan beberapa hal untuk memupuk tradisi menulis. Misalnya, peran membaca, seputar inspirasi dalam menulis, dan mengenai tulisan yang autentik. Pada dasarnya bab keempat ini merupakan lanjutan dari bab pertama. Berkaitan dengan itu, mereka yang sedang menggali potensi menulisnya, jika membaca buku ini maka akan menjadi bagian yang dari apa yang ditulis oleh Mulyadhi.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember


Selasa, 07 Juli 2009

Aku Dulu IPS

Aku Dulu IPS

Oleh: Puguh Utomo


Dalam tes intilegent quotion (IQ) pada pertengahan tahun 2000 itu aku mendapatkan skor 96. Hasil tes yang diberikan agak lama setelah pelaksanaan tes itu tertulis di selembar kertas. Tes yang dikoordinasi oleh sebuah lembaga psikologi terapan itu sendiri dilaksanakan di awal-awal aku masuk di jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU) yang konon favorit di kabupaten Nganjuk. Tujuan utama dari tes itu, yakni mengetahui potensi diri siswa dalam hal penjurusan. Apakah seorang siswa cocok di jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maupun jurusan bahasa. Kemudian, skor 96 itu menyarankan agar aku memilih program IPS.

Tentu saja peserta tes IQ itu tidak hanya aku saja. Setiap siswa kelas satu yang terdiri dari sembilan kelas diwajibkan mengikuti tes tersebut. Hasil tesnya pun bervariasi. Di kelas tempat aku sendiri ada yang mendapatkan skor di bawah 100, tetapi ada juga siswa yang mendapatkan skor di atas 120. Waktu itu ada seorang teman sekelas yang heran dengan skornya. Entah saat itu berapa skornya, tetapi berdasarkan skor itu disarankan agar masuk ke program IPS. Padahal, dia mampu masuk ke program IPA. Tidak hanya aku, tetapi teman-teman yang lain pun mengakui bahwa dia sangat layak untuk masuk IPA.

Ternyata itu menandai bahwa hasil tes itu merupakan prediksi. Itu karena suatu hari saat masuk kelas III, teman aku itu masuk ke jurusan IPA. Bahkan, di kemudian hari dia lolos dalam seleksi yang tahun 2003 saat itu bernama Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di sebuah institut teknologi ternama di Indonesia.

Aku pun berbesar hati menerima saran untuk masuk ke program IPS. Maklum, nilai pelajaran eksak seperti matematika, fisika, kimia tergolong rendah, yakni 6. Angka 6 itu sesungguhnya hasil pembulatan oleh guru. Jika ditelusuri lagi maka sebetulnya bisa di bawah angka 6. Kemudian, jika dipikir-pikir lagi maka mata pelajaran biologi termasuk kelompok eksak. Namun, saat kelas 1 (sejak 2007 berubah nama menjadi kelas 10, 11, dan 12 mengikuti urutan dari kelas 6 Sekolah Dasar) nilai biologi di rapot aku selalu 7. Mungkin itu karena biologi waktu itu dominan berupa pelajaran hafalan.

Aku juga sadar bahwa aku siswa yang bodoh. Setidak-tidaknya aku menilai diri aku sendiri waktu itu seperti itu. Sekarang pun aku juga masih menilai diri aku sendiri seperti itu. Namun, nasihat bijak mengatakan bahwa jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Tidak ada siswa yang bodoh. Dalam hubungan ini, sejak kelas 1, saat ada kegiatan belajar mengajar dengan jadwal mata pelajaran matematika, fisika, dan kimia maka terasa memberatkan. Pelajaran-pelajaran tersebut tidak menyenangkan. Aku sangat kesulitan dan tidak mengerti dengan pelajaran-pelajaran tersebut. Akhirnya, setiap ulangan catur wulan nilai mata pelajaran tersebut di rapot kelas 1 tertulis angka 6 dan pernah sekali dinilai 5, sementara sebagian teman yang lain mendapatkan nilai 8.

Sebetulnya aku tidak hanya kesulitan pada mata pelajaran eksak itu saja. Mata pelajaran yang lain pun juga kesulitan. Khususnya ekonomi dan/atau akuntasi. Dengan kata lain, segala sesuatu yang berhubungan dengan angka-angka saat SMU itu maka nilainya selalu di bawah standar. Aku pun berpikir bahwa akan menjadi apa aku nantinya jika kenyataannya seperti itu! Sekali lagi bahwa mata pelajaran yang lain yang noneksak pun saya juga kesulitan. Akan tetapi, nilainya masih di atas standar, yakni 7.

Memang, di antara kelebihannya, itu sekadar penilaian semata. Artinya, penilaian itu hanya satu indikasi untuk mengetahui potensi individu. Terkait dengan itu, kiranya mengeluh saja itu bukan pilihan yang cerdas. Lagi pula, sisi-sisi kehidupan tidak sepenuhnya bergantung pada kecerdasan penalaran angka-angka tersebut. Teori pendidikan pun mengatakan bahwa setiap siswa memiliki bakat dan potensi masing-masing. Paling tidak itu akan terjadi pada satu dua individu. Tentu saja aku tidak mengklaim diri bahwa aku memiliki bakat dan potensi tersebut.

Kemudian, keadaan saat kelas 2 pun seperti kelas 1. Setiap pelajaran yang berhubungan dengan angka-angka seperti matematika, fisika, kimia, dan ekonomi/akuntasi sungguh sangat sulit saya nalar. Fisika dan kimia saya pernah dapat nilai 5 di rapot. Bahkan, saat itu seorang guru fisika berpendapat bahwa di kelasku kesenjangan daya tangkap siswa terhadap mata pelajaran fisika cukup jauh. Artinya, ada beberapa siswa yang mendapatkan nilai sangat baik, tetapi ada pula siswa yang mendapatkan nilai sangat kurang pada mata pelajaran tersebut. Aku termasuk siswa yang mendapatkan nilai kurang.

Di kelas 2 inilah kesibukanku bertambah sebab aku bergabung dengan salah satu organisasi ekstrakurikuler. Kala itu aku menjadi salah seorang pengurus. Cerita mengenai organisasi ini dapat dibaca di tulisanku dalam blog ini yang berjudul Majelis Taklim SMUDA Nganjuk. Terkadang ada perasaan minder saat aku tidak pandai dalam mata pelajaran yang berhubungan dengan angka-angka tersebut. Seperti pernah diceritakan bahwa mereka yang aktif di organisasi maka kemampuan akademis, termasuk kemampuan dalam setiap mata pelajaran seyogianya sesuai standar. Tentu itu tidak bisa aku penuhi. Namun, aku berusaha tetap menerima kemampuanku itu.

Kemudian, di penghujung kegiatan belajar mengajar (KBM), sebelum naik kelas 2, setiap siswa diberi kuesioner terkait dengan pemilihan program. Seingatku, dalam kuesioner itu hanya ada satu pertanyaan dan dua pilihan jawaban. Apakah siswa ingin masuk program IPS, IPA, ataukah bahasa. Saat itu ada seorang teman menyarankan jika ingin masuk IPS maka sebaiknya pilihan pertama IPA dan pilihan kedua IPS. Saran itu pun aku turuti dengan berharap aku bisa masuk IPS.

Akhirnya, aku pun masuk program IPS. Itu sesuai dengan saran dari hasil skor tes IQ. Di bandingkan dengan kelas 1 dan kelas 2, di kelas 3 ini aku relatif lebih ringan dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Paling tidak di kelas 3 ini tidak ada angka 6 di rapot dan di rapot dominan nilai 8. Agaknya aku sangat cocok masuk di program IPS ini. Akan tetapi, sama seperti kelas 1 dan kelas 2, pelajaran yang berkenaan dengan angka, di kelas 3 ini masih menjadi hal utama yang sangat sulit aku nalar.



Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember