Kamis, 26 Agustus 2010

Pelangi di Bulan Suci


Gambar diunggah dari sini.

Pelangi di Bulan Suci

Senin (23/08/2010), sore hari sekitar jam 16.45, saat saya selesai menyemprot tanaman padi dengan pestisida, terlihat pelangi di kaki langit. Saya tidak sengaja melihatnya, tetapi begitu menatap langit di sebelah tenggara, terlihat warna merah, kuning, hijau, biru yang sedang melengkung ke arah utara. Itulah pelangi. Mungkin jika sore itu saya tidak ke sawah maka saya tidak bisa melihatnya.

Kiranya itu peristiwa alam di kala senja itu langka. Munculnya di bulan suci, Ramadan, bertepatan dengan hari ke-13 pelaksanaan puasa. Tentu tidak setiap periode Ramadan muncul lukisan alam yang indah itu. Lelah dan rasa pegal di punggung karena beban alat penyemprot pestisida pun seakan-akan sirna ketika menyaksikan ciptaan Sang Khalik tersebut.

Hari itu, sejak pagi Sang Surya memang tidak bersinar dengan kuat. Pagi sampai tengah hari terasa sejuk. Baru sekitar pukul 13.30 Matahari menampakkan sinarnya secara penuh. Kemudian sinarnya meredup menjelang sore hari. Agaknya itulah tanda-tanda kemunculan Si Bianglala itu.

Saat spektrum warna di langit itu muncul, langit di sebelah timur, khususnya di tenggara terlihat mendung yang gelap. Sementara langit di barat tampak cerah, tidak mendung. Matahari pun menampakkan dirinya. Kemunculan pelangi pun karena pembiasan sinar matahari oleh titik-titik hujan.

Mendung yang gelap itu pun menunjukkan, kawasan di timur kabupaten ini baru saja turun hujan. Titik-titik hujannya disinari oleh Matahari dari sebelah barat. Beberapa saat setelah pelangi itu menghilang, langit di atas tempat tinggal saya pun turun gerimis. Namun, hanya beberapa menit.

Konon, pelangi itu adalah seekor Ular Naga raksasa yang sedang minum di suatu tempat. Begitulah cerita dari orang sepuh yang saya dengar saat saya kanak-kanak. Saat itu saya percaya saja. Bentuknya memang seperti ular yang kepalanya sedang minum di suatu tempat. Tak salah jika orang Makassar menyebutnya Ular Mengiang. Orang Jawa menamakannya Keluwung.

Keesokannya, Selasa (24/08/2010), sekitar pukul 03.00 turun gerimis. Menjelang pagi, gerimis pun berhenti dan pagi hari terlihat cerah. Sampai tengah hari Matahari bersinar dengan kuat. Menjelang sore hari di langit kabupaten ini tampak mendung. Persisnya saat hampir pukul 15.00 hujan turun dengan lebat. Sampai pukul 17.00 hujan gerimis masih tampak.

Suhu udara malam hari pun terasa lebih dingin daripada hari-hari sebelumnya. Sejumlah orang memakai jaket saat melaksanakan sholat tarawih. Hujan yang turun dengan lebat di sore hari itu pun agak langka. Apalagi bulan Agustus biasanya sudah kemarau dan tidak turun hujan. Apalagi hujan itu turun di bulan suci, Ramadan. Namun, sayangnya setelah turun hujan itu pelangi tidak menampakkan diri lagi.


Sabtu, 21 Agustus 2010

Ramadan


Gambar diunggah dari sini.

Ramadan

Seorang teman pada awal puasa mengirim pesan pendek (sandek) lewat telepon seluler (ponsel) pada saya. Katanya, Ramadan ini terasa begitu cepat datangnya. Seorang teknisi sepeda motor pun mengiyakan saat saya mengatakan Ramadan kali ini terasa datang dengan cepat. Karikatur di salah satu koran pun mengutarakan, Ramadan terasa begitu cepat datang kembali. Bulan Ramadan berarti melaksanakan ibadah puasa. Dalam karikatur itu pun dikatakan, setiap bulan “kita” (rakyat kecil) sudah melaksanakan puasa (kelaparan) sehingga sudah terbiasa.

Saya pun juga merasakan tiba-tiba datang Ramadan lagi. Memang, jika dibandingkan dengan Ramadan tahun 2009, Ramadan 2010 ini maju sepuluh hari. Namun, begitu saya melihat kembali judul Puasa yang saya tulis pada Ramadan 2009 sepertinya judul itu sudah lama saya tulis. Jadi persepsi tentang Ramadan itu berkaitan dengan waktu. Waktu atau periode juga bisa bersifat relatif pada setiap orang.

Saat berada di Ramadan 2010, seseorang bisa saja mengingat momentum Ramadan 2009 silam. Misalnya, saat seseorang ditanya pada hari Sabtu, tentang cepatnya datang bulan Ramadan maka seseorang bisa merasakan Ramadan itu baru kemarin dilaksanakan. Seperti kata teknisi sebuah bengkel tadi. Padahal, penghitungan kalender untuk menentukan Ramadan ini didasarkan pada Bulan. Rentang waktu antara Ramadan 2009 dan Ramadan 2010 pun terbilang satu tahun. Dibandingkan dengan penanggalan yang didasarkan pada Matahari, penanggalan berdasarkan Bulan ini lebih cepat.

Saya sesungguhnya tidak paham betul tentang penanggalan, baik Hijriah maupun masehi. Namun, sampai periode sekarang, Ramadan datang lebih cepat. Buktinya, Ramadan 2010 ini maju sepuluh hari dari Ramadan 2009 silam. Itu jika dilihat dari penanggalan Masehi.

Saya terkadang bertanya-tanya, di sebuah televisi tertulis kata “Ramadhan” dengan “h”. Namun, di televisi lainnya tertulis kata “Ramadan” tanpa “h”. Jika saya melihat di KBBI edisi ketiga, cet. 3, 2002, tertulis “Ramadan”. Saya sendiri sengaja memakai judul Ramadan, berdasarkan KBBI. Mungkin penulisan “h” maupun tanpa “h” pada bulan ke-9 Hijriah itu bukanlah masalah.

Pada bulan Ramadhan ini pun umat Islam diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Berbuka puasa, sholat tarawih, khataman Al Quran setelah shalat tarawih, santap sahur maupun rangkaian ibadah lainnya adalah beberapa hal yang dilakukan berkaitan dengan Ramadan. Terkait khataman, di facebook saya pernah menulis “Maaf, bukannya saya benci dengan khataman Al Quran, tetapi volume amplifier di masjid terlalu keras. Hendaknya suaranya sedang-sedang saja.”

Di dusun tempat saya tinggal ini, menjelang puasa sejumlah anak ada yang bermain petasan. Beberapa di antaranya ada yang bermain blanggur, yakni sejenis meriam yang terbuat dari bambu. Amunisinya dari karbit. Tentu permainan itu bukanlah hakikat dari puasa yang sebenarnya. Menjelang puasa tahun lalu saya pernah mengirim pesan pendek lewat ponsel ke beberapa orang teman. Bunyinya “puasa menempa jiwa dalam jalan yang tak selamanya bertaburkan bunga. Ramadan menyemai kebaikan dalam jalan yang tak selamanya sarat keindahan.”

Selama puasa pun kita tidak makan maupun tidak minum selama lebih dari 12 jam. Pengalaman saya yang kini berusia seperempat abad ini agar kuat berpuasa maka nutrisinya hendaknya mencukupi. Sebagaimana disarankan oleh pakar kesehatan, misalnya konsumsi sayur dan buah. Tidak harus mahal. Syukur bisa empat sehat lima sempurna. Konsumsi protein hewani seperti daging sapi juga bagus seperti yang saya lakukan meskipun hanya sedikit. Mereka yang vegetarian juga bisa mengonsumsi protein nabati, misalnya dari tempe.

Kebiasaan menggosok gigi juga bagus untuk mempertahankan kesehatan mulut dan gigi. Selama Ramadan ini saya berusaha menggosok gigi sebelum tidur malam. Cara menggosok gigi pun hendaknya juga benar. Upayakan menggosok gigi pada seluruh area gigi, yakni bagian luar dan dalam, atas dan bawah gigi. Gosok gigi juga baik dilakukan setelah sahur, yakni beberapa menit mendekati imsak. Tujuannya agar setelah gosok gigi masih ada waktu untuk minum air putih.

Rabu, 18 Agustus 2010

Blogging Ini Sia-Sia?


Gambar diunggah dari sini.

Blogging Ini Sia-Sia?

Malam hari, Rabu, 28 Juli 2010 kedua orang tua saya menyinggung tentang kebiasaan saya ke warung internet (warnet) dan perpustakaan. Ibu-bapak saya mengatakan dua kebiasaan itu sia-sia, tidak menghasilkan uang. Nanti jika sudah berumah tangga sebaiknya kebiasaan itu ditinggalkan. Mertua dan istri bisa marah-marah karena kebiasaan itu. Orang tua saya itu belum pernah membuka internet.

Menurut mereka, internet itu hanya untuk pelajar maupun mahasiswa. Saat tidak menjadi pelajar maupun mahasiswa maka sebaiknya tidak pergi ke warnet. Ke warung internet hanya buang-buang waktu, tenaga, dan uang. Meskipun melarang saya keras secara kata, tetapi mereka tidak keras secara perbuatan.

Kedua orang tua saya lebih berbicara “hasil”. Sementara saya berbicara “proses”. Hal itu memengaruhi perbedaan pandang antara saya dan kedua orang tua saya. Menurut orang tua saya, “hasil” ini berarti menghasilkan uang. Sementara “proses” menurut saya itu menjadi bagian dari keinginan saya yang sudah satu tahun lebih ini belum terwujud, yakni menjadi guru sosiologi di Nganjuk. “Proses” berarti belum menghasilkan uang. Saya menyadari pandangan orang tua saya itu.

Saya berpikir, status guru sosiologi itu mungkin bisa memudahkan saya dalam membaca koran maupun memanfaatkan internet. Membaca koran inilah salah satu alasan utama saya pergi ke perpustakaan, selain meminjam buku. Umumnya lembaga pendidikan berlangganan koran. Jika saya membaca koran di internet maka saya akan membayar tarif internet. Sementara jika saya membaca koran di perpustakaan maka saya tidak perlu bayar. Paling-paling saya mengeluarkan sedikit uang untuk bensin motor.

Saya merasa tidak bisa menulis, tanpa membaca, misalnya koran. Saya merasa membaca koran merupakan kebutuhan bagi saya. Terkadang saya menemukan informasi baru di koran. Koran yang juga merupakan tulisan itu secara tidak langsung dapat memengaruhi alam bawah sadar saya dalam menulis.

Kemudian, jika menjadi guru sosiologi, blog itu menjadi media saya dalam berkomunikasi. Entah dengan siswa, sesama guru, wali murid atau siapa pun dalam jejaring sosial di dunia maya. Mungkin jika siswa saya sudah lulus maka internet dapat dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi yang baik. Seiring bertambahnya pengguna internet, syukur bisa seperti popularitasnya “keong racun” meskipun hanya sesaat.

Selain itu, blogging ini saya niatkan menjadi upaya saya menjadi penulis. Namun, sampai sekarang saya tidak begitu tahu apa sebaiknya yang saya tulis. Tulisan saya tidak seperti Andrea Hirata dengan tulisan sains-fiksinya. Bukan juga seperti buku hariannya Ahmad Wahib yang “bergolak”. Bukan pula seperti blog-nya Raditya Dika yang banyol atau penulis-penulis yang tenar lainnya. Saya hanya ingin menikmati kebiasaan atau hobi saya dalam menulis.

Saya blogging atau ngeblog sejak akhir 2008. Semenjak itu sampai Agustus 2010 ini saya berusaha rutin mempublikasikan tulisan atau artikel setiap bulannya. Setiap bulannya rata-rata ada tiga sampai empat artikel. Saya biasanya mempublikasikan artikel saya itu setiap seminggu sekali. Jadi, setidak-tidaknya saya pergi ke warnet seminggu sekali. Akan tetapi, rata-rata saya seminggu dua kali, sesuai kebutuhan. Satu kali ke warnet biasanya saya mengambil paket dua jam dengan tarif saat ini Rp 5.000,-.

Maklum, di warnet itu saya tidak semata-mata mempublikasikan tulisan. Terkadang saya mengunduh lagu dalam format mp3. Sesungguhnya pengunduhan itu tergolong ilegal sebab melanggar hak cipta. Namun, mudah saja mengunduh lagu di internet sebab ada situs yang menyediakannya. Lagi pula jika membeli dalam bentuk kaset maka akan lebih mahal dan tidak praktis. Selain itu, saya juga tidak memperbanyak lagu yang saya unduh untuk tujuan komersial.

Blogging sendiri bermakna luas. Artinya, tidak melulu pada karya tulis. Kiat-kiat dalam dunia software maupun hardware dalam komputer juga tergolong blogging. Setidak-tidaknya blogging itu seorang blogger menyuguhkan sesuatu yang baru, yang orisinil di dunia maya dalam batas-batas tertentu, tidak melanggar hukum.

Saya pun sadar, produk dari seni tulis (tulisan di blog, buku, koran, dsb) ini masih kalah populer dengan, misalnya produk seni suara yang dihasilkan oleh musisi-musisi Indonesia. Produk dari seni tulis oleh penduduk di negara ini masih dianggap sebagai hal yang jelimet dan kalah menghibur dengan nyanyian.

Saya sesungguhnya malu menulis atau curhat seperti ini. Tulisan saya cenderung tentang sedih yang saya alami. Isinya hal-hal yang pesimis. Namun, saya merasa curhat seperti ini masih dalam batas-batas yang wajar. Dalam teori menulis sebagai terapi mungkin kebiasaan saya ini bagus. Namun, dari segi ketegaran diri maka saya hendaknya mengikuti seperti saran-saran, misalnya dari buku motivasi maupun buku seri penyejuk hati seperti Jangan Bersedih (2004). Namun, terkadang betapa sulitnya suatu masalah saat kita mengalami sendiri.



Sabtu, 14 Agustus 2010

Cetak STNK 5 Tahun


Gambar diunggah dari sini.

Cetak STNK 5 Tahun

Senin, 8 Agustus 2010 saya bersama ibu saya pergi ke kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) di kabupaten ini. Tujuannya untuk cetak Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK) untuk jenis dan model sepeda motor. Motor yang dibuat tahun 2000 ini sendiri isi silindernya 100 CC. Saya tiba di Samsat sekitar pukul 08.30. Saya pun sengaja mengajak ibu saya sebab STNK itu atas nama ibu saya. Jika tidak mengajak ibu saya maka saya perlu membuat surat kuasa yang ditandatangani di atas materai oleh ibu saya.

Begitu saya datang, saya langsung menuju cek fisik kendaraan. Namun, begitu saya bertanya pada seorang pemandu, hendaknya menuju tempat foto kopi terlebih dahulu. Sebetulnya pihak Samsat telah membuat papan, terkait alur pengurusan surat-surat kendaraan bermotor. Namun, orang-orang tidak terbiasa membaca papan pemberitahuan seperti itu.

Saya kemudian membawa motor saya di parkir sebab dekat dengan foto kopi (fk). Saya heran sebab saat saya parkir, saya tidak dikenai karcis oleh petugas parkir. Di tempat fk ini saya menyerahkan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik ibu saya, dan STNK.

Karyawan di fk ini kemudian memberikan plastik tempat STNK dan map rangkap dua. Di fk saya membayar Rp 5.000,-. Setelah itu, BPKB, KTP, STNK itu foto kopi. Tentu saja karyawan di fk itu sudah tahu berapa rangkap yang akan difoto kopi. Setelah itu, saya kembali lagi ke cek fisik kendaraan. Saat saya akan mengambil motor, petugas parkir bertanya pada saya apakah saya akan cek fisik. Petugas itu tahu dari map yang saya bawa. Waktu itu pun petugas tidak menarik uang parkir.

Di tempat cek fisik ini setiap kendaraan di gosok nomor seri mesinnya. Letak nomor seri mesin pun berbeda pada setiap merek kendaraan. Untuk merek kendaraan tertentu maka harus membuka tutup, khususnya di bagian mesin. Karena pemilik kendaraan yang cek fisik tidak hanya satu maka setiap pemilik kendaraan harus antre. Maklum, cek fisik kendaraan ini dalam lingkup kabupaten. Jadi, pemilik kendaraan yang STNK nya jatuh tempo pada Agustus 2010 maka umumnya mereka mengurus pada Agustus 2010.

Ada kejadian yang saya ingat di cek fisik kendaraan ini. Saat itu dua petugas yang menggosok nomor seri mesin. Di samping saya ada seorang gadis berwajah artis. Salah satu petugas, yakni seorang laki-laki mengatakan pada si gadis agar “membuka” dulu. Maksudnya, adalah petugas harus membuka tutup di bagian mesin untuk menggosok nomor seri mesin. Namun, kata “membuka” itu cenderung bernada pelecehan secara kata-kata atau verbal pada si gadis. Namun, si gadis diam saja.

Selesai di gosok, saya menyerahkan map yang saya bawa ke loket cek fisik. Ada beberapa orang yang juga antre di situ. Begitu nama saya dipanggil, saya perlu membayar Rp 20.000,-. Setelah itu, saya pun memarkir motor saya di tempat parkir. Baru di tempat parkir ini juru parkir memberikan karcis parkir dan dibayarkan nanti saat akan mengambil motor atau saat akan pulang.

Dengan mambawa map tadi, saya langsung menuju seorang pemandu. Saya bertanya, saya ingin ganti plat dan saya harus menuju ke lokat mana. Oleh pemandu saya diminta antre di loket sebelah kanan. Inilah fungsi pemandu. Di loket ini ada dua antrean. Antrean di kiri untuk HER motor dan antrean di sebelah kanan untuk cetak STNK 5 tahun. Tentu saja di loket sebelah kanan ini juga untuk balik nama dan pengurusan lain-lain terkait dengan kepemilikan kendaraan.

Pada saat antre itu saya sempat mencatat jam buka Samsat. Senin sampai dengan Kamis buka pukul 07.30-13.00. Jumat dan Sabtu buka pukul 07.30-12.00. Waktu antre itu pun saya sempat mengeluh dalam hati. Saat itu tiba-tiba ada seorang bapak yang bertanya dirinya mau balik nama, di depan saya dalam antrean. Saat itu kurang lebih ada 12 pengantre di loket sebelah kanan ini. Dia sudah sejak pagi berada di Samsat. Dua orang pengantre di antrean sebelah kanan ini pun menanggapi maksud bapak itu.

Herannya bapak itu malah tetap berada di situ dan tidak mengantre di belakangnya. Rupanya bapak itu hanya ingin menerabas dan tidak mau antre di belakang. Kemudian, salah satu orang yang menanggapi pembicaraan bapak tadi persis berada di belakang saya saat mengantre. Dengan wajah tanpa perasaan bersalah, tiba-tiba dia berada di depan saya. Dia telah mendahului antrean saya. Di tambah bapak tadi.

Saya pun hanya mengeluh dalam hati seperti orang tak berdaya. Saya tidak mengata-ngatai dua orang itu. Mungkin inilah wajah masyarakat saya. Lagi pula, saya berpikir positif, tidak setiap orang seperti dua orang yang saya ceritakan ini. Jika ada maka semoga jumlah sedikit. Begitu giliran, saya dimintai KTP milik saya. Maklum, STNK itu atas nama ibu saya.

Di loket pengambilan formulir ini saya membayar Rp 90.000,-. KTP saya pun dikembalikan lagi. Saya lalu kembali bertanya pada pemandu. Saya diminta mengisi formulir dari loket tadi. Untungnya saat itu pemandu masih memiliki pena untuk menulis. Saya pun lupa membawa pena sendiri. Di akhir isian ada tanda tangan pemohon. Saya pun meminta ibu saya menandatanganinya. Setelah itu, saya masuk ke tempat pembayaran setelah sebelumnya saya bertanya pada pemandu.

Sebetulnya, cetak STNK ini diurus oleh nama yang tercetak di STNK. Jika tidak maka saya seharusnya membuat surat kuasa yang ditandangani oleh ibu saya dengan materai seperti saya tulis di awal paragraf. Namun, petugas hanya meminta KTP saya untuk dicocokkan. Alamatnya sama persis dengan di KTP milik ibu saya. Jadi, jika saya tidak mengajak ibu saya maka sebetulnya cetak STNK itu bisa dilakukan.

Pembuatan surat kuasa maupun petugas yang menanyai KTP milik saya itu pun tampaknya bertujuan agar pemilik STNK itu jelas. Artinya, saya bukan calo pengurus cetak STNK 5 tahun. Selain itu untuk membuktikan bahwa saya bukan pencuri motor yang saya urus ini.

Map saya kumpulkan di meja. Beberapa menit kemudian nama ibu saya dipanggil. Saya pun menuju meja tersebut. Petugas memberikan KTP dan kuitansi pembayaran di loket cetak STNK 5 tahun. Saya pun diberitahu, BPKB baru bisa diambil sepuluh hari lagi.

Saya pun harus menunggu lagi. Beberapa menit kemudian, nama ibu saya dan alamat desanya dipanggil. Saya pun bergegas menuju salah satu kasir. Di sinilah saya membayar Rp 152.000,-. Jumlah itu untuk pajak. Lengkapnya yakni Bukti Pembayaran Pajak Daerah PKB/BBN-KB dan SWDKLLJ. Biasanya juga disebut HER. Jadi, cetak STNK 5 tahun ini dengan sendirinya berarti juga HER.

Setelah itu saya masih menunggu STNK yang baru. Begitu saya menunjukkan bukti HER di salah satu loket, STNK masih belum dicetak. Saya pun menunggu di tempat duduk. Beberapa saat kemudian, nama ibu saya dipanggil. Saya pun menuju loket pengambilan STNK yang baru. Di loket ini sudah tidak membayar lagi. Petugas pun meminta saya mengambil plat di sisi barat musola.

Loket yang dimaksud adalah tempat mencetak Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) atau juga disebut dengan plat motor. Di loket ini STNK dikumpulkan sebagai nomor antrean. Semua tahapan umumnya harus antre, tak terkecuali di loket ini. Sampai akhirnya nama ibu saya dipanggil. Saya masuk loket dan diminta tanda tangan sebagai bukti telah mengambil TNKB. Di loket TNKB ini pun tidak ditarik biaya.

Setelah TNKB diberikan maka selesailah cetak STNK 5 tahun. Namun, saat di loket TNKB itu saya sempat bertanya yang juga cetak STNK 5 tahun. BPKB beliau sudah diberikan, sedangkan saya tidak. Saya pun kembali bertanya pada seorang petugas saat saya mengumpulkan map dan memberikan KTP ibu saya. Katanya, ada penyesuaian nomor sehingga BPKB milik ibu saya ini baru bisa diambil sepuluh hari lagi.

Kemudian, saya kembali di loket pengambilan BPKB. Di loket ini ada pemberitahuan secara tertulis. Pengambilan BPKB harus dengan KTP asli dan STNK asli. Sementara itu, Senin 8 Agustus 2010 STNK beserta motornya akan dibawa oleh adik saya ke Surabaya, selesai cetak STNK 5 tahun. Adik saya kuliah di Surabaya. Saya pun diminta memfoto kopi STNK itu di tempat foto kopi. Foto kopi STNK pun ditandatangani oleh petugas sebagai bukti saat mengambil BPKB.

Saya pun mengambil motor di tempat parkir. Tarif parkir sebesar Rp 1000,- pun saya bayar. Saat itu jarum jam menunjuk angka 11.05. Saya langsung pulang, tetapi sempat mampir di warung makan membeli sayur. Saya tiba di rumah sekitar pukul 11.30. Di rumah saya menghitung cetak STNK dengan spesifikasi motor seperti itu menelan biaya Rp 268.000,-. Biaya itu sudah termasuk tarif parkir.

Sabtu, 07 Agustus 2010

Kaki-ku Keseleo


Gambar diunggah dari sini.

Kaki-ku Keseleo

Kejadiannya begitu cepat. Saat itu, Senin 2 Agustus 2010 sekitar pukul 11.30 saya meninggalkan warung internet (warnet). Galon air minum yang kosong saya letakkan di depan dan saya apit. Saya lalu menghidupkan mesin motor. Begitu motor berjalan sekitar dua meter, motor menuruni trotoar jalan. Pada saat yang sama saya memindah transmisi ke gigi dua. Ternyata kaki kiri saya terpeleset atau lepas dari injakan transmisi saat akan pindah ke gigi dua.

Bagian tumit masih menyentuh gagang injakan kaki pada motor. Seketika itu juga kaki kiri saya bergesekan dengan lantai turunan trotoar sebab jaraknya dekat. Maklum, trotoar jalan lebih tinggi daripada jalan yang beraspal. Kaki kiri saya terkunci, sementara motor melaju menuruni trotoar jalan. Pergelangan kaki kiri saya pun tertekuk. Akhirnya, kaki kiri saya terkilir alias keseleo.

Rasanya sakit. Saya kaget sambil menahan sakit. Namun, rasa sakit itu tidak membuat air mata saya mengalir. Galon pun saya letakkan di samping motor dan saya berhenti di pinggir jalan, di bawah pohon. Untunglah saat itu saya memakai sandal selop. Jika tidak maka mungkin jari kaki kiri saya akan bergesekan dengan turunan trotoar. Mungkin juga saya tidak konsentrasi dalam mengendarai motor. Atau, alas sandal selop saya tergolong licin untuk injakan persneling motor yang terbuat dari besi itu.

Saya menggerak-gerakkan kaki yang keseleo itu. Terkadang saya memijit-mijitinya. Saya berharap itu tidak sakit serius. Seketika itu juga tiba-tiba saya merasa sangat haus dan lapar. Namun, masih bisa saya tahan. Beberapa meter di depan saya ada rumah sakit umum (RSU). Namun, terlalu manja jika saya ke RS hanya kerena keseleo. Saya pun mencoba menginjak gagang transmisi motor saya. Ternyata masih bisa. Saya pun melanjutkan perjalanan.

Di agen penjual air minum saya membeli air minum dalam kemasan, ukuran 600 ml. Saya juga membeli air minum galon. Namun, saya sengaja menitipkannya sebab saya akan pergi ke perpustakaan, tak jauh dari agen penjual air minum. Di agen penjual air minum itu pun saya berjalan dengan agak pincang.

Di perpustakaan, di halaman parkir, saya meminum air minum yang saya beli tadi. Beberapa saat kemudian, saya membuang plastik, tutup kemasan di tempat sampah. Setelah itu, saya masuk ke perpustakaan. Saya pun mengambil sebuah koran dan membawa botol air minum. Entah bagaimana pandangan orang-orang saat itu. Saya tidak mempedulikannya.

Saya tidak lama di perpustakaan. Setelah mengambil galon air saya pun pulang. Untunglah kaki kiri saya masih mampu menginjak persneling motor. Saat mengendarai motor itu pun saya terkadang menggerak-gerakkan kaki kiri saya. Di tengah perjalanan itu saya sempat melihat turunan trotoar yang mencelakakan saya tadi.

Setiba di rumah saya mengompres kaki kiri saya itu dengan es batu agar tidak bengkak. Beberapa saat kemudian, saya meminta ibu saya memijit-mijit kaki kiri saya itu. Kemudian beliau memberi balsem. Setelah membalsem kaki kiri saya pun sempat ditarik. Entah apakah cara ini benar. Namun, setelah itu saya merasa sakitnya malah menjadi-jadi.

Sore hari rasa sakitnya malah menggila. Saya harus menggunakan tumit kaki yang sakit itu untuk berjalan. Saya pun berjalan pincang dan harus menahan sakit di setiap langkah. Kaki pun terlihat bengkak. Menjelang maghrib saya mengompres dengan es batu untuk mengurangi sakitnya. Malam harinya saya mengolesinya dengan balsemnya. Untungnya rasa sakit itu tidak menghebat di malam hari. Keesokan paginya, rasa sakitnya sudah berkurang. Akan tetapi, sisa-sisa rasa sakit masih ada dan masih terlihat bengkak.

Saya pun kemudian berpikir, kecelakaan memang bisa menimpa siapa saja. Saya juga berpikir mengapa kemalangan itu terjadi pada saya? Padahal saya waktu itu bukan kali pertama saya menaiki motor itu. Andai saja saya bisa kembali beberapa jam maka saya tidak akan memindah transmisi motor saya di turunan trotoar itu. Atau, jika saat itu saya menginjak persneling dengan tepat. Namun, ini bukan penyesalan.

Keseleo-nya kaki kiri saya itu juga disebabkan oleh saya sendiri. Tidak tepat rasanya jika menyalahkan orang lain. Itu juga merupakan takdir atau garis dalam hidup saya yang mau tidak mau harus saya jalani. Lain kali saya akan lebih berhati-hati dan semoga ini menjani pelajaran kita bersama.

Senin, 02 Agustus 2010

Sistem yang Menjerumuskan?


Gambar diunggah dari sini.

Sistem yang Menjerumuskan?

Judul itu terilhami saat saya membaca sebuah artikel pada sebuah kolom opini di sebuah koran nasional. Namun, dalam artikel itu tiga kata itu bukan judul. Tiga kata itu terkait dengan sistem yang menjerumuskan sehingga ada celah untuk melakukan korupsi. Tiga kata itu terletak di sebuah paragraf di akhir artikel. Saya sudah tidak lagi bisa melacak judul dan kapan artikel itu diterbitkan. Saya pun merasa tercerahkan saat membaca tiga kata itu meski tiga kata itu bukan hal baru.

Maksudnya, dalam sosiologi ada teori sistem. Dalam aliran teori itu, masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem. Katakanlah sistem ini ibarat sepeda yang dikayuh oleh pengendaranya. Kita tahu sepeda terdiri atas bagian-bagian seperti setang, sadel, rem, dan lain sebagainya. Terkait sistem, sebuah sepeda dapat berjalan karena memiliki dua roda. Roda itu digerakkan oleh sepasang pedal yang dikayuh oleh pengendaranya. Rangkaian rantai menghubungkan pedal dengan roda belakang. Saat roda belakang bergerak maka roda depan ikut bergerak. Begitu seterusnya.

Namun, saat seseorang mengendarai sepeda dengan kecepatan tertentu dan tidak memerhatikan bahwa remnya rusak maka seseorang itu bisa celaka. Karena itu, ada sub-sistem yang rusak pada sepeda, yakni sistem remnya. Dengan kata lain, kerusakan sistem rem itu bisa menjerumuskan pengendara sepeda. Ini hanya perumpamaan saja. Terlebih pada sebuah sistem seperti sistem sosial pada sebuah negara hal ini sungguh sangat komplek.

Lewat tulisan ini saya juga ingin mengukui sekaligus ini sebagai contoh. Saya tergolong bukan warga negara Indonesia (WNI) yang baik. 10 Mei 2010 yang lalu yang mengurus SIM A dengan memakai jasa oknum. Dengan Rp 320.000,- saya mendapatkan SIM A dalam waktu tiga hari. SIM A milik saya itu pun sah dan asli. Pengurusan SIM dengan cara terselubung seperti ini pun sudah menjadi rahasia umum. Paling tidak orang-orang di kampung halaman saya ini tahu.

Sebelum mengurusnya saya bertanya pada sejumlah orang tentang pengurusan SIM A. Dua orang yang sebelumnya telah mengurus SIM A dengan cara “titip”, menyarankan agar juga “titip”. Satu orang lagi secara tersirat juga menyarankan agar “titip”. Satu orang lagi, memilih netral. Kesimpulan saya, pengurusan SIM A lebih mudah “titip” daripada mengurus sesuai prosedur.

Prosedurnya SIM harus diurus bukan dengan cara “titip”. Dengan “titip” itu pencari SIM memang tidak mengikuti serangkaian tes seperti tes kesehatan, tes tulis, dan tes mengemudi. Jika lulus serangkaian tes itu, biaya pengurusan SIM sesuai prosedur memang lebih murah. Namun, konon, misalnya tes tulis itu tidak mudah. Banyak orang yang tidak lolos saat tes tulis.

Sosialisasi tes seperti tes tulis pun agaknya kurang maksimal. Materi apa yang diujikan, bagaimana mengerjakan soal-soal tes, kiranya tak banyak disosialisasikan. Sebagian orang yang tidak lolos pada tes itu pun memengaruhi pencari SIM untuk mengurus SIM dengan cara “titip”. Meskipun agak mahal, tetapi ada jaminan mendapatkan SIM. Artinya pula, sistem seperti itu menjerumuskan orang untuk mengurus SIM dengan cara “titip”.

Sebagai perbandingan, baca juga tulisan saya yang lain berjudul Mengurus SIM C di arsip Juli 2010. Agaknya sejak tanggal 25 Mei 2010 para pencari SIM tidak bisa “titip” lagi. Artinya, cara “suap” kiranya sudah tidak bisa lagi dilakukan. Dalam tulisan itu pula, saya ceritakan betapa tidak mudahnya mengurus SIM C.

Contoh kedua, masih tentang diri saya. Dulu saat masa orientasi siswa baru di Sekolah Menengah Atas (SMA) setiap siswa diberi beberapa lembar kertas. Isinya berupa daftar nama-nama kakak kelas, yakni yang aktif di organisasi ekstrakurikuler. Setiap nama dalam daftar itu harus dimintakan tanda tangan oleh siswa baru. Tujuannya agar siswa baru mengenal kakak kelasnya. Namun, juga terkesan “meng-orientasi” siswa baru.

Dalam waktu sekian hari yang notabene waktunya terbatas, setiap siswa baru idealnya harus mendapatkan tanda tangan dari kakak kelas. Jika tidak akan ada sanksi meskipun sanksinya belum ditentukan. Sementara itu mustahil bisa mendapatkan semua tanda tangan sebanyak nama yang ada di daftar. Sanksi itu pun memunculkan ketakutan dalam diri sebagian siswa baru. Salah satunya saya.

Maklum, usia masuk jenjang SMA, individu cenderung polos. Dalam sistem seperti itu, memungkinkan terjadi pemalsuan tanda tangan, sementara tidak ada antisipasi terhadap pemalsuan ini. Lagi pula, tidak ada penjelasan mengenai tanda tangan itu jauh-jauh hari sebelumnya. Misalnya, siswa hendaknya tidak memalsukan tanda tangan. Alasannya tindakan itu tidak benar alias curang atau tidak jujur. Saat itu ada satu teman saya yang tahu saya memalsukan beberapa tanda tangan. Teman saya itu juga memalsukan tanda tangan seperti saya. Dalam hati nurani saya merasa bahwa itu tidak benar. Namun, berhubung akan sanksi maka akhirnya saya memalsukannya.

Akhirnya, beberapa hari sejak tanda tangan itu diberlakukan, sejumlah guru masuk ke setiap kelas. Guru meminta agar yang merasa memalsukan tanda tangan berkumpul di lapangan basket. Kira-kira ada 15 siswa yang mengaku memalsukan tanda tangan, salah satunya adalah saya. Itu pun atas ajakan dari teman saya tadi dan ini sebagai wujud kejujuran dan tanggung jawab. Seingat saya yang mengaku saat itu semuanya adalah laki-laki. Saat itu pun ada dua guru yang membimbing dan menyesalkan perbuatan tersebut.

Contoh lainnya adalah teman saya. Cerita ini pun saya dengar dari teman saya yang lain. Ceritanya, sebelum tes pegawai negeri sipil (PNS) tahun 2008 di sebuah kabupaten, teman saya ini masih lulusan nonkependidikan. Padahal, dia akan mengisi formasi kependidikan. Agar dapat mengisinya, dia memerlukan akta mengajar IV (A-IV). Begitu lulus dia belum memiliki A-IV.

Akhirnya, dia “membeli” A-IV pada sebuah perguruan tinggi swasta. Pengurusan A-IV itu pun memerlukan waktu sekitar dua minggu. Padahal, aturannya A-IV ditempuh dalam waktu dua semester. Sejak awal, penerapan A-IV pun tak luput dari perdebatan. “Membeli” A-IV tanpa menempuh perkuliahan jelas curang. A-IV itu sendiri sangat penting bagi karier teman saya itu. A-IV pun diakui dan sah. Dia pun lolos dalam tes PNS di sebuah kabupaten.

Lembaga tempat dia memperoleh gelar sarjana nonkependidikan kiranya tak banyak memberi perhatian terkait dengan A-IV ini. Jurusan nonkependidikan dalam bidang akademis noneksak pun terkesan kehilangan orientasi akan kejelasan lulusan setelah lulus. Antara lulusan nonkependidikan dan kependidikan pun tak luput dari saling tuding. Misalnya, kemampuan lulusan antara nonkependidikan dengan lulusan kependidikan dalam mengajar di sekolah. Sekali lagi, sedikit perhatian mengenai A-IV ini pun dapat menggoda seseorang, bahkan menjerumuskan seseorang untuk berbuat curang.

Kecurangan itu dinilai dari kesepakatan yang terwujud dalam peraturan. Misalnya, peraturan tentang A-IV itu harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Jelasnya, bukan dalam waktu dua minggu. Kecurangan atau pelanggaran itu pun dapat memunculkan kecemburuan.

Membicarakan negara sebagai sebuah sistem organisasi, sosiologi memandang bahwa organisasi harus memiliki sistem yang baik. Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi ujung tombak utama. Sama halnya dengan si pengendara sepeda tadi sebagai ujung tombak dalam menjalankan sistem bernama sepeda. Jadi, dalam dua contoh tadi adalah kepemimpinan yang sekaligus memegang wewenang dalam lembaga kepolisian maupun lembaga pendidikan.

Dalam kaitan ini, individu hendaknya memiliki kesadaran atas sistem tempat individu tinggal. Misalnya, dalam contoh pemalsuan tanda tangan di atas hendaknya diikuti antisipasi agar siswa tidak memalsukan tanda tangan. Jadi, bukan malah mengancam dan menakut-nakuti siswa dengan sanksi yang belum jelas. Akhirnya bisa menjerumuskan siswa sebagai individu memalsukan tanda tangan.

Demikian juga dengan pandangan psikologi. Setiap individu pada dasarnya bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Agak berbeda dengan sosiologi, psikologi biasanya menyeru pada individu dalam suatu sistem. Kerapuhan jiwa individu hendaknya dijauhi. Tujuannya agar sistem itu berjalan ideal dan dapat diandalkan.

Dalam kaitan ini, seburuk apapun sistem atau sebagus apapun sistem, individu haruslah tegar menjalani sistem tersebut. Individu harus memulai dan mengubah dari dirinya sendiri menjadi individu yang tangguh sebelum mengubah sistem di luar dirinya. Pada saat yang sama, sebetulnya individu juga sebagai sistem yang berjalan mekanis. Namun, dalam ruang lingkup individu sebagai satu tubuh.

Dalam kaitan ini pula, seseorang yang ingin mendapatkan SIM C tidak boleh “titip”. Sama halnya, seseorang yang ingin memperolah A-IV hendaknya juga tidak membeli A-IV yang jadi dalam waktu dua minggu.

Meskipun demikian, suatu sistem sangat mungkin memiliki kelemahan. Bagaimanapun juga kelemahan sistem itu perlu diminimalisasi. Tujuannya agar kelemahan itu tidak merusak sistem. Jika sebuah sistem yang rusak maka yang rugi juga kita sendiri. Jika kita tidak rugi maka yang akan menanggung ruginya adalah anak cucu kita, generasi kita yang akan datang. Terkecuali jika kita memang menginginkan sistem itu berjalan seperti itu.