Minggu, 24 Oktober 2010

Ganti Plat Pikap

Ganti Plat Pikap

Judul itu hampir sama dengan judul Cetak STNK 5 Tahun yang telah saya publikasikan. Ganti plat berarti juga mencetak Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) 5 tahun. Namun, judul tersebut untuk kendaraan jenis roda dua. Sementara judul ini kendaraan jenis roda empat, yakni pikap. Prosedurnya sama, tetapi cetak STNK untuk pikap biayanya lebih mahal.

Ganti plat pikap pada Jumat, 22 Oktober 2010 ini total biayanya Rp 864.000,-. Pikap milik bapak saya itu tahun 1997 dengan silinder 1295 CC. Umumnya biaya itu berdasarkan silinder, tahun kendaraan, dan jenis kendaraan. Sementara kendaraan roda dua tahun pembuatan 2000 dengan silinder 100 CC, biaya totalnya Rp 268.000,-. Rincian ganti plat pikap ini sebagai berikut:

- Biaya foto kopi Rp 5.000,-

- Administrasi di loket cek fisik Rp 30.000,-

- Administrasi pelayanan formulir Rp 135.000,-

- HER Rp 617.000,-

- Asuransi Rp 72.000,-

- Ambil plat Rp 5.000,-

TOTAL Rp 864.000,-

Kamis, 14 Oktober 2010

Mengurus SKCK

Mengurus SKCK

Senin, 11 Oktober 2010 yang lalu saya mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Hari itu merupakan kali pertama saya mengurusnya. Anda mungkin tahu, saya mengurusnya sebagai salah satu syarat melamar pekerjaan. Tulisan ini ingin berbagi pengalaman bagaimana mengurus SKCK. Semua hal yang berkaitan dengan SKCK ini ada pada pihak berwenang.

Pertama, pagi hari saya mengurusnya di kantor desa tempat saya lahir. Begitu SKCK selesai diketik oleh sekretaris desa (sekdes), saya diminta menyerahkan foto ukuran 3 x 4 sebanyak 1 lembar. Sebelumnya Sekdes menanyai identitas seperti nama, tanggal dan tahun lahir, dan keperluan pembuatan SKCK itu. Begitu selesai, saya langsung ke Komando Rayon Militer (Koramil) dengan membawa SKCK dari kantor desa tadi. Di Koramil ini saya diminta SKCK yang satu lembar tadi agar diberi map.

Selesai dari Koramil saya langsung ke kantor kecamatan yang letaknya bersebelahan dengan Koramil. Di Koramil tadi saya dikenai biaya Rp 5.000,-. Baik Koramil maupun kecamatan ini SKCK tadi ditandatangani oleh pejabat berwenang. Setelah itu, saya menuju ke Kepolisian Sektor (Polsek) yang letaknya juga tidak jauh dari kantor kecamatan. Baru di Polsek ini saya diminta foto ukuran 3 x 4 sebanyak satu lembar. Saya juga dimintai foto kopi KTP dan foto kopi Kartu Keluarga (KK), masing-masing satu lembar.

Setelah SKCK dari Polsek selesai dibuat saya langsung ke Kepolisian Resor (Polres). Sebelumnya, di Polsek ini saya dikenai biaya Rp 15.000,-. Di Polsek ini map saya juga tidak diberikan sehingga saya hanya membawa satu lembar SKCK dari Polsek ke Polres. Mulai dari kantor desa sampai Polsek ini saya mengurus sendirian. Artinya, saat saya mengurusnya, tidak ada orang yang juga mengurusnya. Namun, setelah di Polres, sejumlah orang juga mengurusnya. Akan tetapi, tidak sampai antre yang panjang.

Di Polres ini saya menuju ke ruangan yang di atas pintunya terdapat tulisan PELAYANAN SKCK. SKCK yang dari Polsek tadi saya letakkan di meja petugas. Setelah itu, petugas memberi saya dua lembar formulir yang harus saya isi. Dengan pena yang saya bawa sendiri, saya mengisinya. Saya juga meminta blangko sidik jari di salah satu ruangan. Saya lupa nama ruangannnya.

Selesai mengisi formulir dan blangko tadi, saya sidik jari. Sudah ada petugas laki-laki yang membantu sidik jari. Sepuluh jari tangan harus mengenai tinta sidik jari. Di meja sidik jari itu juga ada dua lembar serbet untuk membersihkan tinta sidik jari. Kemudian, saya kembali ke ruangan tempat saya mengambil blanko sidik jari tadi. Saya agak lupa, di ruangan ini petugas meminta foto berwarna berapa lembar. Seingat saya satu lembar ukuran 3 x 4 sebanyak satu lembar.

Di Polres ini saya juga agak lupa. Namun, seingat saya, di Polres ini saya juga diminta foto kopi KTP sebanyak satu lembar dan foto kopi KK sebanyak satu lembar. Misalnya seperti foto tadi, pengurus SKCK menyiapkan foto agar dalam pengurusan SKCK itu lebih lancar. Di timur komplek Polres juga telah ada tempat foto. Namun, akan lebih baik jika kita punya foto sendiri yang sesuai.

Lalu, saya kembali ke ruangan Pelayanan SKCK. Saya harus menunggu di kursi tunggu untuk beberapa saat. Kemudian, nama saya dipanggil. Saya diminta memeriksa kembali keterangan di SKCK tersebut. Di pelayanan SKCK ini saya dikenai biaya adminstrasi sebesar Rp 15.000,-. Setelah itu saya memfoto kopi SKCK yang asli itu untuk legalisir. Legalisir ini menyesuaikan dengan yang kita perlukan.

Seluruh pengurusan SKCK itu selesai hampir tengah hari. Setelah itu, saya pulang.

Senin, 11 Oktober 2010

Judul Skripsi Sosiologi

Judul Skripsi Sosiologi

Kamis, 30 September 2010 saya meng-up date facebook saya. Bunyinya “Pada dasarnya manusia itu egois”. Seorang teman ada yang menyukai up date status itu. Beberapa menit kemudian ada adik tingkat saya dulu yang mengomentari up date status saya itu. Dia mengucapkan maaf lahir batin pada saya. 10 September 2010 lalu memang 1 Syawal 1431 H sekaligus lebaran. Antara status up date dan komentarnya itu memang tidak berkaitan. Namun, berhubung di facebook, komentar itu sah-sah saja.

Dalam komentarnya itu dia bertanya, “Mas, semester ini aku mau seminar. Tapi gak nemu judul, ada saran?”. Saya kemudian balik bertanya padanya, yakni judul yang ia punya sementara ini. Namun, dia tidak segera membalasnya. Akhirnya saya menanyainya kembali lewat short message service (sms). Dia ingin meneliti tentang mitos yang ada di masyarakat tempat ia tinggal sekarang. Dia tidak ingin melakukan penelitian lapangan. Maksudnya, dia tidak ingin meneliti di suatu tempat yang jauh dari tempatnya tinggal. Hal itu juga menyangkut waktu, tenaga, dan biaya penelitian.

Saya menyarankan padanya agar segera mengerjakan skripsinya. Tujuannya, antara lain, agar cepat lulus. Saya juga menyarankan agar judul yang ia ajukan ada bobot akademisnya. Maksudnya agar tidak sembarangan dalam menentukan judul. Tujuannya agar dosen yang smart mudah meng-acc judulnya. Saat itu dia juga meminta saran penelitian tentang mitos tadi. Saya pun menanggapi, saya tidak bisa menilai konsepnya itu. Sebab itu bergantung kesepakatan antara mahasiswa dan dosen pembimbingnya.

Jika saya menilai konsepnya tentang mitos itu tidak bernilai sosiologis maka belum tentu dosen pembimbingnya menganggap tidak bernilai sosiologis. Umumnya dosen pembimbing mengikuti mahasiswa yang dibimbingnya. Entah konsepnya atau judulnya itu baik atau jelek. Umumnya setiap mahasiswa memiliki konsep sendiri-sendiri. Syukur jika judul itu unik, kreatif, dan sosiologis. Biasanya jika judulnya itu sudah sangat jelek maka dosen pembimbing meminta mencari judul yang lain.

Judul di atas sesungguhnya melengkapi tulisan saya yang berjudul Membuat Skripsi yang Sosiologis. Juga melengkapi judul Mahasiswa Sosiologi dan Dilema Skirpsi. Keduanya sudah saya publikasikan di blog ini. Khususnya judul Membuat Skripsi yang Sosiologis, sedikit demi sedikit saya edit.

Kembali pada judul di atas. Jika saya ditanya tentang judul yang bisa diteliti oleh mahasiswa sosiologi maka saya balik bertanya kembali. Apabila seorang mahasiswa meminta judul pada saya maka saya tidak bisa memberikannya. Sejelek apapun judulnya, pasti mahasiswa memiliki judul sendiri. Lagi pula jika saya memberinya judul maka belum tentu mahasiswa mau menerimanya meskipun menurut saya itu bernilai sosiologis.

Sebetulnya melalui skripsi yang telah saya buat dan ada di rak perpustakaan, sudah bisa menjadi salah satu contoh dalam membuat skripsi. Skripsi sosiologi yang lainnya, tesis dosen sosiologi, jurnal yang ditulis oleh dosen sosiologi juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan judul skripsi sosiologi. Belum lagi contoh judul dari internet.

Apalagi misalnya mahasiswa jurusan lain membacanya maka mungkin mereka tahu itu sebagai skripsi. Jika mahasiswa Sastra Indonesia membaca judul skripsi mahasiswa sosiologi maka mungkin akan merasa asing. Demikian juga jika mahasiswa sosiologi membaca judul skripsi mahasiswa Sastra Indonesia maka mungkin juga akan merasa asing.

Dari pertanyaan adik kelas saya itu pun tampaknya Program Studi Sosiologi Universitas Jember masih meminta mahasiswa mengajukan judul. Dengan begitu, dosen dapat mengetahui arah pikiran mahasiswa dalam membuat skripsi. Umumnya judul itu tidaklah final, apalagi dalam penelitian kualitatif. Artinya, judul itu bisa saja berubah. Mahasiswa saat ditanya tentang idenya terkait akan seminar untuk skripsi, biasanya bahasanya berputar-putar, kurang jelas apa maksudnya.

Lebih jauh dari ini, judul itu merupakan bagian terkecil dari proses seseorang mengerjakan skripsi. Skripsi sesungguhnya juga bagian terkecil dari proses seseorang menjadi mahasiswa. Kita tahu, penyelesaian pengerjaan skripsi bukanlah tujuan akhir dari perjalanan hidup seseorang. Umumnya setelah seseorang mengerjakan skripsi maka masih ada tahap selanjutnya. Misalnya tes untuk masuk lapangan pekerjaan.

Sebaliknya, banyak kasus menunjukkan, kelambatan masa studi mahasiswa karena persoalan skripsi. Terkadang persoalan skripsi juga bisa menimbulkan konflik antara mahasiswa dengan dosen maupun antara mahasiswa dengan orang tuanya. Juga dilaporkan sejumlah kasus mengenai kecurangan dalam skripsi. Misalnya, penjiplakan skripsi sampai jual beli skripsi.

Orang bisa berkata apa saja mengenai skripsi. Orang terkadang memandang skripsi tidak selalu akan ditanyakan jika misalnya seseorang melamar bekerja di sebuah bank. Maka dari itu, hendaknya jangan terlalu idealis dalam mengerjakan skripsi. Sejumlah mahasiswa berpikir untuk membuat skripsi yang biasa-biasa saja. Nilai pas-pasan pun tidak jadi soal. Yang penting bisa cepat lulus.

Seseorang bisa saja beralasan dia tidak idealis dalam mengerjakan skripsi. Namun, dirinya sesungguhnya kesulitan dalam mengerjakan skripsi. Lagi-lagi itu juga menyangkut pilihan seseorang dalam mengerjakan skripsi. Sekali lagi, setiap mahasiswa memiliki pengalaman sendiri-sendiri akan skripsi. Penilaian orang terhadap skripsi pun tidak melulu pada angka atau huruf yang tertera di transkrip nilai. Ada penilaian yang tak mungkin ditulis di transkrip nilai. Penilaian itu ada dalam diri orang-orang yang mengetahui bagaimana perjuangan dalam membuat skripsi.


Selasa, 05 Oktober 2010

Pengamen

Pengamen

Di tengah pikiran yang jenuh dalam menulis, judul itu saya tulis. Kehidupan yang menjadi sumber tulisan sepertinya serba-sama untuk dituliskan. Bisa jadi itulah jalan hidup yang saya alami sampai saat ini. Jalan hidup yang monoton dan membosankan. Pada saat yang sama, judul suatu tulisan yang saya tulis di tengah kejenuhan, terkadang dikomentari. Komentar itu sungguh sangat berarti bagi saya.

Judul itu tebersit saat saya ingat bunyi genjrang-genjreng pengamen memainkan gitarnya. Persisnya saat itu Sabtu, 18 September 2010 sekitar pukul 15.00 ketika saya mengantar saudari saya di rumah paman saya, di belakang rumah saya. Saudari saya menumpang secara gratis sebuah mobil yang membawa tiga orang yang bekerja di Surabaya pada majikan kaya. Majikan itu terbilang baik, mobil yang terbilang mewah untuk ukuran orang dusun itu juga sudah ada sopir pribadi Si Majikan.

Sore itu dua orang pengamen menghampiri rumah paman saya itu untuk mengamen. Keduanya masih remaja. Seorang memainkan gitar dan satunya membawa recehan uang logam. Mereka berdua menyayikan sebuah lagu pop. Saat itu di teras rumah paman saya itu ada lima orang. Namun, dua pengamen yang mengenakan kaus dan bercelana jin selutut itu dengan percaya diri mengamen. Beberapa menit kemudian, tuan rumah memberikan uang receh, entah berapa.

Sekarang pengamen didominasi oleh kalangan remaja. Usianya kisaran 15 tahun sampai dengan 20 tahun. Di dusun saya ini, sepertinya tidak pernah ada pengeman perempuan. Pengamen umumnya adalah laki-laki. Itu pun mengesankan mereka mengamen lebih untuk kesenangan daripada sebagai mata pencaharian utama. Ibu-ibu menggosipkan uang hasil mengamen itu dibelikan rokok.

Pengamen di dusun ini memang bukan warga sini. Biasanya mereka berasal dari desa lain dan tak jarang dari kecamatan lain. Umumnya mereka datang dengan sepeda motor dan menitipkan sepeda motor di suatu rumah. Sementara itu mereka mengamen. Hal itu pun memengaruhi cara kerja mereka yang spontanitas. Maksudnya, khususnya di kawasan perumahan, begitu ada mood ingin mengamen maka mereka mengamen. Cara kerja mereka tidak terkoordinir secara rapi.

Di antara kita mungkin kurang suka dengan kehadiran pengamen di rumah kita. Misalnya kita menutup pintu, begitu mendengar ada pengamen di tetangga sebelah. Barangkali kita mengatakan maaf saat pengamen mendatangi rumah kita. Mungkin juga di antara kita merasa iba. Saat mereka memainkan musik beberapa menit kemudian kita memberikan uang receh, misalnya Rp 200,-. Uang itu terkadang juga sebagai bentuk penghargaan atas rasa percaya diri mereka dalam mengamen.

Akhir-akhir ini terkadang juga ada pengamen yang biasanya terdiri atas empat orang. Mereka memainkan musik jaranan. Anak-anak kecil biasanya mengerubungi mereka saat beraksi. Orang terkadang memberi mereka Rp 1000,-. Lebih mahal dibandingkan dengan mereka yang membawa gitar tadi. Pemberian uang itu pun biasanya melihat jumlah pengamen maupun hiburan yang mereka tawarkan.

Sampai kini, khususnya di kampung tempat saya tinggal ini, pengamen belum tergolong sebagai masalah sosial. Jika pengamen memaksakan diri mengamen sekaligus memaksa meminta maka itu bisa tergolong masalah sosial. Apalagi jika pengamen itu terlibat pencurian di rumah-rumah, juga termasuk dalam masalah sosial. Bahkan itu tergolong kejahatan.

Orang terkadang menyayangkan pekerjaan mengamen. Mengapa tidak bekerja yang lain, misalnya bekerja sebagai karyawan toko. Orang kadang-kadang juga menilai mengamen itu lebih baik daripada mencuri. Setiap orang memang memiliki pendapat sendiri-sendiri.

Pengamen memang tidak hanya ada di kawasan pemukiman warga. Entah di kawasan kota maupun desa. Di sebuah dusun yang terbilang pelosok di rumah nenek saya juga ada pengamen. Di kereta api kelas ekonomi, di bus kota, bahkan di bawah lampu lalu lintas terkadang juga ada pengamen.

Bisa jadi operasi mengamen, misalnya di bus kota itulah pengamen mendapatkan citra tertentu. Misalnya, mengamen menandai sebagai orang yang hidupnya tidak menentu. Selain bertujuan mendapatkan uang, mereka juga ingin menghibur. Meskipun sama-sama menghibur, tentu itu berbeda dengan musisi papan atas yang dari karyanya dalam industri musik bisa dijadikan sebagai gantungan nafkah.