Sabtu, 26 Februari 2011

Perjumpaan Tak Terduga

Perjumpaan Tak Terduga

Rabu, 16 Februari 2011, malam hari, seorang teman mengirimi saya sms. Dia bertemu dengan seorang teman dan suaminya di apotek. Teman saya itu sendiri bersama istri dan anaknya yang masih bayi. Tentu saja perjumpaan di apotek itu sebelum dia mengirim sms. Dalam perjumpaan itu teman saya itu tidak sempat tegur sapa. Hanya sempat saling pandang saja. Dia memberitahu saya perjumpaan yang tak terduga itu sebab dulu kami teman SMA. Selain itu, meskipun tinggal dalam satu kabupaten, tetapi teman saya itu sudah lama tidak berjumpa.

Perjumpaan tak terduga memang bisa terjadi. Entah di apotek, di resepsi pernikahan, di stasiun, di terminal, di perpustakaan, di SPBU, di jalan, di seminar dan lain sebagainya. Artinya, secara tak terduga, tanpa sebelumnya kita berjanji untuk bertemu, kita bertemu dengan teman, saudara, guru, mitra kerja, atau bahkan mantan kekasih di tempat-tempat seperti itu. Jika di dunia maya maka kita juga bisa bertemu di situs-situs jejaring sosial yang sampai kini masih populer.

Secara tak terduga saya juga pernah bertemu dengan seorang teman di stasiun. Kamis sempat ngobrol sebentar. Saat itu dia hendak ke Yogyakarta untuk menyelesaikan kuliahnya. Kami dulu adalah teman SMA, tetapi tidak pernah satu kelas. Karena kaitan organisasi di sekolah saat itu maka kami bisa kenal.

Saya pun yakin. Di antara Anda, khususnya se-usia saya juga pernah mengalami perjumpaan tak terduga. Mungkin secara tak terduga Anda pernah bertemu dengan teman Anda saat naik kereta api. Mungkin pula Anda bertemu dengan guru Anda di sebuah rumah sakit.

Perjumpaan tak terduga memang biasa terjadi. Namun, terkadang perjumpaan itu terasa istimewa. Biasanya perjumpaan tak terduga itu menjadi pengalaman tak terlupakan. Apalagi jika perjumpaan tak terduga itu jarang terjadi. Nostalgia kecil pun bisa terjadi.


Rabu, 16 Februari 2011

Bank itu Tak Menyediakan Koran

Bank itu Tak Menyediakan Koran

Umumnya Anda akan mudah menjumpai koran di perpustakaan. Jika Anda hobi membaca, khususnya koran, dan tempat tinggal Anda dekat dengan perpustakaan umum. Anda mungkin akan membacanya di perpustakaan. Apalagi jika Anda memiliki waktu luang pergi ke perpustakaan. Anda tidak ingin berlangganan koran, sementara Anda sangat ingin membaca koran. Terlebih Anda sekadar ingin menikmati suasana perpustakaan.

Begitu juga dengan perpustakaan di lembaga pendidikan seperti sekolah maupun perguruan tinggi. Umumnya kita juga mudah menjumpai koran di sana. Mungkin di tempat kerja Anda juga berlangganan koran. Di kios-kios biasanya juga menjual koran. Namun, jika ingin membacanya berarti Anda harus membelinya.

Mungkin Anda juga pernah ke rumah sakit dan Anda juga menjumpai koran di sana. Sambil menunggu, Anda bisa membaca koran. Jika Anda hobi membaca atau jika Anda ingin mendapatkan informasi tertentu, Anda bisa membacanya. Mungkin Anda sekadar ingin melihat gambar-gambar di koran itu. Biasanya rumah sakit menyediakan koran terbaru dan terbitan beberapa hari terakhir.

Namun, mungkin Anda jarang atau bahkan tidak pernah menjumpai sebuah bank yang menyediakan koran untuk dibaca. Di sebuah bank yang biasanya saya men-transfer uang untuk saudari saya yang kuliah di luar kota menyediakan koran untuk dibaca. Koran ini bisa dibaca oleh nasabah sambil mengantre untuk dilayani oleh teller atau customer service. Ada dua nama koran di sana. Akan tetapi, Kamis, 10 Februari 2011, bank itu sudah tidak lagi menyediakan koran yang bisa dibaca oleh nasabah. Padahal, sekitar satu bulan yang lalu saat saya transfer di bank itu masih menyediakan koran.

Saya sempat menanyakannya pada seorang satuan pengamanan (satpam) bank tersebut. Katanya “dulu pernah ada kejadian, tetapi di luar. Semuanya membaca koran.” Jawabannya memang kurang masuk akal. Saya juga tidak menanyakannya lagi alasannya pada satpam tersebut. Lagi pula dari jawabannya, satpam itu sepertinya ingin menutupi sesuatu.

Akan tetapi, saya akhirnya menduga apakah kejadian itu berupa perampokan. Namun, dugaan saya itu tidak beralasan sebab selama ini tidak ada berita bank itu dirampok. Namun, mungkin ada nasabah yang membaca koran, kemudian nasabah itu tidak memperhatikan saat mesin pemanggil menyebut nomor antreannya. Dengan demikian, itu menghambat layanan oleh teller atau customer service.

Secara pribadi, saya menyukai layanan bank tersebut. Salah satunya adalah menyediakan koran yang bisa dibaca. Namun, kini tidak lagi. Juru parkirnya pun ramah. Saat ramai, terkadang juru parkir membantu nasabah yang hendak pergi. Satpam juga ramah membuka pintu bank. Seringkali menanyakan nasabah apakah ada yang bisa dibantu.

Nomor antreannya pun elektronik. Tinggal pencet tombol akan ke teller ataukah ke customer service. Ruangannya pun berpendingin udara. Teller dan bagian customer service juga ramah. Wajahnya pun cantik. Seringkali seorang di customer service berdiri dari tempat duduk sambil menyapa “selamat siang” atau “ada yang bisa dibantu” saat ada nasabah baru. Sebagai nasabah, saya pun percaya dengan bank itu terkait dengan kebeadaan uang saya.

Saat di bank, entah pikiran saya ke mana-mana. Kiranya tidak pantas jika menanyakan apakah salah seorang teller itu memiliki facebook. Itu adalah persoalan pribadi sehingga itu hendaknya tidak ditanyakan. Apabila ditanyakan pun maka kemungkinan besar teller tidak akan memberikannya jika memang punya facebook. Berbeda jika misalnya bertanya tentang jumlah minimal uang yang bisa ditransfer. Kemungkinan besar itu akan dijawab oleh teller. Semua itu sebagai layanan dari pihak bank.

Bank sebagai tempatnya uang dalam jumlah yang banyak juga ber-risiko dirampok. Karena itu, bank memakai jasa keamanan baik dari satpam maupun kepolisian. Dengan bentuk yang berbeda, misalnya perampokan sebuah bank seperti yang ada di film juga bisa terjadi di dunia nyata. Orang yang bekerja di bank tentu menyadari ini.

Pikiran saya yang ke mana-mana pun berlanjut sampai saat saya mengendarai motor, hendak pulang. Dulu seorang teman pernah berujar, setiap orang hendaknya bisa menyelesaikan masalah dirinya sendiri. “Diri sendiri” inilah kata kuncinya. Pengertian “diri sendiri” ini bukan egois. “Diri sendiri” ini dalam banyak hal memengaruhi dan dipengaruhi oleh “diri” itu sendiri.

Misalnya, saat saya mengendarai motor dan konsentrasi pikiran saya menurun, bahkan hilang maka kemungkinan saya bisa saja celaka di jalan. Dalam derajat tertentu, diri saya sendiri menjadi penentu keselamatan atas diri saya sendiri. Kiranya ini juga berlaku untuk Anda.

Rabu, 09 Februari 2011

Pengeditan

Pengeditan

Kesan pertama itu pula yang menarik bagi pembaca, terutama mereka yang pecinta metode kualitatif.” Kata yang di-garis-bawah-i itu sebetulnya tidak perlu ditulis sebab sia-sia. “pecinta metode kualitatif” itu sudah cukup menjelaskan kalimat tersebut. Kelimat tersebut ada dalam kalimat pertama paragraf ke-6 dalam judul Menggayakan Laporan Penelitian Metode Kualitatif. Kata yang di-garis-bawah-i itu hanyalah salah satu contohnya. Masih banyak kata dalam kalimat yang perlu di-sunting atau di-edit.

Saat menulis biasanya kita sudah yakin dengan tulisan kita. Saat menulis biasanya kita merasa redaksional sudah tidak pas. Tidak ada kata yang tertulis secara keliru. Kalimat juga tertulis secara efektif, logis, dan seterusnya. Namun, sebagai penulis bisa jadi saat kita membaca kembali tulisan kita sendiri maka kemungkinan akan ada yang perlu di-edit. Seperti yang saya alami itu. Karenanya setiap penulis sekaligus editor bagi dirinya sendiri.

Tidak ada yang sempurna. Termasuk tulisan kita. Mungkin kita menilai tulisan kita sudah baik. Namun, belum tentu orang lain menilai baik. Apalagi penilaian dari seorang editor yang terlatih. Terkadang kita sendiri menilai tulisan kita jelek. Akan tetapi, mendapatkan tanggapan yang baik dari pembaca. Karena itu, seringkali nasib tulisan memang ada di tangan pembaca.

Biasanya ketepatan redaksional, ke-efektif-an kalimat, ke-logis-an kalimat, kesatuan wacana, dan seterusnya itu dapat dicapai oleh penulis-penulis yang andal. Tujuan seperti ketepatan redaksional itu agar sebuah tulisan itu enak dibaca maupun mudah dipahami maksudnya.

Intinya sebuah kalimat hendaknya perlu dilihat dari berbagai sisi. Lagi pula sebuah tulisan memiliki pangsa pembaca sendiri-sendiri. Misalnya sebuah esai sudah memenuhi pengeditan yang bagus. Entah ketepatan redaksional, ke-efektif-an kalimat, ke-logis-an kalimat, dan kesatuan wacana. Namun, idenya jelek maka “rasa” dari esai itu juga kurang “enak”. Begitu juga misalnya saya menilai suatu esai itu bagus. Namun, belum tentu Anda menilainya bagus.

Akhirnya, seni menulis pun tak luput dari relatifitas. Namun, tulisan yang sudah berbentuk buku, dimuat di koran, di majalah, di tabloid bisa menjadi ajang pembuktian akan pengakuan sebuah tulisan. Karenanya sebuah buku, koran, majalah, tabloid umumnya memiliki editor.

Sabtu, 05 Februari 2011

Seleksi

Seleksi

Seleksi ini satu makna dengan pemilahan, pemilihan, atau penyaringan. Seleksi di-Indonesia-kan dari bahasa Inggris, “selection”. Awalan pe- dan akhiran -an dalam bahasa Indonesia menyatakan proses. Dengan demikian, seleksi juga bermakna proses. Meskipun satu makna, tetapi penggunaan kata-kata itu menyesuaikan konteks. Kita tahu “seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil”, “pemilahan sampah”, “pemilihan kepala daerah”, “penyaringan ampas tahu” adalah beberapa contohnya.

Secara sederhana seleksi berarti menentukan yang terbaik, di antara yang terbaik. Dalam suatu perlombaan biasanya menggunakan pernyataan itu. Tujuannya agar ada kesetaraan “di antara yang terbaik” itu. Umumnya yang terbaik itu pula yang dinginkan oleh manusia. Biasanya yang terbaik itu berbuah kebahagiaan. Kebahagiaan biasanya ingin dicapai oleh manusia. Di dunia maupun di akherat.

Hampir dalam setiap bidang ada seleksi. Sebagaimana telah dicontohkan di akhir paragraf pertama tadi. Dalam birokrasi ada seleksi pegawai baru. Misalnya lewat seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Biasanya lewat administrasi, serangkaian tes tulis dan tes wawancara. Di bidang pekerjaan swasta pun ada sistem seleksi. Bahkan, mereka yang akan menikah umumnya juga menyeleksi calon suami maupun calon istri.

Seleksi ini memang penting. Begitu pentingnya suatu seleksi, bisa menelan biaya yang besar. Misalnya pemilihan presiden. Bahkan, dalam sebuah seleksi ada kemungkinan akan kecurangan. Saya ingat dengan perkataan dosen saya tentang seleksi ini. Misalnya untuk mencegah korupsi maka sistem seleksi ini harus benar-benar bisa menyeleksi orang-orang yang tepat. Bahkan terkadang juga melihat jejak perjalanan hidup orang tersebut.

Dalam birokrasi dikenal slogan right men in the right place. Orang yang tepat atau benar hendaknya berada di tempat atau jabatan yang tepat pula. Dengan kata lain, sumber daya manusia (SDM) yang ada perlu diatur sebaik-baiknya demi pencapaian yang maksimal. Pengaturan SDM ini juga kiranya juga bisa dipakai untuk mengatur “yang terbaik” yang tidak lolos dalam seleksi.