Sabtu, 02 Oktober 2021

Uang Bukan Segalanya, tapi Segalanya Butuh Uang

             Judul itu ada di sebuah kalender dari bahan yang biasa jadi banner di sebuah warung bubur kacang hijau. Beli bubur kacang hijau pakai uang. Sekolah pakai uang. Mau lewat jalan tol pakai uang. Beli ayam bakar pakai uang. Menikah pakai uang. Bahkan saat orang sudah meninggal juga masih butuh uang. Ingin punya mobil berarti beli atau sewa pakai uang. Ingin bangun rumah harus punya uang untuk beli semen, batu, pasir dan lain-lain. Ingin makan di warung maka harus punya uang.

            Siapa yang tak kenal uang? Kecuali orang gila, balita, orang tua yang sudah pikun tidak tahu kegunaan uang. Uang yang berupa logam dan kertas yang dicetak secara khusus oleh negara ini banyak dicari orang. Saking pentingnya uang ada orang memalsukannya. Bahkan ada dukun yang katanya bisa menggandakan uang. Bahkan, harga diri bisa dibeli dengan uang. Banyak kisah yang berkaitan dengan duit.

            Kita tahu uang hanyalah logam atau kertas. Namun, ia diakui orang. Sebagai alat pembayaran. Sebagai alat tukar. Sebagai alat ukur atas barang. Bahkan, sekarang uang tidak hanya berwujud tunai tetapi juga non-tunai dalam bentuk digital.

            Mengapa negara tidak mencetak uang dalam jumlah banyak? Apa gunanya mencetak banyak uang tetapi tidak ada produktifitas? Uang harus produktif dan bernilai lebih. Manusianya juga harus produktif dan bernilai guna. Ibarat sebuah keluarga jika diberi bantuan uang 500 juta. Jika 500 juta itu untuk bermewah-mewah seperti dihabiskan untuk liburan maka dalam waktu seminggu uang bisa habis. Berbeda jika uang dipakai untuk usaha. Misalnya membeli tanah dan dipakai untuk ternak ayam kampung, ternak sapi, mendirikan rumah kos dan lain-lain.