Akhir Agustus 2025, jalan-jalan di beberapa kota di Indonesia dipenuhi gelombang massa. Buruh, mahasiswa, hingga pengemudi ojek online berbaur dalam satu barisan: menolak tunjangan mewah DPR, menuntut keadilan upah, hingga mendesak kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat. Apa yang kita saksikan bukan sekadar unjuk rasa, melainkan sebuah potret sosiologis tentang ketidakadilan yang semakin menebal.
Awalnya, isu yang memantik hanya satu: tunjangan
perumahan DPR sebesar Rp50 juta per bulan, di tengah masyarakat yang
berjuang dengan biaya hidup yang kian melambung. Namun, seperti api kecil yang
membakar rumput kering, keluhan itu menjalar cepat. Tuntutan pun berkembang,
menyasar masalah outsourcing, upah minimum, pemborosan anggaran, hingga
ketimpangan pusat–daerah. Sosiologi menyebut fenomena ini sebagai konflik
realistis—perlawanan terhadap ketidakadilan nyata dalam kebijakan.
Namun di lapangan, amarah sering kali meluap menjadi konflik
non-realistik: bentrokan, pembakaran, dan kerusuhan. Di sini, unjuk rasa
berubah menjadi katarsis kolektif, ruang bagi rakyat melampiaskan kekecewaan
yang menumpuk. Seperti dikatakan Lewis Coser, konflik tidak selalu destruktif;
ia bisa menjadi “katup pengaman” yang menjaga masyarakat dari ledakan yang
lebih besar.
Yang menarik, solidaritas lintas kelas dan profesi
begitu terasa. Buruh bergandengan dengan mahasiswa, sopir ojol bersama aktivis
kampus, semua dalam satu barisan yang sama. Ini menunjukkan, demo bukan sekadar
ajang politik jalanan, tetapi juga wadah memperkuat kohesi sosial antar
kelompok yang biasanya terpecah. Dalam bahasa sosiologi, konflik eksternal
mempererat identitas internal.
Namun, tak bisa dipungkiri, negara merespons dengan cara
yang problematis. Represi aparat, pembatasan media sosial, hingga kriminalisasi
aktivis memperlihatkan bagaimana ruang demokrasi digital pun ikut direbut. Di
era algoritma, perjuangan di jalan raya kini selalu dibarengi dengan perang di
dunia maya: narasi tandingan, hoaks, hingga pemblokiran konten kritis.
Lalu apa makna semua ini? Demo Agustus 2025 adalah cermin
ketimpangan struktural di negeri ini. Di satu sisi, elit politik menikmati
fasilitas mewah; di sisi lain, kelompok besar masyarakat berjibaku dengan kehidupan
yang kian sulit. Ketika kesenjangan ini terus melebar, wajar bila jalanan
menjadi arena pilihan perlawanan.
Lebih jauh, aksi ini memberi pesan kuat: demokrasi tidak
boleh berhenti di bilik suara lima tahun sekali. Demokrasi hidup ketika warga
negara menyalurkan aspirasi. Demo akhir Agustus 2025 adalah alarm, mengingatkan
bahwa keadilan sosial bukan sekadar janji konstitusi, melainkan kebutuhan nyata
di tengah masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar