Kamis, 04 September 2025

Demo Akhir Agustus 2025: Suara Warga Negara, Cermin Ketimpangan



Akhir Agustus 2025, jalan-jalan di beberapa kota di Indonesia dipenuhi gelombang massa. Buruh, mahasiswa, hingga pengemudi ojek online berbaur dalam satu barisan: menolak tunjangan mewah DPR, menuntut keadilan upah, hingga mendesak kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat. Apa yang kita saksikan bukan sekadar unjuk rasa, melainkan sebuah potret sosiologis tentang ketidakadilan yang semakin menebal.

Awalnya, isu yang memantik hanya satu: tunjangan perumahan DPR sebesar Rp50 juta per bulan, di tengah masyarakat yang berjuang dengan biaya hidup yang kian melambung. Namun, seperti api kecil yang membakar rumput kering, keluhan itu menjalar cepat. Tuntutan pun berkembang, menyasar masalah outsourcing, upah minimum, pemborosan anggaran, hingga ketimpangan pusat–daerah. Sosiologi menyebut fenomena ini sebagai konflik realistis—perlawanan terhadap ketidakadilan nyata dalam kebijakan.

Namun di lapangan, amarah sering kali meluap menjadi konflik non-realistik: bentrokan, pembakaran, dan kerusuhan. Di sini, unjuk rasa berubah menjadi katarsis kolektif, ruang bagi rakyat melampiaskan kekecewaan yang menumpuk. Seperti dikatakan Lewis Coser, konflik tidak selalu destruktif; ia bisa menjadi “katup pengaman” yang menjaga masyarakat dari ledakan yang lebih besar.

Yang menarik, solidaritas lintas kelas dan profesi begitu terasa. Buruh bergandengan dengan mahasiswa, sopir ojol bersama aktivis kampus, semua dalam satu barisan yang sama. Ini menunjukkan, demo bukan sekadar ajang politik jalanan, tetapi juga wadah memperkuat kohesi sosial antar kelompok yang biasanya terpecah. Dalam bahasa sosiologi, konflik eksternal mempererat identitas internal.

Namun, tak bisa dipungkiri, negara merespons dengan cara yang problematis. Represi aparat, pembatasan media sosial, hingga kriminalisasi aktivis memperlihatkan bagaimana ruang demokrasi digital pun ikut direbut. Di era algoritma, perjuangan di jalan raya kini selalu dibarengi dengan perang di dunia maya: narasi tandingan, hoaks, hingga pemblokiran konten kritis.

Lalu apa makna semua ini? Demo Agustus 2025 adalah cermin ketimpangan struktural di negeri ini. Di satu sisi, elit politik menikmati fasilitas mewah; di sisi lain, kelompok besar masyarakat berjibaku dengan kehidupan yang kian sulit. Ketika kesenjangan ini terus melebar, wajar bila jalanan menjadi arena pilihan perlawanan.

Lebih jauh, aksi ini memberi pesan kuat: demokrasi tidak boleh berhenti di bilik suara lima tahun sekali. Demokrasi hidup ketika warga negara menyalurkan aspirasi. Demo akhir Agustus 2025 adalah alarm, mengingatkan bahwa keadilan sosial bukan sekadar janji konstitusi, melainkan kebutuhan nyata di tengah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar