Lokalisasi Guyangan
Anda hendaknya jangan salah pengertian tentang judul ini. Saya hanya berusaha mengemukakan satu potret sosial, tentang sebuah lokalisasi. Keinginan untuk menulis tentang keberadaan lokalisasi itu sebetulnya sudah cukup lama. Keinginan itu terlintas saat suatu hari saya melintas di kawasan tersebut.
Saya memang tidak begitu tahu sejarah lokalisasi di Desa Guyangan, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk. Artinya, saya tidak tahu sejak kapan lokalisasi itu ada. Meskipun saya tidak tahu persis, tetapi saya dapat memperkirakan lokalisasi itu telah ada lebih dari 35 tahun. Itu didasarkan atas keterangan dari sejumlah orang di dusun tempat saya tinggal. Hampir setiap orang dewasa di kampung ini tahu keberadaan lokalisasi itu.
Kata “lokalisasi” ini sengaja dipakai sebab lebih halus daripada kata “bordil” atau “rumah pelacuran” atau “tempat prostitusi”. Sama halnya, pekerja seks komersial (PSK) lebih halus daripada kata “pelacur” atau dalam bahasa Jawa ada istilah “lonte”. Ada lagi sebuah kiasan yang halus, yakni “kupu-kupu malam”.
Dari tempat tinggal saya, jalan di kawasan itu merupakan salah satu jalur menuju ke stasiun, terminal, dan polisi resort (polres). Bahkan, untuk ke Gedung Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nganjuk juga melewati jalan di lokalisasi tersebut. Jarak antara DPRD dengan lokalisasi itu sendiri kurang lebih 2,5 km. Sejumlah bank, hotel, bengkel mobil, sebuah pasar sapi, beberapa tukang tambal ban mobil, servis radiator juga tidak terlalu jauh dari kawasan lokalisasi tersebut. Bagian timur, selatan dan barat lokalisasi itu sendiri merupakan areal persawahan lahan basah yang biasanya ditanami padi.
Jalan di kawasan itu sendiri tergolong strategis dan ramai. Dari arah selatan terdapat sepanjang jalan alternatif dari Kediri-Nganjuk, terutama kendaraan barang atau truk besar. Kawasan lokalisasi itu sendiri dilalui oleh jalan provinsi yang menghubungkan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah. Juga dikenal dengan jalan raya Madiun-Surabaya atau Surabaya-Madiun.
Di sebelah barat dari lokalisasi itu juga terdapat jembatan timbangan tempat kendaraan barang, khususnya truk yang melapor atas barang bawaanya. Di sisi utara pemukiman lokalisasi itu sendiri merupakan hilir mudik sekaligus tempat biasa berhentinya truk-truk besar atau truk gandeng. Jadi, maklum, di tepi jalan itu ada sejumlah tukang tambal ban kendaraan besar. Sejumlah jasa pencucian kendaraan roda empat ada di tepi jalan ini. Begitu juga dengan warung makan, counter, toko kelontong pun ada di pinggir jalan ini. Dari gambaran ini kiranya kita bisa membayangkan bagaimana situasi di kawasan lokalisasi tersebut.
Agaknya sejumlah kabupaten-kabupaten di Indonesia terdapat lokalisasi. Jangankan lingkup satu negara, dalam lingkup beberapa negara di dunia ini pun terdapat lokalisasi. Perhelatan piala dunia dalam olah raga sepak bola pun kerap muncul pemberitaan tentang praktik prostitusi ini. Mungkin dari itu, sejarah prostitusi se-tua dengan sejarah seks itu sendiri.
Kembali pada lokalisasi di kabupaten di atas. Tidak terkecuali sebuah kabupaten di Jawa Timur, yakni Kabupaten Jember juga pernah ada sebuah lokalisasi. Saat masa orientasi mahasiswa baru tahun 2003 saya bersama teman-teman pernah melewati lokalisasi di Jember itu. Entah tahun berapa, tetapi kalau tidak salah tahun 2006, saat saya masih kuliah di kabupaten itu, lokalisasi sudah ditutup secara resmi. Tentu dalam hal ini tidak lepas dari dukungan politik elite setempat. Namun, pasca penutupan itu saya mendengar berita dari radio bahwa masih terjadi praktik prostitusi liar.
Letak lokalisasi itu sendiri berada di dekat pesisir selatan Jember. “Maklum, sebagai tempat lokalisasi maka keberadaannya agak pelosok,” pikir saya saat itu. Namun, begitu saya kembali ke kampung halaman, di kabupaten tempat saya lahir juga ada lokalisasi. Bahkan, letaknya masih dalam satu kecamatan dengan dusun saya. Letak lokalisasinya pun tidak tergolong pelosok sebagaimana di Jember.
Seandainya lokalisasi itu sebagai wisata seks maka akan dicemooh habis-habisan. Lagi pula, anggota masyarakat kebanyakan menilai bahwa lokalisasi tergolong sebagai penyakit masyarakat. Kiranya tidak ada kebanggaan dari masyarakat Nganjuk atas keberadaan lokalisasi itu. Maka dari itu, tidak seperti tempat praktik dokter, lembaga pendidikan, dan dinas-dinas di kabupaten, di lokalisasi itu tidak ada papan atau prasasti yang menunjukkan itu sebagai lokalisasi.
Hanya saja saat bulan Ramadhan, yakni bulan puasa, lokalisasi itu terlihat berbeda. Pada saat bulan itu lokalisasi itu sepi pertanda “libur”. Jalan atau gang masuk di lokalisasi itu pada bulan puasa juga terlihat ditutup dengan anyaman bambu yang mempertegas bahwa lokalisasi itu tutup untuk sementara.
Namun, mengapa lokalisasi itu tetap berada sampai sekarang? Kita tahu bahwa di lokalisasi itu juga berputar modal. Ada kepentingan ekonomi juga yang menyertainya. Entah itu dari PSK sendiri, pemilik rumah kontrakan, warung-warung, sampai tukang becak. Dan, tentu saja mereka yang mengumbar syahwatnya. Meskipun demikian, alasan ekonomi ini juga tak bisa dijadikan alat pembenar keberadaan lokalisasi.
Kita mungkin juga tahu jika mengikuti pemberitaan media, khususnya koran lokal maka kasus kriminal juga sering terjadi di lokalisasi itu. Misalnya pembunuhan dan penganiayaan. Bahkan, para PSK di lokalisasi juga ber-resiko terhadap HIV dan AIDS, yakni penyakit yang berbahaya itu. Atas pertimbangan itu, di Puskesmas Bagor terdapat klinik yang fokus pada orang dengan HIV AIDS (ODH) di lokalisasi tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa umumnya PSK bukan asli orang setempat, melainkan berasal dari kota atau kabupaten lain.
Saya sendiri mengetahui klinik itu dari seorang petugas di klinik tersebut. Saya mengenal petugas itu saat saya melakukan tugas jurnalistik. Ya, dulu saya sempat menjadi reporter sebuah radio, tetapi hanya selama tiga bulan. Sementara itu, mengenai berapa jumlah ODH, berapa jumlah PSK di lokalisasi Guyangan, dan bagaimana praktik prostitusi di lokalisasi itu saya tidak begitu tahu. Tentu lokalisasi di Guyangan itu tak sebesar seperti lokalisasi Dolly di Surabaya.
Dalam kaitan itu, saya terkadang berpikir tentang bagaimana kehidupan anak-anak di lokalisasi tersebut. Pikiran itu pun terlintas saat saya melewati kawasan itu, saat melihat anak-anak sedang bermain di pemukiman tersebut. Itu jika melihat lingkungan itu sebagai lokalisasi.
Yah..
BalasHapusMau bagaimana lagi?
Terkadang hidup itu memang keras, jika ekonomi tidak mendukung, menjadi PSK pun bakal dilakoni.
Tragisnya bangsa kita.
sungguh ironis....tp itulah kekayaan indonesia dengan berbagai macam SDM...
BalasHapus