Jumat, 31 Oktober 2025

“Remaja di Ambang Harapan”

 “Remaja di Ambang Harapan”
Di bawah langit yang tak lagi biru,
Remaja menatap masa depan semu,
Ijazah tergenggam, harapan membeku,
Pintu-pintu rezeki seakan beku.

Suara tawa kini jadi sunyi,
Langkah terhenti di simpang sepi,
Kerja dicari tak kunjung pasti,
Hidup menanti janji negeri.

Mereka ingin mandiri, berdaya,
Membangun negeri, menegak maya,
Namun peluang tak juga nyata,
Hanya kata—tanpa daya.

Wahai angin, bisikkan pada pemimpin,
Anak muda butuh ruang, bukan angan,
Mereka bukan angka di catatan,
Mereka nyawa masa depan.

🌙 “Di Cermin Waktu”

 

🌙 “Di Cermin Waktu”

(Puisi berima sempurna, tema pencarian jati diri remaja generasi Z)

Kami remaja di tepi masa,
menatap dunia dengan mata terbuka,
namun di dada bergejolak tanya,
siapa kami di antara suara yang ramai bercanda?

Kami berjalan di jalan maya,
menyapa dunia lewat layar semesta,
tapi sering lupa menatap nyata,
menyentuh diri, mencari makna.

Kami tertawa di tengah bising data,
menyembunyikan resah di balik cerita,
kadang ingin lari, kadang ingin bertanya,
apakah hidup ini hanya sekadar drama?

Namun di balik gamang dan asa,
ada jiwa yang ingin merdeka,
yang ingin tumbuh dengan cara berbeda,
menjadi diri, bukan sekadar nama di dunia.

Kami ingin berarti tanpa harus sama,
ingin bersinar tanpa harus terluka,
kami bukan salinan siapa-siapa,
kami adalah kami, cahaya muda bangsa.

“Generasi di Persimpangan”

“Generasi di Persimpangan”

(Rima a-a-a-a dengan nuansa kontemporer dan emosional)

Kami generasi layar dan cahaya,
lahir di dunia serba maya,
namun di balik sinar yang menyilau mata,
kami sering bertanya: ke mana arah nyata?

Ijazah di tangan, mimpi di kepala,
tapi pintu kerja tertutup tanpa suara,
kami melangkah—kadang bangga, kadang luka,
menatap masa depan yang entah di mana.

Kami bukan malas, hanya lelah mencoba,
bukan tak mampu, hanya sering ditanya:
“pengalamanmu mana?” — saat peluang sirna,
padahal usia kami baru belajar dewasa.

Kami menulis rencana di udara,
mengirim lamaran tanpa jawaban nyata,
sementara waktu terus berlari tanpa jeda,
dan dompet menipis bersama asa.

Namun kami tak mau menyerah pada gelap,
kami cipta peluang di ruang yang senyap,
membangun mimpi di dunia digital yang cepat,
karena masa depan… bukan sekadar tempat.

Kami Generasi Zanak badai dan data,
yang belajar dari gagal, tumbuh dari luka,
pengangguran bukan akhir cerita,
tapi jeda… menuju masa yang lebih nyata.

“Tentang Seorang Guru”

Ia berjalan perlahan di pagi yang hening,

Menyapa angin dengan senyum sederhana,
Pada matanya terbit cahaya bening,
Yang menuntun jiwa mencari makna.

Ia menulis bukan di buku semata,
Melainkan di dada-dada yang muda,
Setiap kata menjadi doa yang nyata,
Setiap sabar menjadi cinta yang ada.

Ketika senja menutup hari,
Ia tersenyum, lalu berdoa dalam diam,
Karena ia tahu, dari hati ke hati,
Ilmu bukan sekadar kata, tapi salam.

Kamis, 04 September 2025

Demo Akhir Agustus 2025: Suara Warga Negara, Cermin Ketimpangan



Akhir Agustus 2025, jalan-jalan di beberapa kota di Indonesia dipenuhi gelombang massa. Buruh, mahasiswa, hingga pengemudi ojek online berbaur dalam satu barisan: menolak tunjangan mewah DPR, menuntut keadilan upah, hingga mendesak kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat. Apa yang kita saksikan bukan sekadar unjuk rasa, melainkan sebuah potret sosiologis tentang ketidakadilan yang semakin menebal.

Awalnya, isu yang memantik hanya satu: tunjangan perumahan DPR sebesar Rp50 juta per bulan, di tengah masyarakat yang berjuang dengan biaya hidup yang kian melambung. Namun, seperti api kecil yang membakar rumput kering, keluhan itu menjalar cepat. Tuntutan pun berkembang, menyasar masalah outsourcing, upah minimum, pemborosan anggaran, hingga ketimpangan pusat–daerah. Sosiologi menyebut fenomena ini sebagai konflik realistis—perlawanan terhadap ketidakadilan nyata dalam kebijakan.

Namun di lapangan, amarah sering kali meluap menjadi konflik non-realistik: bentrokan, pembakaran, dan kerusuhan. Di sini, unjuk rasa berubah menjadi katarsis kolektif, ruang bagi rakyat melampiaskan kekecewaan yang menumpuk. Seperti dikatakan Lewis Coser, konflik tidak selalu destruktif; ia bisa menjadi “katup pengaman” yang menjaga masyarakat dari ledakan yang lebih besar.

Yang menarik, solidaritas lintas kelas dan profesi begitu terasa. Buruh bergandengan dengan mahasiswa, sopir ojol bersama aktivis kampus, semua dalam satu barisan yang sama. Ini menunjukkan, demo bukan sekadar ajang politik jalanan, tetapi juga wadah memperkuat kohesi sosial antar kelompok yang biasanya terpecah. Dalam bahasa sosiologi, konflik eksternal mempererat identitas internal.

Namun, tak bisa dipungkiri, negara merespons dengan cara yang problematis. Represi aparat, pembatasan media sosial, hingga kriminalisasi aktivis memperlihatkan bagaimana ruang demokrasi digital pun ikut direbut. Di era algoritma, perjuangan di jalan raya kini selalu dibarengi dengan perang di dunia maya: narasi tandingan, hoaks, hingga pemblokiran konten kritis.

Lalu apa makna semua ini? Demo Agustus 2025 adalah cermin ketimpangan struktural di negeri ini. Di satu sisi, elit politik menikmati fasilitas mewah; di sisi lain, kelompok besar masyarakat berjibaku dengan kehidupan yang kian sulit. Ketika kesenjangan ini terus melebar, wajar bila jalanan menjadi arena pilihan perlawanan.

Lebih jauh, aksi ini memberi pesan kuat: demokrasi tidak boleh berhenti di bilik suara lima tahun sekali. Demokrasi hidup ketika warga negara menyalurkan aspirasi. Demo akhir Agustus 2025 adalah alarm, mengingatkan bahwa keadilan sosial bukan sekadar janji konstitusi, melainkan kebutuhan nyata di tengah masyarakat.