Senin, 30 November 2009

Film



2012

Oleh: Puguh Utomo


Pertama kali saya menyaksikan cuplikan film berjudul 2012 di sebuah program infotainment di televisi pada siang hari, pertengahan November 2009. Program acara yang berdurasi 30 menit itu secara berulang kali menayangkan cuplikan film yang di sutradarai oleh Roland Emmerich tersebut. Cuplikan demi cuplikan menggambarkan tentang kehancuran planet tempat tinggal manusia, yakni bumi. Bencana seperti meteor yang menghujani bumi, gempa bumi dengan kekuatan besar, tsunami yang dahsyat diperlihatkan oleh program acara dari cuplikan film tersebut.

Film tersebut memang sebuah bencana yang besar. Dalam hubungan ini, program acara tersebut menyebutkan tentang peristiwa akhir zaman atau kiamat meskipun judul film tersebut tidak secara tersurat menyebut tentang kiamat. Namun, itulah biasanya judul sebuah film. Kata “kiamat” itu pula yang sempat membuat saya agak terkejut.

Saya sendiri memang belum menyaksikan film tersebut secara keseluruhan. Di kabupaten tempat saya tinggal pun tidak ada bioskop. Saya juga tidak berusaha menanyakan cassette disc (CD) di rental CD di kabupaten tempat saya tinggal. Saya sendiri sangat jarang meminjam film dalam bentuk CD. Pernah saya menanyakan CD film 2012 pada seorang teman yang gemar meminjam film dalam bentuk CD di rental CD. Akan tetapi, dia tidak yakin CD film itu sudah ada di kebupaten Nganjuk ini.

Beberapa hari kemudian, saya membaca resensi film tersebut di sebuah koran nasional. Dalam resensi tersebut, banyak kritik yang dilontarkan terhadap film tersebut. Misalnya, ada adegan-adegan yang tidak logis dalam film tersebut seperti pesawat terbang yang bisa selamat dari kepungan badai. Meskipun demikian, film tersebut mendapat pujian dari sisi efek visual.

Karena peran media, opini publik tentang film ini terbentuk. Dapat diduga bahwa di ruang opini publik itu muncul kutub pro dan kutub kontra. Itu dapat dilihat, misalnya pada beberapa program acara televisi meskipun eskalasi pro maupun kontra ini tidak sampai meluas. Kutub kontra, misalnya mengatakan bahwa film itu telah menyesatkan sebab telah mendahului kekuasaan Tuhan dalam hal penentuan kiamat. Sementara, kutub kontra, antara lain, berpendapat bahwa itu hanyalah sebuah film fiksi yang pada dasarnya memang seperti itu.

Kemudian, saya pun teringat dengan sebuah sinetron Indonesia yang pada judulnya juga memakai kata “kiamat”. Sinetron itu sendiri cukup mendapat tempat di hati pemirsa di Indonesia. Namun, sinetron itu sendiri tidak mendapatkan respon seperti pada film ini. Memang, terlalu jauh jika membandingkan antara karya dalam bentuk film dengan karya dalam bentuk sinetron. Akan tetapi, pesan tersirat baik dalam sinetron maupun film tersebut menurut saya kurang lebih sama.

Dalam hubungan ini, ada beberapa hal yang dapat dicatat terkait dengan reaksi terhadap film ini, khususnya reaksi dari masyarakat Indonesia. Ulasan-ulasan tentang film itu sendiri memang pada akhirnya menggiring pada opini publik. Entah bagaimana akhirnya yang menonjol adalah kata “kiamat”. Sebagaimana diketahui bahwa kiamat juga menjadi “kajian” dari agama. Dalam beberapa wawancara dengan sejumlah selebriti, paranormal, dan ulama, di televisi, dapat dikatakan bahwa kiamat adalah rahasia Ilahi. Maka dari itu, tidak ada manusia yang tahu secara pasti kapan terjadinya.

Sementara itu, isu yang berkaitan dengan agama di negeri ini masih cukup sensitif. Pada wilayah itu, saling klaim kebenaran pun menjadi tidak terhindarkan. Oleh karena itu, unjuk rasa terhadap film itu pun bergulir meskipun dalam skala yang kecil.

Dalam kaitan itu, gempa dengan kekuatan yang cukup besar, tsunami, banjir, badai, dan bentuk-bentuk bencana lainnya baik oleh alam sendiri maupun ulah manusia pun agaknya memengaruhi orang untuk ingat akan kiamat. Pada saat yang sama, program berita di televisi pun setiap hari memberitakan tentang proses hukum beberapa petinggi dalam lembaga tinggi negara. Sepertinya publik pun merasakan kejenuhan akan berita tersebut dan berita tentang film itu pun dapat menjadi selingan.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember


Senin, 23 November 2009

Lelang Sawah

Gambar diunggah dari sini.

Melelang Sawah


Selasa, 10 November 2009, malam hari, di balai Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, diselenggarakan lelang sawah. Pada hari yang sama, sebelum lelang diselenggarakan setiap orang yang ikut atau menjadi peserta lelang diwajibkan mendaftar di balai desa setempat. Syarat utama, yakni harus sudah berumah tangga, kepala keluarga. Malam itu, balai desa tersebut dipenuhi oleh warga, khususnya yang berkepentingan atas sawah yang akan dilelang.

Desa Balongrejo sendiri terdiri atas empat dusun, yakni Dusun Wates, Dusun Balongrejo, Dusun Gawok, dan Dusun Kepuhtelu. Menurut informasi, pendaftar lelang dari Dusun Kepuhtelu ada 8 orang. Sementara itu, dari Dusun Wates ada 53 orang yang merupakan pendaftar terbanyak dibandingkan dengan dusun lainnya.

Sawah seluas 3 bahu (sekitar 2 hektar) yang dilelang tersebut adalah bengkok carik atau sekretaris desa. Akan tetapi, dari 3 bahu hanya 2 bahu (1 bahu biasanya dikenal dengan papan 350 yang sekaligus ini menyatakan luas) yang dilelang. Sisanya, berdasarkan ijin dari Badan Pengawas Desa (BPD), digarap oleh carik selama satu tahun. Kemudian, 2 bahu tersebut dibagi oleh 8 orang dari 4 dusun tadi. Sebagaimana diketahui bahwa setiap dusun diambil 2 orang. Maka dari itu, setiap orang mendapatkan papan 125.

Sawah itu sendiri berada di dua tempat, di utara dusun Wates dan di selatan Dusun Wates. Carik sendiri sekarang tinggal di Dusun Wates. Dengan demikian, jarak bengkok tersebut cukup dekat dengan Dusun Wates. Hal itu pula yang barangkali memengaruhi banyak warga Dusun Wates mendaftarkan diri dalam lelang tersebut.

Mengapa bengkok carik dilelang? Hal itu karena kini status carik adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apabila sudah PNS maka seorang carik digaji oleh negara, layaknya seorang PNS. Maka dari itu, seorang carik tidak lagi digaji dengan bengkok.

Pada pelaksanaannya, lelang pada malam itu dengan sistem lotre. Dalam hubungan ini, keputusan dalam lelang itu nantinya tidak ditentukan oleh penawar tertinggi, tetapi mirip sistem arisan. Sementara itu, sebagaimana ditulis di atas bahwa setiap orang mendapatkan papan 125 dan papan 125 ini nantinya dipatok harga Rp 2.750.000,00 untuk sawah yang berada di utara Dusun Wates. Sawah yang berada di selatan Dusun Wates dengan luas yang sama, yakni papan 125 dipatok Rp 2.500.000,00. Karena lelang, harga tersebut di bawah harga pasar yang sekarang dengan luas papan 125 itu pada kisaran Rp 3.000.000,00. Sementara itu, perbedaan harga itu dengan mempertimbangkan kondisi lahan. Kemudian, harga sejumlah itu berlaku untuk 1 tahun atau tiga kali masa panen.

Kemudian, di balai desa itu Pak Katijan (50 tahun) dan Pak Damanuri (35 tahun) dari Dusun Wates mendapatkan lotre dalam lelang pada malam itu. Beberapa hari kemudian, berbeda dengan Pak Damanuri yang menggarap sendiri sawah hasil lelang tersebut, Pak Katijan akan menjual perolehan lotre itu kepada saudaranya. Artinya, Pak Katijan mengalihkan haknya atau menjual sawah hasil lelang tersebut kepada saudaranya. Tentu saja itu adalah hak Pak Katijan dan itu sah-sah saja.

Dalam lelang itu agaknya hanya mengatur, bahwa orang yang mendapatkan lotre dalam lelang itu nantinya tidak boleh mengikuti lelang kembali. Maksudnya, begitu 1 tahun selesai maka sawah itu akan dilelang kembali dan mereka yang telah mendapatkan lelang tidak lagi bisa mendaftarkan diri sebagai peserta lelang selanjutnya.

Tanah atau sawah bengkok sendiri dapat dikatakan sebagai tanah aset desa. Statusnya tidak dapat diubah menjadi milik pribadi. Umumnya luas tanah dari bengkok sendiri rata-rata lebih luas dibandingkan dengan tanah milik pribadi. Hal itu juga terjadi di Desa Balongrejo. Pada saat yang sama, tujuan lelang itu sekaligus sebentuk upaya pembagian tanah di kalangan warga Desa Balongrejo.




Rabu, 11 November 2009

Jual Beli Gabah


Ramai-Ramai Menebaskan Padi

Oleh: Puguh Utomo


Akhir Oktober 2009 ini warga Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur banyak yang menebaskan padinya. Kira-kira 75 % petani pemilik sawah di dusun tersebut pada musim gadu ini menebaskan padinya. Umumnya petani yang memiliki lahan relatif luaslah yang menebaskan padinya. Di samping itu, umumnya tanaman padi yang ditebaskan itu tergolong subur. Penebas pun juga pilih-pilih terhadap padi yang akan ditebasnya. Sementara itu, tanaman padi yang tidak ditebaskan tergolong padi yang kurang subur.

Ada beberapa hal yang dapat dicatat dengan sistem tebasan atau yang juga dikenal dengan sistem ijon ini. Dengan sistem tebasan itu, penebas biasanya mengelilingi lahan padi yang akan ditebas. Umumnya penebas mengukur sekaligus menaksir perolehan padi dalam kuintal. Taksiran itu didasarkan atas jumlah langkah kaki saat mengelilinginya. Setelah itu, antara penebas dan pemilik sawah melakukan tawar-menawar.

Tawar-menawar itu biasanya dilakukan kira-kira satu atau dua minggu sebelum padi benar-benar dapat dipanen. Umumnya seorang penebas yang biasanya juga berasal dari kecamatan lain, memiliki seorang perantara setempat. Perantara setempat ini berperan, misalnya, menunjukkan pada seorang penebas pemilik sawah. Itu seperti dilakukan oleh Ngadimun (35 tahun), perantara setempat. Sementara itu, tawar-menawar ditangani sendiri antara penebas dan pemilik sawah.

Pemanenan padi pun umumnya dengan sistem borongan. Contohnya sawah milik Pak Tomo (60 tahun) yang menebaskan padinya dengan papan sekitar 400. Kira-kira satu minggu sebelumnya setelah terjadi kesepakatan antara Pak Tomo dan seorang penebas mengenai harga, hari itu Jumat, 23 Oktober 2009, padi milik Pak Tomo dipanen dengan sistem borongan dengan pekerja yang terdiri atas 8 orang.

Umumnya para pekerja sudah mulai memanen sejak pagi buta. Alasannya, antara lain, semakin pagi maka padi relatif masih basah. Padi yang basah atau kandungan airnya masih banyak maka bobot padi juga lebih berat dibandingkan dengan padi yang kering. Hal itu karena upah pekerja itu dihitung berdasarkan bobot per kuintal.

Kesepakatan harga antara penebas dan Pak Tomo dengan lahan seluas itu adalah Rp 15.000.000,-. Pada saat terjadi kesepakatan harga Pak Tomo sendiri diberikan 10 % dari kesepakatan harga tersebut. Sisanya diberikan saat padi selesai diangkut ke truk milik penebas. Sementara itu, para pekerja itu sendiri sudah diupah oleh penebas. Kewajiban Pak Tomo hanya memberi makan sekali sehari terhadap para pekerja tersebut.

Dinamika jual beli hasil pertanian, khususnya padi dalam pasar lokal pun berjalan. Sistem tebasan ini memang tidak bisa dipastikan dan sifatnya kondisional. Artinya, itu sangat bergantung dengan keberadaan penebas dan kesepakatan antara petani dan penebas. Meskipun demikian, hampir dapat dipastikan bahwa dibandingkan dengan musim tanam sebelumnya atau musim juki tahun ini, memang lebih banyak petani yang menebaskan padinya pada musim gadu ini.

Dalam kaitan itu, ada satu faktor yang menyebabkan sistem ijon ini lebih ramai. Saat ini merupakan musim gadu dan bertepatan dengan musim kemarau. Beberapa kecamatan di kabupaten Nganjuk lebih memilih tidak menanam padi dan lebih memilih menanam, misalnya jagung yang tidak begitu banyak memerlukan air. Padi sendiri termasuk tanaman yang memerlukan pengairan yang cukup. Oleh karena itu, keberadaan beberapa penebas dengan modal besar pun tak dapat dilepaskan dari faktor ini.

Sistem tebasan yang mirip perjudian itu sendiri terkadang dilematis. Memang, baik pemilik sawah maupun penebas sudah memperkirakan untung ruginya. Di satu sisi beberapa pemilik sawah yang menebaskan padinya merasa beruntung. Padinya dihargai tinggi oleh penebas. Di samping itu, pemilik sawah tidak terlalu repot untuk memanen sawahnya sebab dapat dikatakan bahwa pemilik sawah tinggal menerima uang saja. Meskipun demikian, kerugian juga bisa terjadi pada pihak penebas.

Namun, ada juga beberapa pemilik sawah yang menyesal telah menebaskan padinya. Umumnya perhitungan pemilik sawah melesat. Hasil padinya ternyata lebih banyak dari perkiraan semula. Tentu saja setelah terjadi kesepakatan harga maka kesepakatan itu sudah tidak dapat dirubah lagi.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

*Foto dari : http://www.fspi.or.id/templates/JavaBean/images/header.jpg

Kamis, 05 November 2009

Catatan Perjalanan





Dari Nganjuk Mampir ke Suramadu

Oleh: Puguh Utomo


Pagi itu jam 05.30, Sabtu, 10 Oktober 2009 saya, kedua orang tua, Bu Lek, misanan saya beserta suaminya dan seorang anaknya berangkat dari Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk dengan roda empat. Dengan mobil sewaan itu kami akan menghadiri acara wisuda adik kandung saya di sebuah universitas negeri di Surabaya. Tentu saja undangan wisuda itu hanya untuk kedua orang tua dan wisudawan maupun wisudawati.

Perjalanan mulai dari Nganjuk ke Surabaya pun dimulai. Saat masih di kawasan Nganjuk, saya masih sangat mengenal jalan. Sesampai di Kecamatan Sukomoro saya sempat memberitahu pada rombongan bahwa beberapa minggu yang lalu saya sempat mengikuti reuni di sebuah rumah. Kemudian, sampai kawasan Kabupaten Jombang saya masih ingat bahwa saya pernah melewati jalan ini. Kira-kira Maret 2009 yang lalu saya pernah bersepeda motor ke Kecamatan Sumobito, Jombang, untuk menghadiri acara akad nikah teman saya.

Memasuki Kabupaten Mojokerto, saya sudah tidak mengenal lagi jalan. Saya seperti melewati jalan yang belum pernah saya lewati. Maklum, saya termasuk orang yang jarang bepergian, khususnya dengan kendaraan roda empat maupun roda dua. Dulu saat masih kuliah di Universitas Jember, Jember, saya lebih sering naik kereta api (KA).

Begitu sampai di Krian, Surabaya, suhu udara pun terasa mulai berubah. Persisnya saat itu rombongan berhenti di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Waktu itu jam menunjukkan sekitar 08.00. Beberapa di antara rombongan harus buang air kecil. Saya pun memanfaatkan istirahat itu dengan sedikit berolahraga. Perjalanan selama kurang lebih 3 jam itu membuat saya pusing dan agak mual-mual.

Sementara itu, acara wisuda sendiri dilaksanakan jam 13.00 WIB. Namun, kami harus di tempat wisuda pada jam 11.00 WIB. Awalnya perjalanan itu telah direncanakan sebelumnya. Termasuk sebelum rombongan ke tempat wisuda, kami akan ke tol Suramadu. Kami hanya ingin mampir dan melewati tol tersebut. Orang juga mengenalnya sebagai jembatan Suramadu yang merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara.

Perjalanan ke ibu kota provinsi Jawa Timur itu memang bukan kali pertama bagi saya. Saat saya kelas 3 Sekolah Dasar (SD) saya pernah ke sana. Di samping itu, sejak lulus Sekolah Menengah Atas (SMU), untuk kepentingan studi saya agak kosmopolit. Artinya, jika mudik atau balik Nganjuk-Jember dengan KA maka saya selalu melewati Surabaya.

Kemudian, perjalanan dengan roda empat itu membuat saya berpikir tentang Surabaya. Suhu udara terasa begitu pengap. Saya pun memakai masker meskipun sedang berada di dalam kendaraan. Kemudian, jalan-jalan protokol padat dengan arus kendaraan. Terkadang disertai macet. Bahkan, kami harus melewati jalan tol. Tentu saja jalan tol itu tidak ada di Nganjuk.

Sekitar jam 10.00 kami tiba di gerbang Suramadu. Sebelum melewati tol itu kami harus membayar tarif tol sebesar Rp 30.000,- untuk kendaraan roda empat. Kami pun melewati tol itu dengan laju pelan. Sementara itu, di sisi kiri kami dari kejauhan tampak patung Jalesveva Jaya Mahe berwarna biru langit dengan ukuran kecil. Itu menandai pula Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Begitu mencapai tengah-tengah tol sepanjang kurang lebih 5 km itu, saya pun sempat memeriksa sinyal telepon seluler (ponsel). Aneh. Tidak ada sinyal sama sekali.

Saya bermaksud mengirim pesan pendek pada teman saya yang asli Pamekasan, Madura. Kini dia masih di Jember. Pesan pun tidak terkirim karena ketiadaan sinyal. Dalam pesan itu saya bermaksud ingin menjadikan teman saya itu saksi saat saya melewati Suramadu untuk yang pertama kalinya.

Saat memasuki tengah-tengah tol itu, suhu udara pun terasa sejuk. Pada dasarnya kami melewati Selat Madura. Betul, selat, yakni laut di antara pulau-pulau. Antara Pulau Jawa dan Pulau Madura. Suramadu pun menghubungkan kedua pulau tersebut. Tak salah jika laut pun turut berperan dalam penyerapan CO2.

Sampai di ujung tol dan memasuki Kabupaten Bangkalan, pulau Madura kami pun putar balik. Tentu saja sebelum melewati tol Suramadu kami harus membayar tarif lagi sebesar Rp 30.000,-. Saat tiba di sana di sepanjang pinggir jalan banyak pedagang makanan dan minuman dengan mendirikan rumah semipermanen. Anak misanan saya pun sempat dibelikan sebuah cambuk yang khas Madura. Saat kami berputar itu, saya melihat kembali sinyal ponsel. Ternyata sinyalnya penuh sampai tiba di Surabaya kembali. Itu berbeda dengan saat dari Surabaya ke Bangkalan. Saya pun dapat mengirim pesan pendek ke teman saya.

Akhirnya, sampailah rombongan di indekos adik kandung saya. Setelah menunggu selama beberapa saat, pada jam 11.45 rombongan pergi ke gedung milik universitas tempat diberlangsungkannya wisuda. Jalan di kawasan tempat wisuda pun padat dengan kendaraan khususnya roda empat. Pada saat yang sama Bu Lek saya berkomentar bahwa “sedemikian banyaknya mahasiswa seperti ini masak ingin jadi pegawai semua.”

Singkat cerita, menjelang maghrib setelah acara wisuda selesai, kami pergi ke rumah kerabat kami di Surabaya. Sebelumnya saya sudah mengatakan pada rombongan bahwa saya akan menginap semalam di situ. Pada saat kami bincang-bincang dan menyinggung tentang Suramadu, salah seorang kerabat mengatakan bahwa sesungguhnya masih ada masalah terkait dengan Suramadu itu. Masalah tersebut di antaranya masih adanya kekhawatiran tentang keberadaan tol tersebut, khususnya pengaruh masalah sosial terhadap Madura pada umumnya.

Kemudian, begitu rombongan pulang saya masih berada di Surabaya. Sekitar jam 20.00 saya langsung tidur. Itu merupakan tidur kali kedua saya di Surabaya. Pengalaman tidur itu pun seperti tidur pertama pada tahun 2004. Suhu udaranya panas dan ini membuat mudah berkeringat. Meskipun dapat tertidur, tetapi kurang membuat pulas. Udara pun terasa lebih pengap. Maklum, Surabaya. Saya juga tidak bisa menyalahkannya.

Keesokan paginya adik kandung saya menjemput saya dan sekalian saya akan kembali ke Nganjuk pada siang harinya dengan KA. Rentang waktu itu pun saya manfaatkan dengan mengunjungi tempat saudari saya itu bekerja. Setelah itu, saya dan saudari saya dengan mengendarai sepeda motor pergi ke sebuah toko buku di Surabaya. Saya menemukan satu buku di toko buku tersebut. Saya pun berpikir bahwa betapa lebih lengkapnya toko buku ini dibandingkan dengan, misalnya di Jember. Apalagi di Nganjuk.

Tak terlewatkan, kami mengunjungi sebuah hypermarket di Surabaya. Hypermarket yang terdiri atas beberapa tingkat lantai itu agaknya dijadikan oleh masyarakat Surabaya sebagai tempat rekreasi. Tempat yang luas, ruangan dengan berpendingin udara, dan aneka barang kebutuhan hidup pun menjadi daya tarik tersendiri. Di hypermarket tersebut juga toko buku besar dan saya pun tak melewatkannya meskipun saya tidak beli buku.

Perjalanan dari Nganjuk mampir ke Suramadu dan ke Surabaya pun berakhir di Stasiun Wonokromo. Dari stasiun itu saya kembali ke Nganjuk. Agaknya saya cukup lama tidak naik KA. Terakhir saya naik KA sekitar delapan bulan yang lalu. Dengan sebelumnya membeli tiket seharga Rp 17.000,- saya percaya diri dan siap naik KA yang mengantarkan saya ke Nganjuk.

Ada hal menarik saat saya naik KA itu, yakni saat satu bangku dengan dua orang dari Timor Leste. Mereka berdua juga berangkat dari Stasiun Wonokromo. Saat saya bertanya mereka akan ke Yogyakarta untuk tujuan studi. Dua orang kakak beradik itu memakai bahasa setempat, yang tak saya kenal, untuk berkomunikasi antar keduanya. Namun, sesekali mereka berbahasa Indonesia, terutama dengan orang lain.

Selain itu, ada hal yang membuat saya agak tercengang. Saat saya bertanya tentang pemakaian bahasa Inggris di sekolah-sekolah di Timor Leste, mereka menjawab bahwa bahasa tersebut masih diajarkan. Pertanyaan saya itu didasari bahwa Timor Leste telah memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI). Kemudian, saya bertanya lagi tentang posisi bahasa Indonesia di Timor Leste. Salah seorang di antaranya mengatakan bahwa rencananya tahun depan (2010) bahasa Indonesia akan ditiadakan dari kurikulum di sekolah-sekolah.

Menjelang maghrib saya pun tiba di rumah, Nganjuk. Tentu saja suasananya berbeda dengan Surabaya. Suatu saat mungkin saya akan ke Surabaya lagi dan mungkin juga akan melewati Suramadu lagi.




Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

*Foto dari http://thebunx.files.wordpress.com/2009/05/suramadu13.jpg