Senin, 14 Desember 2009

Obituarium


Selamat Jalan Mbok Tinah...

Oleh: Puguh Utomo


Hari Minggu siang, 6 Desember 2009 di pemakaman di pinggir Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk itu menjadi tempat peristirahatan terakhir mendiang Mbok Tinah (60 tahun, bukan nama sebenarnya). Hari itu agaknya sedikit orang yang ikut melayat sampai di kuburan karena sebagian warga berangkat bekerja. Namun, hampir setiap warga desa sudah melayat di rumah duka. Dua hari sebelum menghembuskan napas terakhir, Mbok Tinah sempat dirawat di rumah sakit selama dua hari karena gangguan pernapasan. Penyakit itu telah lama diidapnya.

Sekadar diketahui, menurut informasi, Mbok Tinah ini dulu sewaktu masih mudah, sekitar tahun 1970-an, dihamili oleh seorang pemuda tetangganya. Namun, itu adalah kehamilan di luar nikah. Pemuda yang menghamili Mbok Tinah pun tidak mau bertanggung jawab. Pemuda itu didesak oleh keluarga besarnya agar tidak melangsungkan pernikahan dengan Mbok Tinah.

Singkat cerita, anak Mbok Tinah pun lahir. Pada usia 6 tahun, anak Mbok Tinah diberitahu siapa ayah biologisnya. Sayang, ayah biologisnya tidak mau dipanggil sebagai ayah. Bahkan, ayah biologisnya itu sempat membentak anak Mbok Tinah. Anak Mbok Tinah pun terkejut dan akhirnya sakit. Sakit itu akhirnya mengantarkan anak satu-satunya Mbok Tinah itu berpulang pada rahmatullah. Setelah peristiwa itu, pihak keluarga Mbok Tinah pun bermaksud mencarikan suami untuk Mbok Tinah. Namun, itu tidak berhasil. Sementara pemuda yang menghamili Mbok Tinah telah dinikahkan dengan orang lain. Hari itu laki-laki yang pernah menghamilinya juga ikut melayat ke kuburan Mbok Tinah.

Mbok Tinah pun tetap berjuang menjalani hari-hari dalam hidupnya. Sampai akhirnya Mbok Tinah tidak sanggup melawan penyakitnya. Malam selepas maghrib pihak keluarga Mbok Tinah pun menyelenggarakan bidaan selama tujuh hari berturut-turut. Bidaan itu dilakukan untuk memperingati atas wafatnya Mbok Tinah. Sejak hari pertama meninggalnya Mbok Tinah, nanti hari yang ke 40 maupun hari yang ke 1000 juga akan dilakukan peringatan atas meninggalnya mendiang Mbok Tinah.

Memang, Mbok Tinah bukan siapa-siapa. Saya pun tidak mengenal Mbok Tinah. Saya hanya tahu bahwa beliau adalah tetatangga di dusun saya. Entah bagaimana cerita yang sesungguhnya, tetapi saya mendengar cerita tentang kisah Mbok Tinah ini dari ibu saya. Rasa ke-terharuan-an membuat saya menulis tentang Mbok Tinah yang karena status perempuan-nya pernah diposisikan sebagai individu yang lemah. Saya sendiri yang kini berumur 25 tahun pun tidak pernah berbicara dengan Mbok Tinah. Jangankan berbicara, bertatap muka pun saya tidak pernah. Akan tetapi, hari itu saya ikut melayat sampai ke kuburan, tempat Mbok Tinah disemayamkan untuk selama-lamanya.

Selamat jalan Mbok Tinah...

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember



Pernikahan

Lingkaran Cinta Alumni SMADA

Oleh: Puguh Utomo

Tahun 2009 ini agak istimewa bagi saya. Mengapa? Karena pada tahun itu saya telah menghadiri undangan pernikahan empat orang teman yang dulu sama-sama lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 2003. Kemudian, empat pasangan yang telah menemukan jodohnya yang sama-sama satu almamater saat Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 (SMADA) Nganjuk. Ada yang dapat beda angkatan, tetapi ada pula yang dapat satu angkatan. Saat datang pada resepsi mereka, nuansanya pun seperti reuni.

Pada saat yang sama, saya pun berpikir bahwa lingkaran cinta juga terjadi antar-alumnus SMADA. Dari hal itu, dapat ditengarai bahwa cinta dalam hal ini lebih mendekati arti cinta-romantis atau cinta-asmara. Dengan kata lain, hubungan yang didasari atas cinta antara laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan janji suci dan ikatan sakral yang terlembagakan bernama pernikahan.

Syukur dan selamat untuk mereka yang telah menikah. Melalui pernikahan itu mereka telah melalui satu tahap dalam kehidupan. Dalam kehidupan pun hampir setiap orang memimpikan sebuah pernikahan. Apalagi pernikahan yang bahagia dan membawa berkah. Dengan ikatan sakral itu pula mereka telah membentuk keluarga dan menjalankan peran dan fungsinya dalam masyarakat.

Menurut informasi, sampai penghujung tahun 2009 ini telah ada sepuluh pasangan yang telah maupun akan melangsungkan pernikahan. Sepuluh pasangan itu adalah sama-sama alumnus SMADA. Dalam tulisan ini sengaja tidak disebutkan siapa saja mereka. Informasi itu sendiri beredar di kalangan alumni 2003. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan sepuluh pasangan itu terbatas pada alumni 2003.

Memang, mereka yang telah melangsungkan pernikahan tidak semuanya berjodoh dengan alumnus SMADA. Sebagian berjodoh dengan seseorang yang non-alumnus SMADA. Sementara itu, untuk kasus alumni 2003 mereka yang berjodoh dengan sesama alumni SMADA dapat dihitung dengan jari. Lagi pula, dalam proses cinta yang alamiah, sungguh mustahil jika setiap alumnus SMADA berjodoh dengan sesama alumnus SMADA.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada sebagian alumnus SMADA telah muncul benih-benih cinta sejak SMA meskipun cinta sendiri adalah naluriah yang juga muncul pada pra-SMA. Apabila kembali pada pengertian cinta seperti di atas maka tidaklah lazim jika melangsungkan pernikahan saat masih SMA. Faktor usia yang di bawah 20 tahun, aturan sekolah, bahkan tuntutan secara hukum, sosial maupun ekonomi umumnya masih sulit dilakukan pernikahan pada masa-masa itu. Hal itu berbeda dengan sekarang, rata-rata usia mereka yang sampai 2009 ini adalah 25 tahun.

Setiap orang pun memiliki pengalaman yang berbeda-beda akan cinta. Dari hal itu, di antara sekian sifat cinta, dapat dikatakan bahwa cinta itu terkadang misterius. Banyak sisi yang seseorang alami tentang cinta. Dalam perjalanan cinta, selain atas kehendak diri seseorang, juga tidak dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan keilahian.

Banyak orang bilang bahwa cinta itu adalah kehidupan itu sendiri. Dalam kaitan ini, secara umum, tentu alumni SMADA tahu tentang cinta. Barangkali mereka, misalnya mengetahui dari pengalaman orang lain, pengalaman langsung dari diri sendiri, membaca buku, membaca majalah, atau bahkan mungkin dari lirik lagu. Bahkan, nilai-nilai dalam agama pun dapat dijadikan sumber untuk mengenali cinta.

Sekali lagi, syukur dan selamat untuk mereka yang telah melangsungkan pernikahan maupun yang akan melangsungkan pernikahan dan mereka yang masih berjuang dalam perjalanan cinta menuju kehidupan rumah tangga...

Puguh Utomo

Alumnus SMADA 2003 dan

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember



Senin, 30 November 2009

Film



2012

Oleh: Puguh Utomo


Pertama kali saya menyaksikan cuplikan film berjudul 2012 di sebuah program infotainment di televisi pada siang hari, pertengahan November 2009. Program acara yang berdurasi 30 menit itu secara berulang kali menayangkan cuplikan film yang di sutradarai oleh Roland Emmerich tersebut. Cuplikan demi cuplikan menggambarkan tentang kehancuran planet tempat tinggal manusia, yakni bumi. Bencana seperti meteor yang menghujani bumi, gempa bumi dengan kekuatan besar, tsunami yang dahsyat diperlihatkan oleh program acara dari cuplikan film tersebut.

Film tersebut memang sebuah bencana yang besar. Dalam hubungan ini, program acara tersebut menyebutkan tentang peristiwa akhir zaman atau kiamat meskipun judul film tersebut tidak secara tersurat menyebut tentang kiamat. Namun, itulah biasanya judul sebuah film. Kata “kiamat” itu pula yang sempat membuat saya agak terkejut.

Saya sendiri memang belum menyaksikan film tersebut secara keseluruhan. Di kabupaten tempat saya tinggal pun tidak ada bioskop. Saya juga tidak berusaha menanyakan cassette disc (CD) di rental CD di kabupaten tempat saya tinggal. Saya sendiri sangat jarang meminjam film dalam bentuk CD. Pernah saya menanyakan CD film 2012 pada seorang teman yang gemar meminjam film dalam bentuk CD di rental CD. Akan tetapi, dia tidak yakin CD film itu sudah ada di kebupaten Nganjuk ini.

Beberapa hari kemudian, saya membaca resensi film tersebut di sebuah koran nasional. Dalam resensi tersebut, banyak kritik yang dilontarkan terhadap film tersebut. Misalnya, ada adegan-adegan yang tidak logis dalam film tersebut seperti pesawat terbang yang bisa selamat dari kepungan badai. Meskipun demikian, film tersebut mendapat pujian dari sisi efek visual.

Karena peran media, opini publik tentang film ini terbentuk. Dapat diduga bahwa di ruang opini publik itu muncul kutub pro dan kutub kontra. Itu dapat dilihat, misalnya pada beberapa program acara televisi meskipun eskalasi pro maupun kontra ini tidak sampai meluas. Kutub kontra, misalnya mengatakan bahwa film itu telah menyesatkan sebab telah mendahului kekuasaan Tuhan dalam hal penentuan kiamat. Sementara, kutub kontra, antara lain, berpendapat bahwa itu hanyalah sebuah film fiksi yang pada dasarnya memang seperti itu.

Kemudian, saya pun teringat dengan sebuah sinetron Indonesia yang pada judulnya juga memakai kata “kiamat”. Sinetron itu sendiri cukup mendapat tempat di hati pemirsa di Indonesia. Namun, sinetron itu sendiri tidak mendapatkan respon seperti pada film ini. Memang, terlalu jauh jika membandingkan antara karya dalam bentuk film dengan karya dalam bentuk sinetron. Akan tetapi, pesan tersirat baik dalam sinetron maupun film tersebut menurut saya kurang lebih sama.

Dalam hubungan ini, ada beberapa hal yang dapat dicatat terkait dengan reaksi terhadap film ini, khususnya reaksi dari masyarakat Indonesia. Ulasan-ulasan tentang film itu sendiri memang pada akhirnya menggiring pada opini publik. Entah bagaimana akhirnya yang menonjol adalah kata “kiamat”. Sebagaimana diketahui bahwa kiamat juga menjadi “kajian” dari agama. Dalam beberapa wawancara dengan sejumlah selebriti, paranormal, dan ulama, di televisi, dapat dikatakan bahwa kiamat adalah rahasia Ilahi. Maka dari itu, tidak ada manusia yang tahu secara pasti kapan terjadinya.

Sementara itu, isu yang berkaitan dengan agama di negeri ini masih cukup sensitif. Pada wilayah itu, saling klaim kebenaran pun menjadi tidak terhindarkan. Oleh karena itu, unjuk rasa terhadap film itu pun bergulir meskipun dalam skala yang kecil.

Dalam kaitan itu, gempa dengan kekuatan yang cukup besar, tsunami, banjir, badai, dan bentuk-bentuk bencana lainnya baik oleh alam sendiri maupun ulah manusia pun agaknya memengaruhi orang untuk ingat akan kiamat. Pada saat yang sama, program berita di televisi pun setiap hari memberitakan tentang proses hukum beberapa petinggi dalam lembaga tinggi negara. Sepertinya publik pun merasakan kejenuhan akan berita tersebut dan berita tentang film itu pun dapat menjadi selingan.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember


Senin, 23 November 2009

Lelang Sawah

Gambar diunggah dari sini.

Melelang Sawah


Selasa, 10 November 2009, malam hari, di balai Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, diselenggarakan lelang sawah. Pada hari yang sama, sebelum lelang diselenggarakan setiap orang yang ikut atau menjadi peserta lelang diwajibkan mendaftar di balai desa setempat. Syarat utama, yakni harus sudah berumah tangga, kepala keluarga. Malam itu, balai desa tersebut dipenuhi oleh warga, khususnya yang berkepentingan atas sawah yang akan dilelang.

Desa Balongrejo sendiri terdiri atas empat dusun, yakni Dusun Wates, Dusun Balongrejo, Dusun Gawok, dan Dusun Kepuhtelu. Menurut informasi, pendaftar lelang dari Dusun Kepuhtelu ada 8 orang. Sementara itu, dari Dusun Wates ada 53 orang yang merupakan pendaftar terbanyak dibandingkan dengan dusun lainnya.

Sawah seluas 3 bahu (sekitar 2 hektar) yang dilelang tersebut adalah bengkok carik atau sekretaris desa. Akan tetapi, dari 3 bahu hanya 2 bahu (1 bahu biasanya dikenal dengan papan 350 yang sekaligus ini menyatakan luas) yang dilelang. Sisanya, berdasarkan ijin dari Badan Pengawas Desa (BPD), digarap oleh carik selama satu tahun. Kemudian, 2 bahu tersebut dibagi oleh 8 orang dari 4 dusun tadi. Sebagaimana diketahui bahwa setiap dusun diambil 2 orang. Maka dari itu, setiap orang mendapatkan papan 125.

Sawah itu sendiri berada di dua tempat, di utara dusun Wates dan di selatan Dusun Wates. Carik sendiri sekarang tinggal di Dusun Wates. Dengan demikian, jarak bengkok tersebut cukup dekat dengan Dusun Wates. Hal itu pula yang barangkali memengaruhi banyak warga Dusun Wates mendaftarkan diri dalam lelang tersebut.

Mengapa bengkok carik dilelang? Hal itu karena kini status carik adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apabila sudah PNS maka seorang carik digaji oleh negara, layaknya seorang PNS. Maka dari itu, seorang carik tidak lagi digaji dengan bengkok.

Pada pelaksanaannya, lelang pada malam itu dengan sistem lotre. Dalam hubungan ini, keputusan dalam lelang itu nantinya tidak ditentukan oleh penawar tertinggi, tetapi mirip sistem arisan. Sementara itu, sebagaimana ditulis di atas bahwa setiap orang mendapatkan papan 125 dan papan 125 ini nantinya dipatok harga Rp 2.750.000,00 untuk sawah yang berada di utara Dusun Wates. Sawah yang berada di selatan Dusun Wates dengan luas yang sama, yakni papan 125 dipatok Rp 2.500.000,00. Karena lelang, harga tersebut di bawah harga pasar yang sekarang dengan luas papan 125 itu pada kisaran Rp 3.000.000,00. Sementara itu, perbedaan harga itu dengan mempertimbangkan kondisi lahan. Kemudian, harga sejumlah itu berlaku untuk 1 tahun atau tiga kali masa panen.

Kemudian, di balai desa itu Pak Katijan (50 tahun) dan Pak Damanuri (35 tahun) dari Dusun Wates mendapatkan lotre dalam lelang pada malam itu. Beberapa hari kemudian, berbeda dengan Pak Damanuri yang menggarap sendiri sawah hasil lelang tersebut, Pak Katijan akan menjual perolehan lotre itu kepada saudaranya. Artinya, Pak Katijan mengalihkan haknya atau menjual sawah hasil lelang tersebut kepada saudaranya. Tentu saja itu adalah hak Pak Katijan dan itu sah-sah saja.

Dalam lelang itu agaknya hanya mengatur, bahwa orang yang mendapatkan lotre dalam lelang itu nantinya tidak boleh mengikuti lelang kembali. Maksudnya, begitu 1 tahun selesai maka sawah itu akan dilelang kembali dan mereka yang telah mendapatkan lelang tidak lagi bisa mendaftarkan diri sebagai peserta lelang selanjutnya.

Tanah atau sawah bengkok sendiri dapat dikatakan sebagai tanah aset desa. Statusnya tidak dapat diubah menjadi milik pribadi. Umumnya luas tanah dari bengkok sendiri rata-rata lebih luas dibandingkan dengan tanah milik pribadi. Hal itu juga terjadi di Desa Balongrejo. Pada saat yang sama, tujuan lelang itu sekaligus sebentuk upaya pembagian tanah di kalangan warga Desa Balongrejo.




Rabu, 11 November 2009

Jual Beli Gabah


Ramai-Ramai Menebaskan Padi

Oleh: Puguh Utomo


Akhir Oktober 2009 ini warga Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur banyak yang menebaskan padinya. Kira-kira 75 % petani pemilik sawah di dusun tersebut pada musim gadu ini menebaskan padinya. Umumnya petani yang memiliki lahan relatif luaslah yang menebaskan padinya. Di samping itu, umumnya tanaman padi yang ditebaskan itu tergolong subur. Penebas pun juga pilih-pilih terhadap padi yang akan ditebasnya. Sementara itu, tanaman padi yang tidak ditebaskan tergolong padi yang kurang subur.

Ada beberapa hal yang dapat dicatat dengan sistem tebasan atau yang juga dikenal dengan sistem ijon ini. Dengan sistem tebasan itu, penebas biasanya mengelilingi lahan padi yang akan ditebas. Umumnya penebas mengukur sekaligus menaksir perolehan padi dalam kuintal. Taksiran itu didasarkan atas jumlah langkah kaki saat mengelilinginya. Setelah itu, antara penebas dan pemilik sawah melakukan tawar-menawar.

Tawar-menawar itu biasanya dilakukan kira-kira satu atau dua minggu sebelum padi benar-benar dapat dipanen. Umumnya seorang penebas yang biasanya juga berasal dari kecamatan lain, memiliki seorang perantara setempat. Perantara setempat ini berperan, misalnya, menunjukkan pada seorang penebas pemilik sawah. Itu seperti dilakukan oleh Ngadimun (35 tahun), perantara setempat. Sementara itu, tawar-menawar ditangani sendiri antara penebas dan pemilik sawah.

Pemanenan padi pun umumnya dengan sistem borongan. Contohnya sawah milik Pak Tomo (60 tahun) yang menebaskan padinya dengan papan sekitar 400. Kira-kira satu minggu sebelumnya setelah terjadi kesepakatan antara Pak Tomo dan seorang penebas mengenai harga, hari itu Jumat, 23 Oktober 2009, padi milik Pak Tomo dipanen dengan sistem borongan dengan pekerja yang terdiri atas 8 orang.

Umumnya para pekerja sudah mulai memanen sejak pagi buta. Alasannya, antara lain, semakin pagi maka padi relatif masih basah. Padi yang basah atau kandungan airnya masih banyak maka bobot padi juga lebih berat dibandingkan dengan padi yang kering. Hal itu karena upah pekerja itu dihitung berdasarkan bobot per kuintal.

Kesepakatan harga antara penebas dan Pak Tomo dengan lahan seluas itu adalah Rp 15.000.000,-. Pada saat terjadi kesepakatan harga Pak Tomo sendiri diberikan 10 % dari kesepakatan harga tersebut. Sisanya diberikan saat padi selesai diangkut ke truk milik penebas. Sementara itu, para pekerja itu sendiri sudah diupah oleh penebas. Kewajiban Pak Tomo hanya memberi makan sekali sehari terhadap para pekerja tersebut.

Dinamika jual beli hasil pertanian, khususnya padi dalam pasar lokal pun berjalan. Sistem tebasan ini memang tidak bisa dipastikan dan sifatnya kondisional. Artinya, itu sangat bergantung dengan keberadaan penebas dan kesepakatan antara petani dan penebas. Meskipun demikian, hampir dapat dipastikan bahwa dibandingkan dengan musim tanam sebelumnya atau musim juki tahun ini, memang lebih banyak petani yang menebaskan padinya pada musim gadu ini.

Dalam kaitan itu, ada satu faktor yang menyebabkan sistem ijon ini lebih ramai. Saat ini merupakan musim gadu dan bertepatan dengan musim kemarau. Beberapa kecamatan di kabupaten Nganjuk lebih memilih tidak menanam padi dan lebih memilih menanam, misalnya jagung yang tidak begitu banyak memerlukan air. Padi sendiri termasuk tanaman yang memerlukan pengairan yang cukup. Oleh karena itu, keberadaan beberapa penebas dengan modal besar pun tak dapat dilepaskan dari faktor ini.

Sistem tebasan yang mirip perjudian itu sendiri terkadang dilematis. Memang, baik pemilik sawah maupun penebas sudah memperkirakan untung ruginya. Di satu sisi beberapa pemilik sawah yang menebaskan padinya merasa beruntung. Padinya dihargai tinggi oleh penebas. Di samping itu, pemilik sawah tidak terlalu repot untuk memanen sawahnya sebab dapat dikatakan bahwa pemilik sawah tinggal menerima uang saja. Meskipun demikian, kerugian juga bisa terjadi pada pihak penebas.

Namun, ada juga beberapa pemilik sawah yang menyesal telah menebaskan padinya. Umumnya perhitungan pemilik sawah melesat. Hasil padinya ternyata lebih banyak dari perkiraan semula. Tentu saja setelah terjadi kesepakatan harga maka kesepakatan itu sudah tidak dapat dirubah lagi.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

*Foto dari : http://www.fspi.or.id/templates/JavaBean/images/header.jpg

Kamis, 05 November 2009

Catatan Perjalanan





Dari Nganjuk Mampir ke Suramadu

Oleh: Puguh Utomo


Pagi itu jam 05.30, Sabtu, 10 Oktober 2009 saya, kedua orang tua, Bu Lek, misanan saya beserta suaminya dan seorang anaknya berangkat dari Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk dengan roda empat. Dengan mobil sewaan itu kami akan menghadiri acara wisuda adik kandung saya di sebuah universitas negeri di Surabaya. Tentu saja undangan wisuda itu hanya untuk kedua orang tua dan wisudawan maupun wisudawati.

Perjalanan mulai dari Nganjuk ke Surabaya pun dimulai. Saat masih di kawasan Nganjuk, saya masih sangat mengenal jalan. Sesampai di Kecamatan Sukomoro saya sempat memberitahu pada rombongan bahwa beberapa minggu yang lalu saya sempat mengikuti reuni di sebuah rumah. Kemudian, sampai kawasan Kabupaten Jombang saya masih ingat bahwa saya pernah melewati jalan ini. Kira-kira Maret 2009 yang lalu saya pernah bersepeda motor ke Kecamatan Sumobito, Jombang, untuk menghadiri acara akad nikah teman saya.

Memasuki Kabupaten Mojokerto, saya sudah tidak mengenal lagi jalan. Saya seperti melewati jalan yang belum pernah saya lewati. Maklum, saya termasuk orang yang jarang bepergian, khususnya dengan kendaraan roda empat maupun roda dua. Dulu saat masih kuliah di Universitas Jember, Jember, saya lebih sering naik kereta api (KA).

Begitu sampai di Krian, Surabaya, suhu udara pun terasa mulai berubah. Persisnya saat itu rombongan berhenti di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Waktu itu jam menunjukkan sekitar 08.00. Beberapa di antara rombongan harus buang air kecil. Saya pun memanfaatkan istirahat itu dengan sedikit berolahraga. Perjalanan selama kurang lebih 3 jam itu membuat saya pusing dan agak mual-mual.

Sementara itu, acara wisuda sendiri dilaksanakan jam 13.00 WIB. Namun, kami harus di tempat wisuda pada jam 11.00 WIB. Awalnya perjalanan itu telah direncanakan sebelumnya. Termasuk sebelum rombongan ke tempat wisuda, kami akan ke tol Suramadu. Kami hanya ingin mampir dan melewati tol tersebut. Orang juga mengenalnya sebagai jembatan Suramadu yang merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara.

Perjalanan ke ibu kota provinsi Jawa Timur itu memang bukan kali pertama bagi saya. Saat saya kelas 3 Sekolah Dasar (SD) saya pernah ke sana. Di samping itu, sejak lulus Sekolah Menengah Atas (SMU), untuk kepentingan studi saya agak kosmopolit. Artinya, jika mudik atau balik Nganjuk-Jember dengan KA maka saya selalu melewati Surabaya.

Kemudian, perjalanan dengan roda empat itu membuat saya berpikir tentang Surabaya. Suhu udara terasa begitu pengap. Saya pun memakai masker meskipun sedang berada di dalam kendaraan. Kemudian, jalan-jalan protokol padat dengan arus kendaraan. Terkadang disertai macet. Bahkan, kami harus melewati jalan tol. Tentu saja jalan tol itu tidak ada di Nganjuk.

Sekitar jam 10.00 kami tiba di gerbang Suramadu. Sebelum melewati tol itu kami harus membayar tarif tol sebesar Rp 30.000,- untuk kendaraan roda empat. Kami pun melewati tol itu dengan laju pelan. Sementara itu, di sisi kiri kami dari kejauhan tampak patung Jalesveva Jaya Mahe berwarna biru langit dengan ukuran kecil. Itu menandai pula Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Begitu mencapai tengah-tengah tol sepanjang kurang lebih 5 km itu, saya pun sempat memeriksa sinyal telepon seluler (ponsel). Aneh. Tidak ada sinyal sama sekali.

Saya bermaksud mengirim pesan pendek pada teman saya yang asli Pamekasan, Madura. Kini dia masih di Jember. Pesan pun tidak terkirim karena ketiadaan sinyal. Dalam pesan itu saya bermaksud ingin menjadikan teman saya itu saksi saat saya melewati Suramadu untuk yang pertama kalinya.

Saat memasuki tengah-tengah tol itu, suhu udara pun terasa sejuk. Pada dasarnya kami melewati Selat Madura. Betul, selat, yakni laut di antara pulau-pulau. Antara Pulau Jawa dan Pulau Madura. Suramadu pun menghubungkan kedua pulau tersebut. Tak salah jika laut pun turut berperan dalam penyerapan CO2.

Sampai di ujung tol dan memasuki Kabupaten Bangkalan, pulau Madura kami pun putar balik. Tentu saja sebelum melewati tol Suramadu kami harus membayar tarif lagi sebesar Rp 30.000,-. Saat tiba di sana di sepanjang pinggir jalan banyak pedagang makanan dan minuman dengan mendirikan rumah semipermanen. Anak misanan saya pun sempat dibelikan sebuah cambuk yang khas Madura. Saat kami berputar itu, saya melihat kembali sinyal ponsel. Ternyata sinyalnya penuh sampai tiba di Surabaya kembali. Itu berbeda dengan saat dari Surabaya ke Bangkalan. Saya pun dapat mengirim pesan pendek ke teman saya.

Akhirnya, sampailah rombongan di indekos adik kandung saya. Setelah menunggu selama beberapa saat, pada jam 11.45 rombongan pergi ke gedung milik universitas tempat diberlangsungkannya wisuda. Jalan di kawasan tempat wisuda pun padat dengan kendaraan khususnya roda empat. Pada saat yang sama Bu Lek saya berkomentar bahwa “sedemikian banyaknya mahasiswa seperti ini masak ingin jadi pegawai semua.”

Singkat cerita, menjelang maghrib setelah acara wisuda selesai, kami pergi ke rumah kerabat kami di Surabaya. Sebelumnya saya sudah mengatakan pada rombongan bahwa saya akan menginap semalam di situ. Pada saat kami bincang-bincang dan menyinggung tentang Suramadu, salah seorang kerabat mengatakan bahwa sesungguhnya masih ada masalah terkait dengan Suramadu itu. Masalah tersebut di antaranya masih adanya kekhawatiran tentang keberadaan tol tersebut, khususnya pengaruh masalah sosial terhadap Madura pada umumnya.

Kemudian, begitu rombongan pulang saya masih berada di Surabaya. Sekitar jam 20.00 saya langsung tidur. Itu merupakan tidur kali kedua saya di Surabaya. Pengalaman tidur itu pun seperti tidur pertama pada tahun 2004. Suhu udaranya panas dan ini membuat mudah berkeringat. Meskipun dapat tertidur, tetapi kurang membuat pulas. Udara pun terasa lebih pengap. Maklum, Surabaya. Saya juga tidak bisa menyalahkannya.

Keesokan paginya adik kandung saya menjemput saya dan sekalian saya akan kembali ke Nganjuk pada siang harinya dengan KA. Rentang waktu itu pun saya manfaatkan dengan mengunjungi tempat saudari saya itu bekerja. Setelah itu, saya dan saudari saya dengan mengendarai sepeda motor pergi ke sebuah toko buku di Surabaya. Saya menemukan satu buku di toko buku tersebut. Saya pun berpikir bahwa betapa lebih lengkapnya toko buku ini dibandingkan dengan, misalnya di Jember. Apalagi di Nganjuk.

Tak terlewatkan, kami mengunjungi sebuah hypermarket di Surabaya. Hypermarket yang terdiri atas beberapa tingkat lantai itu agaknya dijadikan oleh masyarakat Surabaya sebagai tempat rekreasi. Tempat yang luas, ruangan dengan berpendingin udara, dan aneka barang kebutuhan hidup pun menjadi daya tarik tersendiri. Di hypermarket tersebut juga toko buku besar dan saya pun tak melewatkannya meskipun saya tidak beli buku.

Perjalanan dari Nganjuk mampir ke Suramadu dan ke Surabaya pun berakhir di Stasiun Wonokromo. Dari stasiun itu saya kembali ke Nganjuk. Agaknya saya cukup lama tidak naik KA. Terakhir saya naik KA sekitar delapan bulan yang lalu. Dengan sebelumnya membeli tiket seharga Rp 17.000,- saya percaya diri dan siap naik KA yang mengantarkan saya ke Nganjuk.

Ada hal menarik saat saya naik KA itu, yakni saat satu bangku dengan dua orang dari Timor Leste. Mereka berdua juga berangkat dari Stasiun Wonokromo. Saat saya bertanya mereka akan ke Yogyakarta untuk tujuan studi. Dua orang kakak beradik itu memakai bahasa setempat, yang tak saya kenal, untuk berkomunikasi antar keduanya. Namun, sesekali mereka berbahasa Indonesia, terutama dengan orang lain.

Selain itu, ada hal yang membuat saya agak tercengang. Saat saya bertanya tentang pemakaian bahasa Inggris di sekolah-sekolah di Timor Leste, mereka menjawab bahwa bahasa tersebut masih diajarkan. Pertanyaan saya itu didasari bahwa Timor Leste telah memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI). Kemudian, saya bertanya lagi tentang posisi bahasa Indonesia di Timor Leste. Salah seorang di antaranya mengatakan bahwa rencananya tahun depan (2010) bahasa Indonesia akan ditiadakan dari kurikulum di sekolah-sekolah.

Menjelang maghrib saya pun tiba di rumah, Nganjuk. Tentu saja suasananya berbeda dengan Surabaya. Suatu saat mungkin saya akan ke Surabaya lagi dan mungkin juga akan melewati Suramadu lagi.




Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

*Foto dari http://thebunx.files.wordpress.com/2009/05/suramadu13.jpg

Selasa, 27 Oktober 2009

Seks di Ruang Publik & Ruang Privat

Seks di Ruang Publik & Ruang Privat

Oleh: Puguh Utomo


Awal Oktober 2009, sejumlah media, khususnya televisi memberitakan tentang rencana kedatangan artis yang dikenal sebagai bintang film dewasa asal Jepang, Maria Ozawa alias Miyabi. Perempuan peranakan itu akan membintangi sebuah film Indonesia yang juga dibuat di Indonesia. Mereka, khususnya laki-laki yang suka berpetualang dalam “dunia syahwat” kemungkinan besar akan mengenal sosok Miyabi ini.

Pro dan kontra pun muncul terkait dengan kedatangan Miyabi. Pihak yang pro, antara lain, mengatakan bahwa setiap orang berhak datang ke Indonesia, termasuk Miyabi. Sementara itu, yang kontra, antara lain mengatakan bahwa Miyabi tidak pantas datang ke Indonesia karena profesinya tersebut. Apabila Miyabi diijinkan datang ke Indonesia maka tidak akan tertutup kemungkinan ada Miyabi-Miyabi lain. Tulisan ini agaknya tidak ingin terlalu larut pada pro-kontra atas rencana kedatangan Miyabi. Namun, tulisan ini mencoba melihat hal itu dari sudut lain.

Kasus Miyabi ini mirip dengan kasus akan terbitnya sebuah majalah dewasa, beberapa waktu yang lalu. Lewat media, terutama televisi, publik mengetahui bahwa pihak yang kontra adalah dari kalangan keagamaan dalam wadah organisasi. Akhirnya, majalah dewasa yang menyediakan hal-hal terkait dengan seks itu tidak jadi terbit di Indonesia.

Adalah kenyataan sosiologis bahwa di Indonesia, seks lebih ditempatkan di ruang privat daripada di ruang publik. Berbeda dengan di Indonesia, di Jepang seks agaknya lazim ada di ruang publik. Oleh karena itu, di Jepang ada dan diizinkan majalah yang khusus mengulas tentang seks yang di Indonesia mendapatkan penolakan.

Pada dasarnya seks sendiri adalah kebutuhan makhluk, termasuk manusia. Dengan kata lain, libido pada manusia relatif tetap. Seks sendiri memegang peran penting, yakni prokreasi dan rekreasi. Prokreasi berkaitan dengan regenerasi manusia, yakni menghasilkan keturunan. Rekreasi berkaitan dengan seks sebagai penyaluran libido.

Penempatan seks di ruang privat maupun publik sebentuk rekayasa sosial. Upaya itu sekaligus ingin membedakan manusia dan hewan mengenai perilaku seks. Manusia sendiri mengenal etika sebagai standar dalam berperilaku. Meskipun manusia memiliki etika, tetapi terkadang bisa sangat menjauh dari etika. Tentu saja perlu diingat bahwa etika sendiri memiliki sifat relatif.

Di samping itu, penempatan seks di ruang privat itu sekaligus melindungi anak-anak. Akan tetapi, agaknya banyak yang bersepakat bahwa pendidikan seks yang baik bagi anak adalah penting. Dalam hubungan ini, perlu kemasan yang berbeda tentang seks di mata mereka.

Di Indonesia, penempatan seks di ruang privat tidak berarti sepenuhnya tidak ada seks di ruang publik. Seks tetap ada di ruang publik di Indonesia dengan berbagai bentuk meskipun itu sembunyi-sembunyi. Dalam lingkup negara, agaknya mustahil persoalan seks dapat benar-benar ditempatkan di ruang privat.

Video adegan mesum yang beredar dan memunculkan sensasi merupakan salah satu bentuk seks di ruang publik. Itu pula yang terjadi di sebuah SMA Negeri di Kabupaten Kediri pada pertengahan Oktober 2009 ini. Sebagai salah satu tindak lanjut kasus tersebut, Oktober 2009 dinas pendidikan setempat mengeluarkan surat keterangan larangan membawa telepon seluler bagi siswa di sekolah. Memang, kasus seperti itu bukan kali pertama.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Selasa, 20 Oktober 2009

Resensi: Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kamus Besar Bahasa Indonesia-ku

Oleh: Puguh Utomo


Warna sampulnya merah hati. Panjangnya 25 cm dan lebar 18 cm. Memiliki xxxvi + 1386 halaman. Dengan jumlah halaman sebanyak itu tebalnya mencapai 5 cm. Buku itu merupakan buku paling tebal di antara buku-buku yang kini saya miliki. Maklum, buku itu jenis kamus sehingga wajar jika tebal. Ya, buku itu adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi ketiga, cet. 3, 2002, Jakarta: Balai Pustaka.

KBBI itu memang tidak setebal Kamus Webster yang berbahasa Inggris itu. Itu pun menunjukkan bahwa perbendaharaan kata Kamus Webster jauh lebih banyak daripada KBBI. Oleh karena itu, Kamus Webster agaknya lebih “canggih” daripada bahasa Indonesia. Akan tetapi, saya tetap berbangga bahwa bahasa Indonesia apabila di-kamus-besar-kan bisa setebal itu.

Namun, maklum, KBBI itu bukan buku asli, tetapi buku bajakan. Sepintas KBBI itu adalah asli. Namun, jika melihat kertas dan hasil cetakannya maka akan berbeda dengan yang asli. Kertasnya lebih putih dari yang asli. Di sejumlah halaman ada kopian huruf yang tidak jelas. Namun, isinya persis seperti aslinya.

Memang, buku hasil membajak itu sesungguhnya melanggar hukum atas karya cipta. Saya pun mungkin tergolong pelanggar hukum atas buku yang saya beli pada Selasa, 20 April 2005 di pasar buku-bekas di Kabupaten Jember. Saat itu saya membelinya seharga Rp 85.000,00. Di tengah-tengah kebutuhan akan KBBI, harga itulah yang merupakan alasan utama saya membelinya. Buku aslinya saat itu sekitar Rp 200.000,00.

Sebetulnya harga Rp 85.000,00 itu masih terlalu mahal untuk anak indekos seperti saya saat itu. Maklum, jumlah itu hampir setara dengan tarif indekos yang saat saat itu Rp 100.000,00 per bulan. Saya pun agak nekat saat membelinya. Jadi, dengan membeli buku bajakan itu saya bisa menghemat Rp 115.000,00 untuk membayar sewa kamar selama satu bulan. Dan, saya tetap bisa memiliki sebuah KBBI.

Terkait dengan KBBI, saya ingin sebentar kembali ke masa lalu. Kira-kira pada tahun 1997 saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk pertama kalinya saya mengetahui bahwa Indonesia memiliki KBBI. Saat itu, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia menyuruh dua siswa untuk meminjam KBBI di perpustakaan untuk di bawa di kelas. Tujuannya untuk mencari arti kata.

Kemudian, saat duduk di bangku kuliah pada semester IV saya terdorong ingin memiliki KBBI. Dorongan itu begitu kuat setelah saya membaca tulisan pakar bahasa di kolom bahasa pada sebuah koran nasional. Menurut pakar tersebut dengan KBBI maka bisa membantu dalam hal menulis. Waktu itu pun saya penasaran dengan dunia tulis menulis yang saya awali dengan menulis buku harian (diary) pada 17 Juli 2004. Ketika itu saya berpikir bahwa KBBI itu merupakan satu modal untuk menulis.

Saat itu, untuk kalangan individual jarang ada yang memiliki KBBI. Apalagi di kalangan mahasiswa. Saya tidak bermaksud sombong. Saya juga tidak bermaksud pamer. Biasanya KBBI dimiliki oleh setiap perpustakaan daerah maupun perpustakaan yang besar. Perpustakaan di semua jenjang pendidikan juga memilikinya. Kalangan individual tertentu seperti guru dan dosen biasanya juga memilikinya.

Sejak saya memilikinya, KBBI itu merupakan buku yang paling dekat dengan saya. Artinya, KBBI itu merupakan buku yang paling sering saya buka. Saya sering mencari arti kata dalam KBBI tersebut. Saya juga sering mengacu kata dari KBBI. Buku itu pun selalu ada di dekat komputer milik saya saat saya menulis, bahkan sampai sekarang.

Selang sekitar dua tahun kemudian sejak 2005 saya mencoba pergi ke pasar buku-bekas tempat dulu saya membeli KBBI. Saat saya membeli pada tahun itu masih ada beberapa buah, tetapi pada tahun 2007 sudah tidak ada. Tentu saja saya hanya bertanya saja dan tidak berniat membeli lagi. Saya pun tidak menanyakan secara lebih dalam mengapa KBBI sudah tidak dijual. Saya menduga bahwa KBBI-KBBI itu sudah dibeli orang yang berdomisili di Jember. Mungkin juga harganya relatif mahal sehingga dilempar ke pasar lain di kota lain yang stok KBBI-nya habis.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember


Rabu, 14 Oktober 2009

Resensi Buku: Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif



Menggayakan Laporan Penelitian Metode Kualitatif

(Resensi Buku)

Oleh: Puguh Utomo


Judul buku : Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif

Penulis : Septiawan Santana K.

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Tahun terbit : 2007

Tebal : x + 226 halaman


Belakangan ini metode kualitatif semakin diminati. Itu terlihat dari skripsi, tesis, desertasi maupun penelitian khususnya dalam rumpun ilmu sosial di lingkungan akademis yang banyak menggunakan metode kualitatif. Literatur yang mengulas tentang metode kualitatif pun banyak bermunculan. Bahkan, ada buku tertentu yang mengulas tentang metode penelitian kualitatif yang dicetak berulang kali. Tidak ketinggalan banyak sumber di internet yang juga mengulas tentang metode kualitatif.

Tentu saja “menulis” dan “metode penelitian kualitatif” kiranya sudah tidak asing lagi di kalangan lingkungan akademis. Pada kurikulum di perguruan tinggi (PT) khususnya pada jenjang strata 1 (S-1) ilmu sosial, juga terdapat mata kuliah bernama metode penelitian sosial yang kualitatif, selain metode kuantitatif. Selain itu, sebagian skripsi yang ditulis oleh mahasiswa, terutama ilmu sosial juga menggunakan metode kualitatif. Oleh karena itu, buku ini sepertinya hanya untuk kalangan terbatas di lingkungan akademis.

Kemudian, sesuai dengan judulnya, Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif yang ditulis oleh Septiawan Santana K. ini merupakan salah satu buku yang mengulas tentang metode kualitatif. Dua kata, yaitu “menulis ilmiah” agaknya sudah membedakan buku lainnya yang sejenis yang mengulas tentang metode penelitian kualitatif. Umumnya sejumlah buku cukup berjudul “Metode Penelitian Kualitatif”. Dari dua kata itu pula dapat dibayangkan bahwa buku ini mengupas bagaimana kiat-kiat menulis ilmiah dengan metode kualitatif.

Sementara itu, kata-kata seperti “struktur naratif”, “fenomenologi”, “subjektif”, dan “mengalurkan tulisan”, sengaja ditulis secara terpencar, hampir memenuhi sampul depan. Di samping judul yang ditulis dengan ukuran lebih besar daripada kata-kata tadi juga terdapat ilustrasi yang unik. Ada karikatur foto setengah dada, kepala manusia botak yang tersenyum, sedangkan sebuah tangan dengan memegang pena tumbuh dari kepala itu. Di kulit kepala tertulis “senyum yang tulus”.

Kemudian, jika membaca pengantar di sampul belakang maka pembaca akan langsung disuguhi pernyataan tentang ciri penelitian kuantitatif dan kualitatif. Secara tidak langsung dikemukakan tentang penelitian kuantitatif dengan pernyataan “cara menalar dan menulis riset mesti seperti mesin kalkulator, penuh hitungan”. Di paragraf selanjutnya ditulis “banyak orang merasa enjoy membaca tulisan ilmiah kualitatif.” Kelebihan metode kualitatif pun dimunculkan. Namun, buku dengan sampul dominan warna hitam ini tidak mempertentangkan dua metode tersebut.

Kesan pertama itu pula yang menarik bagi pembaca, terutama mereka yang pecinta metode kualitatif. Apalagi buku ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (YOI). Untuk diketahui pula bahwa YOI telah memiliki nama dalam menerbitkan buku, khususnya buku-buku sosial. Banyak buku berjenis sosial yang bermutu yang diterbitkan oleh YOI. Selain itu, penulisnya Septiawan Santana K. juga telah dikenal lewat sejumlah buku yang ditulisnya seperti Menulis Itu Ibarat Ngomong (2007).

Kemudian, buku yang terdiri atas lima bab ini diawali dengan bab pendahuluan di bab I. Mengenali pembaca dan menangkap topik merupakan dua subbab di bab I. Dari subbab tersebut dapat diketahui bahwa buku ini semakin menegaskan tentang kiat-kiat menulis ilmiah jika menggunakan metode kualitatif. Sekali lagi, kata “ilmiah” agaknya membuat suatu tulisan ilmiah perlu penggayaan tersendiri. Lebih lanjut, ibarat hasil penelitian metode kualitatif sebagai makanan maka penggayaan itu bertujuan agar hasil penelitiannya terasa lezat.

Dalam kaitan itu, pada hakikatnya hasil penelitian ilmiah juga merupakan produk. Tak terkecuali hasil penelitian ilmiah dengan metode kualitatif juga merupakan produk atau tepatnya karya dalam bentuk tulis. Sekadar perbandingan, tulisan jurnalistik, yakni media cetak, juga merupakan produk. Satu kritik terhadap metode penelitian kualitatif adalah mirip tulisan jurnalistik, yaitu media cetak. Namun, di halaman di halaman 6 dengan mengutip pendapat Creswell agaknya dapat membedakan antara hasil tulisan jurnalistik dengan tulisan ilmiah. Jadi, keduanya sama-sama merupakan produk, tetapi dengan produk keluaran yang bisa berbeda.

Meskipun demikian, juga perlu dikatakan bahwa batas antara hasil dua hal tersebut terkadang kabur. Keduanya, baik produk jurnalistik maupun produk penelitian ilmiah metode kualitatif sama-sama mempublikasikan sesuatu lewat media tulisan yang umumnya ditambahi dengan foto atau gambar. Bahkan, dengan mengutip pendapat Dr. Ichiji Honda “Penulis ilmiah pada hakekatnya adalah seorang wartawan....” (hlm. 216).

Buku ini tidak memaparkan pengalaman penulisnya dalam meneliti dengan metode kualitatif. Dalam kaitan itu, penulisnya mengutip secara langsung sejumlah hasil penelitian yang menggunakan metode kualitatif. Contoh-contoh kutipan yang diberikan menunjukkan bahwa metode kualitatif dapat bermakna luas. Bahkan, mereka yang menggeluti ilmu sosiologi maupun antropologi yang lekat dengan metode penelitian kualitatif, barangkali akan membaca perspektif lain atas hasil penelitian dengan pemakaian metode kualitatif.

Selanjutnya, pada bab II dipaparkan hal-hal dasar seputar metode kualitatif. Dimulai dengan pembedaan antara fakta dan fiksi yang dalam tulisan ilmiah metode penelitian kualitatif itu bisa melebur. Kategori fiksi tersebut misalnya novel maupun cerita pendek. Peleburan itu menandai pula era posmodernisme dengan sifatnya yang membongkar juga sedikit diulas di halaman 30-31. Pada halaman tersebut dikatakan pula bahwa metode penelitian kualitatif itu subjektif.

Tentu saja subjektifitas di sini bukan berarti kebohongan. Bagaimanapun juga seorang peneliti maupun penulis perlu memegang prinsip kejujuran. Itu berkaitan pula dengan etika profesi seorang peneliti sekaligus seorang penulis. Terkait dengan itu, subjektifitas di sini dapat dimaknai sebagai ungkapan dalam bentuk tulisan, seorang penulis atau peneliti saat menuliskan laporan penelitian kualitatif sesuai dengan etika yang berlaku. Dan, kemampuan mengungkapkan pikiran dalam bentuk tulisan inilah satu hal mutlak yang perlu dimiliki oleh peneliti metode kualitatif.

Adapun di bab III metode penelitian kualitatif ini sendiri masih dipilah-pilah lagi ke dalam beberapa metode. Misalnya, metode fenomenologi, metode studi kasus, dan dan metode grounded theory. Pada dasarnya metode-metode tersebut dalam praktik penelitian bisa tumpang tindih satu sama lain. Itu pun tak dapat dilepaskan posisi metode kualitatif sebagai alat. Dalam hal ini, seperti halnya alat maka suatu alat perlu menyesuaikan dengan sasaran penelitian.

Masih pada bab III, lalu diteruskan dengan pedoman dalam menuliskan laporan penelitian ilmiah dengan metode kualitatif. Penulisan laporan, terutama di bab hasil dan pembahasan, di analisis data pada penelitian kualitatif dikenal tidak ada aturan yang baku. Kendatipun demikian, perlu ada alur logika saat menganalisis data pada penelitian kualitatif. Jadi, memang tidak asal-asalan dalam menyajikan hasil penelitian dengan menggunakan metode kualitatif.

Sebelum pada bab V, pada bab IV dijelaskan tentang mengalurkan tulisan. Bab ini masih berhubungan dengan bab III tentang menggayakan laporan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif. Teknik mengalurkan tulisan di sini mengikuti teknik standar sebagaimana dikenal dalam pengembangan paragraf, yakni narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, maupun perpaduan dari semua teknik tersebut.

Bab V yang bab penutup, lalu dilanjutkan dengan ulasan mengenai bahasa dalam penulisan laporan dengan metode kualitatif. Pada bab ini diutarakan bahwa menulis merupakan aktifitas dan proses kreatif yang perlu diasah secara terus-menerus. Banyak cara untuk mengasah kemampuan menulis ilmiah dengan metode kualitatif, antara lain dengan terlibat dalam kelompok penulisan, khususnya penulisan dengan metode tersebut. Demikian juga dengan bahasa laporan penelitian metode kualitatif agar bernilai informatif dan tidak asing di hadapan pembacanya.

Biarpun demikian, ada beberapa catatan untuk buku ini, di balik kelebihannya. Buku ini misalnya, banyak memakai kutipan maupun contoh hasil penelitian metode kualitatif dari penulis luar negeri. Memang, itu sah-sah saja. Namun, terkadang kutipan tersebut sepertinya asing di hadapan pembaca di Indonesia. Sungguhpun demikian, buku ini layak dijadikan referensi dalam khasanah penelitian dengan metode kualitatif.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Rabu, 07 Oktober 2009

Pemadaman Listrik

Padamnya Listrik di Dusun Saya

Oleh: Puguh Utomo


Tiba-tiba listrik di dusun saya, Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, padam (6/10/2009). Itu terjadi kira-kira jam 17.20 WIB. Saat itu saya sedang menyaksikan berita di televisi tentang gempa bumi dengan skala 6,7 skala richter di wilayah Sumatera Barat. Sudah hampir satu minggu ini program berita di televisi fokus pada berita tentang gempa di wilayah Sumatera Barat pada Rabu, 30 Oktober 2009 dan gempa susulannya. Posisi televisi sebagai salah satu media elektronik tentu saja hal itu logis. Namun, padamnya listrik membuat televisi tidak dapat dihidupkan.

Kemudian, praktis, kehidupan rasanya kembali ke zaman “Dinosaurus”. Padamnya listrik itu sendiri berlangsung sejak kira-kira jam 17.20 sampai dengan 20.45 WIB. Televisi, komputer, radio, dan lampu tidak dapat dihidupkan. Maklum, perkakas itu sangat bergantung pada aliran listrik. Pada saat yang sama saya teringat tentang penderitaan, khususnya warga Sumatera Barat yang harus memikul akibat atas gempa yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi itu.

Namun, tanda-tanda “ke-modern-an” masih ada. Telepon seluler (ponsel) milik saya masih bisa digunakan. Terkadang juga terdengar deru kendaraan, terutama roda dua. Lampu senter yang dari korek bensol juga masih dapat digunakan. Dimar cublik atau lampu berbahan bakar minyak tanah juga masih dapat digunakan. Lampu senter yang ada di ponsel saya juga masih dapat digunakan.

Selepas maghrib, saat listrik masih padam, ibu (57 tahun) saya bercerita tentang keganasan pada Gerakan September Tiga Puluh (G-30-S PKI) pada 1965 silam. Ibu saya menyebutnya dengan Gestapu, yakni kependekan dari Gerakan September Tiga Puluh. Demikian juga dengan sejumlah orang juga lebih mengenal peristiwa itu dengan Gestapu. Ibu saya menceritakan bahwa saat suasana gelap seperti ini dengan jalan yang masih belum beraspal, sering terjadi “manusia membunuh manusia”. Ibu saya menceritakan bahwa pada saat itu ada orang yang tewas dan organ tubuhnya dipotong-potong dan organnya diletakkan di atas kursi. Mengerikan! Ibu saya menceritakan dengan raut muka kesedihan sebagaimana orang-orang yang menceritakan tentang tragedi itu pada saya. Mereka pun tidak ingin peristiwa itu terulang kembali.

Pada jam 20.00 listrik belum menyala. Selama itu saya coba berkirim-kiriman pesan pendek lewat ponsel. Misalnya, saya bertanya pada teman saya yang hari ini mengikuti tes untuk menjadi satuan pengamanan (satpam) pada perusahaan jasa tenaga kerja. Teman saya itu membenarkan saat saya bertanya apakah perusahaan itu memakai sistem outsourcing. Dengan teman yang lain saya juga berkirim-kiram pesan pendek tentang tes Calon Pegawai Dalam Negeri (CPNS). Maklum, saya sendiri juga masih tergolong pencari kerja dan mendambakan bekerja sebagai PNS lembaga pendidikan.

Kemudian, pada saat jam 20.45 begitu listrik kembali menyala, terdengar sorak sorai dari tetangga sebelah. Kembali menyalanya listrik itu disambut dengan gembira. Kehidupan pun rasanya kembali normal.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Minggu, 04 Oktober 2009

Perpustakaan Umum Daerah

Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Nganjuk


Perpustakaan umum daerah (Perpusda) Kabupaten Nganjuk yang terletak di Jl. Diponegoro itu bangunannya kalah megah dengan bangunan distribution outlet (distro) yang berada di seberang jalan, sebelah barat Perpusda itu. Distro yang sebagian besar menjual pakaian itu ber-arsitektur modern dengan tiga lantai, sementara Perpusda ber-arsitektur klasik dengan hanya berlantai satu.

Di samping itu, sebelah utara distro itu juga berdiri swalayan yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Agak ke selatan lagi juga berdiri counter handphone yang tak kalah megah. Bangunan Perpusda itu sendiri terbilang kecil. Satu hal yang membuatnya tampak menonjol adalah halaman ber-ubin yang tampak lebih luas daripada bangunannya.

Berdekatan dengan Perpusda itu, yakni di sisi timur laut juga terdapat perpustakaan keliling. Di sebelah utaranya lagi terdapat bangunan tempat orang membayar listrik. Di bandingkan dengan perpustakaan keliling dan tempat pembayaran listrik tersebut, Perpusda yang paling banyak dikunjungi. Tentu itu wajar sebab sesuai fungsinya, yakni Perpusda tersebut memiliki lebih banyak koleksi buku yang dapat dibaca di tempat maupun dipinjam oleh pengunjung. Peminjaman itu bisa dilayani setelah pengunjung menjadi anggota Perpusda. Peminjaman pun masih dilakukan dengan cara manual. Di samping itu, di Perpusda sekarang juga menyediakan dua jenis koran yang hanya bisa dibaca di tempat.

Begitu memasuki Perpusda maka seorang pengunjung perlu menulis daftar hadir. Petugas Perpusda yang kini biasanya ditempati oleh tiga siswi jenjang Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) biasanya mengingatkan pengunjung yang belum menulis daftar hadir. Sementara itu, pengunjung yang membawa barang, misalnya tas dan jaket maka perlu di taruh di rak. Tas, misalnya tidak boleh dibawa masuk ke ruang koleksi buku. Itu dilakukan demi keamanan dan menghindari kecurigaan, seperti pencurian terhadap koleksi buku milik Perpusda.

Perpusda sendiri terdiri atas tiga ruang. Dari sisi barat, ruang pertama, ada ruang untuk peminjaman yang dilayani oleh petugas, rak tempat koleksi buku khusus seperti kamus, dan rak koran. Ruangan itu pun untuk membaca koran. Di sisi barat, di balik jendela agak di sisi utara juga ada warung makan dengan bangunan semi permanen. Lewat jendela, terkadang aroma aktifitas dapur dari warung itu sampai ke ruang pertama Perpusda. Tentu saja tidak lazim dilakukan oleh pengunjung Perpusda jika membeli makan dari warung itu dan dimakan di ruangan tersebut.

Apalagi membelinya lewat jendela. Sementara itu di balik di jendela itu sudah merupakan trotoar dan jalan yang lalu lintas kendaraannya terbilang padat untuk kawasan kota Nganjuk. Apalagi dari alun-alun kota Nganjuk, posisi Perpusda itu berjarak sekitar 2 km ke arah timur.

Aktifitas yang menonjol di ruangan pertama ini adalah membaca koran. Rata-rata pada hari biasa ada lima orang yang membaca koran. Umumnya pembaca koran berasal dari kalangan remaja dan dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk menambah kenyamanan saat membaca, khususnya di waktu suhu udara yang panas di atas plafon itu juga ada satu kipas angin.

Di ruangan itu pula biasanya juga ada sejumlah buku yang ditaruh dalam lemari kaca yang berbentuk meja. Buku itu merupakan buku koleksi terbaru Perpusda. Sebagai koleksi terbaru, buku itu umumnya belum bisa dipinjam oleh pengunjung. Baru setelah buku itu di input maka bisa dipinjam. Sebagaimana buku-buku koleksi milik Perpusda, buku-buku di dalam lemari itu telah diberi nomor kelas dan telah disampuli plastik.

Kemudian, sejak 29 Agustus 2009, ruang pertama tersebut telah diberi pendingin udara (air cold atau AC). Itu bertepatan dengan pelaksanaan puasa yang hampir satu minggu. Keberadaan alat pendingin tersebut semakin meningkatkan kenyamanan pengunjung Perpusda. Meskipun sudah ada AC, tetapi sebuah kipas angin biasanya masih difungsikan. Keberadaan AC dengan suhu udara yang sejuk mirip di pegunungan itu juga membuat suasana berbeda. Misalnya, sekarang jendela ditutup rapat. Begitu juga dengan pintu masuk Perpusda. Itu pun membuat suasana ruangan itu berbeda dibandingkan dengan sebelum dipasang AC.

Namun, sayang, AC itu hanya difungsikan selama beberapa hari. AC memang masih terpasang di ruangan pertama tersebut, tetapi AC tidak difungsikan. Keadaan ruangan itu pun kembali seperti sebelum ada AC. Misalnya, jendela di ruangan itu dibuka. Sementara itu, jika udara panas maka satu kipas angin yang menggantung di plafon dinyalakan.

Bergeser ke ruang timurnya, yang dihubungkan dengan satu pintu ada ruang kedua. Di ruangan ini ada rak tempat untuk menaruh koleksi sejumlah majalah. Ruangan ini lebih sempit daripada ruang pertama. Di ruangan ini pula ada ada papan tulis yang bertuliskan kondisi statistik, seperti jumlah pengunjung dalam satuan bulan, jumlah buku yang dipinjam, dan jenis buku yang dipinjam. Di ruangan ini biasanya juga diputar radio dengan volume suara yang rendah.

Kemudian, masih dihubungkan oleh sebuah pintu, yakni ruangan ketiga ada lima rak, tempat untuk meletakkan berbagai jenis buku yang dimiliki oleh Perpusda. Agaknya koleksi Perpusda lebih banyak buku jenis pelajaran sekolah dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan Sekolah Menangah Atas (SMA) atau yang sederajat. Meskipun demikian, juga ada buku-buku jenis lain seperti buku agama, sastra, komik, dan jenis-jenis buku lainnya.

Di ruangan ketiga ini, sekarang telah dipasang AC sehingga membuat ruangan lebih sejuk. Di samping itu, dua kipas angin juga menggantung di plafon di ruangan itu. Tampaknya, dua kipas angin itu telah lebih dulu dipasang. Karena ruang ber-AC maka seluruh jendela kaca di ruangan ketiga itu pun ditutup dan merokok pun tidak diperbolehkan. Dibandingkan dengan ruangan pertama dan ruangan kedua, ruangan ketiga ini paling luas.

Di depan ketiga ruangan itulah pengunjung Perpusda biasanya memarkir kendaraannya. Umumnya jenis kendaraan seperti motor dan sepeda angin. Di depan ruangan pertama dipasang atap agar kendaraan tidak kepanasan. Selain itu juga untuk memarkir kendaraan di saat hujan. Kemudian, di depan ruangan kedua tumbuh pohon mangga yang juga dapat meneduhkan kendaraan, khususnya dari sinar matahari. Selain itu, pohon mangga itu juga berfungsi menyejukkan halaman depan ruang Perpusda tersebut.

Sampai kini pada jam kerja, Perpusda Kabupaten Nganjuk masih tetap melayani pengunjungnya. Misalnya peminjaman buku maupun tempat membaca koran. Tentu saja Perpusda masih memiliki kekurangan-kekurangan. Akan tetapi, itu sepertinya tidak menghalangi pengunjungnya untuk datang ke Perpusda. Oleh pengunjungnya, Perpusda masih menjadi harapan untuk mendapatkan informasi.


Minggu, 27 September 2009

Makam Syekh Sulukhi

-->
Makam Syekh Sulukhi
Oleh: Puguh Utomo

Syekh Sulukhi. Begitulah nama sebuah makam di Desa Wilangan, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Dari alun-alun kota Nganjuk makam itu berjarak kurang lebih 16 km, ke arah barat. Posisinya sendiri tidak terlalu terpencil. Posisi makamnya berada kurang labih 1 km dari Jl. Raya Madiun yang merupakan jalan provinsi. Atau, kurang labih 1 km dari kepolisian sektor (Polsek) Wilangan ke arah utara. Di Kabupaten Nganjuk, Makam Syekh Sulukhi ini merupakan salah satu tempat wisata rohani bagi peziarah.
Sebuah gapura, di seberang jalan Polsek Wilangan, yang di atasnya bertuliskan huruf Arab menandai sebuah gang menuju makam tersebut. Untuk mempermudah arus lalu lintas, gang tersebut diatur untuk satu arah, yakni ke arah utara saja. Jalan di gang itu sudah beraspal meskipun bukan aspal goreng atau aspal hot mix. Begitu mencapai hampir 1 km dari gapura maka akan bertemu dengan ujung jalan gang tersebut dan bertemu dengan dua cabang jalan, ke timur dan ke barat. Di situ juga telah ada tanda yang tertulis pada sebuah papan kayu kecil arah menuju makam Syekh Sulukhi, yakni ke arah barat.
Syekh sendiri merupakan sebutan untuk ulama besar. Seseorang yang mendapatkan gelar tersebut umumnya telah berperan besar dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam. Demikian juga dengan Syekh Sulukhi. Pada saat itu juga Syekh Sulukhi dianggap berperan dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam.
Cerita tentang riwayat Syekh Sulukhi pun lebih berkembang sccara lisan. Di makam itu pula tidak ada keterangan tertulis tentang riwayat Syekh Sulukhi. Meskipun demikian, menurut informasi, seorang kamituwo setempat dapat menceritakan mengenai Syekh Sulukhi. Menurut informasi, Syekh Sulukhi merupakan salah satu utusan dari Kerajaan Demak pada masa itu. Makam Syekh Sulukhi itu sendiri terletak di pinggir sebuah sungai.
Dulu, sungai itu dimanfaatkan oleh Syekh Sulukhi untuk menghanyutkan padi yang dimasukkan ke dalam bambu menuju ke Kerajaan Demak. Saking banyaknya bambu maka tak terhitung atau tidak terbilang lagi berapa jumlah bambu tersebut. Tidak terbilang atau bahasa setempat mengatakan tidak ter-wilang maka akhirnya menjadi Wilangan, yaitu nama kecamatan tempat makam itu berada sekarang.
Posisi makam Syekh Sulukhi pun termasuk unik. Sebagaimana telah ditulis di atas bahwa makam Syekh Sulukhi terletak di pinggir sungai. Di samping itu, jika diperhatikan maka kondisi tanah di sekitar makam itu tampak perbukitan. Kemudian, Syekh Sulukhi merupakan satu-satunya makam yang ada di situ. Itu berbeda dengan sejumlah makam syekh yang biasanya terdiri atas lebih dari satu makam.
Uniknya, makam Syekh Sulukhi terletak di atas akar sebuah pohon besar. Oleh karena itu, tampak akar pohon tersebut melingkari makam tersebut. Menurut informasi, dulu sungai di dekat makam tersebut merupakan sungai besar. Saat itu, makam Syekh Sulukhi sendiri dilewati oleh sungai tersebut, tetapi tidak sampai menggerus makam. Di sekeliling makam memang tumbuh beberapa pohon besar. Di antaranya pohon asam.
Kemungkinan besar keberadaan pohon-pohon itulah yang dapat menyangga tanah di sekitar makam. Panjang maupun lebar makam seperti makam pada umumnya. Namun, nisan makam itu dibungkus dengan kain kafan. Untuk melindungi makam maupun untuk tempat ziarah, makam itu dibangunkan rumah yang separuhnya tanpa dinding. Kini, lantainya pun telah diberi keramik.
Sementara itu, di sekeliling makam kini telah dipasangi ubin dengan tanpa menebang pohon di sekitar makam. Posisi ubin sendiri berundak menyesuaikan kontur tanah di sekeliling makam yang miring. Ubin-ubin itu hanya dipasang di bagian selatan dan timur makam. Sementara di sisi barat sudah merupakan sungai dengan lebar sekitar 5 meter. Di sisi utara tidak dipasangi ubin sebab sudah merupakan jalan buntu. Namun, jarak sekitar 25 meter di sisi utara itu terdapat gasebu dengan atap seperti daun rumbia.
Di dalam makam sendiri terdapat sejumlah tulisan. Misalnya, agar memohon kepada Allah dan bukan kepada makam. Dalam konsep Islam, meminta selain kepada Allah dapat digolongkan perbuatan sirik. Hal inilah yang terkadang menuai kontroversi seputar ziarah makam.
Kemudian, makam Syekh Sulukhi itu dikelilingi oleh pagar bertembok dengan dua pintu. Satu untuk pintu masuk dan satunya lagi untuk keluar. Keduanya berada di sisi timur. Bagian barat dan utara tidak bertembok. Pada pintu masuk ini pula ditempatkan sebuah kotak amal. Di dekat pintu masuk dan keluar itu juga ada dua kursi panjang dan sebuah meja. Di sisi timur itu pula terdapat tempat parkir sepeda motor dan roda empat. Sebagian areal parkir juga telah diberi atap. Sementara itu di sisi utara parkir terdapat kamar mandi, kamar kecil, dan tempat untuk wudhu.
Satu deret dengan tempat untuk wudhu itu juga terdapat sebuah warung. Agaknya areal makam itu lebih bebas. Artinya, siapa saja bisa keluar masuk dengan mudah. Posisi makam pun memungkinkan situasi tersebut. Meskipun demikian, di timur makam telah dibangun sebuah pos atau gardu yang merupakan gerbang utama menuju areal makam. Sementara itu, di tenggara makam juga terdapat sebuah masjid.
Makam Syekh Sulukhi sendiri ramai dikunjungi peziarah, khususnya pada Jumat malam Kamis sekitar jam 20.00. Selain itu, pada Sabtu malam Minggu Pon selepas isya’ juga diadakan kegiatan macapat yang juga dihadiri banyak peziarah dari berbagai wilayah, yakni dari Nganjuk sendiri, Madiun, Kediri dan beberapa wilayah lain. Makam Syekh Sulukhi pun masih akan dikunjungi oleh peziarah.

Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember

Sabtu, 12 September 2009

Puasa

Puasa

Oleh: Puguh Utomo


Akhir Agustus 2009 sampai dengan akhir September 2009 nanti, khususnya umat Islam menjalankan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan sendiri, puasa merupakan salah bentuk ibadah yang paling kentara. Tidak hanya umat Islam di Indonesia, tetapi juga umat Islam di seluruh dunia. Pada awal-awal puasa biasanya ibadah yang yang dilaksanakan selama sebulan ini tidak begitu terasa berat.

Akan tetapi, setelah memasuki 20 hari terakhir atau 10 hari terakhir biasanya fisik merasakan efek puasa. Apalagi, seperti tahun sebelumnya puasa kali ini bertepatan dengan musim kemarau yang saat siang hari suhu udaranya cenderung panas. Berkenaan dengan itu, sebagian besar orang yang berpuasa mengatakan bahwa yang paling sangat terasa adalah rasa dahaga.

Pada saat yang sama, menjelang dan selama puasa, dunia media, terutama di televisi, juga menayangkan berbagai hal yang berkaitan dengan puasa yang dilaksanakan di bulan Ramadhan ini. Logika pasar pun berjalan. Bahkan, beberapa minggu sebelum ibadah puasa dilaksanakan telah gencar iklan seperti minuman berupa sirup maupun operator telepon seluler (ponsel). Bahkan, saat puasa, khususnya saat sahur sejumlah televisi menyelenggarakan acara kuis.

Seperti telah ditulis atas bahwa awal puasa tahun ini berada di akhir bulan Agustus 2009. Itu memengaruhi pula terhadap jadwal kegiatan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) yang ke-64 yang jatuh pada 17 Agustus. Sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan peringatan tersebut dimampatkan sebelum pelaksanaan puasa di hari pertama.

Pada dasarnya puasa merupakan bentuk ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Pada wilayah keagamaan, itu dilakukan secara bersama-sama atau kolektif oleh pemeluk agama. Karena kolektif maka lahir pula aturan-aturan dalam pelaksanaan perintah agama tersebut sebagai pedoman pemeluk agama. Tentu saja aturan-aturan ini juga berlaku untuk bentuk-bentuk ibadah yang lain, seperti sholat, zakat, dan naik haji. Aturan-aturan itu pun untuk memperkuat identitas dalam suatu agama.

Ketaatan itu pun berkaitan dengan kesadaran akan bertuhan. Dibandingkan dengan kesadaran beragama, kesadaran bertuhan ini lebih individual, tetapi tetap terpelihara dalam ke-kolektif-an. Dalam kesadaran bertuhan tersebut, Tuhan sebagai yang transendental dirasakan sebagai kekuatan tertinggi yang memiliki segala-galanya tanpa perkecualian.

Dalam banyak bentuk peribadahan dalam agama, dapat dipetik pelajaran tentang pengendalian diri. Tak terkecuali puasa. Di satu sisi pengendalian diri tersebut dapat bermakna penderitaan. Akan tetapi, di sisi lain dengan sifat manusia sebagai makhluk beragama dan makhluk bertuhan, puasa juga bermakna pencapaian martabat kemanusiaan yang tertinggi. Paling tidak, pelaksanaan puasa ini telah teruji dalam kurun waktu yang sangat lama di setiap tempat, di setiap masanya secara turun temurun.

Kemudian, media, baik elektronik maupun cetak, memediasi perihal puasa. Sebagian media memasukkan nuansa Ramadhan, termasuk di dalamnya puasa, ke dalam. Sementara pada puasa, sisi medis mengatakan bahwa puasa dapat mendukung kesehatan. Di samping itu, ajakan agar puasa juga berefek pada dimensi-dimensi lain seperti empati sosial. Tak ketinggalan pula pengalaman religius yang menyertai selama menjalankan ibadah puasa.

Selain itu, “ritual” rutin saat puasa Ramadhan pun terjadi kembali. Misalnya, kenaikan harga beberapa jenis kebutuhan pokok seperti gula pasir dan minyak goreng. Arus mudik khususnya pada H-10 maupun H+10 pada Lebaran pun meningkat dibandingkan dengan hari-hari biasa. Pada saat yang sama, selama Ramadhan, seperti yang ditayangkan oleh media seperti televisi, kepolisian juga merazia, misalnya minuman keras (miras).

Tiba-tiba pada pertengahan puasa, di Indonesia, alam pun berkehendak. Persisnya di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya diguncang gempa dengan kekuatan 7,3 skala richter. Sebagaimana diberitakan oleh media, puluhan orang tewas, sekian orang mengalami luka-luka, ribuan orang mengungsi, dan ribuan rumah rusak yang diakibatkan oleh gempa. Tentu kita semua berharap bahwa penanganan musibah tersebut dapat berjalan dengan baik.

Kemudian, dalam masyarakat Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, puasa Ramadhan yang diakhiri dengan Lebaran sudah menjadi bagian dari budaya. Itu ditandai, antara lain, mudik dan silaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Sebagian besar masyarakat di Indonesia menjadikan Lebaran juga sebagai kembalinya pada akar sosial.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Senin, 07 September 2009

Diesel di Sawah

Diesel di Sawah

Oleh: Puguh Utomo


Di sawah di sebelah utara Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk ini ada sekitar 36 diesel yang dioperasikan. Hampir di setiap petak sawah milik petani di dusun tersebut terdapat mesin pompa air yang digunakan untuk mengairi sawah. Sebagian besar adalah diesel milik petani di dusun yang kini terdiri atas kira-kira 200 kepala keluarga tersebut. Hampir setiap diesel di sawah tersebut tidak dibawa pulang, tetapi tetap dibiarkan berada di sawah. Sementara itu, selang penyedot pada wayer tetap dibiarkan menancap pada sumur diesel dengan kedalaman sekitar 40 meter.

Di sawah itu, beberapa diesel dibuatkan rumah-rumahan yang dengan empat tiang bambu dan atap yang beberapa rumah-rumahan itu di antaranya dari genteng. Umumnya rumah-rumahan itu tanpa dinding. Sebagian lagi hanya ditanami pohon talok untuk memayungi diesel dari sinar matahari. Sementara itu, sejumlah diesel hanya ditutupi karung goni. Bahkan, ada beberapa diesel yang dibiarkan terpapar sinar matahari langsung.

Petani di dusun itu sendiri mulai ramai-ramai memakai diesel dengan kapasitas besar, yakni 8 PK pada 2006. Kira-kira pada 1990-an petani masih mengandalkan sistem irigasi dengan pasokan air dari sungai. Setelah itu, petani memakai diesel kecil berbahan bakar bensin dan minyak tanah. Kemudian, mulai tahun 2006 itu mulai banyak petani yang memakai diesel dengan ukuran lebih besar.

Pada pertengahan Juli 2009 diesel-diesel itu mulai intensif dioperasikan. Persisnya saat mulai pengolahan sawah, yakni mentraktor lahan. Diesel memompa air dari dalam tanah dan mengairi lahan sehingga memudahkan tanah untuk ditraktor. Pada saat yang sama, petani juga daud atau mencabut benih padi yang berumur kurang lebih 25 hari.

Saat musim tanam seperti sekarang ini, akhir Agustus 2009, diesel biasa dioperasikan pada pagi hari sekitar jam 06.00. Misalnya, hari itu, Kamis, 3 September 2009, sawah milik Pak Tomo, 69 tahun, dengan luas lahan 450 ru sejak pagi telah mengoperasikan satu unit dieselnya. Karena posisi sawahnya terpisah, Pak Tomo juga menyewa satu unit diesel milik orang lain. Tujuannya untuk mengairi sawahnya yang seluas 150 ru dari luas 450 ru tersebut. Dengan begitu, waktu untuk mengairi sawahnya pun lebih cepat. Setelah air merata, Pak Tomo mematikan dieselnya sekitar pukul 10.00.

Diesel itu sendiri berbahan bakar solar. Sejak pertengahan Juli 2009 sampai dengan akhir Agustus 2009, Pak Tomo telah membeli Rp 600.000,- solar dengan harga per liternya Rp 4.500,-. Terakhir kali Pak Tomo membeli pada Senin, 31 Agustus 2009. Rata-rata Pak Tomo membeli solar setiap 15 hari sekali. Jadi, jika dihitung sampai sekarang Pak Tomo telah membeli sekitar 133 liter solar. Sementara itu, usia padi sampai 2 September 2009 ini baru 47 hari. Umur padi sendiri pada musim gadu ini diperkirakan mencapai 100 hari.

Memang, pada musim gadu ini punya karakteristik sendiri. Pada musim ini biaya yang dikeluarkan oleh petani lebih besar daripada musim lainnya. Biaya tambahan itu khususnya untuk pengairan sawah dengan mengandalkan diesel. Biaya itu misalnya membeli solar, membeli suku cadang diesel jika rusak, termasuk biaya servis diesel. Di samping itu, pada musim gadu ini usia padi biasanya lebih lama dibandingkan dengan dua musim lainnya. Meskipun demikian, hasil panen padi pada musim gadu ini lebih banyak dibandingkan dengan dua musim tanam lainnya.

Sebetulnya cukup beresiko meninggalkan diesel di sawah. Di sejumlah desa di Kabupaten Nganjuk, terjadi pencurian diesel. Akan tetapi, di Dusun Wates sendiri belum pernah terjadi kasus pencurian diesel. Berkenaan dengan itu, warga di Dusun Wates pun membeli diesel buatan Cina. Untuk satu unit diesel buatan Cina dengan kekuatan 8 PK seharga Rp 4.000.000,-. Rata-rata petani memilih diesel dengan kekuatan 8 PK. Dengan kapasitas mesin itu, tentu diesel pun cukup berat untuk dipindah-pindah sehingga lebih praktis ditinggalkan di sawah.

Diesel tersebut lebih murah dibandingkan dengan buatan Jepang yang harganya bisa mencapai dua kali lipatnya. Tentu saja harga itu juga memengaruhi kualitas diesel. Namun, warga setempat mengatakan bahwa selain harganya yang murah, pilihan terhadap diesel buatan Cina itu juga untuk meminimalisir kasus pencurian diesel di sawah. Artinya, jika diesel yang ditempatkan dan ditinggal di sawah itu dicuri maka kerugian yang ditanggung tidaklah terlalu besar.

Sawah milik petani di dusun itu pun tidak hanya di sebelah utara dusun, tetapi juga di sebelah selatan dusun. Di sebelah selatan dusun ini tidak banyak diesel yang dioperasikan dibandingkan dengan areal sawah di utara dusun. Di areal persawahan ini atau 1 km dari Dusun Wates terdapat sungai yang cukup lebar, yakni sekitar 4 atau 5 meter. Kadang-kadang diesel menyedot air dari sungai ini meskipun telah ada sumur diesel sendiri.

Di sisi barat juga masih ada lahan persawahan. Agak ke barat sudah merupakan perbukitan sekaligus untuk pemukiman. Oleh karena itu, tanah di areal ini konturnya miring dan ini cukup menguntungkan. Keuntungannya, yakni persediaan air tanah cukup melimpah sehingga setiap tahun, air tanah yang disedot oleh diesel sampai kini pun belum pernah habis. Kendatipun demikian, pada waktu tertentu, khususnya sore hari saat diesel-diesel banyak yang dioperasikan maka biasanya sumur-sumur warga di belakang rumah volumenya menyusut.

Di antara seluruh areal persawahan di sekeliling Dusun Wates ini, kondisi tanah tidaklah homogen. Ada sebagian tanah yang tergolong lahan rawa. Namun, tanah jenis ini sangat sedikit. Kemudian, ada pula lahan tegal, yaitu di barat daya dusun ini. Sebagai lahan tegal maka hanya lebih produktif ditanami saat musim penghujan.

Sepanjang tahun, sebagian besar areal persawahan di dusun itu ditanami padi. Umumnya tanaman padi, dalam setahun bisa panen sebanyak tiga kali. Dalam tiga kali panen itu, secara umum melewati dua musim, yakni musim kemarau dan musim penghujan. Pada saat musim kemarau itulah diesel memegang peran yang penting. Musim kamarau sendiri berlangsung antara bulan Juli sampai dengan bulan Januari.

Kini, September 2009 masih berlangsung musim kemarau. Diesel-diesel pun dioperasikan untuk menyedot air dan mengairi sawah milik petani masing-masing. Selama itu, setiap hari sejak pagi sampai sore hari pasti terdengar deru suara diesel yang dioperasikan di sawah.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember