Sabtu, 30 April 2011

Mengelola Sekolah Secara Profesional


Mengelola Sekolah Secara Profesional


Judul buku : Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia

Penulis : Munif Chatib

Tebal : xxiv + 188 halaman

Penerbit : Kaifa, Bandung

Tahun terbit : Cet. VII, April 2010

Saya meminjam buku dengan judul yang provokatif itu di perpustakaan daerah Kabupaten Nganjuk, Sabtu, 23 April 2011. Awalnya saya berpikir itu buku baru, terbitan April 2011. Saya pun mengambil buku itu dari lemari etalase di perpustakaan. Jadi, perpustakaan juga baru mengeluarkannya untuk bisa dipinjam pada tanggal tersebut. Empat hari setelah saya pinjam, saya baru tahu buku itu terbit April 2010 silam. Saat saya mulai meresensinya.

Saya tahu setiap periode tertentu perpustakaan daerah itu menambah koleksinya. Misalnya buku-buku diperoleh dengan membeli di toko buku di Surabaya. Buku yang dibeli tidak semuanya baru. Lagi pula tidak semua buku yang baru akan dibeli. Namun, pengalaman meminjam buku pada hari Sabtu itu membuat saya berpikir, betapa terlambatnya saya terhadap akses buku di kabupaten yang tidak besar ini.

Secara umum buku berisi testimoni dari penulisnya yang bekerja di lembaga pendidikan di Yayasan Islam Malik Ibrahim (YIMI), Gresik, Jawa Timur. Status yayasan itu menandai lembaga pendidikan itu berstatus swasta. Juga lembaga itu berlatar belakang keislaman. YIMI itu pun mengingatkan saya pada lembaga pendidikan bernama Baitul Izzah di Nganjuk yang saat ini memiliki Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dan SMP Baitul Izzah.

Baitul Izzah sendiri merupakan laboratory school dari Universitas Negeri Malang (UM). Saat ini di Kabupaten Nganjuk, SDIT Baitul Izzah dikenal favorit untuk jenjang SD meskipun Baitul Izzah berstatus swasta. Karenanya biaya sekolah di Baitul Izzah dikenal lebih tinggi daripada jenjang sekolah yang sama yang berstatus negeri. Namun, dengan biaya itu Baitul Izzah juga dikenal profesional dalam mengelola sekolah. Salah satu bukti adalah nilai siswa dalam ujian nasional (UN) yang di atas rata-rata. Katakanlah dalam lingkup kabupaten.

Namun, saya tidak tahu apakah di Baitul Izzah juga menerapkan sistem berbasis multiple intelligences atau kecerdasan majemuk. Namun, baik Baitul Izzah maupun YIMI sebagai lembaga pendidikan swasta-keislaman tampaknya lebih leluasa menjalankan sistem yang lebih efektif sehingga hasilnya juga baik. Itu jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan dengan jenjang yang sama yang berstatus negeri.

Lagi pula, antara satu SD dengan SD lainnya juga berbeda. Jika metode berbasis kecerdasan mejemuk ini diterapkan di suatu SD maka belum tentu hasilnya juga akan baik. Itu bisa disebabkan oleh kesiapan guru maupun dukungan dari semua pihak. Barangkali inilah kelemahan dari kelebihan metode tersebut.

Di balik metode itu tentu ada pentolan atau penggerak, misalnya guru, kepala sekolah, maupun peran penting pihak lain. Sumber daya manusia yang ada itu, siap bersama-sama dan mampu, serius dengan pekerjaannya. Teori dan praktik betul-betul dijalankan. Hal yang detail dan memang penting dalam penyelenggaraan pendidikan turut diperhatikan. Contohnya dalam membuat rencana pembelajaran (hlm. 150).

Hal yang mengagumkan adalah proses pembelajaran dengan siswa yang saat masuk sekolah dianggap siswa-siswa bodoh dan bermasalah. Dalam metode kecerdasan majemuk semua siswa dianggap cerdas. Dengan begitu maka hasilnya, siswa yang lulus juga akan baik. Inilah yang disebut dengan “the best process” (hlm.91).

Apabila saya katakan sebuah metode dalam sistem, sistem pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk ini sangat memperhatikan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap siswa. Siswa sebagai individu memiliki kecerdasan yang unik. Antara satu siswa dengan siswa lainnya memiliki gaya belajar sendiri-sendiri. Kuncinya adalah pengenalan diri. Misalnya bagaimana interaksi antara guru dengan siswa bernama Bela kelas 2 SD yang awalnya dikenal sebagai pembuat masalah menjadi pembuat prestasi (hlm. 15). Itu juga tidak tidak lepas dari ketelatenan seorang guru.

Dalam perkembangan belajar usia SD agaknya lebih mudah siswa itu “dibentuk”. Testimoni dalam buku ini pun hanya menceritakan keberhasilan metode itu di jenjang SD. Belum menceritakan keberhasilan metode di jenjang SMA yang mungkin usia perkembangan belajarnya sudah terlambat untuk dibentuk.

Metode kecerdasan majemuk ini kiranya juga mendukung dalam konsep belajar sepanjang hayat. Artinya, belajar itu tidak melulu dari balik tembok ruang kelas, tetapi manusia juga bisa belajar dari kehidupan ini secara lebih luas. Lagi pula, jenjang pendidikan tidak sampai pada SD, tetapi juga SMP, SMA dan seterusnya. Jadi, selama manusia itu hidup, manusia hendaknya senantiasa belajar.

Sabtu, 23 April 2011

Mengenai Soal-Soal Ujian Sosiologi

Mengenai Soal-Soal Ujian Sosiologi

Saya mendapatkan nilai 7.08 pada mata pelajaran sosiologi dalam ujian akhir pada Mei 2003 silam. Saat itu sosiologi belum di-UN-kan. Dalam penilaian kualitatif angka itu tergolong baik. Dari nilai secara keseluruhan saya dinyatakan lulus. Waktu itu sudah diberlakukan kelulusan dan ketidaklulusan. Jika sekarang ada peraturan nilai minimal 5.50 agar bisa lulus maka khusus untuk nilai mata pelajaran sosiologi itu sudah memenuhi syarat minimal.

Saya mendapatkan nilai itu sesuai aturan. Saya mengerjakan sendiri dan tidak mencontek. Juga tidak meminta bantuan jawaban dari teman. Panitia ujian nasional pun memasukkan nilai apa adanya. Namun, sayang, khusus untuk mata pelajaran Tata Negara saya sempat meminta bantuan jawaban teman saya yang ber-IQ cemerlang.

Ini tidak patut ditiru sebab tergolong curang. Saya sempat menyalin jawaban saya sendiri dengan jawaban milik teman saya dengan tipe-X. Namun, pada akhirnya saya hanya mendapatkan nilai 7.77 untuk Tata Negara. Saya merasa bersalah telah berbuat buruk. Dalam hati saya sering diliputi rasa bersalah pada guru yang mengajar mata pelajaran Tata Negara.

Secara sinis terkadang saya berpikir belajar sosiologi adalah mendapatkan nilai yang bagus saat ujian, khususnya ujian nasional (UN). Hal yang sama tampaknya berlaku untuk mata pelajaran lainnya. Tipe soal ujian pun berbeda antara UN dan soal ujian seleksi masuk perguruan tinggi (PT). Jadi, nilai UN pun seakan-akan tidak berguna. Jika ingin masuk di PT harus bisa mengerjakan soal-soal ujian yang berbeda dengan UN.

Tampaknya ini juga berlaku pada kuliah yang menurut aturan ditempuh dalam beberapa tahun. Namun, pada akhirnya adalah skripsi yang dibuat dan lulus tepat waktu. Setelah itu boleh memegang satu lembar ijasah dan satu lembar transkrip nilai yang kemudian dilegalisir untuk melamar kerja.

Belum sampai di situ, lulusan PT yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) entah di daerah atau di pusat harus bersaing dengan lulusan PT lainnya. Berbahagialah mereka yang ber-IQ encer sehingga dapat lolos dalam tes PNS. Beruntung pula mereka yang memang bernasib baik dan memilih takdirnya. Namun, ratusan bahkan mungkin ribuan lulusan PT yang tidak lolos tes harus mencari jalan lain.

Kian ketatnya persaingan, tawar menawar jual beli jabatan PNS pun terjadi. Dalam kasus tertentu, kalau ingin menjadi PNS, seseorang tidak perlu harus bisa mengerjakan soal-soal PNS. Dengan kemampuan diri yang bisa diterima, asalkan punya uang berjuta-juta maka seseorang bisa menjadi PNS.

Berbahagia pula-lah mereka yang tidak termasuk dalam ungkapan ke-sinis-an itu. Kenyataannya hidup itu tidak selamanya berjalan pada satu sisi. Satu dua contoh membuktikan kesejahteraan ekonomi tidak selalu dicapai oleh jebolan kampus. Teman saya bisa sejahtera dengan menjadi kamituwo atau perangkat desa pada sebuah dusun. Teman saya itu tidak bergelar sarjana. Namun, dulu sempat mengenyam bangku kuliah meskipun akhirnya tidak diteruskan karena telah menjadi kamituwo.

Kembali pada judul ini judul di atas. Judul ini kelanjutan dari judul Sosiologi di Sekolah dan di Perguruan Tinggi. Dalam judul itu saya sedikit berbicara mengenai soal-soal ujian sosiologi. Saya menulisnya dari sudut filsafat soal-soal ujian sosiologi. Jadi, saya tidak membuat soal-soal sosiologi. Namun, di blog ini ada salah satu kategori tulisan, yakni Prediksi Soal UN 2009 Sosiologi dan Pembahasannya.

Saya mendapatkan prediksi soal UN 2009 itu dari www.banksoal.sebarin.com. Saya lalu menjawabnya disertai dengan pembahasannya. Acuan saya, buku pelajaran sosiologi. Namun, hanya beberapa soal saja yang saya bahas. Terkadang pikiran diliputi oleh rasa malas yang menghebat. Saya juga menjawab sejumlah soal pilihan ganda dengan jawaban sebanyak lima opsi itu dengan nalar. Jadi tidak melulu mengacu pada buku pelajaran sosiologi.

Namun, ada soal yang belum terjawab karena saya kesulitan menjawabnya. Seringkali saya ragu-ragu apakah jawaban saya itu benar atau tidak. Saat saya kuliah di Program Studi Sosiologi non-kependidikan saya hampir tidak mempelajari soal-soal sosiologi untuk SMA/MA. Dimungkinkan pula siswa bisa lebih pandai dalam menjawab soal-soal sosiologi daripada guru sosiologi.

Upaya saya itu juga bertujuan agar siswa terbiasa menjawab soal-soal ujian sosiologi. Khususnya jika siswa menghadapi UN. Tentu siswa juga bisa mempelajarinya dari buku berisi soal-soal persiapan ujian beserta pembahasannya yang dijual di toko-toko buku. Selain itu, upaya itu juga sebagai pembelajaran saya mengenai soal-soal ujian sosiologi.

Namun, sifat dari ilmu sosial yang relatif, ada sebagian soal yang bisa memunculkan perbedaan pendapat. Antara satu orang dengan orang lain. Karenanya, masih langka, bahkan mungkin belum ada peserta UN yang mendapatkan nilai 10.00 untuk mata pelajaran sosiologi. Berbeda dengan mata pelajaran matematika sebagai ilmu yang pasti. Jadi, wajar jika ada siswa yang mendapatkan nilai sempurna, 10.00 pada mata pelajaran matematika.

Karenanya baik pertanyaan maupun pilihan jawaban hendaknya se-logis mungkin. Kalimat dalam pertanyaan tidak dibuat asal-asalan agar bisa dinalar. Demikian juga dengan opsi-opsi jawaban jika soal berbentuk pilihan ganda. Umumnya opsi jawaban sebanyak lima. Antara satu opsi dengan opsi lainnya tampak sama-sama benar. Padahal, hanya satu opsi yang diminta yang dianggap benar. Misalnya contoh soal dari buku berjudul Manusia dan Masyarakat: Pelajaran Sosiologi untuk SMA/MA, oleh Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati, Ganeca Exact, tahun 2007, no. 8, halaman 19 berikut ini.

8. Kemiskinan, gelandangan, pengemis, dan pengangguran merupakan masalah sosial dalam klasifikasi ...

  1. Masalah masyarakat

  2. Masalah ekonomi

  3. Masalah biologis

  4. Masalah psikologis

  5. Masalah kebudayaan

Mungkin kita bingung memilih antara jawaban A (masalah masyarakat) dan jawaban B (masalah ekonomi). Jika melihat uraian di halaman 13 pada buku tersebut, jawabannya adalah B (masalah ekonomi). Dengan demikian, jawabannya adalah B karena buku juga menjelaskan begitu.

Perhatikan juga contoh soal nomor 8, halaman 104 pada buku Sosiologi SMA/MA untuk kelas X, oleh Idianto Muin, terbitan Erlangga, 2006, berikut ini.

8. Proses ketika orang per-orangan atau sekelompok manusia mula-mula saling bertentangan, lalu saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan, disebut ...

  1. Kerja sama

  2. Akomodasi

  3. Akulturasi

  4. Kompetisi

  5. Asimilasi

Jika kita mencari jawabannya di bab Interaksi Sosial dalam Dinamika Kehidupan Sosial, khususnya di bab Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial maka jawaban yang benar adalah B (Akomodasi). Sekali lagi, kuncinya adalah membaca buku. Dengan kata lain, tes tulis seperti itu memerlukan kemampuan kognitif. Padahal, dalam sebuah pendapat, penilaian hasil belajar yang utuh juga mencakup penilaian afektif dan psikomotorik.

Di satu sisi, kemampuan kognitif atau kemampuan pemahaman ini dianggap sangat penting. Tes tulis seperti ujian sosiologi, ujian tulis CPNS maupun ujian tulis yang lain umumnya memerlukan kemampuan kognitif yang andal. Afektif atau sikap dan psikomotorik atau tindakan terkadang dianggap sudah melekat di dalam diri setiap siswa. Padahal, mencontek itu adalah curang dan buruk dari segi penilaian afektif maupun psikomotorik.

Terkait penilaian, nilai kebaikan, nilai kebenaran, nilai moral, nilai kepantasan, dan nilai-nilai yang lain dianggap sudah melekat pada diri individu. Dalam kasus video asusila yang dilakukan oleh siswa yang terlanjur beredar lewat ponsel, tergolong dalam pelanggaran berat dari sisi penilaian psikomotorik. Juga secara hukum meskipun secara kognitif siswa bisa mengerjakan soal-soal sosiologi dengan baik. Umumnya jika kemampuan kognitif baik maka kemampuan afektif dan psikomotorik juga baik meskipun itu dengan catatan.

Jadi disayangkan jika sekolah hanya mirip bimbingan belajar yang lebih menekankan aspek kognitif. Tentu saya tidak bermaksud merendahkan bimbingan belajar. Hanya demi hakikat belajar maka kelemahan-kelemahan itu hendaknya disadari untuk dicarikan solusi.

Kemudian, sepintas terkadang beberapa soal ujian sosiologi mirip soal ujian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Terkadang juga berbau seperti antropologi, psikologi, hukum, politik, bahkan ekonomi. Khusus antropologi akhirnya diintegrasikan ke dalam sosiologi. Akibatnya mata pelajaran antropologi ditiadakan. Kalau tidak salah peniadaan itu mulai tahun 2006.

Soal dengan jawaban B (Akomodasi) itu juga wujud dari politik kurikulum pendidikan. Ingat, negara juga punya kepentingan terhadap pendidikan. Negara menginginkan warganya tertib. Namun, dalam lingkup negara, sebuah konflik, sebuah ketegangan pasti terjadi. Misalnya, konflik dalam wujud kerusuhan di Situbondo pada 10 Oktober 1996 silam.

Dalam soal itu, individu dalam kelompok yang sedang bersitegang hendaknya saling mengakomodasi, yakni menyesuaikan diri dari persoalan agar bisa keluar dari ketegangan, dari suatu konflik tersebut. Umumnya konsep sosiologi memang banyak diserap dari bahasa Inggris. Seperti halnya akomodasi.

Lewat soal itu negara ingin menanamkan konsep dalam pikiran generasi mudanya. Jika terjadi konflik maka hendaknya bisa menyesuaikan diri untuk dimusyawarahkan, dicari jalan keluarnya. Namun, terkadang negara pun bisa memicu eskalasi sebuah konflik. Ulasan mengenai negara ini bisa dibaca pada sumber lain.




Selasa, 19 April 2011

Purnama

Purnama


Di langit tergambar

Purnama bersinar

Bintang berjajar

Angin berkejar-kejar

Dalam musim yang samar (Senin, 18 April 2011)

Hujan Rintik-Rintik

Hujan Rintik-Rintik


Hujan rintik

Berbisik-bisik

Bertitik-titik

Cantik

Menutup hari yang terik (Sabtu, 16 April 2011)

Minggu, 10 April 2011

Jangkar

Jangkar

Kata “jangkar” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) ada tiga arti. Artinya kata ini dalam bahasa Indonesia tergolong homonim. Salah satunya dalam bahasa Jawa, “jangkar” berarti menjangkar v, yakni “memanggil seseorang dengan nama kecilnya saja.” Kata “jangkar” ini pertama kali saya tahu pada akhir 2009 silam dari seorang penyiar radio.

Saat itu saya berpikir bukankah “jangkar” ini berarti pemberat pada kapal laut yang terbuat dari besi, bentuknya seperti mata pancing-ganda. Jangkar diturunkan ke air saat kapal berhenti di pelabuhan. “Jangkar” menurut KBBI (2002) juga berarti “akar yang bercabang-cabang di atas tanah seperti akar pada pokok pandan (bakau dsb).”

Saya merasa terlambat mengetahui kata “jangkar” justru setelah saya lulus dari perguruan tinggi. Betapa sedikitnya penguasaan kata dalam bahasa nasional negara saya sendiri. Saya sarjana sosiologi, bukan lulusan sastra Indonesia. Juga bukan sarjana pendidikan bahasa Indonesia. Namun, itu tidak bisa dijadikan alasan saya tidak tahu dengan kekayaan kosakata bahasa saya sendiri.

Di antara kita mungkin tak mengenal kata “jelaga”, “tabik”, dan “gayut”. Terkecuali kita harus mencarinya di KBBI. Kata-kata seperti itu memang tidak populer. Misalnya jarang digunakan dalam pemberitaan di koran maupun televisi. Akan tetapi, biasanya kata-kata seperti itu digunakan dalam karya sastra seperti cerita pendek, novel maupun puisi. Terkecuali kita memang hobi mengisi teka-teki sehingga mengenal istilah-istilah tersebut.

Di antara kita mungkin juga kesulitan atau malah tidak tahu menyebut benda sesuai dengan namanya. Di antara kita mungkin menyebut pelubang kertas. Padahal, dalam KBBI nama alat itu adalah perforator. Mungkin di antara kita menganggap sama antara baliho dan spenduk. Padahal, baliho dan spanduk itu memiliki perbedaan. Itu semua berkaitan dengan penguasaan dan pemakaian bahasa dalam bahasa Indonesia.

Kembali pada kata “jangkar”. Jika ada nama “Supriono” maka nama kecil kita atau nama panggilan kita mungkin adalah “Pri”. Bahkan, saking akrabnya kita biasanya memberikan nama julukan pada seseorang. Misalnya, “Kobo” karena wajahnya mirip tokoh kartun “Kobo”. Citra akan diri kita terkadang juga memengaruhi julukan yang dilekatkan pada kita.