Sabtu, 24 Juli 2010

Tiga Bulan Jadi Wartawan

Gambar diunggah dari sini.
-->
Tiga Bulan Jadi Wartawan
Sebetulnya saya sejak lama ingin menulis judul itu. Keinginan menulis judul itu sejak Desember 2009. Kira-kira Agustus 2009 sampai dengan Oktober 2009 saya menjadi wartawan sebuah radio swasta di kabupaten tempat saya lahir ini. Jadi, selama tiga bulan itu saya mencoba mengenal dunia jurnalistik. Setelah berhenti dari dunia jurnalistik yang singkat itu saya ingin berbagi pengalaman lewat tulisan.
Sebetulnya bukan wartawan, tetapi reporter pada sebuah radio. Memang, perbedaannya tipis. Wartawan umumnya seseorang yang secara aktif mencari berita untuk kantor berita, baik cetak maupun elektronik. Seorang wartawan terikat kontrak kerja dengan kantor tempatnya bekerja. Reporter juga seperti wartawan, tetapi agaknya tidak begitu aktif. Pemilihan kata “wartawan” itu sengaja agar sama dengan “an” pada kata “bulan”.
Ketika itu radio mengumumkan lowongan menjadi reporter freelance. Salah satu syaratnya adalah lulusan strata 1 atau sarjana berbagai jurusan. Peminat yang tertarik diminta membuat surat lamaran dan langsung wawancara. Dalam keragu-raguan, saya pun tertarik dan mengikuti apa yang diminta. Kemudian, pihak radio menelpon apakah saya masih berminat menjadi reporter. Saya pun berminat. Sebagai tindak lanjutnya, saya diminta berkumpul di kantor tempat radio siaran.
Pada hari itulah diadakan perkenalan secara sepintas tentang profil radio. Selain itu, penjelasan secara sepintas dari dua wartawan mengenai dunia jurnalis. Dunia jurnalistik pun termasuk baru bagi saya. Dunia radio juga tergolong sesuatu yang baru bagi saya. Jadi, kedatangan saya saat itu merupakan pengalaman baru bagi saya. Saya mengalami langsung bagaimana dunia radio maupun dunia jurnalis.
Dalam kesempatan itu juga dijelaskan, misalnya reportase untuk radio, gaji atau uang transportasi yang diberikan, maupun pemasaran radio dalam mendapatkan iklan. Gaji saat itu Rp 150.000,- per bulan. Tentu jumlah itu kecil, tetapi radio juga tidak mau ambil resiko dengan menggaji tinggi karyawan yang baru. Saya pun berpikir bahwa betapa susahnya mencari uang sendiri.
Saat itu ada lima orang yang berminat menjadi reporter. Agaknya hanya lima orang itulah yang berminat. Namun, hanya empat orang yang akhirnya mencoba menjadi reporter. Beberapa hari setelah perkenalan itu, dilanjutkan dengan penandatangan kontrak kerja, hitam di atas putih dengan materai Rp 6.000,-. Pasal-pasal dalam ikatan kerja itu dibuat oleh pihak radio. Lalu, sebagai jaminan kerja, pihak radio meminta ijasah asli.
Sekitar satu minggu kemudian, pihak radio membekali reporternya dengan sebuah telepon seluler (ponsel) dengan teknologi CDMA. Ponsel itu pun harus dibeli oleh para reporter dengan harga Rp 125.000,-. Ponsel itu dipakai untuk melaporkan berita oleh reporter. Kemudian, sekitar satu bulan kemudian, para reporter dibekali kartu pers sebagai tanda pengenal.
Profesi reporter sekaligus seorang jurnalis memang tidak semudah yang saya bayangkan. Misalnya, sungguh sulit mendapatkan berita. Waktu itu ada tuntutan dari pihak radio, satu reporter hendaknya melaporkan dua berita. Kesulitan yang sama juga dialami oleh tiga teman saya yang lain. Seorang jurnalis juga harus supel dengan setiap orang. Kepribadian pun harus seiring dengan bidang pekerjaan.
Agar mendapatkan berita, wartawan harus menjalin hubungan dengan pihak terkait dan pihak berwenang. Kantor polisi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), bahkan warung kopi pun merupakan tempat-tempat mendapatkan berita. Di kantor polisi pun seorang wartawan harus familier dengan polisi, khususnya kepala polisi seperti kepala kepolisian resor (Kapolres) maupun kepala polisi sektor (Polsek).
Singkat kisah, saya hanya tiga bulan menjadi wartawan atau reporter pada sebuah radio. Secara baik-baik saya berhenti dari pekerjaan wartawan karena alasan tertentu. Selang beberapa minggu kemudian, saya mengambil ijasah asli milik saya dan mengembalikan kartu pers. 

Rabu, 21 Juli 2010

Kematian


Gambar diunggah dari sini.

Kematian

Sejak awal Juli 2010 ini, khususnya selepas maghrib di rumah kakek-nenek saya agak ramai. Anak-anak dari kakek-nenek saya, para menantu, para cucu, dan cicit biasanya berkumpul di sana. Di sana kami biasanya ngobrol, membicarakan hal yang terkadang remeh temeh. Alasan kami datang ke rumah kakek-nenek adalah kakek saya sudah tua. Umurnya lebih dari 80 tahun. Sekarang kakek sedang sakit karena memang sudah tua. Dan, sepertinya kakek kami akan tutup usia.

Tentu kami tidak mengharapkan kakek akan segera tutup usia. Namun, jika melihat keadaannya sekarang maka takdir jualah yang menentukan. Kakek sudah tidak dapat berjalan. Hanya dapat berbaring di tempat tidur. Ingatannya pun berkurang drastis. Terkadang kakek juga tidak mau makan. Selama dalam kondisi itu, anak-anak dari kakek dan sejumlah menantu bergiliran merawat kakek. Misalnya, membersihkan badan kakek dengan air secukupnya, sehari sekali.

Nenek sendiri juga sudah tua. Namun, masih dapat berjalan dan ingatannya masih kuat. Hanya sekarang nenek tidak bisa memasak sendiri. Salah seorang dari anaknya nenek biasanya mengiriminya makanan berupa nasi beserta lauk pauk.

Dalam konteks tertentu kita memilih kata yang tepat. Tak terkecuali dengan kata “tutup usia” identik dengan “tewas”, “berpulang”, “meninggal”, “gugur”, “mati” dan lain sebagainya. Judul ini pun sengaja memakai kata “mati” yang mudah dikenal. Memang, biasanya kata “mati” ini berkenaan dengan hewan. Misalnya, “Ayam yang mati”. Selain kata “mati”, karena nilai rasa, di antara kata yang disebut itu berkenaan dengan manusia. Misalnya, “Pengendara sepeda motor itu tewas terlindas truk”.

Selasa, 29 Juni 2010 kemarin diberitakan Kerata Api (KA) Logawa kelas ekonomi anjlok dan terguling di sekitar perbatasan Saradan, Madiun dan Wilangan, Nganjuk. Disebutkan enam orang tewas dan puluhan luka-luka. Wilangan merupakan tetangga dari Bagor, kecamatan saya. Dulu saat masih kuliah saya biasa menaiki Logawa Nganjuk-Jember dan sebaliknya.

Kemudian, Minggu pagi, 11 Juli 2010 terjadi kecelakaan maut. Bus pariwisata vs bus pariwisata. Dalam kecelakaan yang terjadi di Desa Petak, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk itu, diwartakan tiga orang tewas dan sejumlah orang terluka. Saya sendiri hanya menyaksikan berita itu di televisi dan membacanya di koran. Saya tidak melihat langsung tempat kecelakaan meskipun berada di kecamatan tempat tinggal saya.

Sementara itu, di program televisi rasanya hampir tiap hari disuguhi berita ketewasan. Tewas karena ledakan tabung gas elpiji; tewas karena kebakaran; tewas karena terbunuh; tewas karena terseret arus banjir; dan lain sebagainya. Tentu saja dalam lingkup negara Indonesia yang penduduknya sekian juta ini peristiwa itu mungkin saja terjadi.

Peristiwa-peristiwa itulah yang akhirnya saya menuliskan judul Kematian. Salah seorang facebooker mengatakan, kematian itu merupakan suatu kepastian, khususnya bagi yang bernyawa. Namun, kapan kematian akan terjadi, itu merupakan suatu misteri. Kecuali kasus bunuh diri yang dilakukan oleh manusia. Kiranya belum ada laporan hewan membunuh dirinya sendiri seperti kasus-kasus yang pernah dilakukan oleh manusia.

Dalam kecelakaan Logawa dan kecelakaan antar dua bus pariwisata itu sempat membuat saya berpikir bagaimana jika saya menjadi bagian dari penumpang alat transportasi itu? Bagaimana jika saya menjadi korban atas kecelakaan itu? Jika jari tangan yang tertusuk jarum saja terasa sakit maka bagaimana rasa sakit yang dialami korban baik yang luka-luka maupun yang meninggal?

Seingat saya Imam Syafei pernah berkata pada muridnya, sesuatu yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Jadi, bukan orang tua, kekasih, istri, suami dan lain sebagainya. Dalam kasus kecelakaan itu tentu ada benarnya. Kematian yang sebetulnya tidak dikehendaki, tetapi terjadi. Dalam hal ini juga berlaku “manusia merencanakan, tetapi Tuhan yang memutuskan”.

Kemudian, jika diibaratkan, hidup merupakan sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan itu memerlukan pemberhentian. Dalam kaitan ini, pemberhentian adalah kematian. Hampir selalu sebuah kematian menghadirkan kesedihan. Entah itu kematian yang dikehendaki maupun tidak dikehendaki. Bahkan, kematian atas kehendak-Nya pun juga bisa meninggalkan kesedihan.




Sabtu, 17 Juli 2010

Kopi Darat-Blogger Nganjuk

Kopi Darat-Blogger Nganjuk

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) saya tidak menemukan istilah kopi darat. Namun, jika diterjemahkan kopi darat adalah suatu istilah yang identik dengan pertemuan langsung dalam dunia nyata. Tujuannya membicarakan sesuatu hal. Mengapa dunia nyata? Karena pertemuan juga bisa lewat dunia maya, misalnya facebook. Selain istilah “dunia maya” salah satu koran nasional, Kompas, memperkenalkan istilah “siber”. Pengindonesiaan dari kata bahasa Inggris, yakni cyber.

Kamis, 15 Juli 2010 kemarin blogger Nganjuk menyelenggarakan kopi darat dan musyawarah di Sekolah Tinggi Teknik (STT) Pondok Modern Sumber Daya At-Takwa (POMOSDA) di Kelurahan Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Kopi darat dan musyawarah antar blogger Nganjuk itu sendiri tidak lepas dari ekstra kurikuler ICT SMA Negeri 1 Kertosono (SMAKER), Kabupaten Nganjuk bekerjasama dengan STT POMOSDA.

Awalnya, undangan telah dibuat dan dipublikasikan lewat situs http://kotaangin.com/. Situs itulah wadah untuk blogger Nganjuk. Saya sendiri mengetahui undangan itu dari salah seorang teman saya yang juga blogger asal Nganjuk. Sehari sebelumnya saya menghubungi dan bertanya pada teman saya itu lewat facebook tentang keberadaan blogger Nganjuk.

Acara dijadwalkan pukul 13.00 di lantai 2 STT POMOSDA. Namun, acara molor sampai pukul 14.30. Memang, sebelumnya sebagian teman-teman ICT SMAKER maupun teman POMOSDA sudah datang pada pukul 13.00. Bahkan, sebagian di antara mereka sudah datang sebelum pukul 13.00. Saya sendiri saat itu datang sekitar pukul 13.10.

Saya sendiri baru kali pertama menghadiri acara pertemuan antar blogger. Dengan laju kendaraan 60 saya menempuh waktu sekitar 30 menit, sampai di tempat acara. Keinginan bertemu dengan sesama blogger dan melihat POMOSDA agaknya saya harus menyempatkan diri datang pada kopi darat itu. POMOSDA itulah yang dulu mengijinkan saya meneliti untuk skripsi saya.

Saya sendiri blogging sejak akhir 2008 di blogspot. Sampai 2009 mereka yang mencantumkan identitas asal Nganjuk di situs blogspot masih kurang dari 100 blogger. Dari sisi bisnis blogging atau ngeblog memang tidak begitu menguntungkan. Namun, sedikit blogger sudah menjadikan blogging sebagai nafkah. Dalam hal ini, sebagian besar blogger beralasan blogging sebagai ekspresi diri.

Sekitar pukul 14.30 acara pun dimulai. Dalam salah satu sambutannya, seorang koordinator mengatakan awalnya pernah digagas tentang lomba blog. Namun, pesertanya sulit didapat. Jika ada peserta maka jumlahnya sangat sedikit. Selain itu, dalam era teknologi informasi acara itu ingin menghidupkan blogger Nganjuk. Pihak STT POMOSDA dalam satu sambutannya mengatakan POMOSDA yang hari-hari itu memperingati ulang tahunnya yang ke-15 pun mendukung inisiatif itu.

Jika berbicara blogger maka ini bisa berarti luas. Paling tidak itu tergambar saat kopi darat sore itu. Saya sendiri bergelut dengan mengekpresikan diri dalam bentuk tulisan. Sementara itu, blogger yang lain bergumul dengan desain grafis atau desain web. Begitu juga dengan blogger yang lain juga bertekun dengan pemrograman dalam dunia komputer maupun open source.

Awalnya, saya membayangkan dalam acara itu para blogger akan menenteng laptopnya masing-masing. Bayangan itu sempat membuat saya minder. Saya belum memiliki laptop. Namun, ternyata tidak satu pun blogger terlihat menenteng laptop. Di antara mereka tentu punya, tetapi tidak dibawa. Selain itu, setiap blogger juga akan menunjukkan webblog masing-masing. Akan tetapi, hanya sedikit blog yang ditampilkan dalam kopi darat itu.

Memang, dalam kopi darat dan musyawarah itu waktunya terbatas. Acaranya berakhir pukul 16.30. Selama dua jam itu dimanfaatkan untuk memilih ketua sampai sekretaris komunitas blogger Nganjuk yang akhirnya terbentuk. Selain itu, juga dibicarakan tentang dunia blog oleh salah seorang blogger yang tergolong tidak lagi pemula.

Acaranya sendiri tergolong mewah bagi saya. Sekitar 30-an orang yang hadir dalam acara itu seperti menghadiri seminar yang mewah. Bahkan, jika ikut seminar maka saya biasanya membeli tiket maka acara itu gratis. Kemudian, ada blogger yang seorang guru. Ada juga blogger yang berstatus pelajar yang saat itu paling banyak jumlahnya. Blogger yang berstatus mahasiswa maupun mantan mahasiswa juga ada. Istimewanya, ada blogger yang asal luar Nganjuk, bahkan luar Pulau Jawa yang bersekolah di POMOSDA.

Ruangannya pun cukup memadai. Ruangannya berpendingian udara. Sejumlah unit komputer berderet mengelilingi dinding. Di Ada satu laptop yang on line dan sebuah viewer yang saat itu digunakan untuk diskusi. Blogger pun disuguhi air minum dalam kemasan ukuran 240 ml yang bermerek. Kotak snack yang di dalamnya ada tiga jenis kue yang berbeda rasa dan dua bungkus permen semakin menegaskan kopi darat dan musyarawah itu sungguh berkelas. Terima kasih untuk pihak penyelenggara.

Harapan kami yang hadir saat itu, ke depan ada manfaat yang bisa dipetik dari komunitas blogger Nganjuk itu dalam mendayagunakan teknologi informasi. Itu dibandingkan dengan, misalnya komunitas blogger Jember, Surabaya maupun kota-kota besar lainnya yang sudah hidup. Hidup blogger Nganjuk...!




Rabu, 14 Juli 2010

Mengurus SIM C


Gambar diunggah dari sini.

Mengurus SIM C

Kamis, 8 Juli 2010 saya menemani saudara sepupu saya yang mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) C yang baru. Setelah sekian tahun memiliki kendaraan roda dua baru hari itu saudara itu mengurus SIM. Maklum, saudara saya itu jarang bepergian. Apalagi aktifitasnya yang sebagai petani jarang bepergian, apalagi keluar kota. Namun, anak sulungnya kini telah lulus dari Sekolah Dasar (SD). Anaknya akan dipondokkan di kecamatan lain. Saat mengantarkan anaknya dengan kendaraan bermotor itulah dia berpikir untuk memiliki SIM C. Khususnya saat berkendara di jalan raya.

Dalam pengurusan itu saya hanya menemani dan terkadang membantu mengisi formulir. Dalam hal ini saya bukan makelar SIM. Kami pun mengurus SIM sesuai prosedur. Artinya, kami tidak “titip” pada oknum atau calo. Memang, saudara saya itu sempat berniat “titip” pada salah satu oknum. Namun, oknum itu sudah tidak bisa lagi. Jadi, pengurusan SIM sejak 25 Mei 2010 itu harus lewat prosedur.

Selain itu, saudara sepupu saya yang lulusan SD itu mengajak, mungkin 10 Mei 2010 yang lalu saya mengurus SIM A. Lagi pula, saya juga tidak meminta upah dari saudara saya itu. Lewat tulisan ini pun saya ingin berbagi tentang pengalaman dalam mengurus SIM.

Kami tiba di Polres Nganjuk pukul 08.00. Motor kami dikenai perkir sebesar Rp 1000,- dan dibayarkan seketika itu juga. Saat itu sudah ramai dengan antrean pencari SIM. Kami langsung bertanya pada salah seorang pemandu. Kami diminta menuju ke koperasi yang tidak lain adalah tempat foto kopi. Di tempat foto kopi ini sudah ramai oleh pencari SIM. Saudara saya itu pun memberikan KTP nya untuk difoto kopi.

Setelah itu kami diberi map khusus dengan label kepolisian. Di tempat foto kopi ini kami dikenai biaya Rp 2.500,-. Setelah itu, kami meminta formulir berwarna putih pada salah satu karyawan yang tidak berseragam. Di formulir itu mengisi, misalnya nama, alamat, nama ibu, nama ayah, dan seterusnya. Di situ ada meja kursi tempat mengisi formulir. Kami beruntung saat itu kami membawa pulpen sendiri sehingga tidak perlu menunggu orang lain yang memegang pulpen.

Selesai mengisi, kami kembali pada karyawan tadi untuk cap jempol jari. Kemudian, karyawan itu meminta saudara sepupu saya itu menuju ruangan samping untuk stempel. Dari ruangan itu saudara saya itu menuju ke cek kesehatan. Letaknya di seberang jalan, tak jauh dari Polres tetapi berada di luar area Polres. Di tempat cek kesehatan oleh seorang dokter ini, saudara saya itu langsung mengumpulkan map yang dibawanya sebagai tanda antrean.

Perlu waktu beberapa menit di cek kesehatan ini. Cek kesehatan itu saudara saya itu dikenai biaya Rp 15.000,-. Setelah itu, saudara saya itu foto di sebelah ruang cek kesehatan tadi. Biayanya Rp 15.000,-. Setelah itu kembali ke ruang tempat stempel tadi. Sekembalinya dari sana kami menuju pemandu tadi. Oleh pemandu, kami diberikan formulir lagi untuk diisi.

Selesai mengisinya kami kembali ke pemandu dan diminta mengumpulkan map ke ruang ujian teori. Waktu itu kami sempat berdiri di ruang ujian teori sebab pintunya tertutup rapat. Ternyata pintu itu langsung dibuka saja dan mengumpulkan map tadi. Di ruang ujian teori itu sudah ada sejumlah orang yang diuji.

Saudara saya itu tidak langsung bisa diuji sehingga perlu mengantre. Selama menunggu itu, kami juga mengetahui salah seorang bapak yang memperpanjang SIM C-nya. Kata bapak itu mereka yang memperpanjang SIM C tidak perlu ujian teori maupun ujian praktik. Di beberapa loket juga ada pemberitahuan secara tertulis bahwa sejak tanggal 25 Mei 2010 untuk pengurusan SIM A yang baru biayanya Rp 120.000,-; SIM C yang baru Rp 100.000,-. Perpanjangan SIM C biayanya Rp 75.000,-; perpanjangan SIM A Rp 80.000,-.

Kemudian, pemberitahuan lewat pengeras suara memanggil mereka yang akan ujian teori, termasuk nama saudara saya itu. Kira-kira saat itu ada sepuluh nama yang dipanggil. Ujian itu pun memakan waktu agak lama. Selama menunggu itu saya juga sempat ngobrol dengan seorang bapak yang juga menemani saudaranya mencari SIM. Perlu diketahui, masa berlaku SIM dicocokkan dengan tanggal dan bulan lahir pencari atau pemilik SIM nantinya.

Itu juga saya obrolkan dengan bapak tadi. Bapak itu juga baru saja memperpanjang SIM C-nya pada 2 Juli 2010. 2 Juli itu merupakan tanggal dan bulan lahir bapak itu, setelah saya mengetahui dari SIM C-nya. SIM C dan SIM A milik saya pun masa berlakunya, oleh petugas, dicocokkan dengan tanggal dan lahir saya. Begitu juga dengan SIM C milik ayah saya.

Misalnya, SIM A milik saya dikeluarkan atau dibuat pada 10 Mei 2010. Masa berlakunya sampai 28 Desember 2015. Jadi, masa berlakunya SIM itu dicocokkan dengan tanggal dan bulan lahir saya. Seharusnya saya mengurus SIM A itu pada 28 Desember 2009. Hal itu karena masa berlakunya SIM dihitung sejak tanggal dan bulan tersebut.

Sekitar pukul 10.15 saudara saya keluar dari ruangan ujian teori dengan membawa satu brosur informasi tentang pengurusan SIM. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak lulus ujian teori. Karena itu dia akan kembali lagi keesokannya dan langsung menuju ke ruangan ujian teori. Tentu saja tanpa mengulang seperti pengisian formulir sampai cek kesehatan. Hari sebelumnya saat saya di perpustakaan daerah Nganjuk juga ada seorang bapak yang mengeluh sulitnya mendapatkan SIM.

Dalam perjalanan pulang dia menceritakan saat ujian teori. Dari seluruh peserta atau pencari SIM dalam tes itu hanya satu yang lulus. Itu pun peserta yang pada hari sebelumnya juga tidak lulus. Dalam tes itu ada 30 pertanyaan dengan membacanya di layar yang telah disediakan. Peserta tes menjawabnya dengan memilih di antara dua pilihan dalam dua tombol yang juga telah disediakan.

Saudara saya itu juga menceritakan, misalnya ada pertanyaan jika pengendara A dari arah timur menuju arah barat bertemu dalam satu perempatan dengan pengendara B yang dari arah selatan dan ingin berbelok ke arah barat maka mana yang perlu didahulukan? Setahu saya yang benar adalah pengendara A perlu mendahulukan atau memberi kesempatan pada pengendara B yang berbelok. Itu saya tahu dari buku teori lalu lintas yang saya baca. Sebaliknya, saudara saya itu memilih pengendara A yang mendahului pengendara B.

Rangkaian tahap itu sepertinya sama antara pencari SIM C maupun SIM A. Dalam hal ini, saya tak banyak tahu tentang SIM B, B I, maupun B II. Sebagaimana diketahui bahwa SIM terdiri atas beberapa jenis sesuai dengan jenis kendaraan. Misalnya, SIM C untuk kendaraan roda dua. Tentu informasi selengkapnya bisa diperoleh di Kepolisian Resor (Polres). Misalnya, mengenai biaya yang saya sebut di atas.

Jumat, 9 Juli 2010, setelah jumatan saya bertanya pada saudara saya itu tentang hasil tes. Katanya, dia memang lulus tes teori. Namun, dia gagal pada tes praktik, yakni mengendarai motor dengan melewati beberapa tanda. Menurutnya, gas motor yang dipakai untuk tes terbilang susah. Tes praktik itu dilakukan dengan motor yang telah disediakan oleh Polres di area Polres. Demi mendapatkan SIM C, dia pun akan mengikuti ujian praktik pada Jumat depan, yakni pada 16 Juli 2010. Ketidaklulusan tes praktik itu pun menandai bahwa saudara saya itu belum bisa memiliki SIM C.


Sabtu, 10 Juli 2010

Filosofi Hidup-Permainan Bola


Gambar diunggah dari sini.

Filosofi Hidup-Permainan Bola

Dalam keriuhan piala dunia 2010 saya juga ingin meramaikannya. Sebagai blogger saya meramaikannya lewat tulisan. Di media seperti koran, banyak tulisan tentang piala dunia. Ada yang mengaitkannya dengan nasionalisme, keuntungan ekonomi, bahkan sampai pada klenik. Saya sendiri pada piala dunia kali ini agak suka menonton pertandingan-pertandingan lewat televisi. Ada filosofi-filosofi hidup saat menontonnya maupun membaca ulasannya di koran.

Membaca ulasan di koran mengawali ketertarikan saya terhadap sepak bola. Bahasanya lugas, tajam dan seringkali menukik. Bahasanya juga bertenaga sehingga menarik untuk dibaca. Pada hari tertentu, koran pun menyajikan berita pertandingan piala dunia di halaman utama. Tiada hari tanpa berita bola.

Tentu belum cukup jika hanya membaca ulasan sepak bola tanpa menyaksikan pertandingannya di televisi. Beberapa pertandingan memuaskan di tonton seperti Jerman vs Serbia. Namun, ada juga pertandingan yang agak membosankan. Entah saya lupa itu pertandingan mana. Saya pun bukan bola mania.

Sebagaimana pertandingan olah raga, pasti ada aturannya. Begitu juga dengan permainan sepak bola. Saya sebetulnya tak tahu banyak peraturan dalam sepak bola. Misalnya, apa pengertian off side, saya tak tahu sungguh-sungguh. Setahu saya peraturan tentang off side itu berubah seiring waktu. Dalam kehidupan, peraturan itu misalnya berwujud ayat-ayat maupun pasal-pasal dalam undang-undang.

Aturan-aturan itu pun seringkali membuka celah penafsiran. Misalnya, saat wasit yang mengesahkan suatu gol yang dinilai kontroversial. Maka dari itu, muncul sejumlah kritik terhadap pengesahan wasit. Kiranya hal yang sama juga terjadi pada penafsiran akan ayat-ayat maupun pasal-pasal dalam undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya.

Pertandingan antara Jerman dan Serbia yang akhirnya dimenangkan oleh Serbia 1-0 merupakan pertandingan tak terduga. Artinya, di atas kertas Jerman seharusnya bisa mengalahkan Serbia sebagai tim yang tidak diunggulkan. Namun, itulah permainan. Begitu juga dengan angka. Meskipun angka 1 yang nominalnya kecil, tetapi itu sungguh sangat berharga. Begitu juga dengan hidup, seringkali ada hal yang tak terduga. Sementara itu hal yang kecil dalam hidup bisa punya makna yang besar.

Dalam pertandingan sepak bola pun ada sejumlah peran. Mulai dari wasit, hakim garis, pelatih, dan seterusnya. Demikian juga dengan para pemain, ada pemain gelandang, pemain tengah, kiper dan lain sebagainya. Agar suatu permainan maupun pertandingan sepak bola terlihat bagus maka setiap peran harus menjalankannya sebaik-baiknya. Dalam hidup pun banyak peran yang harus dimainkan sebaik-baiknya.

Saat pertandingan berlangsung seringkali jegal menjegal. Terkadang ada kartu kuning dan kartu merah. Kemarahan antar pemain maupun keluhan pemain terhadap wasit. Dan, tentu saja rebutan sebuah bola. Pada umumnya setiap pemain akan mendapat bola dan menggiring bola. Maka dari itu, setiap pemain dituntut lihai dalam menggiring bola dalam kerjasama tim untuk menghasilkan gol. Bola dalam hidup berarti sumber untuk kehidupan. Entah itu rezeki maupun jodoh.

Berbicara gol maka itu merupakan tujuan dari permainan sepak bola. Gol atau tujuan itulah yang umumnya ditunggu-tunggu oleh penonton. Terkadang penonton lebih melihat gol daripada susahnya mendapatkan gol. Hidup terkadang begitu. Orang lebih melihat kesuksesan sebagai tujuan hidup seseorang daripada kegagalan-kegagalannya.

Sebetulnya masih banyak filosofi-filosofi hidup jika diumpamakan permainan sepak bola dan segala hal yang berkaitan denganya. Lagi pula, permainan sepak bola adalah bagian dari hidup itu sendiri. Segala hal bisa saja terjadi dan tidak terjadi.