Senin, 29 Maret 2010

Panen Gabah pada Musim Ini...

Foto dipinjam dari sini

Panen Gabah pada Musim Ini...

Saya sengaja mencatat bahwa kali pertama panen gabah di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, pada 19 Februari 2010. Karena tanamnya lebih dulu, kali pertama yang panen adalah sawah milik ayah saya. Setelah tanaman padi dipanen dengan biaya Rp 210.000,- dan selep keliling dengan biaya Rp 50.000,-, pada masa labuh (November s/d Februari) atau masa panen di musim hujan ini sawah dengan papan 125 itu menghasilkan hampir 12 kuintal gabah basah. Hasil itu hampir sama dengan perolehan pada musim yang lalu, yakni musim kemarau atau musim gadu, yakni tidak kurang dari 12 kuintal.

Mengingat musim hujan, pemanenan padi pun sengaja dilakukan tidak terlalu pagi, yakni sekitar jam 08.30. Tujuannya agar padi tidak terlalu basah oleh embun pada musim hujan. Di samping itu, untuk memudahkan perontokan padi dari batangnya dengan menggunakan selep keliling.

Begitu telah menjadi gabah maka sesegera mungkin padi itu dijual ke pengepul di kawasan pinggiran kota Nganjuk. Dengan gabah yang kandungan airnya seperti itu, waktu itu harganya masih Rp 2.650,- per kg. Pada musim sebelumnya harga mencapai Rp 2.700,- per kg. Saya masih ingat bahwa saat itu hari Jumat, 19 Februari 2010. Inilah yang saya jadikan patokan untuk aktifitas saya di musim panen kali ini. Kemudian, pada Minggu, 21 Februari harga gabah turun pada kisaran Rp 4.450,- per kg.

Sejak itulah aktifitas saya agak bertambah. Mulai dari memasukkan gabah ke dalam sak, menimbang gabah, sampai menjemur gabah, mengangkut gabah dengan pikap. Khusus saat menjemur gabah, pada musim ayah saya telah membeli alat untuk mengangkut gabah. Alat itu berbentuk “L” dengan dua roda kecil. Lalu, alat itu berkerangka besi.

Di samping itu, saat memasukkan gabah ke dalam sak saya sering memakai masker. Tujuannya untuk menghindari debu gabah, khususnya selesai gabah dijemur. Tentu saja pemakaian masker itu tidak biasa dipakai oleh orang-orang di dusun saya. Namun, saya tidak peduli dengan anggapan orang saat saya memakai masker. Lagi pula, saya tidak begitu merisaukan anggapan orang kampung terhadap saya yang sarjana sosial nonkependidikan, lulusan program studi sosiologi pada sebuah perguruan tinggi negeri ini. Mungkin dalam anggapan umum saya belum mendapatkan pekerjaan sampai hampir satu tahun ini. Keinginan menjadi guru sosiologi pun belum juga terwujud.

Pertambahan aktifitas itu pun karena ayah saya berbisnis atau berdagang di per-gabah-an ini. Sudah lebih dari 15 tahun ini ayah saya berbisnis di bidang tersebut. Selama musim panen pada masa labuh ini, kira-kira ayah saya sudah mengirimkan gabah ke pedagang di pinggiran kota sebanyak lima kali. Rata-rata sekali transaksi mengirimkan gabah sekitar 13 kuintal atau 1,3 ton.

Orang-orang yang berbisnis di gabah di dusun saya ini pun tercatat pernah mencapai 12 orang. Beberapa di antaranya bertahan, tetapi sebagian tidak bisa bertahan. Maklum, bisnis ini tergolong berat. Artinya, modalnya besar dan tenaganya berat, tetapi laba tergolong kecil. Bayangkan, misalnya seorang pedagang gabah membeli 600 kg atau 6 kuintal dikalikan Rp 2.400,- (untuk harga gabah per kg) maka hasilnya Rp 1.440.000,-. Anggap saja itu gabah milik satu kepala keluarga, belum gabah lain milik kepala keluarga yang lain.

Sementara itu, untuk bisnis seseorang harus siap otot untuk menimbang gabah yang satu saknya rata-rata 50 kg. Kemudian, untuk menimbang gabah dengan timbangan gantung maka umumnya dengan dua sak yang berarti 100 kg. Sementara itu, saya sendiri secara fisik dengan tinggi badan sekitar 172 cm, berat badan saya hanya 48 kg. Pernah suatu hari saya membantu menimbang gabah sebanyak hampir 2 ton.

Meskipun demikian, saya tidak selamanya mengerjakan aktifitas yang berat-berat itu sendirian. Ada kuli berotot kuat yang membantu mengangkat gabah. Berbicara mengenai kuli, mungkin itu tergolong satu potret hidup yang keras. Bayangkan, untuk 1000 kg (1 ton) seorang kuli untuk aktifitas menimbang dan memasukkan ke dalam pikap atau truk hanya dibayar Rp 10.000,-. Maka dari itu, tidak semua orang bersedia menjadi kuli. Memang, gaji kuli itu sedikit, tetapi terkadang saat masa peceklik dan segera membutuhkan uang, seorang kuli biasanya meminjam uang pada ayah saya sehingga tidak dapat dilepaskan dari hubungan seperti ini.

Tidak ada bisnis yang tidak be-resiko. Tidak terkecuali dalam bisnis pergabahan ini. Di satu sisi, laba bisnis ini tergolong kecil jika tidak ada strategi. Strategi ayah saya sendiri adalah sebagian gabah tidak dijual langsung. Namun, dijemur dulu dan menunggu selama beberapa minggu saat harga gabah membaik. Dengan dijemur maka kandungan air dalam gabah semakin berkurang dan harganya bisa semakin mahal. Saat diperkirakan sudah mendapatkan laba maka gabah dijual. Terkadang saat situasi finansial memburuk maka gabah segera dijual. Tanpa memperhatikan laba.

Di samping itu, kehilangan uang dalam jumlah jutaan pun juga menjadi salah satu risiko. Dalam hal ini, risiko kehilangan gabah justru lebih kecil dibandingkan dengan risiko kehilangan uang. Artinya, terkadang saat gabah sudah dijual dan pembayaran tidak dengan tunai maka uang bisa melayang. Dengan kata lain, ada kecurangan dalam berbisnis.

Persaingan antar pedagang pun juga tidak terelakan walaupun itu dalam lingkup lokal, yakni satu kampung. Setiap pedagang umumnya bisa dengan mudah menentukan harga gabah. Maksudnya, pemilik gabah akan menjual gabah ke pedagang yang berani memberikan penawaran harga tertinggi. Dalam lingkup pasar lokal, umumnya masih ada rantai pedagang lagi. Biasanya pembeli dari luar kecamatan. Pedagang dari luar inilah yang memberi persen pada pedagang lokal. Maka dari itu, terkadang pedagang lokal tidak perlu modal besar terlebih dahulu sebab pedagang lokal terkadang bertindak sebagai perantara.

Kemudian, pada musim panen kali ini ada satu pengalaman pertama saya. Awalnya saya cukup takut mengangkut gabah sebanyak 1,5 ton dengan pikap ke pedagang di pinggir kota. Bahkan, saya pernah mengangkut 1,7 ton gabah dengan pikap. Ketakutan saya itu dikarenakan saya belum memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) jenis A. Di samping itu, saya tahu bahwa muatan yang disarankan untuk pikap itu hendaknya tidak lebih dari 900 kg (0,9 ton).

Ketakutan itu sendiri misalnya juga karena ada satu titik jalan yang rusak. Saya pun pernah melewati titik jalan yang rusak itu dengan muatan 1,7 ton dan saya pun berhasil melewatinya dengan lewat pada sisi barat jalan tersebut. Namun, beberapa hari kemudian, dengan muatan 1,5 ton saya terjebak di kubangan pasir. Memang, waktu itu saya salah perhitungan dengan melewati sisi timur jalan. Untunglah waktu itu ada pikap pengangkut sapi yang menarik pikap yang saya kendarai. Namun akhirnya saya dapat menghadapi ketakutan saya sendiri. Selama musim ini saya beberapa kali mengangkut gabah ke pedagang di pinggir kota.

Sampai 19 Maret 2010 aktifitas itu berangsur-angsur berkurang seiring berkurangnya padi yang dipanen. Jadi, kurang lebih selama sebulan saya berjibaku dengan gabah. Pada saat yang sama, akhir Maret ini masa tanam padi pun dimulai. Masa juki (Maret s/d Juni) pun akan dilalui.


Jumat, 19 Maret 2010

Penjiplakan Karya Ilmiah

Penjiplakan Karya Ilmiah

Bermula dari kasus yang terjadi pada seorang guru besar di sebuah perguruan tinggi di Bandung, pembicaraan tentang penjiplakan karya ilmiah menjadi ramai. Semenjak pertengahan Februari 2010, saat kasus itu diekspose oleh media, terutama media cetak, bermunculan-lah opini dari berbagai sudut pandang di media cetak. Media elektronik, yakni televisi, terutama Televisi Republik Indonesia (TVRI) dalam salah satu acara dialognya juga membicarakan tentang penjiplakan.

Saya sendiri tidak menyangka media cetak, khususnya Kompas memberitakan secara berseri tentang penjiplakan karya ilmiah tersebut di halaman utama. Saya mengapresiasi pemberitaan itu. Akhirnya, dari pemberitaan itu pun melebar sampai, misalnya pada bagaimana proses pendidikan itu berjalan di Indonesia. Apabila tahun lalu hangat dengan pro kontra pelaksanaan ujian nasional (UN) maka tahun ini, selain sisa-sisa pro kontra UN, media juga memberitakan penjiplakan yang notabene cerita lama yang buruk, tetapi selalu berulang.

Sebagai orang lulusan perguruan tinggi dan pernah mengerjakan skripsi, saya pun perlu urun rembuk. Memang, tidak dapat disangkal, kecurangan dan pelanggaran juga bisa terjadi di lembaga akademis. Dalam hal ini adalah penjiplakan terkait dengan karya ilmiah. Penjiplakan merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam pembuatan karya ilmiah. Jual beli karya ilmiah, jual beli gelar dalam arti yang sesungguhnya, pembohongan data penelitian juga tergolong pelanggaran, yakni dalam dunia akademis.

Dalam kasus yang terjadi pada guru besar tadi itu diketahui dari tulisannya di salah satu koran. Dia menulis tentang sesuatu, tetapi kemudian didapati guru besar itu merupakan tulisan milik orang lain. Persisnya sekian persen dari total tulisan guru besar tersebut merupakan tulisan orang lain. Celakanya dalam tulisannya itu dia tidak menyertakan sumber tulisan. Akhirnya, perbuatan guru besar itu digolongkan penjiplakan, lalu sanksi akademis dijatuhkan. Sang guru besar pun berhenti dari almamaternya.

Saya bisa memaklumi, penjiplakan juga terjadi di antara mahasiswa pada almamater saya dulu. Tentu juga perlu dikatakan tidak semua mahasiswa menjiplak. Misalnya pembuatan makalah maupun skripsi. Sementara itu, teknik penjiplakan yang sering terjadi adalah teknik copy-paste. Teknik itu biasanya mengutip tulisan orang lain, misalnya dari internet. Katakanlah dari sebuah artikel kemudian dikutip 20 % dari keseluruhan tulisan. Misalnya, dari sebuah artikel dikutip lima kalimat ke dalam latar belakang, tanpa menyebutkan sumber tulisan. Teknik ini meskipun keliru, tetapi dapat dikatakan semudah membalik telapak tangan.

Dalam pengutipan sendiri adalah ada berbagai jenis. Ada teknik mengutip langsung, teknik mengutip tidak langsung, dan ada yang berupa saduran. Semua teknik itu diharuskan mencantumkan sumber tulisan. Misalnya nama penulis, tahun terbit, dan nomor halaman. Tanpa pencantuman sumber, sebuah tulisan dapat digolongkan penjiplakan.

Bahkan, ada pendapat bahwa pencantuman sumber tulisan tulisan saja tidaklah cukup. Hal itu khususnya terjadi pada teknik mengutip secara tidak langsung. Mengutip secara tidak langsung berarti membuat parafrase, sedangkan membuat parafrase itu bisa tidak mudah. Secara sederhana, membuat parafrase berarti mengubah, misalnya suatu kalimat, tetapi tidak mengabaikan makna kalimat tersebut.

Penting diketahui, sebuah tulisan, termasuk karya ilmiah, sejatinya tidak berupa rangkaian-rangkaian kutipan dan tanpa ada keaslian gagasan atau kerangka pikir dari penulis. Bahkan, kerangka pikir dari penulis justru menjadi bobot utama sebuah karya tulis. Tentu saja mengutip itu tidak dilarang, bahkan sebuah kutipan dapat memperkuat kerangka pikir kita, tetapi hendaknya mengutip sehemat-hematnya. Selengkapnya hal seperti ini dapat dibaca pada buku-buku yang mengulas tentang teknik penulisan karya ilmiah.

Sejujurnya, saya dulu cukup lama memikirkan tentang kutipan, terutama teknik pengutipan secara tidak langsung. Itu setelah saya membaca buku tentang teknik penulisan karya tulis ilmiah. Namun, saya lupa buku tersebut, tetapi buku pertama kira-kira berjudul Etika dan Teknik Penulisan Karya Tulis Ilmiah; buku kedua ditulis oleh Widyamartaya. Setelah membaca buku itu, saya perlu waktu kira-kira enam bulan untuk menelusuri tentang kutipan dan teknik mengutip secara tidak langsung pada pembuatan karya ilmiah.

Pada saat yang sama, saya memperbaiki lagi skripsi saya terkait dengan penggunaan kutipan dan pemakaian kutipan tidak langsung. Sebagaimana waktu itu saya memerlukan waktu kira-kira dua tahun untuk mengerjakan skripsi, yakni sejak secara efektif sejak semester VII. Maklum, idealnya skripsi dikerjakan sejak jauh-jauh hari, paling tidak sejak semester pertama. Namun, kenyataan berkata lain. Skripsi baru tertangani justru pada akhir semester dan serasa memulainya dari nol lagi.

Dalam perbaikan itu, saya mencoba mendiskusikan masalah saya itu, misalnya pada dosen pembimbing skripsi dan beberapa teman saya. Namun, sejumlah teman berpendapat rangkaian-rangkain kutipan dalam karya ilmiah, seperti pada latar belakang adalah wajar. Saya akhirnya berpikir, keinginan saya itu malah menjebak saya pada kebingungan dan kesulitan. Untuk ukuran sarjana, saya dinilai terlalu idealis dan perfeksionis yang justru malah sangat menghambat saya dalam menulis skripsi.

Setiap perguruan tinggi seperti universitas agaknya memiliki aturan sendiri-sendiri. Dalam hal ini setiap universitas memiliki buku pedoman sendiri yang juga dibuat sendiri. Meskipun demikian, pada hakikatnya aturan itu memiliki kesamaan, yakni penyeragaman dalam menulis karya ilmiah. Perbedaan itu contohnya terletak pada penempatan tahun pada daftar pustaka dan pemakaian catatan kaki atau cukup menyebut nama, tanggal dan halaman sumber kutipan.

Pengalaman pribadi di almamater saya dulu, hal-hal seperti teknik pengutipan hanya dijelaskan secara sedikit di buku pedoman. Hal-hal yang detail tidak dibicarakan di buku pedoman. Apalagi seputar batasan-batasan penjiplakan. Di samping itu, sosialisasi mengenai bagaimana karya ilmiah juga relatif rendah. Belum lagi tentang budaya pembuatan karya ilmiah yang dapat dikatakan belum produktif. Belum lagi persoalan-persoalan lainnya seperti penghargaan terhadap karya ilmiah dan seterusnya.

Memang, pola belajar dalam perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk aktif dalam belajar. Maka dari itu, mahasiswa dianggap sudah tahu tentang batasan-batasan atau aturan-aturan dalam membuat karya ilmiah. Sebagian mahasiswa mungkin sudah tahu, tetapi sebagian yang lain belum tentu tahu. Di samping itu, dosen umumnya tidak begitu mendetail memeriksa karya ilmiah mahasiswanya. Bahkan, untuk kasus di almamater saya, andaikata diterapkan secara ideal pola-pola pengetatan maka akan banyak yang menjadi “mahasiswa abadi” alias tidak lulus-lulus.






Selasa, 09 Maret 2010

LDII di Kawasan Pedesaan


Gambar dipinjam dari sini

LDII di Kawasan Pedesaan

Tahun 2007 salah satu stasiun televisi swasta dalam situsnya menurunkan berita berjudul “Ratusan Warga Jember Hancurkan Masjid LDII ” (selengkapnya klik di sini). LDII adalah kependekan dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia. Kemudian, 4 Februari 2010 ini sebuah stasiun televisi swasta melalui situsnya juga menurunkan berita berjudul “Musala LDII di Mojokerto Dirusak Warga” (http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/02/04/99088/Musala-LDII-di-Mojokerto-Dirusak-Warga/). Bandingkan juga dengan pemberitaan salah satu situs yang juga menurunkan berita tersebut dengan judul “Musholla LDII di Mojokerto Dirobohkan Warga” (http://id.news.yahoo.com/dtik/20100203/tid-musholla-ldii-di-mojokerto-dirobohka-b1ae096.html).

Ada yang perlu dicermati atas pemberitaan tersebut. Misalnya kata “rusak” dan kata “robohkan” kedua judul tersebut. Dari nilai rasa bahasa, kata “rusak” mengesankan kuat, telah terjadi konflik sosial keagamaan secara keras. Kata “robohkan” lebih tidak mengesankan adanya konflik sosial keagamaan. Di samping itu, keterbatasan media seperti ruang maupun akurasi pemberitaan pun patut disadari. Hal itu berkaitan dengan kenyataan objektif atau peristiwa yang sesungguhnya di lapangan.

Meskipun demikian, tentang sifat media itu tidak akan kita panjang lebarkan. Namun, peristiwa atas kasus itu mengingatkan kembali, yakni kerukunan kehidupan beragama. Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan beragama dapat dimaknai sebagai kehidupan kolektif atau kehidupan bersama. Sering pula kita menyebutnya dalam kehidupan bermasyarakat. Biasanya pada kehidupan kolektif itulah, termasuk di dalamnya kehidupan beragama, memunculkan situasi konflik sosial keagamaan.

Dalam hubungan ini, katakanlah kesadaran bertuhan itu lebih pada keadaan kejiwaan atau psikologis. Keadaan kejiwaan tersebut juga bisa terjadi pada dunia sosial dalam wujud konflik sosial keagamaan dengan beragam tipe kasus. Artinya, sudah tidak melibatkan satu individu, tetapi banyak individu. Agaknya itulah yang terjadi dari pemberitaan media seperti yang telah disinggung di atas.

Kembali pada pemberitaan di atas, pengrusakan tempat ibadah itu menandai adanya sebuah konflik sosial keagamaan. Memang, di Indonesia ada beberapa kasus konflik sosial keagamaan. Termasuk yang menyangkut keberadaan LDII dalam hubungannya dengan masyarakat setempat. Di beberapa tempat, hubungan antara orang LDII dengan masyarakat setempat menunjukkan hubungan yang tidak harmonis.

Kiranya perlu diketahui terlebih dahulu tentang LDII ini. Jemaah Darul Hadits merupakan nama sebelum LDII. Jemaah Darul Hadits menurut penelitian Moeslim Abdurrahman yang dipublikasikan tahun 1978 merupakan “suatu gerakan ortodoxsi ketat yang dipimpin oleh kiyahi Nur Hasan Al Ubaidah, berpusat di pondok LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam), Burengen, Kodya Kediri.” Pada perkembangannya LDII pun menyebar, antara lain di beberapa kecamatan dan di beberapa kabupaten.

Berbicara mengenai LDII ini juga tidak dapat dilepaskan dari aspek agama yang, antara lain, berupa kebenaran di dunia maupun di akhirat, keselamatan, aturan, yang pahami, dihayati, diterapkan oleh pemeluknya. Di samping itu, juga perlu diingat bahwa dalam situasi sosial tertentu agama bisa menjadi pembicaraan yang cukup sensitif karena. Maka dari itu, terkadang klaim-klaim kebenaran pun tidak dapat dihindarkan.

Jika melihat kasus di Mojokerto, itu terjadi di sebuah desa. Komunitas petani-santri biasanya berdomisili di pedesaan. Umumnya, komunitas petani-santri ini berpaham keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Kasus di Desa Tanggul Wetan, Jember, Jawa Timur dan di Dusun Kaweden, Desa Balongwono, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur menunjukkan kedua kasus itu terjadi di kawasan pedesaan. Satu lagi yang saya ketahui adalah di Dusun Gawok, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Kasus di Dusun Gawok itu sendiri terjadi pada Jumat malam, 5 Oktober 2007. Kasus ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Lokasi Dusun Gawok sendiri berjarak sekitar 1 km dari dusun tempat saya tinggal. Dari cerita orang-orang setempat, tempat ibadah milik LDII itu baru tiga bulan dan sudah dipakai jumatan oleh anggota LDII di dusun itu.

Malam itu di balai desa setempat dilakukan musyawarah terkait keberadaan tempat ibadah milik LDII itu. Tempat ibadah itu pun dari sisi bangunan masih berupa seperti rumah biasa. Beberapa tokoh seperti salah seorang pengurus cabang NU dan tokoh dari LDII sendiri juga turut dalam musyawarah itu. Ini pun menunjukkan peran tokoh agama masih sangat penting. Dalam musyawarah itu pun juga dihadiri oleh massa yang tidak lain adalah warga setempat.

Sebelum musyawarah digelar, sempat muncul isu akan merobohkan tempat ibadah milik Jemaah LDII di Dusun Gawok itu. Malam itu begitu musyawarah selesai, sebagian massa yang mengikuti musyawarah itu ingin melihat lokasi tempat ibadah tersebut. Saat mendekati lokasi, tiba-tiba ada insiden, yakni ada seorang yang tidak dikenal, dari tempat tersembunyi, melempar batu ke arah massa yang ingin mengetahui tempat ibadah milik LDII. Namun, insiden itu akhirnya dapat diredam dan tidak timbul insiden lanjutan. Isu perobohan tempat ibadah juga tidak terjadi. Peristiwa ini pun waktu itu kiranya tidak terekspose oleh media.

Pada saat yang sama, muncul isu bahwa anggota LDII memberikan sejumlah materi, seperti makanan, kepada warga di Dusun Gawok. Tujuannya terkait dengan keberadaan LDII. Jemaah LDII sendiri hanya beberapa orang yang asli warga Dusun Gawok dan kesemuanya masih berhubungan saudara. Muncul pula isu, Jemaah LDII di dusun itu dekat dengan kepala desa setempat.

Kasus di Dusun Gawok itu sendiri salah satunya dipicu oleh pelaksanaan dua sholat jumat dalam satu dusun. Karena alasan tertentu, pelaksanaan dua sholat jumat, apalagi di sebuah dusun yang kecil itu kurang lazim. Di samping itu, citra sosial keagamaan terhadap LDII yang pun turut memengaruhi bagaimana masyarakat memposisikan LDII. Selama ini ada kesan bahwa ada beberapa pemahaman LDII yang dinilai “asing” bagi warga setempat. Misalnya, keinginan sholat jumat menyendiri itu tadi.

Namun, sampai tulisan ini saya buat, tidak ada konflik lanjutan tentang kasus tersebut. Meskipun ada konflik, tetapi sampai sekarang sepertinya bersifat terpendam. Aktifitas beribadah pun berjalan sebagaimana biasa. Jemaah LDII tetap sholat jumat di tempat ibadah miliknya. Warga lainnya sholat jumat di sebuah masjid yang ada di dusun tersebut. Mayoritas warga di dusun Gawok itu pun berpaham keagamaan NU. Keberadaan mayoritas petani-santri di dusun itu pun mencirikan hal itu.

Kembali pada keberadaan petani-santri yang berada di kawasan pedesaan. Menurut tesis Abdul Munir Mulkhan dalam disertasinya yang telah dibukukan (2000) mengatakan, gerakan Islam yang cenderung fundamentalis di kawasan pedesaan telah mengalami pemudaran, sebaliknya neo-sufisme cenderung berkembang di kawasan pedesaan. Dalam hal ini tipe gerakan keagamaan yang cenderung fundamentalis perlu dimaknai secara hati-hati. Berdasarkan itu, gerakan keagamaan seperti LDII yang, antara lain, dikenal eksklusif akan sulit berkembang di kawasan pedesaan. Seandainya berkembang maka akan muncul hubungan konflik dengan berbagai bentuknya.

Sebagai perbandingan, kiranya ada satu kasus menarik di Kecamatan Tanjunganom. Di Kelurahan Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, LDII di kelurahan tersebut justru dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial setempat. Artinya, keberadaan LDII di kelurahan tersebut tidak sampai memunculkan konflik secara langsung dengan masyarakat setempat. Setidak-tidaknya tidak seperti kasus di Jember maupun di Mojokerto. Namun, perlu diingat tentang status wilayah “kelurahan” di tempat tersebut. Secara administratif status kelurahan pada awalnya adalah desa yang telah berkembang dan telah meninggalkan karakteristik pedesaan, menuju perkotaan. Belakangan ini juga muncul wacana tentang citra LDII yang sedang berubah.

Kemudian, kasus-kasus yang berkaitan dengan LDII tentu tidak bisa dilihat dari satu sisi. Apalagi menggeneralisasikan kasus sebab setiap kasus bisa berbeda-beda bergantung dengan akar permasalahannya. Tentu saja kerukunan kehidupan beragama baik secara internal agama maupun eksternal agama perlu selalu dipelihara. Dalam hal ini, misalnya peran tokoh agama di masing-masing tempat masih memainkan peran yang penting dalam kerukunan kehidupan agama.