Sabtu, 22 Agustus 2009

Pupuk, Barang dalam Pengawasan

Pupuk, Barang dalam Pengawasan

Oleh: Puguh Utomo


Kini, karung wadah pupuk bertuliskan “barang dalam pengawasan”. Selain itu, juga tertulis “pupuk bersubsidi pemerintah”. Tulisan itu telah ada beberapa tahun belakangan ini. Kelangkaan pupuk yang terjadi setiap tahun, membuat pupuk menjadi barang dalam pengawasan. Hal itu berkaitan pula bahwa pupuk pun tergolong sebagai barang yang strategis, khususnya dalam sektor pertanian. Sementara itu, sektor pertanian pun juga tidak dapat dilepaskan dari sektor lainnya seperti sektor ekonomi dan sektor politik.

Sekarang distribusi pupuk melibatkan kelompok tani. Kelompok tani dilibatkan dalam pengelolaan pendistribusian pupuk secara langsung kepada petani. Dari kelompok tani itu pula dikoordinasi bahwa setiap pemilik sawah mendapatkan jatah pupuk sesuai dengan luas lahan persawahan yang dimiliki.

Itu seperti terlihat di Dusun Wates pada Minggu, 26 Juli 2009. Hari itu, memasuki masa musim tanam gadu, petani di dusun tersebut mengambil pupuk di gudang kecil, di rumah salah seorang anggota kelompok tani setempat. Karena kapasitas gudang milik anggota kelompok tani itu terbatas, pupuk yang setiap saknya memiliki berat bersih 50 kg itu juga ditempatkan di sebuah gudang kecil, di rumah kamituwo di dusun tersebut. Setiap sak pupuk yang diambil oleh petani pada hari itu pun semuanya tertulis “barang dalam pengawasan” dan “pupuk bersubsidi pemerintah”. Namun, label tersebut hanya untuk jenis pupuk tertentu saja yang dianggap sebagai pupuk yang strategis.

Sekarang pembelian pupuk dikoordinasi oleh kelompok tani setempat. Kelompok tani bernama Surya Buana itu membeli pupuk lewat sebuha kios resmi yang juga bertempat di dusun tersebut. Kios resmi itulah yang pertama kali membeli pupuk dari distributor di atasnya. Dengan kata lain, kelompok tani Surya Buana membeli pupuk secara kredit dari kios resmi tersebut. Tentu saja kios resmi tersebut bermodal besar untuk memenuhi kebutuhan pupuk untuk seluruh petani di Dusun Wates itu. Bahkan, cakupan wilayah kios tersebut tidak hanya Dusun Wates saja, tetapi juga beberapa dusun lainnya.

Seorang kios distributor pupuk pun perlu memenuhi beberapa syarat. Di antaranya sebuah kios resmi perlu mendapatkan ijin dari perangkat desa setempat. Itu dilakukan dengan pengurusan berkas-berkas surat ijin yang ditandatangani oleh perangkat desa setempat. Di samping itu, di depan rumah tempat kios tersebut perlu dipasang sebuah papan yang bertuliskan bahwa kios tersebut merupakan kios resmi distributor pupuk.

Selanjutnya, penyaluran pupuk kepada petani bukan oleh kios tersebut. Akan tetapi, dikelola oleh kelompok tani yang terdiri atas sejumlah orang yang juga petani setempat. Pengelolaan oleh kelompok petani itu pun memungkinkan petani mendapatkan jatah pupuk sesuai dengan luas lahan. Meskipun demikian, pada pengambilan pupuk hari itu, Minggu, 26 Juli 2009 ada beberapa petani yang meminta lebih jatah pupuk pada kelompok petani. Tentu saja itu tidak berarti kemudian kelompok tani bisa memenuhi permintaan para petani tersebut.

Pada hari itu, petani pun mendapatkan pupuk dengan cara kredit. Misalnya, untuk pupuk urea dengan sistem kredit itu petani membayarnya sebesar Rp 73.000,00. Pembayarannya dilakukan oleh patani pascapanen padi, kira-kira 3,5 bulan lagi pada kelompok tani. Oleh kelompok tani, petani pun dikondisikan membelinya dengan cara kredit. Kelompok tani memanfaatkan dana bantuan dari pemerintah untuk menalangi pembelian pupuk dari distributor. Bantuan itu pun telah menjadi hak kelompok tani untuk mengelolanya.

Diperkirakan, misalnya untuk pupuk urea, kelompok tani membeli dari distributor dengan harga Rp 67.000,00. Dalam hal ini kelompok tani juga mengambil keuntungan atas perannya dalam penyaluran pupuk. Jika dihitung maka setiap sak kelompok tani dapat keuntungan dari sistem kredit itu sebesar Rp 6.000,00. Sistem kredit itu pun sebetulnya menguntungkan petani sebab sebagian besar umumnya petani baru memiliki uang saat panen tiba. Di samping itu, kelompok tani pun tidak begitu membutuhkan uang secara cepat lewat sistem pembelian tunai.

Meskipun demikian, sebagian besar petani ada yang merasa tidak puas atas bagian pupuk yang mereka dapatkan. Misalnya, ada beberapa petani yang menginginkan dua sak pupuk jenis urea, tetapi kelompok tani hanya bisa menyediakan satu sak. Lagi-lagi ini pun berkaitan dengan, antara lain, dosis pupuk yang digunakan oleh petani.

Sekarang, pupuk sebagai barang dalam pengawasan, tidak setiap orang bisa membelinya. Untuk mendapatkannya seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertetu. Maka dari itu, sekarang jika satu bak pick up mengangkut pupuk yang dalam pengawasan itu dan tanpa disertai surat-surat resmi maka bisa berurusan dengan pihak kepolisian. Dalam program berita, sebuah televisi pernah menayangkan polisi yang menangkap sopir pick up yang membawa puluhan sak pupuk bersubsidi.

Kemudian, akhir Juli 2009 itu merupakan masa pemupukan. Oleh karena itu, kelompok tani setempat membagi pupuk. Pembagian itu pun dijatah dan diperkirakan sesuai dengan luas lahan yang dimiliki oleh setiap petani. Hari itu, misalnya Pak Purnomo (65 tahun, bukan nama sebenarnya) kebagian 4 sak urea, 4 sak ZA, 4 sak TS, 3 sak, 3 sak phonska, 2 sak pupuk organik, dan 2 sak pupuk bio. Itu masih ditambah dengan pupuk jenis lainnya sehingga totalnya 15 sak. Dibandingkan dengan kebanyakan petani lainnya, jatah pupuk yang diterima oleh Pak Purnomo tergolong banyak. Hari itu pun Pak Purnomo mengangkut 22 sak pupuk itu dengan mobil pick up miliknya.

Kini, memasuki masa tanam gadu, petani di Dusun Wates ini tidak begitu mengalami kesulitan dalam mendapatkan pupuk. Masa gadu yang identik dengan musim kemarau ini kemungkinan juga tidak akan terjadi kelangkaan pupuk. Itu berbeda dengan saat musim hujan, yakni biasanya ada penambahan lahan untuk ditanami, misalnya areal hutan. Penambahan lahan itu berarti meningkatkan permintaan terhadap pupuk sehingga kemungkinan terjadi kelangkaan pupuk. Tentu saja itu hanya salah satu faktor saja dan masih banyak faktor lain yang lebih dominan terkait dengan distribusi pupuk.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember


Sabtu, 15 Agustus 2009

Vitamin untuk Penulis

Vitamin untuk Penulis

(Resensi Buku)

Oleh: Puguh Utomo


Judul buku : Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan

Menulis

Penulis : Hernowo

Penerbit : Penerbit Mizan Learning Centre (MLC), Bandung

Tahun terbit : 2004

Tebal : 325 halaman.


Judul buku yang ditulis oleh Hernowo ini lain dari yang lain. Pembaca yang pertama kali melihat sampul buku ini pasti akan bertanya-tanya tentang judul utama, yakni Vitamin T. Setelah membaca keseluruhan judulnya, pembaca yang pertama kali melihat buku ini kemungkinan juga masih akan bertanya-tanya tentang isi buku ini. Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin disertai dengan keraguan atas sampul dan isi buku ini. Namun, setelah mengetahui penulis dan penerbitnya barangkali keraguan itu akan berkurang. Nama penulis dan penerbit biasanya dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menilai apakah buku itu layak dibeli atau tidak. Seseorang yang penasaran pada kepenulisan maka kemungkinan besar akan membeli buku ini.

Namun, seseorang yang sudah mengenal karya-karya Hernowo sebelumnya, terutama terbitan MLC maka tidak akan terkejut. Misalnya, gagasan utama dalam karyanya, gaya tulisan yang dipakai, desain tulisan karyanya, dan lain sebagainya. Gaya tulisan yang dipakai, misalnya Hernowo cenderung “bebas” dalam gaya bahasanya.

Kemudian, penjelasan tentang judul buku yang provokatif ini dapat dibaca di bagian pembuka, mulai halaman 19. Namun, penulisnya terkesan tidak to the point menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Vitamin T (huruf “T” pun ditulis besar, mendominasi sampul depan). Di akhir penjelasannya pun penulis menutup dengan pertanyaan, “So, mengapa akhirnya buku ini dijuduli Vitamin T?” (hlm. 22).

Sementara itu, sesuai dengan subjudulnya, buku ini bertujuan memotivasi agar pembacanya menyukai aktifitas menulis dan tentu saja membaca. Tampaknya itulah vitamin yang terkandung sekaligus dimaksud oleh Hernowo dalam buku ini. Sejenis vitamin untuk membantu peningkatan membaca dan menulis. Hampir di setiap bab dan subbab dalam buku ini tak lepas dari kata “baca” dan “tulis”.

Melanjutkan paragraf di atas, gaya bahasa yang dipakai oleh Hernowo memang cenderung “bebas”. Artinya, Hernowo tidak terlalu mengikuti aturan tata bahasa yang baku. Justru yang dipentingkannya adalah bagaimana pembacanya bisa memahami isi tulisannya dan termotivasi oleh tulisannya. Itu misalnya, tampak dari banyaknya tanda baca koma di setiap halamannya yang meskipun itu sah-sah saja, tetapi itu agaknya itu kurang lazim dalam bahasa tulis. Kendatipun demikian, kalimat dalam buku ini lebih bertenaga dan lebih sugestif.

Dalam buku ini pula Hernowo banyak memakai kutipan dari banyak tokoh dengan berbagai latar belakang, khususnya kalangan yang bergelut dengan membaca dan menulis. Misalnya, Morrie Schawartz (hlm. 108). Dari dalam negeri ada Eep Saefulloh Fatah, seorang yang dikenal sebagai pengamat politik dan kolumnis yang menulis tentang politik pada sebuah koran nasional. Dalam buku ini Eep menyumbangkan tulisan berjudul Sikap Dasar tentang Kepenulisan (hlm. 144-149).

Di samping itu, juga dikutip sejumlah pandangan dari kalangan agamawan maupun ilmuwan. Menulis dan membaca pun merupakan kegiatan yang lebih membutuhkan olah rasa atau olah pikir. Oleh karena itu, membaca dan menulis pun perlu sentuhan-sentuhan yang bersumber nilai-nilai agama maupun temuan-temuan dari para ilmuwan.

Tokoh-tokoh yang disebut dalam tulisan ini bertujuan untuk mengambil pelajaran dari pandangan-pandangannya. Dalam hal ini tidak hanya berupa pandangan dari penulis buku ini saja. Pandangan-pandangan tokoh yang mengandung kata-kata mutiara itu untuk menguatkan dan meyakinkan akan manfaat membaca dan menulis.

Buku ini pun banyak mengungkapkan hal-hal argumentatif maupun pernyataan-pernyataan menarik berkaitan dengan membaca dan menulis. Terutama mungkin pernyataan-pernyataan itu aktual untuk pembaca maupun penulis pemula. Contohnya, “para siswa dan mahasiswa kita kurang benar diajak untuk berusaha keras dan habis-habisan berlatih MEMBACA DAN MENULISKAN PIKIRAN” (hlm. 48).

Dapat pula dikatakan bahwa buku ini menawarkan filosofi membaca dan menulis. Bahwa membaca dan menulis bisa bermanfaat. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, dengan membaca seseorang dapat lebih mengetahui sesuatu di luar jangkauan dirinya. Begitu juga dengan menulis, tulisan satu orang dapat diinformasikan pada banyak orang.

Agaknya dua hal itu, yakni membaca dan menulis tidak dapat saling dilepaskan satu sama lain. Banyak pembaca juga penulis mengatakan bahwa umumnya membaca lalu dilanjutkan dengan menulis. Sebaliknya, menulis pun biasanya perlu membaca. Dan lagi, sepertinya lebih banyak pembaca daripada penulis.

Kenyataannya tidak setiap orang aktif dalam membaca maupun menulis. Dalam artian membaca dan menulis secara intensif dan sebagaimana lazimnya membaca dan menulis. Misalnya membaca koran, majalah, buku dan lain sebagainya. Demikian juga dengan menulis, dalam arti misalnya menulis artikel di kolom opini di koran, menulis skripsi, menulis novel, dan lain-lain. Apabila dilihat dari jumlah penduduk yang sekitar 210 juta jiwa, sampai kini, jumlah pembaca dan penulis seperti itu di Indonesia jumlahnya tergolong sedikit. Anggaplah itu sebagai kelompok pertama.

Namun, bagaimanapun juga setiap orang pasti akan berbahasa dalam berbagai bentuk. Termasuk itu, berbahasa pun tidak harus dengan bahasa tulis. Berkenaan dengan itu, secara pasif setiap orang sebetulnya membaca dan menulis. Memang, di sekolah sejak jenjang taman kanak-kanak (TK) pun sudah mulai diajarkan membaca dan menulis. Akan tetapi, dalam proses perkembangan seseorang, tidak semua orang secara intensif melakukan kegiatan membaca dan menulis seperti pengertian di atas. Anggaplah ini sebagai kelompok kedua.

Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa keberadaan kelompok pertama terhambat. Bagaimanapun juga, terutama tulisan, juga sebuah karya. Sama halnya seperti sebuah lukisan, sebuah lagu, maupun sebuah patung. Sementara hasil tulisan itu bisa dalam media kertas seperti koran, buku, majalah, maupun media elektronik seperti internet. Keberadaan berbagai bentuk media itu pun membuktikan bahwa karya tulisan tetap dibutuhkan oleh manusia.

Barangkali kelompok pertama inilah yang ingin dibidik oleh buku ini. Tentu saja itu juga bukan berarti kelompok kedua bukan merupakan sasaran pembaca dari buku ini. Membaca dan menulis juga merupakan hak bagi setiap orang. Sama halnya hak untuk berbicara. Hak untuk membaca dan menulis pun tak memandang orang itu dari lapisan sosial mana. Lagi pula, menulis pun berhubungan dengan penyebaran akan ide-ide. Lepas dari hal itu, setiap orang pada dasarnya memiliki potensi untuk menulis. Sementara terkadang potensi itu perlu dirangsang agar potensi itu dapat berkembang. Rangsangan itu antara lain bisa lewat sebuah buku.

Kemudian, buku ini pun mengkritik tentang kegiatan membaca dan menulis di lembaga pendidikan. Misalnya, dikatakan “sayangnya, tak sedikit perguruan tinggi di masa kini yang kurang menekankan perlunya dua kecakapan tersebut untuk dimiliki secara hebat oleh para mahasiswa” (hlm. 132). Hal yang sama juga dikatakan oleh Eep sebagai bintang tamu dalam buku ini, yakni “celakanya, institusi pendidikan kita, baik formal maupun informal, justru mengajarkan sikap dasar menulis yang keliru” (hlm. 147).

Memang, membaca dan menulis pun tak luput dari kendala. Misalnya, membaca dan menulis merupakan aktifitas yang jelimet sebab harus mencermati setiap huruf, kata, sampai kesatuan wacana yang ditulis. Kendala itu pun terjadi pada kelompok pertama yang sesungguhnya tidak lepas dari membaca dan menulis secara aktif. Kemudian, buku ini menawarkan perspektif baru tentang membaca dan menulis menjadi lebih menyenangkan.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Senin, 10 Agustus 2009

Sains di Mata Filsafat

Sains di Mata Filsafat

(Resensi Buku)

Oleh: Puguh Utomo


Judul buku : Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar

Penulis : Reza A.A Wattimena

Penerbit : Grasindo, Jakarta

Tahun terbit : 2008

Tebal : 321 halaman


Apabila berbicara tentang filsafat, sebagian orang mungkin menganggapnya bisa akan melelahkan pikiran. Khususnya bagi yang tak terbiasa dengan bahasa filsafat maka bahasa dalam filsafat bisa sangat sulit dimengerti. Bahasa filsafat umumnya berbeda dengan bahasa sehari-hari. Apalagi membaca buku-buku filsafat maka bisa-bisa dahi berkerut. Terkadang bahasa filsafat menjadi kendala dalam mengenali filsafat.

Meskipun demikian, itu bukan berarti tidak ada pembumian terhadap filsafat. Hal itu ditandai dengan munculnya buku-buku filsafat yang bahasanya dikemas sedemikian rupa, khususnya untuk kalangan awam. Sehubungan dengan itu, tetap diperlukan pembacaan yang aktif terhadap sebuah buku, termasuk buku filsafat. Di samping itu, tak sedikit pula diskusi-diskusi tentang filsafat, entah dengan kopi darat maupun di dunia maya, internet.

Di samping itu, seringkali dikatakan bahwa setiap orang sebetulnya berfilsafat. Misalnya, orang bertanya, mengapa burung Merpati bisa terbang? Orang akan menjawab, burung merpati bisa terbang karena memiliki sayap. Orang pun akan menyetujui jawaban itu kendatipun itu hanya salah satu jawaban saja. Lalu ada pertanyaan lainnya, apakah hanya burung Merpati saja yang dapat terbang? Bagaimana dengan burung Onta? Apakah yang bersayap maka bisa terbang?

Itulah salah satu contoh sederhana berfilsafat. Salah satu ciri dari filsafat, yakni berupa pertanyaan-pertanyaan sekaligus jawaban-jawabannya yang masuk akal. Artinya, jawaban itu dapat diterima oleh akal manusia. Sementara itu, ciri lain lain dari filsafat adalah sifatnya yang menyeluruh. Sesuatu hal, oleh filsafat ditelusuri sampai pada akar-akarnya.

Kesulitan memahami filsafat biasanya setelah filsafat itu telah terrumuskan sebagaimana umumnya yang diajarkan di jurusan filsafat yang diajarkan di universitas. Pada wilayah itu maka lalu muncullah, misalnya istilah-istilah seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Agaknya bahasa filsafat itu pula yang menjadi keunggulan sekaligus kelemahan filsafat.

Dari sisi kurikulum pendidikan, filsafat pun baru diberikan sebagai mata kuliah di jenjang perguruan tinggi pada semester pertama. Mata kuliah itu bernama filsafat ilmu pengetahuan dan etika akademik. Pembarian mata kuliah tersebut di semester pertama pun untuk bekal dalam menerima mata kuliah-mata kuliah berikutnya. Maka dari itu, betapa pentingnya filsafat ilmu pengetahuan, terutama dalam dunia akademis.

Kemudian, sesuai dengan salah satu cirinya, yakni filsafat bersifat menyeluruh dalam kajiannya. Sains pun tak lepas dari kajian filsafat. Bahkan, filsafat pun disebut sebagai induk dari sains. Karena sains berakar dari filsafat maka dapat pula dikemukakan bahwa di semua sains terdapat unsur-unsur filosofis. Selanjutnya, sains pun tidak terlepas dari kajian filsafat, lalu muncullah filsafat-sains seperti yang akan dikemukakan di bawah ini.

Mengapa filsafat membicarakan sains? Jawabannya, antara lain, sains berkembang dengan cukup pesat. Bahkan, perkembangannya melebihi perkembangan filsafat itu sendiri. Sampai sekarang telah muncul ratusan cabang sains atau bidang akademis. Bidang akademis yang ada di universitas itu hanya sebagian saja. Sementara itu, sains pun masih dimungkinkan akan terus muncul cabang-cabang sains yang baru.

Sebagai contoh konkret hasil dari sains adalah teknologi nuklir, misi ke ruang angkasa, pemuliaan tanaman, rekayasa genetika, sistem politik, sistem ekonomi, dan lain sebagainya. Hasil-hasil sains itu masih terus berkembang dan dikembangkan. Namun, tak selamanya perkembangan sains itu sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, sains membutuhkan filsafat.

Tentu saja dalam hal ini filsafat sains tidak bermaksud mengganggu atau bahkan menggantikan posisi sains. Justru filsafat dapat menjadi refleksi bagi sains. Filsafat pun tak bermaksud “sok tahu”. Kiranya perlu dikatakan pula bahwa antara sains dan filsafat memiliki asas dan prosedur yang berbeda. Akan tetapi, jika demikian maka filsafat pun dapat dipandang sebagai sains. Apabila dibalik lagi maka sains pun juga bisa berposisi sebagai filsafat. Dalam hubungan itu, antara sains dan filsafat bersifat saling melengkapi.

Meskipun demikian, kiranya perlu dibuatkan batasan. Jika sains mengutamakan sains sendiri maka filsafat-sains berbicara tentang hakikat sains itu sendiri, antarsains maupun dalam kaitannya dengan segi-segi yang lain. Misalnya, sosiologi maka hanya akan menitikberatkan tentang sosiologi saja. Demikian juga dengan biologi maka juga akan memfokuskan pada biologi saja. Namun, jika filsafat-sains maka akan mengungkap tentang sains dan “aneka ragamnya”. Tidak hanya sosiologi saja atau biologi saja, tetapi juga semua bidang akademis.

Itu pula yang ingin dikemukakan oleh buku berjudul Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar yang ditulis oleh Reza A. A Wattimena. Meskipun pada judul tertulis “sains”, tetapi di pembahasannya ditulis “ilmu pengetahuan”. Agaknya istilah “sains” dan “ilmu pengetahuan” bersinonim. Kemudian, buku ini merupakan salah satu buku yang berbicara tentang sains dari kacamata filsafat. Tentu saja dengan bahasa filsafat.

Sebetulnya, hampir setiap buku yang berbicara tentang sains dari kacamata filsafat hakikatnya adalah sama. Sudut pandang setiap penulislah yang membedakan antara satu buku dengan buku lainnya. Dibandingkan dengan buku lainnya, buku ini lebih aktual berbicara tentang ilmu pengetahuan dari kacamata filsafat. Misalnya diulas tentang revolusi digital (hlm. 153). Pendapat-pendapat yang dikutip dalam buku ini pun sebagian bersumber dari tokoh-tokoh masa sekarang.

Umumnya buku filsafat-sains maka terdapat perkenalan tentang apa itu filsafat. Setelah itu penyelaman terhadap apa itu filsafat-sains. Terkait dengan itu, buku ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian I yang terdiri atas empat bab, memaparkan perkenalan tentang filsafat. Kemudian, baru pada bagian II berbicara tentang ilmu pengetahuan dari kacamata filsafat, sebanyak sembilan bab. Di akhir halaman pun terdapat epilog tentang sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan.

Lazimnya sistematika sebuah buku, pada bagian II ini pun kembali dipaparkan tentang filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan, yakni di bab 1. selanjutnya, pada bab 2 dikemukakan pula sejarah ilmu pengetahuan. Sementara itu, di bab 3 dan bab 4 berbicara tentang asas dan prosedur dalam ilmu pengetahuan.

Umumnya buku-buku filsafat yang mendedah ilmu pengetahuan, buku ini pun membedakan ilmu pengetahuan menjadi dua, yakni ilmu alam dan ilmu sosial. Itu dapat disimak pada bab 5. Pada pembahasan tersebut akan tampak pula bahwa kesenjangan juga terjadi dalam ilmu pengetahuan, yakni antara ilmu alam dengan ilmu sosial. Dalam hal ini ilmu alam lebih cepat maju daripada ilmu sosial. Agaknya hal seperti juga diulas oleh buku sejenis. Meskipun demikian, itu hanya dibahas secara tersirat saja. Lagi pula, Reza memandang posisi antara ilmu sosial dan ilmu ilmu alam adalah sama. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah di antara dua ilmu tersebut (hlm. 220).

Selanjutnya, bab 6 membicarakan permasalahan abadi dalam filsafat ilmu pengetahuan, yakni tentang nilai. Secara sederhana, nilai itu mengungkapkan baik buruknya ilmu pengetahuan. Lagi-lagi, dalam pembahasan itu filsafat menunjukkan analisisnya terhadap ilmu pengetahuan. Misalnya keterkaitan antara politik dan teknologi. Bagaimanapun juga ilmu pengetahuan adalah alat dan tidaklah bergerak sendiri. Tangan-tangan manusialah yang menggerakkannya.

Berkenaan dengan itu, buku ini pun memberi porsi yang lebih banyak membahas ilmu sosial. Itu dipaparkan pada bab 7, filsafat ilmu-ilmu sosial; dan filsafat ilmu-ilmu sosial II pada bab 8. Sementara itu, pada ilmu alam hanya dibahas pada bab 5. Memang, porsi itu menunjukkan bahwa banyak dari ilmu sosial yang perlu untuk diulas dari kacamata filsafat. Sebaliknya, tambahan ulasan itu juga menunjukkan pemihakan terhadap ilmu sosial.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Senin, 03 Agustus 2009

Guru Ngaji di Pedesaan

Guru Ngaji di Pedesaan

Oleh: Puguh Utomo


Jika ada slogan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” maka itu agaknya juga berlaku bagi guru ngaji di pedesaan. Satu potret kecil itu seperti di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk. Beliau-beliaulah yang berperan dalam proses pendidikan informal, yakni pendidikan agama Islam. Peran tersebut cukup menonjol sejak 1990-an. Beberapa tahun sebelum itu juga telah ada guru ngaji, tetapi baru pada 1990-an peran tersebut lebih berpengaruh. Itu ditunjukkan dengan banyaknya santri yang berminat ikut mengaji pada tahun-tahun tersebut.

Kaderisasi guru ngaji pun melalui tokoh yang disebut dengan kyai desa yang telah lebih dulu mempelajari sejumlah kitab dan ilmu agamanya telah cukup mapan. Kyai desa pun mempelajari sejumlah kitab dan ilmu agama dari kyai lainnya yang lebih sepuh. Secara tak langsung itu memunculkan hierarki antara kyai dan santri-santrinya. Sosok kyai tetap sebagai pemimpin sekaligus juga guru ngaji, sedangkan sejumlah santri sekaligus wakil dari kyai membantu mengajar ngaji. Paling tidak itu berlangsung dalam rentang waktu antara tahun 1990 sampai dengan 2002. Oleh karena itu, guru ngaji di dusun ini umumnya bukan lulusan pesantren.

Atas perannya tersebut guru ngaji mendapatkan pengakuan sosial. Dalam hal ini adalah pengakuan sosial bahwa seseorang sebagai guru ngaji yang dengan sendirinya sebagai elite agamawan di pedesaan. Misalnya, peran khotib dalam sholat jumatan, peran muadzin, imam sholat, pemimpin yasinan, juga tak dapat lepas dari peran guru- guru ngaji.

Berbeda dengan pengakuan sosial, agaknya tidak demikian dengan pengakuan ekonomi. Bidang ekonomi pun harus mereka cari sendiri sebagaimana umumnya. Pada saat yang sama, mereka pun bergulat dengan kehidupan yang tak lepas dari pahit manis kehidupan. Lagi pula, waktu itu agaknya tidak lazim apabila di Dusun Wates, ini seorang guru ngaji secara langsung digaji dengan uang maupun barang. Itu bukan berarti guru ngaji tersebut sudah mendapatkan kesejahteraan yang layak. Justru panggilan hati sebagai guru ngaji lebih kuat daripada mencari materi.

Lain halnya dengan pengakuan sosial dan pengakuan ekonomi, juga ada keterlibatan politik. Jika guru ngaji memiliki murid yang banyak maka itu dapat menjadi kantung suara untuk dukungan politik, misalnya pemilihan kepala desa (Kades). Misalnya, pada 2006 saat pemilihan salah seorang calon kades memberikan bantuan berupa pengeras suara untuk Langgar. Memang, sebagian santri sendiri sebagian besar belum memiliki hak politik. Akan tetapi, bantuan tersebut merupakan simbol yang dapat dijadikan sebagai modal untuk dukungan politik.

Dan lagi, keterlibatan sebagian guru ngaji pada 1999 dalam pemilihan umum (pemilu). Waktu itu partai politik (parpol) berbasis agama pengaruhnya cukup kuat, khususnya di Jawa Timur (Jatim), tak terkecuali wilayah Nganjuk. Hubungan antara organisasi sosial keagamaan dan parpol pun tak terelakkan. Justru sebelumnya sebagian orang telah terdaftar sebagai anggota dari organisasi sosial keagamaan maka berkecenderungan dekat dengan parpol yang berakar dari organisasi sosial keagamaan tersebut.

Keterlibatan dalam kancah politik ini agaknya tak bersifat tetap. Pada pemilu 2004 keterlibatan itu tak menonjol lagi. Artinya, peran kyai sebagai guru ngaji tidak seperti pemilu pada 1999. Dinamika politik pun memengaruhi posisi kyai sebagai kelompok strategis.

Islamisasi di dusun ini pun tak dapat dilepaskan dari peran setiap guru ngaji. Proses itu pun agaknya dijalankan secara terbatas oleh guru ngaji sebagai elite agamawan. Artinya, tidak semua warga masyarakat turut andil dalam penyelenggaraan pendidikan informal yang diajar oleh guru ngaji. Umumnya anggota masyarakat cukup mendukung upaya proses mengaji tersebut tanpa terlibat langsung di dalamnya. Demikian juga dengan orang tua yang anaknya ikut mengaji. Sebagai dusun yang kecil, wilayah ini pun tak ada pesantren. Bahkan, dalam lingkup Desa Balongrejo yang terdiri atas tiga dusun ini juga tidak berdiri pondok pesantren.

Kemudian, proses pendidikan agama itu umumnya dimulai sejak seorang anak masuk jenjang Sekolah Dasar (SD). Tujuan utama dari mengaji itu adalah kemampuan membaca bahasa Arab. Itu dimulai dengan pengenalan huruf hijaiah. Agaknya dalam metode pengajaran tersebut guru ngaji tidak ditarget dengan kurikulum yang mengikat. Artinya, metode pengajarannya mengalir dan tanpa rancangan kurikulum yang ketat. Dapat pula dikatakan bahwa pola pengajarannya lebih bersifat tradisional.

Dalam pelaksanaannya, waktu mengaji pun dimulai sekitar 16.00, yakni setelah sholat ashar dan berakhir sekitar jam 17.00. Saat mengaji di Langgar yang berjumlah sekitar 30 anak itu dibagi ke dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok kira-kira terdiri atas lima orang sampai dengan tujuh orang. Dalam satu kelompok itu pula terdiri atas laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, tetap terpisah deret antara laki-laki dan perempuan.

Pakaian mengaji pun menyimbolkan santri, yakni laki-laki memakai songkok, dengan atasan baju berkerah dan bawahan dengan sarung atau celana panjang. Sementara itu, murid perempuan pun menunjukkan ciri muslimah seperti memakai kerudung dengan baju lengan panjang dan rok panjang sampai ke mata kaki. Pada saat itu tidak diterapkan pemakaian seragam mengaji. Berdasarkan pada itu, ciri lingkungan keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) pun cukup kentara.

Saat pertama kali seseorang mengaji maka yang pertama kali dikenalkan pada murid adalah kitab cara membaca huruf Arab yang dikenal dengan buku Iqra. Pembelajaran buku itu pun memakan waktu yang cukup lama. Setelah itu selesai maka dilanjutkan dengan kitab yang bernama Juz Ama. Dalam mengaji itu biasanya hanya diajarkan beberapa ayat. Guru ngaji membacakan beberapa ayat, sementara semua murid atau santri menyimaknya. Setelah selesai, guru ngaji meminta satu per satu setiap murid membacanya kembali secara bergiliran. Jika seorang murid keliru dalam membaca maka guru ngaji langsung membetulkan bacaannya, sedangkan setiap murid tetap menyimak setiap ayat yang dibacakan.

Umumnya seseorang aktif mengaji sejak SD sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan beberapa di antaranya sampai jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU). Tentu rentang waktu selama hampir 12 tahun itu tergolong lama. Akan tetapi, selama itu setiap santri dapat mempelajari sejumlah kitab secara bertingkat. Misalnya, setelah menyelesaikan Juz Ama, lalu dilanjutkan dengan Al Quran. Terkadang juga diselingi dengan kitab seperti Sulam Taufik maupun Sulam Susafinah atau kitab-kitab lainnya. Umumnya santri diajarkan kitab-kitab syariah dan ketauhidan.

Sebagaimana telah ditulis sebelumnya bahwa pola pengajarannya cenderung bersifat tradisional. Pengajaran kitab seperti Sulam Taufik pun memakan waktu yang relatif lama. Kitab yang terjemahan bahasa Indonesianya setebal 141 halaman tersebut dapat diselesaikan rata-rata setengah tahun. Lagi pula, kitab-kitab itu pun diajarkan hanya beberapa ayat saja. Kitab itu juga berbahasa Arab dan di bawah huruf Arab itu terdapat arti dalam bahasa Jawa. Tentu bahasa tersebut bukan bahasa asing sebab bahasa Jawa sekaligus juga sebagai bahasa setempat.

Pengajaran kitab, termasuk kitab-kitab yang lain, lebih menekankan pola kefasihan dalam membaca. Bahasa dalam kitab itu pun berbeda dengan bahasa yang umumnya dipelajari di sekolah formal seperti SD, SMP, dan SMU. Memang, jenjang SD dan SMP ada mata pelajaran bahasa Jawa. Akan tetapi, bahasa itu tidak persis seperti dalam bahasa kitab. Di samping itu, seperti telah ditulis di atas, kitab seperti Sulam Taufik pun sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Kini, pola pengajaran oleh guru ngaji di pedesaan tidak banyak mengalami perubahan. Polanya masih bersifat tradisional dalam bingkai pendidikan agama Islam. Terkait dengan itu, sifat tradisional tidak berarti selamanya buruk. Pola tersebut dilakukan kiranya sesuai dengan kondisi pedesaan dengan kultur masyarakat pertanian berlahan basah.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember