Senin, 22 November 2010

Kepekaan Perasaan Penulis

Kepekaan Perasaan Penulis

Saya mengenal seorang bloger yang berprofesi sebagai guru. Beliau peka terhadap siswa-siswinya. Misalnya, beliau yang saya kenal sebagai guru sejati itu bercerita tentang konsep belajar sejumlah siswanya. Kemudian, meskipun hanya sedikit, dalam satu tulisannya beliau juga menceritakan tentang sejumlah siswanya setelah lulus dari tempatnya mengajar. Sebagai seorang bloger sekaligus penulis, tentu cerita itu dituliskannya dalam blognya.

Sesuatu yang terlintas dalam pikiran beliau, lalu diwujudkan dalam bentuk tulisan. Judul dituliskan. Kata demi kata dirangkai sampai menjadi paragraf. Akhirnya membentuk sebuah wacana. Memang, tidak ada yang sempurna, termasuk tulisan beliau. Namun, saat saya membacanya, ternyata banyak cerita maupun kisah yang bisa dituliskan di kehidupan ini. Bahkan, ada tulisan beliau yang bisa menjadi inspirasi dalam hidup dan bisa membuka wawasan akan kehidupan di dunia ini. Itulah maksud kepekaan perasaan dalam diri penulis. Kepekaan dalam arti yang positif.

Judul itu juga tidak bermaksud mengklaim perasaan seseorang yang hobi menulis itu akan selamanya peka. Mereka yang tidak hobi menulis juga bisa berperasaan peka. Dalam kaitan ini, kelebihan bahasa tulis adalah sifatnya yang detail. Saat penulis mengalami sesuatu hal, lalu menuliskannya secara berkualitas dan kita membacanya secara cermat pula maka kita menangkap maksud penulis. Sekali lagi, itulah hubungan antara penulis dengan kepekaan perasaannya.

Hakikatnya seni menulis seperti seni melukis, seni memahat, seni suara, sampai seni fotografi. Di antara seni itu tentu berbeda bentuknya. Jika dunia tempat tinggal kita ini dianggap terdapat “materi” maka “materi” itulah bahan yang kita tulis, yang kita lukis, yang kita pahat, yang kita nyanyikan, dan yang kita potret. Sebagaimana hasil dari seni-seni itu dapat kita nikmati.

Jika diumpamakan maka seperti seorang anak yang baru lahir. Jika anak tersebut sebagai “materi” kemudian diberi nama (biasanya namanya tertulis di dinding) maka nama itu untuk mengenali si anak nantinya. Sebuah tulisan juga untuk mengenali dunia tempat kita tinggal sekarang ini.

Tulisan juga merupakan salah satu media komunikasi, khususnya oleh manusia. Jika bentuk komunikasi dalam bentuk tulis, yakni di blog atau sejenisnya berkembang dalam satu komunitas misalnya satu sekolah maka betapa luar biasa hasilnya. Setidak-tidaknya saat kita bersedia menulis dan mau membacanya maka kita tahu tentang sesuatu hal. Misalnya, judul “Perpustakaan Masuk Kelas” yang ditulis oleh penulis yang saya ceritakan tadi.

Setidak-tidaknya produk tulisan dengan media sejenis situs pribadi di internet itu bisa membidik pangsa komunitas, misalnya dalam satu sekolah. Sebuah informasi maupun sebuah masalah secara tertulis bisa ditempatkan di situs. Kemudian, orang-orang yang berkepentingan terhadap isi situs yang di senantiasa diperbarui itu memberikan komentar. Akhirnya terjadi timbal balik dalam proses komunikasi.

Jika dari segi komunikasi tulis maka baik situs pribadi yang populer dengan blog dan buku adalah sejajar. Hanya saja blog umumnya dalam bentuk digital, sedangkan buku bisa dalam bentuk konvensional maupun dalam bentuk digital. Bahkan, banyak penulis mengatakan, blog merupakan media yang tepat untuk menjadi seorang penulis.

Selain itu, situs pribadi itu memiliki kelebihan sendiri. Misalnya dari sisi kedekatan penulis dengan kondisi sekolahnya maka seorang penulis akan lebih mengetahui kondisi sekolah beserta segala permasalahannya. Tentu “masalah” itu tidak akan selalu bisa didapatkan di koran nasional, koran lokal, majalah maupun buku.

Di samping itu, betapa pentingnya arus komunikasi dan informasi dalam era sekarang. Sampai-sampai di negara kita dan juga di negara lain ada kementerian komunikasi dan informasi. Di sini kuncinya adalah jaringan internet yang baik dan kesediaan pemakai internet memanfaatkan alat komunikasi ini secara baik dan benar.

Apabila internet itu sebagai alat maka alat itu rasanya tidak bisa menggantikan pemakainya. Alat lebih bersifat pasif, sedangkan pemakainya bersifat aktif. Pemakai di sini adalah kita, manusia. Penulis sebagai manusia rasanya sampai saat ini juga tidak bisa digantikan oleh alat entah itu komputer yang paling canggih sekalipun. Artinya keterlibatan manusia tidak bisa dilepaskan. Terlebih peran penulis-penulis yang antara lain peka perasaaannya.

Kamis, 18 November 2010

Televisi Lokal

Televisi Lokal

Televisi lokal yang saya maksud adalah yang di Kabupaten Nganjuk dan di Kabupaten Madiun. Karena alasan merek, saya tidak menyebut nama televisinya. Dua stasiun televisi lokal itulah yang bisa saya tonton di televisi di rumah saya. Sebetulnya, di Kabupaten Kediri juga ada televisi lokal. Namun, gelombangnya tidak bisa tertangkap oleh antena televisi di rumah saya.

Kabupaten Madiun merupakan batas sebelah barat Kabupaten Nganjuk. Kabupeten Kediri merupakan batas Kabupaten Nganjuk sebelah selatan. Jarak yang relatif dekat itulah yang membuat gelombang televisi lokal di Madiun bisa tertangkap dengan mudah di Nganjuk. Berbeda dengan Madiun, daya tangkap antena televisi saya yang lemah menyebabkan siaran televisi lokal dari Kediri itu tidak bisa ditangkap.

Saya menulis artikel ini sebagai penonton televisi lokal yang awam. Saya belum pernah berkunjung ke kantor stasiun televisi di Nganjuk, di Madiun maupun di Kediri. Akhir 2009 yang lalu secara tak sengaja saya pernah bertemu dengan direktur televisi lokal di Nganjuk. Katanya, televisi lokal di Nganjuk itu saat itu dikelola oleh salah seorang dari salah satu televisi nasional.

Sebagai penonton awam, saya juga tak mengetahui bagaimana televisi lokal itu disiarkan di kantor sekaligus rumah produksinya. Apalagi izin siarnya saya juga tidak tahu. Saya juga tidak tahu sejak kapan persisnya televisi lokal itu siaran. Setahu saya kira-kira satu tahun ini televisi tersebut siaran. Namun, ke-awam-an dan ketidaktahuan saya itu tidak menghalangi saya untuk menulis artikel ini.

Saya juga bisa maklum dengan tayangan televisi lokal di Nganjuk itu. Kini, setiap hari siarannya mulai pagi sampai malam hari. Entah jam berapa. Keajegan siarannya itu merupakan nilai tersendiri untuk sebuah televisi lokal. Tentu tayangan televisi lokal juga tidak bisa persis seperti televisi nasional. Lagi pula, prioritas tayangannya adalah segmen lokal.

Saya menyaksikan siarannya lebih banyak hiburan, khususnya mulai pagi sampai sore hari. Hiburan ini didominasi oleh musik, misalnya pop, dangdut koplo, lagu-lagu Jawa, dan lain sebagainya. Pagi hari terkadang juga ada tayangan kartun untuk anak-anak. Menjelang petang, biasanya ditayangkan siaran rekaman pengajian oleh kiai lokal. Dalam hal ini, televisi lokal memiliki pangsa penonton tersendiri.

Malam hari biasanya diputar film. Tayangan itu biasanya yang saya sukai, terutama jika filmnya bagus menurut saya. Sayangnya, gambarnya seringkali terlihat buram. Mungkin karena antena televisi di rumah saya. Namun, setelah turun hujan maka gambarnya bisa lebih bening. Terkadang, ada lintasan berita seputar Nganjuk. Namun, pengemasan beritanya tampaknya belum optimal. Masih kalah dengan sebuah koran lokal yang merupakan grup atau perpanjangan tangan dari koran nasional.

Bahkan, agaknya tayangannya masih kalah dengan sebuah televisi lokal di Madiun. Televisi lokal di Madiun secara reguler ada program beritanya. Perkembangan kabupaten kiranya memengaruhinya, selain sumber daya manusianya. Secara umum, untuk ukuran kebupaten, Kabupaten Madiun lebih maju daripada Kabupaten Nganjuk. Itu juga dapat dilihat dari ke-pemerintah-an Kabupaten Madiun dan Kota Madiun.

Dalam waktu tertentu juga ada tayangan pertandingan langsung sepak bola pada salah satu liga di luar negeri. Entah bagaimana hak siar dari pertandingan itu. Mereka yang gemar menontonnya merasa senang-senang saja. Sama halnya saya juga tidak tahu bagaimana hak siar dari film-film yang ditayangkan. Saya pun maklum, sebagai bagian dari media komunikasi massa, televisi lokal ini juga telah berusaha mengikuti kode etik jurnalistik.

Umumnya televisi, tarif iklan yang tayang menjadi pemasukan. Layaknya televisi lokal, iklan pun berasal dari pemasang iklan lokal. Entah itu, rental mobil, pengobatan alternatif maupun dealer motor. Terkadang ada juga iklan yang bukan dari pemasang iklan lokal, melainkan iklan yang pernah tayang di televisi nasional.

Saya bangga di kabupaten tempat saya tinggal sekarang ini memiliki televisi lokal. Kita tahu, tidak setiap kabupaten/kota di Indonesia ini memiliki televisi lokal. Kebanggaan itu juga dirasakan oleh warga Nganjuk, khususnya saat mereka pertama kali tahu dan menontonnya. Apalagi jika televisinya itu menayangkan suatu tempat, suatu kegiatan, suatu peristiwa yang mereka kenal.

Selasa, 09 November 2010

Kuliah di Sini atau di Sana?

Gambar diunggah dari sini.

Kuliah di Sini atau di Sana?

Maksud dari judul itu jika Anda misalnya tinggal di Nganjuk (sini) maka berkuliahlah di kampus atau lembaga pendidikan di Kabupaten Nganjuk. Khususnya jika Anda ingin kuliah pendidikan yang nantinya menjadi guru. Misalnya, program studi (prodi) atau jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Ekonomi dan lain sebagainya. Jadi, jika ingin kuliah Pendidikan Bahasa Inggris, Anda sebaiknya tidak perlu kuliah di universitas terkemuka di Indonesia. Cukup di sebuah lembaga pendidikan di Nganjuk saja. Apalagi jika rumah Anda relatif dekat dengan kampus.

Artikel ini masih bisa diperdebatkan. Bisa jadi, hal ini hanya berlaku, misalnya di Nganjuk saja. Lagi pula, saya mengambil kasus di Nganjuk. Saya sesungguhnya juga tidak melakukan penelitian yang seksama mengenai ini. Namun, mendasarkan atas pengalaman saya sendiri yang kuliah sosiologi non-kependidikan di sebuah perguruan tinggi negeri di Jember dan pergaulan saya dengan sejumlah teman yang kuliah di kampus di Nganjuk.

Kuliah di Nganjuk atau di luar kota (sana) juga merupakan pilihan. Jika Anda ingin kuliah di Jurusan Sosiologi maka Anda tidak bisa kuliah di Nganjuk. Di Nganjuk belum ada lembaga yang membuka jurusan atau program studi Sosiologi. Namun, jika Anda ingin berkuliah di pendidikan Bahasa Inggris maka di Nganjuk sudah ada.

Saya tidak perlu menyebut kampus atau lembaga pendidikan di Nganjuk. Anda mungkin sudah mengetahui sendiri. Kampus atau lembaga pendidikan itu juga merek. Sama halnya penyiar radio maupun presenter televisi tidak sembarangan menyebut merek. Kecuali jika ada kesepakatan untuk memasang iklan di radio maupun televisi. Pemasangan merek untuk di-iklan-kan juga perlu membayar.

Pilihan kuliah di daerah sendiri maupun di luar daerah ini pun berkaitan dengan waktu, tenaga, dan terutama biaya. Sekali lagi saya mengambil contoh kuliah di Jember dan kuliah di Nganjuk. Ada sejumlah teman saya yang tinggal di Nganjuk yang juga kuliah di Nganjuk. Misalnya kuliah di jurusan pendidikan matematika, pendidikan bahasa Inggris, maupun kuliah di pendidikan anak usia dini (PAUD). Anggaplah mereka ini mempertimbangkan waktu, tenaga, dan biaya.

Tiga orang teman saya itu sudah bekerja di lembaga pendidikan meskipun belum PNS. Mungkin mereka yang kuliah di Nganjuk itu sudah ada jaringan mengenai tempat kerja di Nganjuk. Kemudian, jika kuliah di Nganjuk kabarnya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) per semester saat ini sebesar Rp 1.500.000,-. Jadi, perbulannya Rp 250.000,-. Dulu saya yang kuliah di Jember dengan mengambil Program Studi Sosiologi tahun 2003, yang tergolong non-eksakta, SPP per semester Rp 500.000,- sehingga per bulannya Rp 83.333,33,-.

Memang, jika kuliah di Jember SPP-nya lebih murah daripada di Nganjuk. Namun, itu belum termasuk biaya hidup. Saya sendiri memperkirakan dalam satu bulan pada tahun 2009 bisa menghabiskan rata-rata Rp 600.000,- s/d Rp 700.000,-. Sementara jika kuliah di Nganjuk tidak sampai Rp 600.000,-. Itu karena Anda tidak perlu bayar indekos. Anda juga bisa makan di rumah sehingga Anda tidak perlu membeli di warung. Saat menjadi anak kos seperti saya dulu tahun 2009, Anda bisa mengeluarkan uang Rp 10.000,- s/d 12.000,- dalam sehari untuk tiga kali makan. Sesungguhnya biaya hidup inilah yang membuat kuliah tampak mahal dan bukan SPP nya.

Sekali lagi, ini sekadar contoh kasus dalam hitungan kasar. Setiap orang bisa berbeda-beda. Lagi pula, kebutuhan dan kemampuan setiap orang juga berbeda-beda dan juga bisa berubah-ubah. Misalnya saya memperkirakan biaya hidup per bulan rata-rata Rp 600.000,- s/d Rp 700.000,-, bagi beberapa orang bisa saja hanya Rp 500.000,- per bulan.

Jadi, jika kuliah di Nganjuk maka waktu, tenaga dan biaya Anda bisa ditujukan di kampung halaman Anda sendiri. Mungkin Anda bisa membantu sejumlah pekerjaan orang tua Anda di rumah, misalnya membersihkan rumah. Mungkin, orang tua Anda juga tidak terlalu was-was jika Anda hanya berkuliah di kampung halaman sendiri.

Saya sendiri tidak menyuruh Anda berkuliah di sini atau di sana. Saya juga tidak meminta Anda untuk berkuliah. Kuliah hanya salah satu cara di antara sekian cara dalam mengarungi kehidupan. Paling tidak tulisan ini bisa menjadi salah satu pertimbangan jika Anda ingin berkuliah. Selain itu, Anda hendaknya tidak salah jika ingin berkuliah agar tidak terlalu terjerumus. Anda hendaknya juga mengetahui profil tempat Anda akan kuliah. Termasuk jika Anda sudah lulus nantinya.

Anda sebaiknya juga pintar-pintar mengenali diri Anda sendiri dalam jalan hidup Anda. Juga lingkungan (dalam arti yang luas) tempat Anda tinggal. Tidak terkecuali saat Anda memutuskan untuk berkuliah ataukah tidak. Umumnya, saat Anda memutuskan untuk berkuliah maka itu merupakan satu keputusan penting dalam jalan hidup Anda selanjutnya.

Apabila berkuliah di luar daerah (sana), juga tak selamanya buruk. Mungkin kemandirian Anda saat menjadi anak kos bisa teruji. Sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia juga menawarkan, fasilitas belajar seperti ketersediaan buku-buku di perpustakaan, beasiswa dan lain sebagainya. Pengalaman organisasi, jaringan organisasi dengan berbagai karakteristik umumnya ada di perguruan tinggi terkemuka. Bahkan, perguruan tinggi terkemuka masih menjadi incaran lembaga atau perusahaan tertentu.





Senin, 08 November 2010

Les

Les

Itu judul terpendek yang pernah saya tulis. Les itu satu makna dengan “bimbingan, kursus, latihan, pelajaran, tuntunan, tutorial” (Endarmoko, 2006). “Les” biasanya dipakai sebagai bahasa percakapan. Dari itu, les di sini saya artikan sebagai kegiatan guru dan murid secara bersama-sama mempelajari mata pelajaran tertentu di luar jam sekolah. Les biasanya bertempat di rumah seorang guru atau di sekolah.

Khususnya di kampung tempat tinggal saya ini, sekarang kegiatan les agak lebih ramai. Anak dari saudara sepupu saya yang kelas 4 SD, November 2010 ini sebagai bulan kedua mengikuti les di sekolahnya. Mulainya pukul 18.00 sampai dengan 19.00. Dalam seminggu masuk lima kali. Dalam sebulan les itu biayanya Rp 20.000,-. Saudara sepupu saya itu juga berujar, “daripada di rumah anaknya menjadi omelan maka disuruh les saja”.

Anaknya yang laki-laki dan tergolong aktif itu mau. Setiap berangkat dan pulang selalu diantarkan dengan motor. Jarak antara rumah dan sekolah yang masih berstatus swasta itu sekitar 1 km. Lokasi sekolahnya berada di desa sebelah. Saudara sepupu saya itu juga tidak keberatan dengan biaya Rp 20.000,- selama sebulan itu. Anaknya tetangga saya yang juga adik kelas dari anak saudara sepupu saya itu juga ikut les. Di kampung saya, hanya dua anak itu yang sekarang ikut les. Sementara anak-anak yang satu kampung dengan lokasi sekolah itu yang ikut les lebih banyak lagi.

Keikutsertaan anak dari saudara sepupu saya itu pun menunjukkan kegiatan les tidak semata-mata mempelajari dan memperdalam materi pelajaran sekolah. Di satu sisi les lebih sebagai trik menjawab soal-soal ujian. Di sisi yang lain les juga sebagai pengalih perhatian agar ada kegiatan yang bisa dilakukan oleh seorang anak. Selama anak itu mau mengikuti les. Itu pun menyiratkan sekolah juga berfungsi sebagai tempat anak-anak menghabiskan waktunya.

Anaknya tetangga sebelah rumah saya yang sekarang kelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP), dulu saat kelas VI SD, beberapa bulan menjelang ujian nasional juga ikut les pada seorang guru yang tinggal di desa sebelah. Setiap pertemuan selama satu jam biayanya Rp 5.000,-. Tetangga saya ini tidak ingin nilai matematika anaknya jelek. Tetangga saya ini juga sangat tidak ingin anaknya tidak lulus saat ujian nasional.

Minat les itu berbeda dengan saat saya SD dulu, antara tahun 1991-1997. Saat itu di kampung saya ini tidak ada murid yang les seperti sekarang ini. Sekarang, tahun 2010 banyak orang tua mengikutkan anaknya les. Bahkan, kegiatan les lebih intensif menjelang ujian sekolah. Khususnya saat akan menghadapi ujian akhir semester maupun ujian nasional.

Minat les itu pun dipengaruhi oleh cap lulus dan tidak lulus dalam ujian nasional. Sebagaimana adanya kebijakan lulus dan tidak lulus mulai dari jenjang SD dan yang sederajat sampai dengan SMA dan yang sederajat. Memang, prestasi akademik bisa menjadi salah satu ukuran, misalnya karier hidup seseorang. Namun, kita juga tahu dalam hidup ini, misalnya kesuksesan secara ekonomi dalam hidup tidak semata-mata diukur dari prestasi akademik.

Kamis, 04 November 2010

Nganjuk-Jakarta


Gambar diunggah dari sini.

Nganjuk-Jakarta

Di Jakarta saya melihat yang tidak saya lihat di Nganjuk. Misalnya, gedung pencakar langit yang terdiri atas puluhan lantai. Kendaraan bernama bajaj juga tidak saya temui di Nganjuk, tetapi saya jumpai di Jakarta. Di Jakarta saya juga menjumpai jalur untuk bus way yang tentu saja tidak saya temui di Nganjuk. Di Jakarta saya juga menjumpai kemacetan, tetapi tidak saya jumpai di Nganjuk. Di Jakarta, saya juga kali pertama melihat Monumen Nasional (Monas) dengan mata kapala saya sendiri.

Sebelumnya, saya hanya melihat itu semua lewat televisi. Di sana pula, saya melihat gedung pusat tiga stasiun televisi nasional. Monorel yang masih mangkrak, Jackmania, jalur three in one, joki, mobil-mobil mewah yang lalu lalang, sampai parkir mobil di lantai lima.

Dua paragraf itu mengawali tulisan di Oktober ini. Perjalanan dengan kereta bisnis dari Nganjuk ke Jakarta sejak Senin, 25 Oktober 2010 sampai dengan Minggu pagi, 31 Oktober 2010 lalu ingin saya abadikan lewat tulisan ini. Mereka yang pernah mengenal Jakarta tentu tak asing lagi dengan ibu kota negara Indonesia itu. Namun, ada kesan tersendiri untuk saya yang kala itu pertama kali ke Jakarta.

Senin sore itu bertepatan dengan waktu maghrib sebuah kereta bisnis yang akan membawa saya ke Jakarta tiba. Saya sengaja memilih kereta bisnis yang harga tiketnya Rp 140.000,-. Itu tarif untuk Senin sampai Kamis. Jumat sampai Minggu Rp 160.000,-. Kereta kelas ekonomi harga tiketnya sekitar Rp 50.000,-.

Harga karcisnya saja berbeda. Apalagi fasilitasnya. Secara umum baik kelas bisnis maupun kelas ekonomi relatif sama, tetapi ada perbedaannya. Kereta kelas bisnis lebih tetapi waktu. Waktu tempuh juga relatif lebih cepat. Di dalam kereta kelas bisnis juga lebih bersih dan tidak terlalu berbau amis. Kereta bisnis juga dipasang tirai dan kipas angin yang masih berfungsi. Tempat duduk kereta kelas bisnis juga lebih nyaman. Itu semua berbeda dengan kereta api kelas ekonomi.

Toilet kereta kelas bisnis juga lebih bersih dan tidak terlalu berbau tidak enak. Di dalam toilet juga tersedia air untuk buang air besar. Air itu dipakai saat kereta berjalan. Juga ada wastafel kecil untuk cuci muka. Toilet kereta kelas ekonomi lebih kotor, berbau, dan biasanya tidak tersedia air untuk buang air besar. Di kelas bisnis juga tidak ada satu pun pengamen. Keberadaan pedagang pun hanya ada saat kereta berhenti di stasiun. Di kelas ekonomi, pedagang hampir selalu lalu lalang meskipun kereta dalam kondisi berjalan. Di kelas ekonomi biasanya juga ada pengamen.

Seorang teman mengatakan jika ke Jakarta sebaiknya naik kereta kelas bisnis. Di samping perjalanan jauh, yakni sekitar 13 jam, saat masuk Bekasi biasanya juga sesak dengan penumpang yang berangkat bekerja. Meskipun ini relatif, tetapi konon kereta kelas bisnis lebih aman dibandingkan dengan kelas ekonomi. Artinya aman misalnya di kereta kelas bisnis hampir tak ada pencopet.

Pengalaman saya tahun 2003 saat pertama kali dari Nganjuk ke Bandung dengan kereta kelas ekonomi pun turut memengaruhi saya memilih kelas bisnis. Memang, tarif karcis bisnis lebih mahal daripada kereta kelas ekonomi. Meskipun demikian, kereta kelas ekonomi juga masih ada peminatnya. Harga karcis yang murah umumnya menjadi alasan utama.

Saya pun tiba di Stasiun Pasar Senen, hampir pukul 08.00. Molor dari jadwal seperti yang tertulis di karcis, yakni 06.36. Perjalanan Nganjuk-Jakarta selama kurang lebih 13 jam pun seakan tak terasa. Atas petunjuk dari saudara yang di Tangerang, saya naik bus jurusan Cikokol. Tanpa ponsel sebagai alat komunikasi, maka saya akan sangat kesulitan menuju rumah saudara saya di Tangerang itu. Karena itu, saya menulis nomor ponsel yang saya anggap penting jika ponsel saya hilang.

Kira-kira pukul 11.00 saya tiba di rumah saudara saya. Itu merupakan kali pertama saya ke sana. Namun, pertengahan 2010 yang lalu saudara saya itu pernah berkunjung ke rumah saya. Selepas maghrib saya diantarkan oleh saudara saya ke Ciputat yang juga masih saudara saya. Ciputat ini dekat dengan tempat ujian saya pada Rabu, 27 Oktober 2010, mulai pukul 08.00, yakni di sebuah universitas di Pamulang, Tangerang Selatan.

Ujian tertulis dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di salah satu kementerian itulah yang membawa saya ke Jakarta, khususnya di Tangerang. Selain itu, saya juga ingin dolan ke rumah saudara saya yang di Tangerang maupun yang di Jakarta. Itu juga pertama kali saya mengikuti tes CPNS sebuah kementerian.

Bisa jadi, perjalanan hidup selanjutnya, terutama perjalanan karier, ditentukan oleh tes seperti itu. Memang, awalnya saya ragu dan nyali saya menciut. Untuk kualifikasi akademik sarjana sosiologi seperti saya, formasinya hanya ada satu. Sementara satu formasi itu direbutkan oleh lulusan sosiologi nonkependidikan se-Indonesia. Namun, berhubung di sana ada saudara, yakni saya bisa menginap di rumah saudara saya itu, akhirnya saya mendaftarkan diri.

Saya bersyukur, tempat ujian saya relatif dekat dengan rumah saudara saya yang di Tangerang Selatan. Tempat ujian itu sendiri ditentukan oleh panitia seleksi CPNS. Jadi, peserta tidak bisa memilih tempat ujian. Tentu saya sangat berterima kasih pada saudara-saudara yang telah membantu saya.

Pagi itu, saya tiba di tempat ujian, sekitar pukul 07.00. Di auditorium di sebuah universitas itu sudah banyak peserta yang datang. Tempat tes di auditorium ini khusus untuk peserta yang melamar di salah satu unit kerja di sebuah kementerian tadi. Sebelumnya, saya memeriksa peserta tes di unit kerja ini berjumlah 925 peserta.

Saya pun mencari tempat duduk saya. Begitu dapat, peserta lain dengan kualifikasi akademik yang sama seperti saya juga telah tiba. Saya pun menyapa salah satu peserta yang duduk di sebelah kanan saya. Dia alumnus universitas terkemuka di Indonesia. Dia yang angkatan 2000 itu sudah beberapa kali mengikuti tes sejenis itu. Saya pun sempat pesismis dan peluang saya untuk lolos dalam tes itu pun sangat kecil. Bahkan, dipastikan saya tidak akan lolos dalam tes itu.

Di sebelah kiri saya juga dari almamater yang sama dengan yang duduk di sebelah kanan saya. Dia angkatan 2005. Sementara saya angkatan 2003 dari sebuah universitas pinggiran di Pulau Jawa. Saya juga mahasiswa yang tidak pandai. Namun, saya berusaha mengerjakan tes tulis itu semampu saya.

Menjelang tengah hari, tes pun selesai dan saya mengikutinya sampai selesai. Saya sadari tes tulis tersebut sangat sulit bagi saya yang ber-IQ rendah ini. Terkadang saya berpikir, saya ikut tes itu paling tidak agar ijasah sarjana saya ada gunanya. Sorenya saya kembali ke rumah saudara saya. Saya pun menginap di malam kedua di rumah saudara saya itu.

Kamis sore, 28 Oktober 2010 saya izin pulang. Sebelum pulang ke Nganjuk, saya juga izin akan dolan di rumah saudara saya di Jakarta Selatan. Melalui saudara saya inilah pertama kali saya bisa tahu kota Jakarta seperti yang saya kemukakan di awal paragraf. Sekali lagi, saya sangat berterimakasih pada saudara-saudara saya.

Sabtu sore, saya pun balik ke Nganjuk. Awalnya saya akan naik kereta kelas ekonomi. Namun, atas bantuan saudara saya akhirnya saya naik kereta kelas bisnis. Saya tiba di Stasiun Nganjuk sekitar pukul 05.00 pada Minggu pagi, 31 Oktober 2010. Perjalanan dari Jakarta ke Nganjuk pun seolah-olah tak terasa dengan naik kereta kelas bisnis tersebut.