Selasa, 27 Oktober 2009

Seks di Ruang Publik & Ruang Privat

Seks di Ruang Publik & Ruang Privat

Oleh: Puguh Utomo


Awal Oktober 2009, sejumlah media, khususnya televisi memberitakan tentang rencana kedatangan artis yang dikenal sebagai bintang film dewasa asal Jepang, Maria Ozawa alias Miyabi. Perempuan peranakan itu akan membintangi sebuah film Indonesia yang juga dibuat di Indonesia. Mereka, khususnya laki-laki yang suka berpetualang dalam “dunia syahwat” kemungkinan besar akan mengenal sosok Miyabi ini.

Pro dan kontra pun muncul terkait dengan kedatangan Miyabi. Pihak yang pro, antara lain, mengatakan bahwa setiap orang berhak datang ke Indonesia, termasuk Miyabi. Sementara itu, yang kontra, antara lain mengatakan bahwa Miyabi tidak pantas datang ke Indonesia karena profesinya tersebut. Apabila Miyabi diijinkan datang ke Indonesia maka tidak akan tertutup kemungkinan ada Miyabi-Miyabi lain. Tulisan ini agaknya tidak ingin terlalu larut pada pro-kontra atas rencana kedatangan Miyabi. Namun, tulisan ini mencoba melihat hal itu dari sudut lain.

Kasus Miyabi ini mirip dengan kasus akan terbitnya sebuah majalah dewasa, beberapa waktu yang lalu. Lewat media, terutama televisi, publik mengetahui bahwa pihak yang kontra adalah dari kalangan keagamaan dalam wadah organisasi. Akhirnya, majalah dewasa yang menyediakan hal-hal terkait dengan seks itu tidak jadi terbit di Indonesia.

Adalah kenyataan sosiologis bahwa di Indonesia, seks lebih ditempatkan di ruang privat daripada di ruang publik. Berbeda dengan di Indonesia, di Jepang seks agaknya lazim ada di ruang publik. Oleh karena itu, di Jepang ada dan diizinkan majalah yang khusus mengulas tentang seks yang di Indonesia mendapatkan penolakan.

Pada dasarnya seks sendiri adalah kebutuhan makhluk, termasuk manusia. Dengan kata lain, libido pada manusia relatif tetap. Seks sendiri memegang peran penting, yakni prokreasi dan rekreasi. Prokreasi berkaitan dengan regenerasi manusia, yakni menghasilkan keturunan. Rekreasi berkaitan dengan seks sebagai penyaluran libido.

Penempatan seks di ruang privat maupun publik sebentuk rekayasa sosial. Upaya itu sekaligus ingin membedakan manusia dan hewan mengenai perilaku seks. Manusia sendiri mengenal etika sebagai standar dalam berperilaku. Meskipun manusia memiliki etika, tetapi terkadang bisa sangat menjauh dari etika. Tentu saja perlu diingat bahwa etika sendiri memiliki sifat relatif.

Di samping itu, penempatan seks di ruang privat itu sekaligus melindungi anak-anak. Akan tetapi, agaknya banyak yang bersepakat bahwa pendidikan seks yang baik bagi anak adalah penting. Dalam hubungan ini, perlu kemasan yang berbeda tentang seks di mata mereka.

Di Indonesia, penempatan seks di ruang privat tidak berarti sepenuhnya tidak ada seks di ruang publik. Seks tetap ada di ruang publik di Indonesia dengan berbagai bentuk meskipun itu sembunyi-sembunyi. Dalam lingkup negara, agaknya mustahil persoalan seks dapat benar-benar ditempatkan di ruang privat.

Video adegan mesum yang beredar dan memunculkan sensasi merupakan salah satu bentuk seks di ruang publik. Itu pula yang terjadi di sebuah SMA Negeri di Kabupaten Kediri pada pertengahan Oktober 2009 ini. Sebagai salah satu tindak lanjut kasus tersebut, Oktober 2009 dinas pendidikan setempat mengeluarkan surat keterangan larangan membawa telepon seluler bagi siswa di sekolah. Memang, kasus seperti itu bukan kali pertama.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Selasa, 20 Oktober 2009

Resensi: Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kamus Besar Bahasa Indonesia-ku

Oleh: Puguh Utomo


Warna sampulnya merah hati. Panjangnya 25 cm dan lebar 18 cm. Memiliki xxxvi + 1386 halaman. Dengan jumlah halaman sebanyak itu tebalnya mencapai 5 cm. Buku itu merupakan buku paling tebal di antara buku-buku yang kini saya miliki. Maklum, buku itu jenis kamus sehingga wajar jika tebal. Ya, buku itu adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi ketiga, cet. 3, 2002, Jakarta: Balai Pustaka.

KBBI itu memang tidak setebal Kamus Webster yang berbahasa Inggris itu. Itu pun menunjukkan bahwa perbendaharaan kata Kamus Webster jauh lebih banyak daripada KBBI. Oleh karena itu, Kamus Webster agaknya lebih “canggih” daripada bahasa Indonesia. Akan tetapi, saya tetap berbangga bahwa bahasa Indonesia apabila di-kamus-besar-kan bisa setebal itu.

Namun, maklum, KBBI itu bukan buku asli, tetapi buku bajakan. Sepintas KBBI itu adalah asli. Namun, jika melihat kertas dan hasil cetakannya maka akan berbeda dengan yang asli. Kertasnya lebih putih dari yang asli. Di sejumlah halaman ada kopian huruf yang tidak jelas. Namun, isinya persis seperti aslinya.

Memang, buku hasil membajak itu sesungguhnya melanggar hukum atas karya cipta. Saya pun mungkin tergolong pelanggar hukum atas buku yang saya beli pada Selasa, 20 April 2005 di pasar buku-bekas di Kabupaten Jember. Saat itu saya membelinya seharga Rp 85.000,00. Di tengah-tengah kebutuhan akan KBBI, harga itulah yang merupakan alasan utama saya membelinya. Buku aslinya saat itu sekitar Rp 200.000,00.

Sebetulnya harga Rp 85.000,00 itu masih terlalu mahal untuk anak indekos seperti saya saat itu. Maklum, jumlah itu hampir setara dengan tarif indekos yang saat saat itu Rp 100.000,00 per bulan. Saya pun agak nekat saat membelinya. Jadi, dengan membeli buku bajakan itu saya bisa menghemat Rp 115.000,00 untuk membayar sewa kamar selama satu bulan. Dan, saya tetap bisa memiliki sebuah KBBI.

Terkait dengan KBBI, saya ingin sebentar kembali ke masa lalu. Kira-kira pada tahun 1997 saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk pertama kalinya saya mengetahui bahwa Indonesia memiliki KBBI. Saat itu, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia menyuruh dua siswa untuk meminjam KBBI di perpustakaan untuk di bawa di kelas. Tujuannya untuk mencari arti kata.

Kemudian, saat duduk di bangku kuliah pada semester IV saya terdorong ingin memiliki KBBI. Dorongan itu begitu kuat setelah saya membaca tulisan pakar bahasa di kolom bahasa pada sebuah koran nasional. Menurut pakar tersebut dengan KBBI maka bisa membantu dalam hal menulis. Waktu itu pun saya penasaran dengan dunia tulis menulis yang saya awali dengan menulis buku harian (diary) pada 17 Juli 2004. Ketika itu saya berpikir bahwa KBBI itu merupakan satu modal untuk menulis.

Saat itu, untuk kalangan individual jarang ada yang memiliki KBBI. Apalagi di kalangan mahasiswa. Saya tidak bermaksud sombong. Saya juga tidak bermaksud pamer. Biasanya KBBI dimiliki oleh setiap perpustakaan daerah maupun perpustakaan yang besar. Perpustakaan di semua jenjang pendidikan juga memilikinya. Kalangan individual tertentu seperti guru dan dosen biasanya juga memilikinya.

Sejak saya memilikinya, KBBI itu merupakan buku yang paling dekat dengan saya. Artinya, KBBI itu merupakan buku yang paling sering saya buka. Saya sering mencari arti kata dalam KBBI tersebut. Saya juga sering mengacu kata dari KBBI. Buku itu pun selalu ada di dekat komputer milik saya saat saya menulis, bahkan sampai sekarang.

Selang sekitar dua tahun kemudian sejak 2005 saya mencoba pergi ke pasar buku-bekas tempat dulu saya membeli KBBI. Saat saya membeli pada tahun itu masih ada beberapa buah, tetapi pada tahun 2007 sudah tidak ada. Tentu saja saya hanya bertanya saja dan tidak berniat membeli lagi. Saya pun tidak menanyakan secara lebih dalam mengapa KBBI sudah tidak dijual. Saya menduga bahwa KBBI-KBBI itu sudah dibeli orang yang berdomisili di Jember. Mungkin juga harganya relatif mahal sehingga dilempar ke pasar lain di kota lain yang stok KBBI-nya habis.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember


Rabu, 14 Oktober 2009

Resensi Buku: Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif



Menggayakan Laporan Penelitian Metode Kualitatif

(Resensi Buku)

Oleh: Puguh Utomo


Judul buku : Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif

Penulis : Septiawan Santana K.

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Tahun terbit : 2007

Tebal : x + 226 halaman


Belakangan ini metode kualitatif semakin diminati. Itu terlihat dari skripsi, tesis, desertasi maupun penelitian khususnya dalam rumpun ilmu sosial di lingkungan akademis yang banyak menggunakan metode kualitatif. Literatur yang mengulas tentang metode kualitatif pun banyak bermunculan. Bahkan, ada buku tertentu yang mengulas tentang metode penelitian kualitatif yang dicetak berulang kali. Tidak ketinggalan banyak sumber di internet yang juga mengulas tentang metode kualitatif.

Tentu saja “menulis” dan “metode penelitian kualitatif” kiranya sudah tidak asing lagi di kalangan lingkungan akademis. Pada kurikulum di perguruan tinggi (PT) khususnya pada jenjang strata 1 (S-1) ilmu sosial, juga terdapat mata kuliah bernama metode penelitian sosial yang kualitatif, selain metode kuantitatif. Selain itu, sebagian skripsi yang ditulis oleh mahasiswa, terutama ilmu sosial juga menggunakan metode kualitatif. Oleh karena itu, buku ini sepertinya hanya untuk kalangan terbatas di lingkungan akademis.

Kemudian, sesuai dengan judulnya, Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif yang ditulis oleh Septiawan Santana K. ini merupakan salah satu buku yang mengulas tentang metode kualitatif. Dua kata, yaitu “menulis ilmiah” agaknya sudah membedakan buku lainnya yang sejenis yang mengulas tentang metode penelitian kualitatif. Umumnya sejumlah buku cukup berjudul “Metode Penelitian Kualitatif”. Dari dua kata itu pula dapat dibayangkan bahwa buku ini mengupas bagaimana kiat-kiat menulis ilmiah dengan metode kualitatif.

Sementara itu, kata-kata seperti “struktur naratif”, “fenomenologi”, “subjektif”, dan “mengalurkan tulisan”, sengaja ditulis secara terpencar, hampir memenuhi sampul depan. Di samping judul yang ditulis dengan ukuran lebih besar daripada kata-kata tadi juga terdapat ilustrasi yang unik. Ada karikatur foto setengah dada, kepala manusia botak yang tersenyum, sedangkan sebuah tangan dengan memegang pena tumbuh dari kepala itu. Di kulit kepala tertulis “senyum yang tulus”.

Kemudian, jika membaca pengantar di sampul belakang maka pembaca akan langsung disuguhi pernyataan tentang ciri penelitian kuantitatif dan kualitatif. Secara tidak langsung dikemukakan tentang penelitian kuantitatif dengan pernyataan “cara menalar dan menulis riset mesti seperti mesin kalkulator, penuh hitungan”. Di paragraf selanjutnya ditulis “banyak orang merasa enjoy membaca tulisan ilmiah kualitatif.” Kelebihan metode kualitatif pun dimunculkan. Namun, buku dengan sampul dominan warna hitam ini tidak mempertentangkan dua metode tersebut.

Kesan pertama itu pula yang menarik bagi pembaca, terutama mereka yang pecinta metode kualitatif. Apalagi buku ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (YOI). Untuk diketahui pula bahwa YOI telah memiliki nama dalam menerbitkan buku, khususnya buku-buku sosial. Banyak buku berjenis sosial yang bermutu yang diterbitkan oleh YOI. Selain itu, penulisnya Septiawan Santana K. juga telah dikenal lewat sejumlah buku yang ditulisnya seperti Menulis Itu Ibarat Ngomong (2007).

Kemudian, buku yang terdiri atas lima bab ini diawali dengan bab pendahuluan di bab I. Mengenali pembaca dan menangkap topik merupakan dua subbab di bab I. Dari subbab tersebut dapat diketahui bahwa buku ini semakin menegaskan tentang kiat-kiat menulis ilmiah jika menggunakan metode kualitatif. Sekali lagi, kata “ilmiah” agaknya membuat suatu tulisan ilmiah perlu penggayaan tersendiri. Lebih lanjut, ibarat hasil penelitian metode kualitatif sebagai makanan maka penggayaan itu bertujuan agar hasil penelitiannya terasa lezat.

Dalam kaitan itu, pada hakikatnya hasil penelitian ilmiah juga merupakan produk. Tak terkecuali hasil penelitian ilmiah dengan metode kualitatif juga merupakan produk atau tepatnya karya dalam bentuk tulis. Sekadar perbandingan, tulisan jurnalistik, yakni media cetak, juga merupakan produk. Satu kritik terhadap metode penelitian kualitatif adalah mirip tulisan jurnalistik, yaitu media cetak. Namun, di halaman di halaman 6 dengan mengutip pendapat Creswell agaknya dapat membedakan antara hasil tulisan jurnalistik dengan tulisan ilmiah. Jadi, keduanya sama-sama merupakan produk, tetapi dengan produk keluaran yang bisa berbeda.

Meskipun demikian, juga perlu dikatakan bahwa batas antara hasil dua hal tersebut terkadang kabur. Keduanya, baik produk jurnalistik maupun produk penelitian ilmiah metode kualitatif sama-sama mempublikasikan sesuatu lewat media tulisan yang umumnya ditambahi dengan foto atau gambar. Bahkan, dengan mengutip pendapat Dr. Ichiji Honda “Penulis ilmiah pada hakekatnya adalah seorang wartawan....” (hlm. 216).

Buku ini tidak memaparkan pengalaman penulisnya dalam meneliti dengan metode kualitatif. Dalam kaitan itu, penulisnya mengutip secara langsung sejumlah hasil penelitian yang menggunakan metode kualitatif. Contoh-contoh kutipan yang diberikan menunjukkan bahwa metode kualitatif dapat bermakna luas. Bahkan, mereka yang menggeluti ilmu sosiologi maupun antropologi yang lekat dengan metode penelitian kualitatif, barangkali akan membaca perspektif lain atas hasil penelitian dengan pemakaian metode kualitatif.

Selanjutnya, pada bab II dipaparkan hal-hal dasar seputar metode kualitatif. Dimulai dengan pembedaan antara fakta dan fiksi yang dalam tulisan ilmiah metode penelitian kualitatif itu bisa melebur. Kategori fiksi tersebut misalnya novel maupun cerita pendek. Peleburan itu menandai pula era posmodernisme dengan sifatnya yang membongkar juga sedikit diulas di halaman 30-31. Pada halaman tersebut dikatakan pula bahwa metode penelitian kualitatif itu subjektif.

Tentu saja subjektifitas di sini bukan berarti kebohongan. Bagaimanapun juga seorang peneliti maupun penulis perlu memegang prinsip kejujuran. Itu berkaitan pula dengan etika profesi seorang peneliti sekaligus seorang penulis. Terkait dengan itu, subjektifitas di sini dapat dimaknai sebagai ungkapan dalam bentuk tulisan, seorang penulis atau peneliti saat menuliskan laporan penelitian kualitatif sesuai dengan etika yang berlaku. Dan, kemampuan mengungkapkan pikiran dalam bentuk tulisan inilah satu hal mutlak yang perlu dimiliki oleh peneliti metode kualitatif.

Adapun di bab III metode penelitian kualitatif ini sendiri masih dipilah-pilah lagi ke dalam beberapa metode. Misalnya, metode fenomenologi, metode studi kasus, dan dan metode grounded theory. Pada dasarnya metode-metode tersebut dalam praktik penelitian bisa tumpang tindih satu sama lain. Itu pun tak dapat dilepaskan posisi metode kualitatif sebagai alat. Dalam hal ini, seperti halnya alat maka suatu alat perlu menyesuaikan dengan sasaran penelitian.

Masih pada bab III, lalu diteruskan dengan pedoman dalam menuliskan laporan penelitian ilmiah dengan metode kualitatif. Penulisan laporan, terutama di bab hasil dan pembahasan, di analisis data pada penelitian kualitatif dikenal tidak ada aturan yang baku. Kendatipun demikian, perlu ada alur logika saat menganalisis data pada penelitian kualitatif. Jadi, memang tidak asal-asalan dalam menyajikan hasil penelitian dengan menggunakan metode kualitatif.

Sebelum pada bab V, pada bab IV dijelaskan tentang mengalurkan tulisan. Bab ini masih berhubungan dengan bab III tentang menggayakan laporan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif. Teknik mengalurkan tulisan di sini mengikuti teknik standar sebagaimana dikenal dalam pengembangan paragraf, yakni narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, maupun perpaduan dari semua teknik tersebut.

Bab V yang bab penutup, lalu dilanjutkan dengan ulasan mengenai bahasa dalam penulisan laporan dengan metode kualitatif. Pada bab ini diutarakan bahwa menulis merupakan aktifitas dan proses kreatif yang perlu diasah secara terus-menerus. Banyak cara untuk mengasah kemampuan menulis ilmiah dengan metode kualitatif, antara lain dengan terlibat dalam kelompok penulisan, khususnya penulisan dengan metode tersebut. Demikian juga dengan bahasa laporan penelitian metode kualitatif agar bernilai informatif dan tidak asing di hadapan pembacanya.

Biarpun demikian, ada beberapa catatan untuk buku ini, di balik kelebihannya. Buku ini misalnya, banyak memakai kutipan maupun contoh hasil penelitian metode kualitatif dari penulis luar negeri. Memang, itu sah-sah saja. Namun, terkadang kutipan tersebut sepertinya asing di hadapan pembaca di Indonesia. Sungguhpun demikian, buku ini layak dijadikan referensi dalam khasanah penelitian dengan metode kualitatif.


Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Rabu, 07 Oktober 2009

Pemadaman Listrik

Padamnya Listrik di Dusun Saya

Oleh: Puguh Utomo


Tiba-tiba listrik di dusun saya, Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, padam (6/10/2009). Itu terjadi kira-kira jam 17.20 WIB. Saat itu saya sedang menyaksikan berita di televisi tentang gempa bumi dengan skala 6,7 skala richter di wilayah Sumatera Barat. Sudah hampir satu minggu ini program berita di televisi fokus pada berita tentang gempa di wilayah Sumatera Barat pada Rabu, 30 Oktober 2009 dan gempa susulannya. Posisi televisi sebagai salah satu media elektronik tentu saja hal itu logis. Namun, padamnya listrik membuat televisi tidak dapat dihidupkan.

Kemudian, praktis, kehidupan rasanya kembali ke zaman “Dinosaurus”. Padamnya listrik itu sendiri berlangsung sejak kira-kira jam 17.20 sampai dengan 20.45 WIB. Televisi, komputer, radio, dan lampu tidak dapat dihidupkan. Maklum, perkakas itu sangat bergantung pada aliran listrik. Pada saat yang sama saya teringat tentang penderitaan, khususnya warga Sumatera Barat yang harus memikul akibat atas gempa yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi itu.

Namun, tanda-tanda “ke-modern-an” masih ada. Telepon seluler (ponsel) milik saya masih bisa digunakan. Terkadang juga terdengar deru kendaraan, terutama roda dua. Lampu senter yang dari korek bensol juga masih dapat digunakan. Dimar cublik atau lampu berbahan bakar minyak tanah juga masih dapat digunakan. Lampu senter yang ada di ponsel saya juga masih dapat digunakan.

Selepas maghrib, saat listrik masih padam, ibu (57 tahun) saya bercerita tentang keganasan pada Gerakan September Tiga Puluh (G-30-S PKI) pada 1965 silam. Ibu saya menyebutnya dengan Gestapu, yakni kependekan dari Gerakan September Tiga Puluh. Demikian juga dengan sejumlah orang juga lebih mengenal peristiwa itu dengan Gestapu. Ibu saya menceritakan bahwa saat suasana gelap seperti ini dengan jalan yang masih belum beraspal, sering terjadi “manusia membunuh manusia”. Ibu saya menceritakan bahwa pada saat itu ada orang yang tewas dan organ tubuhnya dipotong-potong dan organnya diletakkan di atas kursi. Mengerikan! Ibu saya menceritakan dengan raut muka kesedihan sebagaimana orang-orang yang menceritakan tentang tragedi itu pada saya. Mereka pun tidak ingin peristiwa itu terulang kembali.

Pada jam 20.00 listrik belum menyala. Selama itu saya coba berkirim-kiriman pesan pendek lewat ponsel. Misalnya, saya bertanya pada teman saya yang hari ini mengikuti tes untuk menjadi satuan pengamanan (satpam) pada perusahaan jasa tenaga kerja. Teman saya itu membenarkan saat saya bertanya apakah perusahaan itu memakai sistem outsourcing. Dengan teman yang lain saya juga berkirim-kiram pesan pendek tentang tes Calon Pegawai Dalam Negeri (CPNS). Maklum, saya sendiri juga masih tergolong pencari kerja dan mendambakan bekerja sebagai PNS lembaga pendidikan.

Kemudian, pada saat jam 20.45 begitu listrik kembali menyala, terdengar sorak sorai dari tetangga sebelah. Kembali menyalanya listrik itu disambut dengan gembira. Kehidupan pun rasanya kembali normal.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Minggu, 04 Oktober 2009

Perpustakaan Umum Daerah

Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Nganjuk


Perpustakaan umum daerah (Perpusda) Kabupaten Nganjuk yang terletak di Jl. Diponegoro itu bangunannya kalah megah dengan bangunan distribution outlet (distro) yang berada di seberang jalan, sebelah barat Perpusda itu. Distro yang sebagian besar menjual pakaian itu ber-arsitektur modern dengan tiga lantai, sementara Perpusda ber-arsitektur klasik dengan hanya berlantai satu.

Di samping itu, sebelah utara distro itu juga berdiri swalayan yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Agak ke selatan lagi juga berdiri counter handphone yang tak kalah megah. Bangunan Perpusda itu sendiri terbilang kecil. Satu hal yang membuatnya tampak menonjol adalah halaman ber-ubin yang tampak lebih luas daripada bangunannya.

Berdekatan dengan Perpusda itu, yakni di sisi timur laut juga terdapat perpustakaan keliling. Di sebelah utaranya lagi terdapat bangunan tempat orang membayar listrik. Di bandingkan dengan perpustakaan keliling dan tempat pembayaran listrik tersebut, Perpusda yang paling banyak dikunjungi. Tentu itu wajar sebab sesuai fungsinya, yakni Perpusda tersebut memiliki lebih banyak koleksi buku yang dapat dibaca di tempat maupun dipinjam oleh pengunjung. Peminjaman itu bisa dilayani setelah pengunjung menjadi anggota Perpusda. Peminjaman pun masih dilakukan dengan cara manual. Di samping itu, di Perpusda sekarang juga menyediakan dua jenis koran yang hanya bisa dibaca di tempat.

Begitu memasuki Perpusda maka seorang pengunjung perlu menulis daftar hadir. Petugas Perpusda yang kini biasanya ditempati oleh tiga siswi jenjang Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) biasanya mengingatkan pengunjung yang belum menulis daftar hadir. Sementara itu, pengunjung yang membawa barang, misalnya tas dan jaket maka perlu di taruh di rak. Tas, misalnya tidak boleh dibawa masuk ke ruang koleksi buku. Itu dilakukan demi keamanan dan menghindari kecurigaan, seperti pencurian terhadap koleksi buku milik Perpusda.

Perpusda sendiri terdiri atas tiga ruang. Dari sisi barat, ruang pertama, ada ruang untuk peminjaman yang dilayani oleh petugas, rak tempat koleksi buku khusus seperti kamus, dan rak koran. Ruangan itu pun untuk membaca koran. Di sisi barat, di balik jendela agak di sisi utara juga ada warung makan dengan bangunan semi permanen. Lewat jendela, terkadang aroma aktifitas dapur dari warung itu sampai ke ruang pertama Perpusda. Tentu saja tidak lazim dilakukan oleh pengunjung Perpusda jika membeli makan dari warung itu dan dimakan di ruangan tersebut.

Apalagi membelinya lewat jendela. Sementara itu di balik di jendela itu sudah merupakan trotoar dan jalan yang lalu lintas kendaraannya terbilang padat untuk kawasan kota Nganjuk. Apalagi dari alun-alun kota Nganjuk, posisi Perpusda itu berjarak sekitar 2 km ke arah timur.

Aktifitas yang menonjol di ruangan pertama ini adalah membaca koran. Rata-rata pada hari biasa ada lima orang yang membaca koran. Umumnya pembaca koran berasal dari kalangan remaja dan dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk menambah kenyamanan saat membaca, khususnya di waktu suhu udara yang panas di atas plafon itu juga ada satu kipas angin.

Di ruangan itu pula biasanya juga ada sejumlah buku yang ditaruh dalam lemari kaca yang berbentuk meja. Buku itu merupakan buku koleksi terbaru Perpusda. Sebagai koleksi terbaru, buku itu umumnya belum bisa dipinjam oleh pengunjung. Baru setelah buku itu di input maka bisa dipinjam. Sebagaimana buku-buku koleksi milik Perpusda, buku-buku di dalam lemari itu telah diberi nomor kelas dan telah disampuli plastik.

Kemudian, sejak 29 Agustus 2009, ruang pertama tersebut telah diberi pendingin udara (air cold atau AC). Itu bertepatan dengan pelaksanaan puasa yang hampir satu minggu. Keberadaan alat pendingin tersebut semakin meningkatkan kenyamanan pengunjung Perpusda. Meskipun sudah ada AC, tetapi sebuah kipas angin biasanya masih difungsikan. Keberadaan AC dengan suhu udara yang sejuk mirip di pegunungan itu juga membuat suasana berbeda. Misalnya, sekarang jendela ditutup rapat. Begitu juga dengan pintu masuk Perpusda. Itu pun membuat suasana ruangan itu berbeda dibandingkan dengan sebelum dipasang AC.

Namun, sayang, AC itu hanya difungsikan selama beberapa hari. AC memang masih terpasang di ruangan pertama tersebut, tetapi AC tidak difungsikan. Keadaan ruangan itu pun kembali seperti sebelum ada AC. Misalnya, jendela di ruangan itu dibuka. Sementara itu, jika udara panas maka satu kipas angin yang menggantung di plafon dinyalakan.

Bergeser ke ruang timurnya, yang dihubungkan dengan satu pintu ada ruang kedua. Di ruangan ini ada rak tempat untuk menaruh koleksi sejumlah majalah. Ruangan ini lebih sempit daripada ruang pertama. Di ruangan ini pula ada ada papan tulis yang bertuliskan kondisi statistik, seperti jumlah pengunjung dalam satuan bulan, jumlah buku yang dipinjam, dan jenis buku yang dipinjam. Di ruangan ini biasanya juga diputar radio dengan volume suara yang rendah.

Kemudian, masih dihubungkan oleh sebuah pintu, yakni ruangan ketiga ada lima rak, tempat untuk meletakkan berbagai jenis buku yang dimiliki oleh Perpusda. Agaknya koleksi Perpusda lebih banyak buku jenis pelajaran sekolah dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan Sekolah Menangah Atas (SMA) atau yang sederajat. Meskipun demikian, juga ada buku-buku jenis lain seperti buku agama, sastra, komik, dan jenis-jenis buku lainnya.

Di ruangan ketiga ini, sekarang telah dipasang AC sehingga membuat ruangan lebih sejuk. Di samping itu, dua kipas angin juga menggantung di plafon di ruangan itu. Tampaknya, dua kipas angin itu telah lebih dulu dipasang. Karena ruang ber-AC maka seluruh jendela kaca di ruangan ketiga itu pun ditutup dan merokok pun tidak diperbolehkan. Dibandingkan dengan ruangan pertama dan ruangan kedua, ruangan ketiga ini paling luas.

Di depan ketiga ruangan itulah pengunjung Perpusda biasanya memarkir kendaraannya. Umumnya jenis kendaraan seperti motor dan sepeda angin. Di depan ruangan pertama dipasang atap agar kendaraan tidak kepanasan. Selain itu juga untuk memarkir kendaraan di saat hujan. Kemudian, di depan ruangan kedua tumbuh pohon mangga yang juga dapat meneduhkan kendaraan, khususnya dari sinar matahari. Selain itu, pohon mangga itu juga berfungsi menyejukkan halaman depan ruang Perpusda tersebut.

Sampai kini pada jam kerja, Perpusda Kabupaten Nganjuk masih tetap melayani pengunjungnya. Misalnya peminjaman buku maupun tempat membaca koran. Tentu saja Perpusda masih memiliki kekurangan-kekurangan. Akan tetapi, itu sepertinya tidak menghalangi pengunjungnya untuk datang ke Perpusda. Oleh pengunjungnya, Perpusda masih menjadi harapan untuk mendapatkan informasi.