Rabu, 26 Mei 2010

Tolong, Jalan ini Diperbaiki!


Gambar dipinjam dari sini.

Tolong, Jalan ini Diperbaiki!

Suatu hari saya pernah menulis di facebook tentang tiga titik jalan yang tergolong rusak parah di Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk. Tiga titik jalan yang rusak parah itu adalah fakta. Saya tidak bohong. Sebagai orang yang tinggal di Desa Balongrejo saya sering melewati tiga titik jalan yang rusak itu. Jalan itu tergolong vital sebab paling tidak dilalui oleh orang-orang dari empat dusun.

Saya sadar bahwa tulisan saya di dinding facebook itu mungkin salah alamat. Itu karena facebooker-facebooker yang ada di akun facebook milik saya itu hampir semuanya adalah teman-teman saya. Artinya, tidak ada satu pun di antara mereka yang bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (PU). Dinas PU inilah yang dianggap berkewajiban memperbaiki jalan yang rusak itu dan orang-orang di desa saya pun sudah mengetahui ini.

Waktu itu ada pula yang mengomentari bahwa tulisan saya itu hanya protes pribadi. Itu karena teman-teman saya juga tidak bisa berbuat banyak. Namun, ada pula yang menyarankan agar menghubungi Dinas PU. Dalam tulisan di facebook itu pun saya sekalian bercerita bahwa saya pernah menjadi korban dari jalan yang sampai saya tulis artikel ini belum juga diperbaiki.

Baiklah saya akan melukiskan tiga titik jalan yang rusak itu. Seandainya saya memiliki kamera, apalagi yang digital, insya Allah saya akan memotretnya. Sebuah foto atau gambar terkadang lebih efektif untuk menyampaikan pesan daripada tulisan. Meskipun demikian, masing-masing memiliki kelebihan dan kelamahan masing-masing.

Satu titik yang rusak terletak di selatan Dusun Wates. Jalan yang lebar aspalnya sekitar 3 meter itu pada titik itu ada yang bergelombang atau berlubang-lubang sekitar sepanjang 5 meter. Kedalaman lubang sendiri ada yang mencapai 30 cm. Lubang-lubang itu jika musim hujan seperti sekarang digenangi oleh air. Terkadang pengendara yang belum tahu maka akan merasa ragu untuk melewatinya, seberapa dalam lubang yang tergenangi oleh air itu.

Di titik ini pernah diratakan oleh salah seorang pekerja yang biasanya bekerja untuk Dinas PU di kebupaten ini. Memang, setelah itu jalan menjadi rata. Namun, lapisan jalan masih gembur sehingga beberapa hari kemudian kembali rusak seperti semula.

Sebetulnya di sepanjang jalan di Desa Balongrejo ini ada beberapa titik yang bergelombang. Namun, di tiga titik itulah yang terparah dan rawan mencelakai pengendara. Saya mendengar sendiri dari orang-orang di kampung saya tentang orang-orang yang celaka atau jatuh di tiga titik maut itu.

Kemudian, satu titik jalan yang kedua masih terletak di barat dusun tempat tinggal saya. Lebar jalan masih sama dengan di titik di selatan Dusun Wates. Namun, jalan yang rusak di titik ini hanya sepanjang sekitar 3 meter. Di titik yang aspalnya sudah mengelupas ini juga bergelombang.

Titik jalan yang ketiga yang juga rusak adalah di utara Dusun Gawok. Kata orang setempat titik maut ini pernah mencelakakan seorang pedagang nasi goreng. Nasinya sampai tumpah setelah gerobaknya terguling saat melintas di malam hari. Ketiga titik jalan yang sama-sama berada di tengah sawah ini tidak ada penerangan.

Faktor pemercepat jalan yang rusak itu sendiri karena sering dilewati oleh kendaraan bermuatan berat. Misalnya, pikap yang mengangkut gabah maupun truk yang juga mengangkut gabah yang bisa mencapai 5 ton. Memang, kendaraan pengangkut gabah hanya beroperasi di masa panen. Akan tetapi, paling tidak itu turut memengaruhi kerusakan jalan, di samping struktur tanah maupun teknik pengaspalan jalan di titik-titik yang rusak.

Memang, sampai saat ini kendaraan masih bisa melewati tiga titik maut itu. Namun, titik yang rusak itu memaksa setiap kendaraan harus melambat. Jika tidak maka pengendara kemungkinan akan celaka. Entah itu pengendara sepeda angin, sepeda motor, apalagi kendaraan roda empat.

Kemudian, 13 Mei 2010 yang lalu saya menulis lewat short message service (SMS) tentang tiga titik jalan yang rusak itu di sebuah televisi lokal, yakni yang mengudara di Nganjuk. Untuk kali pertama, televisi itu menampung laporan peristiwa yang terjadi di sekitar pemirsa televisi tersebut. Saya sendiri saat itu ikut-ikutan sebab beberapa hari sebelumnya beberapa orang juga melayangkan isi yang sama. Mereka mengeluhkan jalan yang rusak di wilayahnya.

Saya pun kemudian pesimis jalan yang rusak itu akan segera diperbaiki. Itu saat membaca begitu banyak SMS di televisi itu yang juga mengeluhkan tentang kerusakan jalan di wilayahnya. Jangankan kerusakan jalan seperti itu, pada berita yang lain di televisi lokal itu juga memberitakan tentang inspeksi mendadak (sidak) tentang jembatan yang tidak sesuai dengan besaran teknis (bestek). Sementara itu, di sudut sana yang melanggar hukum, ada oknum pejabat negara yang menggelapkan pajak.

Memberdayakan orang-orang kampung agar memperbaiki jalan yang rusak itu juga sangat sulit, khususnya mengenai biaya, waktu, dan tenaga. Dalam anggapan mereka itu sudah menjadi urusan Dinas PU. Pada saat yang sama, terdapat persepsi antara urusan negara dan urusan masyarakat sipil. Anggota masyarakat sipil sebetulnya mengharap agar jalan yang rusak itu segera diperbaiki oleh negara. Namun, negara melalui Dinas PU belum juga sigap.

Tolong, jalan ini diperbaiki!

Sabtu, 22 Mei 2010

Lokalisasi Guyangan

Lokalisasi Guyangan

Anda hendaknya jangan salah pengertian tentang judul ini. Saya hanya berusaha mengemukakan satu potret sosial, tentang sebuah lokalisasi. Keinginan untuk menulis tentang keberadaan lokalisasi itu sebetulnya sudah cukup lama. Keinginan itu terlintas saat suatu hari saya melintas di kawasan tersebut.

Saya memang tidak begitu tahu sejarah lokalisasi di Desa Guyangan, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk. Artinya, saya tidak tahu sejak kapan lokalisasi itu ada. Meskipun saya tidak tahu persis, tetapi saya dapat memperkirakan lokalisasi itu telah ada lebih dari 35 tahun. Itu didasarkan atas keterangan dari sejumlah orang di dusun tempat saya tinggal. Hampir setiap orang dewasa di kampung ini tahu keberadaan lokalisasi itu.

Kata “lokalisasi” ini sengaja dipakai sebab lebih halus daripada kata “bordil” atau “rumah pelacuran” atau “tempat prostitusi”. Sama halnya, pekerja seks komersial (PSK) lebih halus daripada kata “pelacur” atau dalam bahasa Jawa ada istilah “lonte”. Ada lagi sebuah kiasan yang halus, yakni “kupu-kupu malam”.

Dari tempat tinggal saya, jalan di kawasan itu merupakan salah satu jalur menuju ke stasiun, terminal, dan polisi resort (polres). Bahkan, untuk ke Gedung Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nganjuk juga melewati jalan di lokalisasi tersebut. Jarak antara DPRD dengan lokalisasi itu sendiri kurang lebih 2,5 km. Sejumlah bank, hotel, bengkel mobil, sebuah pasar sapi, beberapa tukang tambal ban mobil, servis radiator juga tidak terlalu jauh dari kawasan lokalisasi tersebut. Bagian timur, selatan dan barat lokalisasi itu sendiri merupakan areal persawahan lahan basah yang biasanya ditanami padi.

Jalan di kawasan itu sendiri tergolong strategis dan ramai. Dari arah selatan terdapat sepanjang jalan alternatif dari Kediri-Nganjuk, terutama kendaraan barang atau truk besar. Kawasan lokalisasi itu sendiri dilalui oleh jalan provinsi yang menghubungkan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah. Juga dikenal dengan jalan raya Madiun-Surabaya atau Surabaya-Madiun.

Di sebelah barat dari lokalisasi itu juga terdapat jembatan timbangan tempat kendaraan barang, khususnya truk yang melapor atas barang bawaanya. Di sisi utara pemukiman lokalisasi itu sendiri merupakan hilir mudik sekaligus tempat biasa berhentinya truk-truk besar atau truk gandeng. Jadi, maklum, di tepi jalan itu ada sejumlah tukang tambal ban kendaraan besar. Sejumlah jasa pencucian kendaraan roda empat ada di tepi jalan ini. Begitu juga dengan warung makan, counter, toko kelontong pun ada di pinggir jalan ini. Dari gambaran ini kiranya kita bisa membayangkan bagaimana situasi di kawasan lokalisasi tersebut.

Agaknya sejumlah kabupaten-kabupaten di Indonesia terdapat lokalisasi. Jangankan lingkup satu negara, dalam lingkup beberapa negara di dunia ini pun terdapat lokalisasi. Perhelatan piala dunia dalam olah raga sepak bola pun kerap muncul pemberitaan tentang praktik prostitusi ini. Mungkin dari itu, sejarah prostitusi se-tua dengan sejarah seks itu sendiri.

Kembali pada lokalisasi di kabupaten di atas. Tidak terkecuali sebuah kabupaten di Jawa Timur, yakni Kabupaten Jember juga pernah ada sebuah lokalisasi. Saat masa orientasi mahasiswa baru tahun 2003 saya bersama teman-teman pernah melewati lokalisasi di Jember itu. Entah tahun berapa, tetapi kalau tidak salah tahun 2006, saat saya masih kuliah di kabupaten itu, lokalisasi sudah ditutup secara resmi. Tentu dalam hal ini tidak lepas dari dukungan politik elite setempat. Namun, pasca penutupan itu saya mendengar berita dari radio bahwa masih terjadi praktik prostitusi liar.

Letak lokalisasi itu sendiri berada di dekat pesisir selatan Jember. “Maklum, sebagai tempat lokalisasi maka keberadaannya agak pelosok,” pikir saya saat itu. Namun, begitu saya kembali ke kampung halaman, di kabupaten tempat saya lahir juga ada lokalisasi. Bahkan, letaknya masih dalam satu kecamatan dengan dusun saya. Letak lokalisasinya pun tidak tergolong pelosok sebagaimana di Jember.

Seandainya lokalisasi itu sebagai wisata seks maka akan dicemooh habis-habisan. Lagi pula, anggota masyarakat kebanyakan menilai bahwa lokalisasi tergolong sebagai penyakit masyarakat. Kiranya tidak ada kebanggaan dari masyarakat Nganjuk atas keberadaan lokalisasi itu. Maka dari itu, tidak seperti tempat praktik dokter, lembaga pendidikan, dan dinas-dinas di kabupaten, di lokalisasi itu tidak ada papan atau prasasti yang menunjukkan itu sebagai lokalisasi.

Hanya saja saat bulan Ramadhan, yakni bulan puasa, lokalisasi itu terlihat berbeda. Pada saat bulan itu lokalisasi itu sepi pertanda “libur”. Jalan atau gang masuk di lokalisasi itu pada bulan puasa juga terlihat ditutup dengan anyaman bambu yang mempertegas bahwa lokalisasi itu tutup untuk sementara.

Namun, mengapa lokalisasi itu tetap berada sampai sekarang? Kita tahu bahwa di lokalisasi itu juga berputar modal. Ada kepentingan ekonomi juga yang menyertainya. Entah itu dari PSK sendiri, pemilik rumah kontrakan, warung-warung, sampai tukang becak. Dan, tentu saja mereka yang mengumbar syahwatnya. Meskipun demikian, alasan ekonomi ini juga tak bisa dijadikan alat pembenar keberadaan lokalisasi.

Kita mungkin juga tahu jika mengikuti pemberitaan media, khususnya koran lokal maka kasus kriminal juga sering terjadi di lokalisasi itu. Misalnya pembunuhan dan penganiayaan. Bahkan, para PSK di lokalisasi juga ber-resiko terhadap HIV dan AIDS, yakni penyakit yang berbahaya itu. Atas pertimbangan itu, di Puskesmas Bagor terdapat klinik yang fokus pada orang dengan HIV AIDS (ODH) di lokalisasi tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa umumnya PSK bukan asli orang setempat, melainkan berasal dari kota atau kabupaten lain.

Saya sendiri mengetahui klinik itu dari seorang petugas di klinik tersebut. Saya mengenal petugas itu saat saya melakukan tugas jurnalistik. Ya, dulu saya sempat menjadi reporter sebuah radio, tetapi hanya selama tiga bulan. Sementara itu, mengenai berapa jumlah ODH, berapa jumlah PSK di lokalisasi Guyangan, dan bagaimana praktik prostitusi di lokalisasi itu saya tidak begitu tahu. Tentu lokalisasi di Guyangan itu tak sebesar seperti lokalisasi Dolly di Surabaya.

Dalam kaitan itu, saya terkadang berpikir tentang bagaimana kehidupan anak-anak di lokalisasi tersebut. Pikiran itu pun terlintas saat saya melewati kawasan itu, saat melihat anak-anak sedang bermain di pemukiman tersebut. Itu jika melihat lingkungan itu sebagai lokalisasi.

Senin, 17 Mei 2010

Mencari Hari yang Baik


Gambar dipinjam dari sini.

Mencari Hari yang Baik

Judul di atas bukan judul sebuah lagu. Jadi, saya tidak bermaksud membuat lirik lagu. Bukan pula mencari seseorang bernama “Hari”. Judul itu terbersit secara tiba-tiba saat saya kesulitan akan memulai menulis cerita pendek (cerpen). Lagi pula, kali pertama dan kali terakhir saya menulis karya fiksi itu pada semester pertama saat kuliah. Itu pun hanya satu cerpen.

Di samping kesulitan menulis cerpen, judul di atas juga terdorong oleh cara paman saya dalam membeli motor. Paman saya yang orang Jawa dan seorang santri berpaham keagamaan NU itu membeli motor milik paman saya yang lain. Pembayaran sudah dilakukan hampir dua minggu yang lalu secara lunas. Namun, motornya baru diambil pada Rabu Kliwon, 12 Mai 2010. Padahal, begitu uang dilunasi, paman saya sudah bisa mengambil motornya. Namun, dengan alasan mencari dan menentukan hari yang baik maka motor baru diambil pada hari itu.

Baiklah, kembali pada judul itu. Judul itu terkait dengan mencari hari yang baik dalam kepercayaan orang Jawa. Misalnya mencari hari yang baik saat seseorang dikhitan, saat seseorang akan menikah, sampai mencari hari yang baik membeli sepeda motor. Momentum-momentum seperti itu dianggap sebagai keputusan yang penting dalam hidup dan sakral sehingga perlu dicari dan ditentukan hari yang dianggap baik.

Tentu masih banyak contoh-contoh momentum lainnya. Misalnya, seseorang yang akan menjadi suami istri maka hari lahir, yakni tiron-tiron-nya harus sesuai. Tiron adalah hari lahir seseorang berdasarkan kalender Jawa, yakni Wage, Kliwon, Legi, Pahing, dan Pon. Kesesuaian tiron-tiron itu sendiri dianggap memengaruhi kehidupan rumah tangga. Entah itu berkaitan dengan kelanggengan kehidupan rumah tangga, perolehan rezeki, dan lain sebagainya.

Pencarian hari pun tidak sembarangan. Biasanya pencarian hari dilakukan oleh seseorang yang dianggap mampu melakukannya. Biasanya orangnya disebut dengan dongke. Mungkin kita mengetahui buku Primbon. Buku itulah yang juga menjadi dasar dalam mencari dan menentukan hari yang baik.

Sistem kepercayaan itu umumnya masih diacu oleh kalangan tua, yakni kira-kira mereka yang lahir sebelum tahun 1980. Dalam hal ini biasanya kalangan tua-lah yang biasanya bisa mencari maupun menentukan hari yang baik. Sekali lagi bahwa ada momentum-momentum atau peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidup seseorang. Contohnya seperti disebut di atas.

Dalam kepercayaan orang Jawa, hal-hal seperti itu perlu dibuat suatu “hitungan” tertentu. “Hitungan” inilah yang juga dipakai, misalnya untuk mencari dan menentukan hari yang baik. Pada saat yang sama, saya menghadapi dilema antara menuliskan judul di atas dengan pétungan atau “hitungan” dalam masyarakat Jawa.

Kembali pada tulisan ini, selama rentang waktu tersebut, kalangan tua kiranya sudah banyak mengetahui kasus yang menunjukkan kebenaran dari “hitungan” tersebut. Misalnya, pasangan suami-istri yang tiron-nya sesuai, rezeki yang diperoleh suami istri tersebut juga lancar.

Namun, apakah “hitungan” itu selamanya tepat? Mungkin Anda sudah tahu jawabannya bahwa “hitungan” itu tidak selamanya tepat. Meskipun demikian, pada beberapa kasus “hitungan” itu memang ada kebenarannya. Namun, ketidaktepatan itu tidak serta merta membuat “hitungan” ditinggalkan, sementara sebagian orang masih mempercayainya.

Sementara itu, kalangan muda umumnya sangat jarang yang bisa mencari maupun menentukan hari yang baik. Sebagian di antara mereka bahkan kurang percaya. Paling tidak itu berdasarkan pendapat dari beberapa teman-teman saya. Kekurangpercayaan di antara kalangan muda itu bukan berarti menganggap momentum-momentum seperti telah dicontohkan tadi tidak penting. Namun, dasar untuk mencari maupun menentukan hari yang baik itu oleh kalangan muda terkadang dianggap sebagai ramalan biasa, bahkan mungkin dianggap sebagai tidak masuk akal.

Bisa jadi banyak kalangan muda dalam masyarakat Jawa menyerahkan urusan pencarian dan penentuan hari yang dianggap baik ini pada kalangan tua. Lagi pula, mengenai itu tidak memunculkan konflik yang keras di antara kalangan muda dan kalangan tua dalam masyarakat Jawa.

Meskipun demikian, terkadang muncul kekhawatiran di antara kalangan tua atas sikap sebagian besar kalangan muda ini. Dengan sikap seperti itu maka lama-kelamaan banyak kalangan muda yang tidak lagi mengenal “hitungan” dalam mencari dan menentukan hari yang baik.


Senin, 03 Mei 2010

Nasi Pecel


Gambar dipinjam dari sini.

Nasi Pecel

Rabu, 28 April 2010, setelah maghrib, tiba-tiba dalam pikiran saya terlintas kata “nasi pecel”. Mungkin dua kata itu bisa saya jadikan judul tulisan untuk blog saya. Akhirnya, seketika itu juga saya berpikir tentang apa-apa yang bisa saya kembangkan menjadi sebuah paragraf sampai menjadi artikel. Komputer pun saya nyalakan. Musik aliran pop dalam format mp3 pun saya putar. Saya pun mulai mewujudkan keinginan saya, menulis artikel ini.

Mungkin judul ini asal-asalan sehingga isinya barangkali berupa artikel yang asal tulis. Saya pun tak menyangkal bahwa saya kehabisan bahan tulisan. Maka dari itu, apa saja yang terlintas di pikiran, saya wujudkan dalam bentuk tulisan. Lagi pula, banyak penulis mengatakan bahwa pembaca juga berperan dalam menilai tulisan. Jadi, saya tidak tahu nasib tulisan saya sebelum orang lain membacanya.

Saya pun baru mematangkan tulisan ini pada Minggu, 2 Mei 2010. Maklum, saya biasanya perlu waktu beberapa hari sampai sebuah tulisan saya publikasikan di blog. Meskipun saya mengakui bahwa saya asal tulis saja, tetapi saya perlu mempertimbangkan layak tidaknya sebuah tulisan saya publikasikan.

Saya sendiri tidak begitu tahu tulisan saya ini tergolong jenis apa. Syukur jika ada pembaca yang menilai ini sebagai artikel. Beberapa penulis menyarankan agar saat menulis kita menikmati aktifitas menulis. Pada saat yang sama, kita berproses dalam menulis. Di samping itu, ada juga yang menyarankan, untuk belajar menulis maka sering-seringlah menulis tentang apa saja. Saya pun sepakat dengan saran tersebut.

Kembali pada nasi pecel. Kebanyakan dari kita sebagai orang Indonesia tentu tidak asing dengan nasi pecel. Nasi pecel adalah makanan yang bahan utamanya adalah nasi, sambal kacang, rebusan sayur (kulupan) dan rempeyek. Namun, umumnya nasi pecel diberi gorengan tahu yang diris kecil-kecil, irisan mentimun, daun kemangi, dan lain-lain. Sebetulnya tanpa menyebut makanan pun kebanyakan orang sudah tahu bahwa nasi pecel itu adalah makanan.

Pikiran saya tentang nasi pecel setelah maghrib itu pun karena saya teringat dengan warung nasi pecel di dekat pasar kecamatan, sekitar 6 km dari rumah saya. Saya akui bahwa di warung itu nasi pecelnya terbilang lezat. Meskipun sambal kacangnya tidak pedas, tetapi terasa nendang. Rempeyeknya pun gurih. Harganya pun cukup terjangkau, yakni satu porsi Rp 3.000,-. Kalau ingin lauk yang lain, ada gorengan ayam kampung, telur puyuh, daging sapi, tahu, dan lain-lain. Minumannya pun ada beberapa jenis, misalnya teh hangat.

Saya memang tidak terlalu sering membeli nasi pecel di warung tersebut. Lagi pula, saya bukan petualang wisata kuliner. Namun, suatu hari saya akan membeli nasi pecel lagi di warung tersebut. Mungkin saya akan membeli di cabangnya yang baru. Cabang yang baru ini pun menandai bahwa pemilik warung tergolong sukses mengembangkan warung nasi pecelnya.

Soal kata, lidah memang bisa bohong, tetapi soal rasa, lidah nggak bisa bohong. Itulah slogan sebuah mie instan dalam iklan di televisi. Agaknya saya juga ingin jujur dengan rasa nasi pecel antara saat saya kuliah dulu dengan nasi pecel di warung yang saya ceritakan tadi. Dulu, saat kuliah saya sering membeli nasi pecel untuk makan malam. Namun, itu tadi, sambal dan rempeyeknya masih lebih lezat di warung di dekat pasar kecamatan itu.

Berbicara tentang nasi pecel, saya juga teringat dengan masa kecil saya. Kira-kira pada akhir 1980-an saya diajak ibu saya membeli nasi pecel. Seingat saya waktu itu saya masih duduk di taman kanak-kanak (TK). Waktu itu hanya ada satu penjual nasi pecel sehingga harus antre. Penjual nasi pecel itu membuka dagangannya di pinggir jalan selepas adzan subuh. Waktu itu belum ada listrik. Lampu minyak tanah sebagai penerangannya.

Nasi pecel itulah sebagai sarapan pagi sebelum berangkat sekolah. Acara menyantap sarapan dengan nasi pecel pun selalu terasa lezat di lidah. Kecuali saat sakit maka nafsu makan pun berkurang. Agaknya dengan sarapan nasi pecel itulah bersekolah menjadi lebih bersemangat.

Sekarang, tahun 2010, banyak rumah tangga telah memiliki rice cooker untuk menanak nasi, khususnya di kampung halaman saya ini. Memasak nasi pun jadi relatif mudah, tinggal dicolokkan ke listrik. Orang yang mengantre nasi pecel di pedagang nasi pecel pun tidak seramai sebelum ada listrik.

Meskipun demikian, beberapa orang mengatakan bahwa makanan zaman sekarang rasanya tidak se-enak dulu. Tidak terkecuali nasi pecel. Dulu, saat makan nasi pecel lidah terasa benar-benar merasakan nasi pecel. Mungkin sekarang, saat orang makan nasi pecel agaknya hanya merasakan kenyang di perut, tetapi mungkin tidak membekas di lidah. Selera orang memang berbeda-beda.