Rabu, 23 Juni 2010

Panen yang Tidak Menggembirakan


Gambar diunggah dari sini.

Panen yang Tidak Menggembirakan

Rabu, 17 Juni 2010 Pak Tomo (59 thn) memanen padi. Dengan sistem borongan, Pak Tomo mempekerjakan 6 pekerja yang seluruhnya laki-laki. Dengan luas lahan sekitar seperempat bahu (1 bahu sekitar 7.000 meter persegi) pemanenan dimulai sekitar jam 11.00 dan berakhir sekitar jam 14.00. Pak Tomo sengaja meminta padi dipotong pada siang hari agar kandungan air tidak terlalu banyak.

Begitu selesai dipotong, padi ditaruh ke pikap. Lalu dikumpulkan ke rumah keponakannya Pak Tomo. Keponakanannya itu yang nanti mendapatkan jerami. Namun, biaya perontokan padi menjadi kewajiban keponakannya. Setelah dirontokkan, dua hari kemudian, Pak Tomo menjualnya seharga Rp 2.350,- per kg. Perolehan panenan saat itu 410 kg (4,10 kuintal). Akhirnya Pak Tomo hanya mengantongi Rp 963.500,-. Dengan hasil seperti itu, Pak Tomo jelas merugi.

Padahal, sebagian padi yang dikumpulkan itu sebagian berasal separo sawah milik Pak Tomo di lahan yang lain. Sebelumnya sawah seluas seperempat bahu itu bisa menghasilkan padi, kering sawah, hampir 12 kuintal. Apalagi saat itu Pak Tomo dapat menjual padinya seharga Rp 2.600,- per kg. Panen padi pada musim ini pun tidak menggembirakan. Biang keroknya hama sundep. Penyemprotan dengan pestisida pun sudah dilakukan. Namun, hama sundep tetap membandel.

Pantas saja. Daun tanaman padi pucuknya berwarna putih. Bulir padi banyak yang kosong dan berwarna putih. Bahkan, sebagian tanaman tidak bisa tumbuh. Sebelum bulir padi muncul, daun tanaman sudah berwarna merah. Sementara gulma tumbuh normal dan terlihat subur. Itulah akibat serangan hama sundep.

Sebagian besar tanaman padi milik petani yang juga terserang hama sundep. Produksi padinya menurun. Namun, tanaman padi milik sebagian petani tidak diserang hama sundep yang parah. Masa juki (masa tanam Maret s.d. Juni) seperti sekarang produksi padi memang menurun. Petani pun sudah terbiasa dengan keadaan itu. Namun, tingkat kerusakan padi tidak seperti pada musim ini. Parah. Faktor cuaca, waktu tanam, dan jenis bibit pun turut memengaruhi keberadaan hama sundep.

Dengan kerusakan padi seperti itu, petani pun masih berkewajiban membayar utang pada kelompok tani yang menyuplai pupuk. Satu dua petani mulai berkomentar tentang bisa tidaknya membayar utang tersebut. Jika mereka tidak membayar utang maka masa pemupukan mereka tidak bisa berhutang pupuk lagi pada kelompok tani. Andai saja petani di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk itu mendapatkan asuransi atas kerusakan padi.

Namun, dipastikan petani di dusun itu akan menanam padi lagi. Lagi pula, itulah mata pencaharian mereka. Jika tidak menanam maka mereka tidak bisa makan. Selain itu, masa gadu (masa tanam Juli s.d. Oktober) ini umumnya tanaman pada bisa tumbuh subur. Terlebih pada bulan itu merupakan musim kemarau. Namun, sebagaimana musim kemarau biaya perawatan tanaman padi juga tinggi. Misalnya, pengairan dengan diesel. Otomatis petani akan membeli solar selama pengairan. Semoga masa gadu ini memihak pada petani.

Di Toko Buku


Gambar diunggah dari sini.

Di Toko Buku

Selasa, 15 Juni 2010 dengan mengendarai motor seorang teman mengajak saya pergi ke toko buku di Kota Kediri. Kediri adalah sebuah kabupaten yang membatasi Kabupaten Nganjuk di sebelah selatan. Kemarin, kami menempuh waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke kota. Maklum, di kabupaten tempat kami tinggal tidak ada toko buku seperti di Kediri.

Keberadaan toko buku di Kediri pun menandai bagaimana perkembangan Kediri. Khususnya cermin masyarakat akan kebutuhan buku. Dari segi perkembangan kabupaten, Kediri memang lebih besar daripada Nganjuk. Setahu saya, dua toko buku terkenal di Kediri baru ada akhir-akhir ini. Itu berbeda dengan keberadaan toko buku yang besar di Surabaya, Malang, dan di Jember. Apalagi di Yogyakarta maupun di Jakarta.

Saya sendiri hampir satu tahun ini tidak mengunjungi toko buku. Berbeda saat saya masih kuliah dulu. Paling tidak dua bulan sekali saya pergi ke toko buku meskipun tidak membeli buku. Jarak indekos saya dengan toko buku pun relatif dekat. Kunjungan ke toko buku hari itu ingin mengobati kerinduan saya terhadap tempat buku dipajang dan dijual.

Sebelum berangkat, saya menyiapkan uang Rp 65.000,-. Di dua toko buku itu saya berharap menemukan buku bagus. Nama dua toko buku yang terbilang terkenal itu pun tak asing lagi bagi saya. Berbagai jenis buku dari ratusan penulis dan puluhan penerbit akan saya temukan di dua toko buku itu. Dengan uang itu saya berniat membeli buku. Itu pun jika ada buku yang menurut saya bagus.

Pukul 07.45 kami tiba di toko buku A. Ternyata belum buka. Kami pun menuju toko buku B. Toko buku B memang sudah buka, tetapi pintu gerbang belum dibuka penuh sehingga kami belum bisa masuk. Beberapa menit kemudian kami masuk. Kami pengunjung atau pembeli pertama di pagi hari itu.

Begitu masuk saya langsung melihat buku-buku yang dipajang di sana, satu persatu. Seketika itu saya merasa tidak menemukan buku yang bagus. Memang, saya hanya melihat sebagian kecil buku yang dipajang di toko buku itu. Seakan-akan saya bisa menebak isi buku itu. Karena itu, tidak ada satu pun buku yang menarik bagi saya.

Saya pun berpikir bahwa buku merupakan benda seni. Hanya orang-orang tertentu yang merasakan manfaatnya. Layaknya benda seni maka tergolong barang yang mewah. Karena itu, bukan sebagai barang primer sebagaimana makanan. Jika di toko buku itu terpajang ratusan buku, akankah buku-buku itu terjual? Apalagi harganya selangit. Jangan-jangan itu menandai akhir dari minat baca saya. Kurang lebih itulah pikiran awam saya terhadap buku.

Misalnya, buku keagamaan, yakni keislaman. Dalam hati saya berkata, “paling-paling itu seperti buku yang pernah saya beli”. Judulnya bagus. Sampulnya yang tebal dan keren juga bagus. Namun, begitu saya membaca isinya, ternyata membuat saya kecewa. Isinya normatif sehingga saya merasa tidak menemukan pencerahan dari buku itu. Padahal, buku itu bagi saya terbilang mahal. Karena itu, saya merasa trauma membeli buku. Mungkin itu perasaan saya saja.

Saya juga ingin mengatakan, buku terjemahan berjudul Jangan Bersedih (2004) karya ‘Aidh bin ‘Abdullah Al-Qarni tergolong inspiratif. Menggebrak Dunia Mengarang (1992) karya Eka Budianta juga bisa menggugah saya. Setelah sekian lama mencari buku itu akhirnya beberapa waktu yang lalu saya menemukannya di rak bawah di perpustakaan deaerah Kabupaten Nganjuk. Menjadi Manusia Pembelajar (2004) karya Andreas Harefa juga motivasional. Paling tidak tiga buku itulah yang menurut saya bagus. Tidak semua buku itu bagus, tetapi ada juga buku yang menurut saya bagus.

Kemudian, saat di toko buku B, perasaan saya seperti saat di toko buku A. Di toko buku B ini, begitu kami masuk, kami disapa oleh dua orang karyawannya. “Selamat pagi, mas, silakan...,” kata dua orang karyawan. Di toko buku B ini memang ada beberapa buku yang bagus. Namun, saya betul-betul mengendalikan diri antara keinginan dan kebutuhan. Sebagaimana yang pernah saya alami, saya membeli buku karena keinginan. Padahal, saya tidak membutuhkannya. Lagi pula, saya tidak punya uang.

Kami pun pulang. Berbeda dengan teman saya. Dia membeli buku sekitar 10 judul. Dia menghabiskan uang sekitar Rp 250.000,-. Beberapa hari kemudian, saya mengiriminya pesan pendek. Saya ingin membaca sejumlah buku yang ia beli alias mencari gratisan.


Kamis, 17 Juni 2010

Berorganisasi? Penting Nggak Sich?

Berorganisasi? Penting Nggak Sich?

Saya menulis artikel dengan judul itu sebagai orang yang pernah berorganisasi. Saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) saya pernah bergabung dengan salah satu ekstrakurikuler, yakni kerohanian Islam. Secara efektif saya masuk kepengurusan pada 2001-2002. Ketika itu hampir selalu setiap minggu ada kegiatan organisasi. Sebagian waktu pun tercurah pada organisasi.

Kemudian, saat di perguruan tinggi (PT) saya juga pernah terlibat dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus (Ormek) tingkat fakultas. Namun, karena sesuatu hal, di Ormek ini saya tidak sampai menjadi pengurus. Itu berlangsung pada akhir tahun 2004 dan awal 2005 silam. Di samping itu, saat itu juga pernah terlibat dalam organisasi program studi. Namun, karena sesuatu hal pula, waktu itu saya tidak masuk dalam kepengurusan yang aktif.

Pengalaman berorganisasi di jenjang SMA dan PT itu akan saya bagi dalam tulisan ini. Pengalaman secara personal telah saya ceritakan pada judul Majelis Taklim SMADA Nganjuk di blog ini. Maka dari itu, saya ingin mengemukakan secara umum pengalaman di jenjang SMA maupun PT.

Saya sadari bahwa saat bergabung dengan salah satu organisasi di SMA, saya terbilang ikut-ikutan. Artinya, secara sadar maupun tidak sadar, secara naluriah hati saat itu saya terpanggil untuk masuk dalam organisasi. Sementara mempertimbangkan untung ruginya, saya berharap dengan masuk organisasi itu saya mendapatkan sesuatu yang baru. Entah itu teman maupun pengalaman saat berorganisasi.

Sebetulnya, saat di Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat kelas 3 (sekarang kelas IX) saya juga pernah ikut kerohanian Islam. Namun, kegiatan di jenjang tersebut masih terbatas pada melatih diri dalam seni baca Al Quran. Jadi, pilihan saya untuk ikut kerohanian Islam di SMA juga dipengaruhi oleh pengalaman saya saat di SMP. Selain itu, orang terdekat kita seperti orang tua, saudara, dalam lingkungan tempat tinggal kita biasanya juga memengaruhi minat berorganisasi.

Sebagaimana telah ditulis bahwa naluriah atau kata hati itu pula yang menggiring saya bergabung dalam organisasi. Mungkin ini juga yang melandasi seseorang bergabung dalam organisasi. Dalam hal ini kita bisa berpikir bahwa berorganisasi itu kegiatan yang positif dan normatif. Dalam kaitan ini, hendaknya jangan semata-mata bertujuan, misalnya mendapatkan kekasih, jodoh maupun keuntungan materi. Memang, tujuan seperti itu bisa sulit untuk dipisahkan. Namun, idealnya dalam berorganisasi, kepribadian seseorang dapat lebih terasah.

Lalu, apakah proses diri seseorang harus melalui organisasi? Tidak harus. Juga tidak dimaknai bahwa proses diri seseorang hanya berlangsung pada organisasi yang ada di SMA. Berorganisasi terbilang sebagai salah satu sarana berproses seseorang dalam hidupnya sebagai manusia. Kembali lagi pada panggilan hati tadi. Seseorang yang merasa berorganisasi itu bermanfaat berarti itu penting untuk dirinya. Apabila masih ada sarana lain, selain dalam bentuk organisasi maka berorganisasi itu tidak penting. Dalam hal ini, berorganisasi atau tidak berorganisasi merupakan sebuah pilihan.

Kembali pada organisasi di SMA, pihak sekolah juga mendukung terbentuknya organisasi ekstra kurikuler. Misalnya, sekolah menghimpun sekian persen dana dari sumbangan pendidikan dan pembangunan (SPP) untuk organisasi ekstra kurikuler. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa dana itu dari siswa dan kembali pada siswa.

Di SMA misalnya ada ekstra kurikuler kerohanian Islam, Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, Pencinta Alam, Karya Ilmiah Remaja (KIR), English Club (EC), komputer, bela diri, dan lain sebagainya. Dan, tentu saja organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Itu merupakan wujud dukungan sekolah terhadap keberadaan organisasi ekstra kurikuler. Di samping itu, penilaian partisipasi dalam organisasi pun masuk dalam rapot. Namun, penilaiannya cenderung terpisah, yakni di luar akademis.

Sebagaimana diketahui, sebuah organisasi tidak kosong tanpa kegiatan. Setiap organisasi pun memiliki kegiatan masing-masing. Entah kegiatan itu ditujukan untuk internal organisasi maupun eksternal organisasi. Orang-orang dalam organisasi-lah sebagai penggerak utama yang menjalankan kegiatan. Maka dari itu, seringkali dikatakan bahwa mereka yang beroganisasi atau biasa disebut dengan aktifis hendaknya pintar-pintar mengatur waktu. Paling tidak citra ke-aktifis-an senantiasa dijaga.

Terkadang dalam pelaksanaan kegiatan itu muncul konflik, tetapi juga bisa lahir kata sepakat yang heroik. Bahkan, di kemudian hari bisa jadi modal persahabatan yang abadi. Kita tahu organisasi terdiri atas berbagai pribadi yang juga punya kesadaran, karakter masing-masing. Bukan salah kesadarannya yang memunculkan konflik, tetapi situasi sulit juga bisa memicu konflik. Bagaimanapun juga, konflik dalam organisasi merupakan keniscayaan. Tinggal bagaimana konflik itu disikapi. Toh, konflik itu pula dapat menguji tingkat emosi seseorang.

Kemudian, berorganisasi di jenjang perguruan tinggi (PT) tidak jauh berbeda dengan jenjang di SMA. Dalam kaitan ini seperti dikemukakan di atas. Akan tetapi, tentu saja ada perbedaannya. Di PT, khususnya PT yang besar dan berusia tua, ada organisasi yang intra maupun ekstra. Organisasi mahasiswa intra kampus (Ormik), misalnya pencinta alam, kerohanian Islam, paduan suara dan lain sebagainya. Ormik relatif sama dengan ekstrakurikuler di SMA. Lalu, organisasi mahasiswa ekstra kampus (Ormek), misalnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrat (LMND), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan lain sebagainya.

Pengalaman saya, Ormek-lah yang cenderung dinamis. Momentum pemilihan dekan maupun rektor biasanya melibatkan orang-orang Ormek. Unjuk rasa seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), skandal keuangan negara, biasanya juga dilakukan oleh orang-orang Ormek. Tempat atau rumah yang pada Ormek tertentu disebut dengan komisariat menjadi tempat konsolidasi setiap keputusan organisasi. Jaringan organisasi yang luas pun turut memengaruhi ke-dinamis-an Ormek.

Sebagai organisasi ekstra, secara formal Ormek tidak didukung langsung oleh, misalnya fakultas sebagai lembaga. Tidak seperti Ormik yang didukung oleh fakultas. Entah dalam bentuk dana, fasilitas, keterlibatan kegiatan, dan lain sebagainya. Namun, secara informal, Ormek didukung oleh orang-orang yang tidak mengatasnamakan diri secara kelembagaan. Orang-orang dalam fakultas, misalnya dosen yang merupakan “alumnus” Ormek biasanya membantu, antara lain, dalam bentuk dana untuk kegiatan tertentu.

Jadi, berorganisasi atau tidak berorganisasi, silakan Anda memilihnya.


Jumat, 11 Juni 2010

Dukun, Bidan dan Dokter

Dukun, Bidan dan Dokter

Saat lahir dari rahim ibu saya, proses kelahiran saya dibantu oleh seorang dukun, yakni dukun beranak. Tentu saja waktu itu saya tidak melihat seorang dukun (akrab dipanggil Mbah Dukun, seorang perempuan) yang membantu ibu kandung yang melahirkan saya pada 28 Desember 1984. Mbah Dukun sendiri sudah berpulang pada 2007 yang lalu pada usia yang cukup tua. Sepeninggal beliau, tidak ada lagi penerus dukun bayi. Lagi pula, tidak ada sekolah dukun.

Sekarang penerusnya adalah bidan desa. Artinya, sekarang di kampung saya ini persalinan dibantu oleh seorang bidan, bukan seorang dukun bayi lagi. Namun, jika dulu seorang dukun bayi biasanya juga dimintai tolong untuk memandikan bayi selama beberapa minggu, bidan tidak memandikan bayi. Tugas bidan biasanya cukup memantau perkembangan kesehatan bayi.

Di kawasan pedesaan seorang bidan biasanya sebagai rujukan awal saat orang sakit, khsususnya penyakit yang tergolong ringan. Misalnya sakit diare yang berhari-hari, demam yang berhari-hari, maupun cek kesehatan ibu hamil biasanya merujuk pada seorang bidan. Di samping biaya yang lebih murah dibandingkan dengan dokter, jarak pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) tempat bidan bertugas juga relatif dekat.

Sementara itu, umumnya di kawasan pedesaan tidak ada dokter. Umumnya dokter berada di kawasan perkotaan. Paling tidak seorang dokter berada di kawasan yang strategis. Umumnya seseorang baru pergi ke dokter untuk sakit yang agak berat seperti sakit tifus. Seperti kampung saya sendiri meskipun pedesaan, tetapi tidak termasuk kawasan pelosok. Artinya, dengan jarak sekitar 6 km maka sudah dapat ditemukan tempat dokter praktik. Baik dokter umum, dokter gigi, dan beberapa dokter spesialis seperti spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT).

Sabtu, 05 Juni 2010

Paranormal


Gambar dipinjam dari sini.

Paranormal

Mungkin kita kenal dengan Ki Joko Bodo. Ya, sosok yang nyentrik itu dikenal sebagai salah seorang paranormal. Sosok yang satu itu pula agaknya bisa menggambarkan bagaimana sosok seorang paranormal. Tentu saja sosok Ki Joko Bodo tidak dimaksudkan untuk menggeneralisasikan sosok paranormal. Semata-mata mengambil contoh Ki Joko Bodo sebab dirinya sering muncul di layar televisi. Karena itu, kita barangkali juga akan mengetahui bagaimana penjelasannya, misalnya saat ditanya tentang hari kiamat.

Di Indonesia, khususnya di Jawa, paranormal juga biasa disebut dengan dukun. Bukan dukun beranak, melainkan dukun atau seseorang yang dianggap memiliki kemampuan metafisika. Mungkin karena tidak tampak dalam bentuk fisik maka disebut dengan metafisika. Maka dari itu, seorang dukun biasanya lekat dengan hal-hal mistik atau hal-hal yang gaib, tidak dapat tangkap oleh panca indera.

Kamis, 27 Mei 2010 yang lalu saya sempat berbincang dengan paman saya mengenai seorang dukun, sebut saja inisialnya P. Paman saya sendiri bukanlah seorang dukun. Namun, paling tidak paman saya itu mengetahui sosok dukun itu sebab satu kampung. Buktinya paman saya itu dapat bercerita beberapa hal tentang dukun itu.

Sebelum saya melanjutkan paragraf ini saya ingin mengemukakan beberapa hal. Saya ingin menceritakan beberapa hal tentang dukun yang diceritakan oleh paman saya itu. Sebuah cerita umumnya cenderung subyektif dan mungkin terkesan mendramatisasi. Artinya, suatu cerita kebenarannya masih perlu diuji. Mungkin dalam tulisan ini terkesan membicarakan dukun itu. Mungkin dukun itu tidak tahu, saya menulis di blog ini. Karena itu, semoga saya tidak terkena semacam santet.

Diceritakan oleh paman saya itu bahwa ciri ke-dukun-an sudah melekat pada diri P yang telah beristri dan kini memiliki seorang putra yang masih anak-anak itu. Misalnya dulu, saat masih anak-anak, saat menggembala kambing P pernah dikeroyok oleh beberapa orang sesama penggembala yang juga masih remaja. Namun, P bisa membela diri. P menguasai beberapa jurus bela diri seperti jurus kera.

P sendiri juga berguru pada beberapa orang pintar yang notabene juga seorang dukun. Barangkali dari proses itulah P semakin kukuh sebagai seorang dukun. Pada dasarnya sebutan dukun berasal dari anggapan orang-orang setempat. Selain itu, juga orang-orang yang telah menggunakan jasa P. Misalnya, seseorang yang ingin menjadi lurah dan akhirnya sungguh-sungguh menjadi lurah maka semakin mengukuhkan P sebagai seorang dukun.

Selain itu, menurut cerita orang-orang, P juga dikenal mampu mendapatkan jimat-jimat tertentu. Misalnya, itu berupa keris. Konon, P mampu mendapatkan keris-keris yang ada di kabupaten ini. Dalam hal ini keris itu tidak didapat dengan cara pada umumnya, semisal menyepuhnya. Namun, keris itu didapatkan dengan cara gaib bak cerita fiksi dalam film.

Saat ini P pula yang berperan besar dalam pembangunan sebuah masjid di dusun tempat P tinggal. Bahkan, diceritakan bahwa P pula sebagai donatur tunggal dalam pembangunan masjid itu. Kerena itu, P pun dikenal sebagai seorang santri. Bahkan, ada yang menyebut P dengan panggilan “gus”, layaknya panggilan di lingkungan pesantren. P sendiri memiliki sebuah rumah tingkat dan sebuah mobil.

Dua hal itu pun tak dapat lepas dari profesinya sebagai dukun. P bisa seperti itu, padahal P tidak bekerja, misalnya bertani padi, sebagaimana orang pada umumnya di dusun tempat P tinggal. Sekali lagi, dua hal itu semakin mengukuhkan P sebagai seorang dukun di kampungnya. Sebagaimana diketahui bahwa kliennya P terkadang datang pada siang dan malam hari.

Misalnya, pernah datang seorang klien pada P. Klien itu mengalami masalah piutang pada seseorang. Klien itu meminta bantuan P agar piutangnya bisa segera beres oleh orang yang berhutang. Setelah terbukti beres akhirnya klien itu memberi imbalan pada P, misalnya dalam bentuk uang. Agaknya dari situlah sumber pendapatan P sebagai seorang dukun.

Namun, kesaktian P sebagai seorang dukun cenderung dirasakan oleh orang di luar kampungnya P. Maka dari itu, hampir kliennya P berasal dari luar kampung tempat tinggal. Bahkan, paman saya itu mengatakan bahwa pernah ada kliennya P yang berasal dari luar pulau. P sendiri diketahui juga mengenal bupati yang menjabat sebelum saat ini.

Kemudian, di antara kita mungkin menganggap praktik yang dilakukan oleh dukun sebagai hal yang tidak masuk akal. Namun, sebagian yang lain mempercayai praktik yang dukun lakukan. Itu pun terjadi pada masyarakat kita. Kiranya fenomena Ponari sebagai dukun tiban yang namanya cepat menyebar lewat media, khususnya televisi bisa menunjukkan bagaimana posisi dukun dalam masyarakat kita.

Dalam kaitan itu, saya antara percaya dan tidak percaya dengan praktik dukun. Memang, saya pernah diajak oleh paman saya pada seorang dukun. Bahkan, ayah saya pun pernah mengajak saya pada seorang dukun. Itu saat ada salah satu paman saya yang terkena gangguan prostat meskipun sebelumnya telah mendapatkan perawatan dari rumah sakit. Itulah terkadang dukun menjadi tempat curhat atas beberapa macam masalah dalam hidup dan seringkali inilah fungsi sejatinya.