Kamis, 15 April 2010

Pasca-konversi Tabung Elpiji


Gambar dipinjam dari sini.

Pasca-konversi Tabung Elpiji

Konversi dari minyak tanah ke tabung elpiji memang telah dilakukan, belum genap satu tahun ini. Namun, apakah itu berarti telah banyak orang memakai tabung elpiji untuk memasak? Meskipun sebagian orang telah memakai tabung elpiji, tetapi sampai April 2010 ini ternyata sebagian yang lain memakai kayu bakar. Sementara sekarang sangat jarang orang memasak dengan kompor berbahan bakar minyak tanah. Itu karena harga minyak tanah menjadi melambung semenjak alih bentuk ke kompor gas.

Selama itu, penggunaan tabung elpiji memang sudah disosialisasikan oleh pemerintah, antara lain, lewat televisi. Pada 12 April 2010, malam hari, saya masih menyaksikan sosialisasi penggunaan tabung elpiji itu. Misalnya sosialisasi mengenai hematnya, keamanannya, kemudahannya, dan lain sebagainya. Namun, program berita di televisi juga menayangkan tentang kasus ledakan akibat pemakaian tabung elpiji.

Kembali pada paragraf pertama, paling tidak kenyataan itu terjadi di kampung saya. Dari sekitar 200 kepala keluarga di kampung saya di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk ini perkiraan hanya 25 % yang menggunakan tabung elpiji, yakni yang ukuran 3 kg. Sisanya memakai kayu bakar.

Memang, ada sejumlah alasan mengapa rumah tangga-rumah tangga di kampung saya ini memakai kayu bakar. Biaya antara kayu bakar dan tabung elpiji relatif sama. Maklum, kayu bakar di kampung ini masih bisa didapat dengan mudah. Perkampungan ini masih relatif dekat dengan kawasan hutan. Memasak dengan kayu bakar pun relatif lebih aman jika dibandingkan dengan kompos gas.

Kebiasaan memang kerapkali sulit diubah. Sebelumnya selama bertahun-tahun warga telah terbiasa menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kemudian, agak lebih praktis dengan kompor berbahan bakar minyak tanah. Lagi pula, berita di televisi tentang kasus ledakan tabung elpiji sungguh membuat sebagian warga ketakutan memakai kompos gas. Khususnya rumah tangga yang telah lanjut usia.

Menurut saya, sosialisasi penggunaan tabung elpiji di televisi dan pemberitaan kasus ledakan tabung elpiji yang juga oleh televisi cenderung kontradiktif. Sosialisasi cenderung mirip iklan agar masyarakat menggunakan tabung elpiji sebagaimana telah ditulis pada paragraf kedua. Namun, pemberitaan kasus ledakan tabung elpiji bahwa ada yang sampai merenggut nyawa. Bahkan, terkadang pemberitaan terkesan menonjolkan tentang ledakannya daripada sebab ledakan. Bagaimanapun juga itulah efek dari televisi.

Lagi pula pengalaman di rumah saya, yang juga memakai tabung elpiji, tak selamanya tabung elpiji bisa mudah dipakai. Misalnya, tabung elpiji yang harganya pada kisaran Rp 13.000,- s/d Rp 14.000,- ini ring karetnya sering bermasalah. Saat tabung elpiji telah habis dan diganti maka biasanya berbunyi mendesis pada bagian regulator.

Itu pertanda ada kebocoran dan ini berbahaya jika kompor gas dinyalakan sehingga ring karet harus diganti. Terkadang diganti dari mencungkil ring karet di tabung elpiji yang telah habis tadi. Kalau masih terdengar bunyi mendesis maka harus membeli ring karet seharga Rp 500,-. Sebetulnya hal seperti itu juga dialami oleh warga lain.

Sekarang, bahkan beberapa warga telah menjual tabung elpijinya pada kisaran harga Rp 80.000,- per tabung. Padahal, apabila memesan pada pengecer maka harga tabung elpiji bisa mencapai Rp 130.000,- per tabung. Mereka yang telah menjual tabung elpijinya maka dipastikan tidak lagi menggunakan kompos gas pemberian dari pemerintah itu.


Senin, 12 April 2010

Andaikan Saya Profesor Sosiologi


Foto dipinjam dari sini.

Andaikan Saya Profesor Sosiologi

Judul itu merupakan saran dari seorang pengirim pesan pendek (sandek) yang saya terima pada Kamis, 11 Februari 2010. Pengirim sandek itu sampai sekarang masih enggan menunjukkan identitasnya seperti nama. Tiga kali saya menanyakan identitasnya, tetapi dia tetap saja enggan. Saya berusaha mencari tahu pemilik nomor SIM card telepon seluler (ponsel) itu pada dua teman saya. Namun, mereka tidak tahu siapa pemilik nomor ponsel tersebut.

Dalam sandek itu dia mengemukakan tiga pertanyaan kepada saya. Pertama, seberapa penting mempelajari sosiologi di negara berkembang. Kedua, apa grand design pembelajaran sosiologi. Ketiga, untuk apa dan mengapa mempelajari sosiologi, “hanya untuk konsumsi akademis saja, to?”, kata pengirim pesan itu. “Hanya untuk konsumsi akademis saja” itu merupakan ungkapan yang kritis. Saya pun sehaluan dengan ungkapan itu.

Kemudian, dari pertanyaan-pertanyaan itu dia meminta saya memberikan alasan yang objektif dan argumentatif. Di samping itu, dia memperkenankan saya menanggapainya dalam tulisan dengan judul “Andaikan Saya Profesor Sosiologi”. Akhirnya, saya memenuhi saran pengirim sandek itu atas judul tadi. Memang, baru kali ini saya diminta menulis yang mana bukan atas inisiatif saya sendiri. Jujur, saya agak berat, tetapi saya coba.

Saya sempat merasa tidak bisa memenuhi saran pengirim sandek itu. Beberapa lama setelah mengirimkan sandeknya itu, saya dihubungi lagi olehnya. Tampaknya pengirim sandek itu memperhatikan blog saya. Lewat sandek pula, komentarnya tentang apakah blog saya itu bisa dimengerti oleh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Madrasah Aliyah (MA). Seketika itu, saya mengatakan bahwa saya belum bisa memenuhi saran atas judul tersebut.

Kembali lagi pada ungkapan kritis di atas. Saya terdiam sejenak mengetahui ungkapan itu. Ungkapan itu mengingatkan pada salah seorang dosen saya. Jadi, kemungkinan kecil jika sandek itu dikirim oleh teman-teman satu angkatan maupun adik kelas di almamater saya. Di samping itu, mungkin juga sandek itu dikirim oleh salah seorang kakak angkatan saya, yakni angkatan 2002 maupun 2001.

Ungkapan itu skeptis, tetapi ada benarnya juga. Kiranya ungkapan itu sesuai dengan sosiologi yang dipandang masih sebagai ilmu untuk pemahaman daripada ilmu untuk tindakan. Di samping itu, keberadaan sosiologi di SMA dan MA serta sejumlah perguruan tinggi (PT) menunjukkan arti penting sosiologi di negara berkembang seperti Indonesia. Tentu saja arti penting itu tidak dapat dilepaskan dari politik pendidikan. Secara sederhana itu menjawab pertanyaan yang pertama, tetapi saya tidak bermaksud menyederhanakan tiga pertanyaan itu.

Ungkapan kritis itu pun kiranya layak ditujukan terhadap sosiologi. Ungkapan kritis itu pun kiranya berhubungan juga dengan ungkapan kritis yang lain. Misalnya, pembelajaran sosiologi sampai kini masih terkesan begitu teoretis dan melangit. Barangkali ini berlebihan, tetapi seakan-akan dalam kehidupan nyata tidak ada kemanfaatannya.

Sementara itu, grand design pembelajaran sosiologi dapat dilihat pada kurikulum yang ada di SMA maupun MA dan PT. Dalam hal ini kurikulum tersebut sebagai panduan dalam pembelajaran sosiologi. Kurikulum itu sifatnya hitam di atas putih. Jadi, kurikulum itu bukanlah satu-satunya pembelajaran sosiologi. Justru, kenyataan sosiologis seperti interaksi antar etnis Tionghoa dan etnis Pribumi juga dapat dijadikan perhatian kajian sosiologis.

Selanjutnya, pertanyaan apa dan mengapa mempelajari sosiologi itu merupakan pertanyaan personal. Artinya, pertanyaan itu ditujukan untuk setiap orang yang mempelajari sosiologi dan tiap-tiap orang bisa berpandangan berbeda-beda. Seseorang bisa berharap dengan mempelajari sosiologi, kuliah di jurusan sosiologi akan menjadi pegawai negeri sipil (PNS), entah di tingkat pusat maupun daerah. Mungkin juga seseorang merasa hatinya terpanggil dan mendedikasikan hidupnya untuk sosiologi. Bahkan, seseorang bisa karena “terpaksa” mempelajari sosiologi, dan seterusnya.

Di balik pandangan saya itu, saya bukanlah seorang profesor sosiologi. Lagi pula, bukankah dalam judul di atas hanya sekadar “andaikan”. Saya hanya sarjana sosiologi nonkependidikan dari sebuah universitas dengan status negeri, di timur Pulau Jawa. Untuk menjadi profesor yang sebenar-benarnya profesor, saya harus kuliah strata 2 (S-2), lalu S-3. Umumnya, profesor adalah seorang akademisi di lingkungan perguruan tinggi di universitas.

Setelah S-2 maupun setelah S-3, seseorang, terutama seorang dosen, misalnya perlu banyak meneliti dan banyak menulis, entah di jurnal skala nasional, syukur internasional. Menulis di surat kabar juga ada nilai tersendiri. Itu dilakukan untuk mendapatkan kredit poin terkait gelas guru besar sampai pada gelar seorang profesor.

Sekali lagi, saya bukanlah seorang profesor. Apalagi profesor sosiologi. Namun, langkah kecil dengan menulis di blog ini, secara narsis, saya terkadang menilai diri saya seorang “profesor”.


Kamis, 08 April 2010

Membicarakan (Kembali) Sosiologi (2)



Gambar dipinjam dari sini

Membicarakan (Kembali) Sosiologi (2)

Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan. Ada pula yang mengatakan bahwa sosiologi itu ilmu untuk pemetaan sosial. Di samping itu, di sebuah buku (Sri dan Yusniati, 2007:3) mata pelajaran sosiologi kelas X ditulis bahwa menurut Max Weber, seorang tokoh sosiologi mengatakan “sosiologi adalah ilmu yang berusaha memberikan pengertian tentang tindakan-tindakan sosial dan penjelasannya secara kausal (timbal balik) mengenai arah dan konsekuensi dari tindakan sosial tersebut.” Itu adalah pengertian-pengertian tentang sosiologi.

Tentu saja masih banyak sederet tokoh yang dianggap sebagai tokoh sosiologi yang memiliki sudut pandang masing-masing tentang pengertian sosiologi. Tidak hanya tokoh sosiologi, tetapi setiap orang yang pernah mengenal sosiologi maka akan memiliki sudut pandang sendiri-sendiri tentang sosiologi. Lagi pula, seseorang tidak akan dihukum penjara hanya karena mengartikan sosiologi.

Umumnya orang mengenal sosiologi pada saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat. Hal itu pun terjadi pada saya saat saya duduk di bangku SMA. Saya mengetahui pengertian sosiologi lewat membaca buku mata pelajaran sosiologi. Agaknya mengetahui pengertian sosiologi, misalnya dari seorang tokoh sosiologi, itu dirasa penting sebagai cara untuk mengenal sosiologi.

Namun, mengetahui pengertian sosiologi, misalnya dari seorang tokoh sosiologi saja maka belumlah cukup. Ibarat mengenal seseorang maka tidaklah cukup hanya mengenal dari arti namanya saja. Jadi, perlu mengenal karakternya, aktifitasnya, tampilan fisiknya, dan lain sebagainya. Demikian juga dengan sosiologi maka perlu juga mengenal sifat sosiologi, ruang lingkup sosiologi, kajian sosiologi, dan seterusnya. Maka dari itu, perlu ada sebuah kenyataan sosiologis.

Terkait dengan itu, sebagai kenyataan sosiologis, ambillah contoh dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Tentu saja Muhammadiyah dan NU tidak dapat dilepaskan dari Islam di Indonesia.

Di antara kita mungkin pernah melihat papan di depan sebuah rumah yang bertuliskan pengurus cabang Muhammadiyah maupun pengurus cabang pengurus NU. Itu adalah bukti bahwa Muhammadiyah maupun NU itu benar-benar ada. Dalam kaitan ini, pengurusnya adalah orang-orang yang berserikat sebagaimana naluri manusia. Kemudian, secara sederhana alam pikiran Muhammadiyah maupun NU itulah yang turut memengaruhi orang-orang yang terlibat di dalamnya, misalnya dalam praktik ritual keagamaan. Contoh lainnya, misalnya bagaimana afiliasi kedua organisasi sosial keagamaan itu dalam pilihan sebuah partai politik.

Kemudian, mengapa, katakanlah orang-orang Muhammadiyah umumnya berada di kawasan perkotaan daripada di kawasan pedesaan? Sebaliknya, orang-orang NU lebih banyak berada di kawasan pedesaan? Mengapa Muhammadiyah dianggap dekat dengan partai tertentu, demikian juga dengan NU? Kemudian, bagaimana kiprah Muhammadiyah maupun NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Itu semua adalah pertanyaan sosiologis.

Sejumlah tulisan, terutama artikel di surat kabar, adalah analisis sosiologis. Namun, artikel itu pun tidak selalu ditulis oleh lulusan sosiologi pada sebuah universitas. Memang, di Indonesia ada beberapa penulis artikel yang menyebut diri sebagai sosiolog seperti Tamrin Amal Tomagola, Imam B. Prasodjo maupun Laode Ida. Akan tetapi, selebihnya beberapa nama hanya menyebut diri sebagai pengamat sosial, misalnya Hotman Siahaan.

Sementara itu, sampai kini, sosiologi masih lebih sebagai ilmu untuk pemahaman. Bukan ilmu untuk tindakan sebagaimana psikologi. Itu pun memengaruhi pamor sosiologi di industri ilmu pengetahuan. Memang, ada anasir-anasir melemahnya kekuatan intelektual di perguruan tinggi tempat sosiologi berada. Padahal, kekuatan intelektual itu sendiri cukup penting dalam sejarah perkembangan sosiologi.




Senin, 05 April 2010

Membicarakan (kembali) Sosiologi (1)

Gambar dipinjam dari sini.

Membicarakan (kembali) Sosiologi (1)

Ilmu pengetahuan itu dibangun oleh fakta-fakta,

sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu.

Namun, tidak semua kumpulan pengetahuan itu ilmu,

sebagaimana tidak semua tumpukan batu adalah rumah (anonim).

Kita tahu bahwa sosiologi telah mendapat pengakuan sebagai ilmu pengetahuan (science). Paling tidak pengakuan tersebut didasarkan atas kriteria-kriteria yang telah sosiologi penuhi. Demikian juga, dengan pemberian mata pelajaran sosiologi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu, keberadaan jurusan, program studi maupun departemen sosiologi di berbagai universitas baik negeri maupun swasta juga membuktikan bahwa sosiologi sebagai ilmu telah mendapatkan pengakuan dan tempat tersendiri. Tentu hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari politik pendidikan.

Seringkali dikatakan bahwa tidak perlu bukti lagi kalau rasa garam adalah asin. Namun, kita akan merasakan betul rasa asinnya garam setelah kita mencicipinya sendiri. Atas dasar hal tersebut tentu akan ada pandangan yang berbeda terhadap ilmu sosiologi. Maksudnya, akan ada perbedaan pandang antara mereka mereka yang langsung menggeluti ilmu sosiologi dengan mereka yang tidak langsung menggelutinya.

Bahkan, sama-sama menggeluti sosiologi pun seringkali juga berbeda pandangan. Tentu perlu dikatakan bahwa hal tersebut tidak hanya terjadi pada sosiologi saja. Cabang-cabang ilmu lainnya yang dulu menyempal dari filsafat, kemungkinan besar juga mengalami hal yang serupa dan tentu dengan kadar pandangan yang berbeda-beda.

Pada tataran empirik senantiasa terdapat fakta yang masih terjadi pada sosiologi sampai saat ini. Beberapa di antaranya ialah rendahnya animo lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) terhadap ilmu sosiologi barangkali dapat dimasukkan sebagai salah satu indikasi. Dan lagi, sosiologi masih terkesan sebagai ilmu yang kurang bernilai “komersial”. Sementara itu, muncul kesan seperti begitu mudahnya universitas baik negeri maupun swasta bahkan universitas terbuka, membuka sosiologi.

Ilmu sosiologi memiliki kecendrungan untuk memencar. Seperti yang dikemukakan oleh Ritzer (1985) bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda. Walaupun demikian, belakangan ini ada upaya pemaduan paradigma. Satu hal yang dapat di tarik dari hal tersebut ialah bahwa sosiologi bukan merupakan wilayah yang “sakral” yang tidak boleh dijamah.

Maka dari itu, di dalam sosiologi, terbuka peluang seluas-luasnya untuk “menafsirkan” sosiologi. Bahkan, dalam penafsiran itu hendaknya perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis untuk sosiologi. Lagi pula, sosiologi sebagai bagian dari sains yang “konon” tidak mengenal “kata berhenti” tentu juga tidak dapat mengelak dari hal tersebut. Berdasarkan hal itu pula, idealnya di “sana” ada sebuah aggiornamento (pembaharuan ide, cara, dsb).

Bahkan, di kalangan mahasiswa sosiologi pun secara umum mudah sekali ditemui kelemahan dalam memandang sosiologi. Sebagian diantaranya masih sulit untuk membedakan antara sosiologi dengan psikologi, psikologi sosial, kesejahteraan sosial, maupun antropologi. Hal itu berpengaruh pula pandangan terhadap ilmu sosiologi. Tentu bukan saat yang tepat untuk terlalu mengungkit-ungkit permasalahan keterbatasan kapasitas diri. Dipahami bahwa hal itu merupakan faktor penting tetapi hal itu telah menjadi persoalan klasik.

Barangkali hal ini adalah suatu bentuk pesimisme. Namun, bisa jadi apa yang disebutkan itu merupakan potongan-potongan fakta. Seandainya hal itu merupakan potongan fakta, tentu mekanisme diri yang bekerja dengan baik akan segera tergugah untuk mengobarkan naluri ilmiah. Tentu di sini perlu dikatakan bahwa “disana” tidak perlu ada pem-berhala-an terhadap ilmiah.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam batas tertentu kita perlu berbicara tentang orientasi dari sosiologi. Untuk konteks Indonesia tulisan Tjondronegoro yang berjudul “Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia” (http://www.duniaesai.com/sosiologi/sosio3.htm yang diambilkan dari Jurnal Ekonomi Rakyat) barangkali menarik disimak dalam hubungannya dengan orientasi ilmu sosiologi khususnya di Indonesia. Senyatanya, tiap-tiap lembaga tempat sosiologi berada juga memiliki orientasi yang berbeda.

Kepemilikan sosiologi akan proposisi-proposisi juga memiliki pertalian dengan agama. Hal tersebut sebagaimana sebagaimana yang dinyatakan Agus (1999) mengenai pengembangan ilmu-ilmu sosial dengan membandingkan antara pandangan Ilmiah dan ajaran Islam. Selain itu, disinggung tentang Islamisasi ilmu-ilmu sosial termasuk sosiologi. Tentu hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari arah politik sains pada masa itu.