Republik-Antre
Oleh: Puguh Utomo
Jumat, 5 Desember 2008, sekitar pukul 19.00 saya membeli bensin di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Setiba di sana ternyata sudah terjadi antrean panjang. Sedikitnya ada 20 pengendara sepeda motor mengantre bensin di SPBU tersebut. Laki-laki-perempuan, tua-muda, ikut mengantre. Karena saking banyaknya, antrean terpecah menjadi dua deret. Di samping itu, lahan SPBU juga tidak sanggup menampung pengantre yang mengular itu. Bahkan, beberapa di antaranya harus rela mengantre sampai dibadan jalan.
Di depan saya ada seorang perempuan muda sudah mengantre, sementara di sebalah kirinya seorang laki-laki setengah baya juga ikut mengantre. Beberapa kali perempuan muda tersebut menoleh ke arah laki-laki tersebut. Tampaknya perempuan muda tersebut menggurutu sebab laki-laki tersebut bermaksud menyerobotnya. Setelah itu, perempuan yang memakai celana jins pendek bersepan tersebut memanggil temannya yang juga perempuan, seumuran dengannya, untuk menemaninya dalam antrean. Agaknya perempuan muda tersebut merasa takut.
Kira-kira lima belas menit kemudian tibalah giliran tangki bensin motor saya diisi. Saya membeli Rp 10.000,00. Awalnya jarum penunjuk sudah berada di tanda merah. Setelah tangki diisi jarum menunjukkan bahwa tangki bensin motor saya telah penuh. Maklum, per 1 Desember 2008 harga bensin turun Rp 500,00. Hal itu dipicu oleh resesi global yang menggila di penghujung 2008. Awalnya, dengan keadaan tangki motor seperti itu dan dengan harga Rp 10.000,00 jarum penunjuk tidak sampai ke posisi maksimal.
Sepulang dari SPBU saya langsung meluncur, membeli dua jagung. Saya sempat bertanya ke penjual jagung (50 tahun), mengapa beberapa hari ini terjadi antrean panjang di SPBU. Penjual jagung mengatakan bahwa sekarang harga bensin turun Rp 500,00. Dia juga mengatakan bahwa dirinya pagi tadi juga membeli bensin dengan membawa jirigen sebagai wadahnya di SPBU yang sama, tempat saya mengisi bensin. Namun, pagi tadi sekitar pukul 06.00 SPBU masih sepi pembeli. Saya sempat heran mengapa dahulu saat harga bensin naik di setiap SPBU di Jember selalu terjadi antrean panjang. Demikian juga saat harga bensin turun juga terjadi antrean. Saat saya menulis ini, terlintas di pikiran bahwa itu bisa jadi disebabkan oleh spekulasi pembeli bensin.
Republik-antre. Frase itu terpikir saat saya sedang mengantre di SPBU tersebut. Selama memikirkan frase itu saya juga teringat bahwa telah ada judul buku yang ditulis oleh Tamrin Amal Tomagola, yakni Republik Kapling (2005). Selain itu, Fuad Bawazir memberi judul bukunya dengan Republik Keluh Kesah (2007). Sementara itu, di salah satu stasiun televisi ada acara parodi politik bernama Republik Mimpi. Dengan demikian, tulisan ini terinspirasi oleh kata “republik” tersebut. Memang, “republik-republik” tersebut mengesankan pesimisme. Dan lagi, mungkin masih ada sebutan “republik” yang lain. Namun, mengenai Republik Indonesia (RI), kita tidak boleh pesimis.
Antre. Di negara maju pun juga terjadi antre. Di loket pembelian karcis di stasiun, di bandar udara, di bank, tempat pemungutan suara (TPS), dan lain sebagainya. Dengan demikian, antre bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Dengan kata lain pula, pada zaman sekarang, antrean sudah merupakan keniscayaan.
Berbicara antre, dahulu saya juga sempat mengantre membayar sumbangan pembinaan pendidikan (
Sementara itu, Sabtu, 6 Desember 2008 menjelang hari raya Idul Adha 1429 Hijriyah, saya hendak mudik dengan kereta api (KA). Maklum, saya terdorong ingin kembali ke akar sosial-saya. Saya tidak mengira di stasiun Jember sudah terjadi antrean. Seingat saya selama enam tahun terakhir, baru kali ini saya pulang kampung pada momentum Idul Adha. Saat itu, untuk mendapatkan tiket KA harus ikut mengantre selama kurang lebih 15 menit. Dalam antrean itu saya berjumpa dengan dua orang teman yang berada di antrean belakang. Akhirnya dua orang teman saya tersebut titip ke saya untuk dibelikan tiket. Sebetulnya tindakan itu kurang tepat sebab bisa saja membuat orang lain yang ikut mengantre menjadi dongkol meskipun hanya disimpan dalam hati.
Namun, antrean bisa menjadi kejadian yang memedihkan. Misalnya, kasus antrean zakat di Pasuruan yang menelan korban sampai 21 orang meninggal. Sementara itu, siang tadi saya menonton televisi. Dalam salah program berupa berita kriminal, salah satu stasiun televisi swasta menayangkan tentang para pendaftar tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang berebut masuk mendapatkan kartu peserta ujian. Dalam tayangannya para pendaftar terlihat berdesak-desakan. Bahkan, ada perempuan hamil yang menangis dalam desak-desakan tersebut. Akhirnya, perempuan tersebut “diselamatkan” oleh polisi pamong praja guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Perempuan tersebut oleh petugas lalu didudukkan di kursi dan diberi air minum dalam kemasan. Setelah duduk, perempuan tersebut masih menangis. Pembawa acara dalam program tersebut juga mengomentari tentang indikasi ketidaksiapan panitia perekrutan CPNS. Tayangan tersebut bertempat di kabupaten tempat saya lahir. Saat itu saya sempat mengelus dada, trenyuh.
Kemudian, Senin 8 Desember 2008 sejumlah stasiun televisi menayangkan tentang pembagian daging kurban. Di sejumlah tempat, pembagian daging kurban terjadi antrean yang mengakibatkan kericuhan, terjadi aksi saling dorong, dan berdesak-desakan. Meskipun demikian, di beberapa tempat yang lain pembagian justru berlangsung lancar. Berkenaan dengan itu, tidak ada tayangan antrean dalam pemilihan kepala daerah.
Demikian juga dengan tindakan para petani yang mengantre pupuk yang terjadi di banyak tempat, seperti yang televisi tayangkan. Mereka mengantre karena pupuk sedang langka. Kelangkaan itu tidak hanya terjadi kali ini saja. Sebelumnya, pada setiap musim tanam juga terjadi kelangkaan pupuk.
Puguh Utomo
Mahasiswa Program Studi Sosiologi
FISIP Universitas Jember