Senin, 05 April 2010

Membicarakan (kembali) Sosiologi (1)

Gambar dipinjam dari sini.

Membicarakan (kembali) Sosiologi (1)

Ilmu pengetahuan itu dibangun oleh fakta-fakta,

sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu.

Namun, tidak semua kumpulan pengetahuan itu ilmu,

sebagaimana tidak semua tumpukan batu adalah rumah (anonim).

Kita tahu bahwa sosiologi telah mendapat pengakuan sebagai ilmu pengetahuan (science). Paling tidak pengakuan tersebut didasarkan atas kriteria-kriteria yang telah sosiologi penuhi. Demikian juga, dengan pemberian mata pelajaran sosiologi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu, keberadaan jurusan, program studi maupun departemen sosiologi di berbagai universitas baik negeri maupun swasta juga membuktikan bahwa sosiologi sebagai ilmu telah mendapatkan pengakuan dan tempat tersendiri. Tentu hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari politik pendidikan.

Seringkali dikatakan bahwa tidak perlu bukti lagi kalau rasa garam adalah asin. Namun, kita akan merasakan betul rasa asinnya garam setelah kita mencicipinya sendiri. Atas dasar hal tersebut tentu akan ada pandangan yang berbeda terhadap ilmu sosiologi. Maksudnya, akan ada perbedaan pandang antara mereka mereka yang langsung menggeluti ilmu sosiologi dengan mereka yang tidak langsung menggelutinya.

Bahkan, sama-sama menggeluti sosiologi pun seringkali juga berbeda pandangan. Tentu perlu dikatakan bahwa hal tersebut tidak hanya terjadi pada sosiologi saja. Cabang-cabang ilmu lainnya yang dulu menyempal dari filsafat, kemungkinan besar juga mengalami hal yang serupa dan tentu dengan kadar pandangan yang berbeda-beda.

Pada tataran empirik senantiasa terdapat fakta yang masih terjadi pada sosiologi sampai saat ini. Beberapa di antaranya ialah rendahnya animo lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) terhadap ilmu sosiologi barangkali dapat dimasukkan sebagai salah satu indikasi. Dan lagi, sosiologi masih terkesan sebagai ilmu yang kurang bernilai “komersial”. Sementara itu, muncul kesan seperti begitu mudahnya universitas baik negeri maupun swasta bahkan universitas terbuka, membuka sosiologi.

Ilmu sosiologi memiliki kecendrungan untuk memencar. Seperti yang dikemukakan oleh Ritzer (1985) bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda. Walaupun demikian, belakangan ini ada upaya pemaduan paradigma. Satu hal yang dapat di tarik dari hal tersebut ialah bahwa sosiologi bukan merupakan wilayah yang “sakral” yang tidak boleh dijamah.

Maka dari itu, di dalam sosiologi, terbuka peluang seluas-luasnya untuk “menafsirkan” sosiologi. Bahkan, dalam penafsiran itu hendaknya perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis untuk sosiologi. Lagi pula, sosiologi sebagai bagian dari sains yang “konon” tidak mengenal “kata berhenti” tentu juga tidak dapat mengelak dari hal tersebut. Berdasarkan hal itu pula, idealnya di “sana” ada sebuah aggiornamento (pembaharuan ide, cara, dsb).

Bahkan, di kalangan mahasiswa sosiologi pun secara umum mudah sekali ditemui kelemahan dalam memandang sosiologi. Sebagian diantaranya masih sulit untuk membedakan antara sosiologi dengan psikologi, psikologi sosial, kesejahteraan sosial, maupun antropologi. Hal itu berpengaruh pula pandangan terhadap ilmu sosiologi. Tentu bukan saat yang tepat untuk terlalu mengungkit-ungkit permasalahan keterbatasan kapasitas diri. Dipahami bahwa hal itu merupakan faktor penting tetapi hal itu telah menjadi persoalan klasik.

Barangkali hal ini adalah suatu bentuk pesimisme. Namun, bisa jadi apa yang disebutkan itu merupakan potongan-potongan fakta. Seandainya hal itu merupakan potongan fakta, tentu mekanisme diri yang bekerja dengan baik akan segera tergugah untuk mengobarkan naluri ilmiah. Tentu di sini perlu dikatakan bahwa “disana” tidak perlu ada pem-berhala-an terhadap ilmiah.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam batas tertentu kita perlu berbicara tentang orientasi dari sosiologi. Untuk konteks Indonesia tulisan Tjondronegoro yang berjudul “Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia” (http://www.duniaesai.com/sosiologi/sosio3.htm yang diambilkan dari Jurnal Ekonomi Rakyat) barangkali menarik disimak dalam hubungannya dengan orientasi ilmu sosiologi khususnya di Indonesia. Senyatanya, tiap-tiap lembaga tempat sosiologi berada juga memiliki orientasi yang berbeda.

Kepemilikan sosiologi akan proposisi-proposisi juga memiliki pertalian dengan agama. Hal tersebut sebagaimana sebagaimana yang dinyatakan Agus (1999) mengenai pengembangan ilmu-ilmu sosial dengan membandingkan antara pandangan Ilmiah dan ajaran Islam. Selain itu, disinggung tentang Islamisasi ilmu-ilmu sosial termasuk sosiologi. Tentu hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari arah politik sains pada masa itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar