Senin, 03 Mei 2010

Nasi Pecel


Gambar dipinjam dari sini.

Nasi Pecel

Rabu, 28 April 2010, setelah maghrib, tiba-tiba dalam pikiran saya terlintas kata “nasi pecel”. Mungkin dua kata itu bisa saya jadikan judul tulisan untuk blog saya. Akhirnya, seketika itu juga saya berpikir tentang apa-apa yang bisa saya kembangkan menjadi sebuah paragraf sampai menjadi artikel. Komputer pun saya nyalakan. Musik aliran pop dalam format mp3 pun saya putar. Saya pun mulai mewujudkan keinginan saya, menulis artikel ini.

Mungkin judul ini asal-asalan sehingga isinya barangkali berupa artikel yang asal tulis. Saya pun tak menyangkal bahwa saya kehabisan bahan tulisan. Maka dari itu, apa saja yang terlintas di pikiran, saya wujudkan dalam bentuk tulisan. Lagi pula, banyak penulis mengatakan bahwa pembaca juga berperan dalam menilai tulisan. Jadi, saya tidak tahu nasib tulisan saya sebelum orang lain membacanya.

Saya pun baru mematangkan tulisan ini pada Minggu, 2 Mei 2010. Maklum, saya biasanya perlu waktu beberapa hari sampai sebuah tulisan saya publikasikan di blog. Meskipun saya mengakui bahwa saya asal tulis saja, tetapi saya perlu mempertimbangkan layak tidaknya sebuah tulisan saya publikasikan.

Saya sendiri tidak begitu tahu tulisan saya ini tergolong jenis apa. Syukur jika ada pembaca yang menilai ini sebagai artikel. Beberapa penulis menyarankan agar saat menulis kita menikmati aktifitas menulis. Pada saat yang sama, kita berproses dalam menulis. Di samping itu, ada juga yang menyarankan, untuk belajar menulis maka sering-seringlah menulis tentang apa saja. Saya pun sepakat dengan saran tersebut.

Kembali pada nasi pecel. Kebanyakan dari kita sebagai orang Indonesia tentu tidak asing dengan nasi pecel. Nasi pecel adalah makanan yang bahan utamanya adalah nasi, sambal kacang, rebusan sayur (kulupan) dan rempeyek. Namun, umumnya nasi pecel diberi gorengan tahu yang diris kecil-kecil, irisan mentimun, daun kemangi, dan lain-lain. Sebetulnya tanpa menyebut makanan pun kebanyakan orang sudah tahu bahwa nasi pecel itu adalah makanan.

Pikiran saya tentang nasi pecel setelah maghrib itu pun karena saya teringat dengan warung nasi pecel di dekat pasar kecamatan, sekitar 6 km dari rumah saya. Saya akui bahwa di warung itu nasi pecelnya terbilang lezat. Meskipun sambal kacangnya tidak pedas, tetapi terasa nendang. Rempeyeknya pun gurih. Harganya pun cukup terjangkau, yakni satu porsi Rp 3.000,-. Kalau ingin lauk yang lain, ada gorengan ayam kampung, telur puyuh, daging sapi, tahu, dan lain-lain. Minumannya pun ada beberapa jenis, misalnya teh hangat.

Saya memang tidak terlalu sering membeli nasi pecel di warung tersebut. Lagi pula, saya bukan petualang wisata kuliner. Namun, suatu hari saya akan membeli nasi pecel lagi di warung tersebut. Mungkin saya akan membeli di cabangnya yang baru. Cabang yang baru ini pun menandai bahwa pemilik warung tergolong sukses mengembangkan warung nasi pecelnya.

Soal kata, lidah memang bisa bohong, tetapi soal rasa, lidah nggak bisa bohong. Itulah slogan sebuah mie instan dalam iklan di televisi. Agaknya saya juga ingin jujur dengan rasa nasi pecel antara saat saya kuliah dulu dengan nasi pecel di warung yang saya ceritakan tadi. Dulu, saat kuliah saya sering membeli nasi pecel untuk makan malam. Namun, itu tadi, sambal dan rempeyeknya masih lebih lezat di warung di dekat pasar kecamatan itu.

Berbicara tentang nasi pecel, saya juga teringat dengan masa kecil saya. Kira-kira pada akhir 1980-an saya diajak ibu saya membeli nasi pecel. Seingat saya waktu itu saya masih duduk di taman kanak-kanak (TK). Waktu itu hanya ada satu penjual nasi pecel sehingga harus antre. Penjual nasi pecel itu membuka dagangannya di pinggir jalan selepas adzan subuh. Waktu itu belum ada listrik. Lampu minyak tanah sebagai penerangannya.

Nasi pecel itulah sebagai sarapan pagi sebelum berangkat sekolah. Acara menyantap sarapan dengan nasi pecel pun selalu terasa lezat di lidah. Kecuali saat sakit maka nafsu makan pun berkurang. Agaknya dengan sarapan nasi pecel itulah bersekolah menjadi lebih bersemangat.

Sekarang, tahun 2010, banyak rumah tangga telah memiliki rice cooker untuk menanak nasi, khususnya di kampung halaman saya ini. Memasak nasi pun jadi relatif mudah, tinggal dicolokkan ke listrik. Orang yang mengantre nasi pecel di pedagang nasi pecel pun tidak seramai sebelum ada listrik.

Meskipun demikian, beberapa orang mengatakan bahwa makanan zaman sekarang rasanya tidak se-enak dulu. Tidak terkecuali nasi pecel. Dulu, saat makan nasi pecel lidah terasa benar-benar merasakan nasi pecel. Mungkin sekarang, saat orang makan nasi pecel agaknya hanya merasakan kenyang di perut, tetapi mungkin tidak membekas di lidah. Selera orang memang berbeda-beda.

3 komentar:

  1. Yang langka adalah nasi pecel dibungkus daun jati Mas Puguh.

    BalasHapus
  2. sampai sekarang masih nasi pecel makanan faforitku, jadi kangen kampung halaman...T_T

    BalasHapus