Kamis, 31 Maret 2011

Varietas Padi

Varietas Padi

Musim tanam padi pada Maret-Juni 2011 ini banyak petani di Nganjuk, khususnya di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, menanam padi varietas atau jenis Situ Bagendit. Di antara petani memakai Situ Bagendit SS asal Banyuwangi. Petani membelinya kisaran Rp 75.000,- sampai Rp 80.000,- per saknya atau per 10 kg di kios pengecer. Harga di setiap pengecer bisa berbeda.

Ada juga petani yang menanam varietas Bagendit asal Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang harganya lebih murah. Selisih beberapa ribu daripada yang asal Banyuwangi. Terkadang asal benih padi turut memengaruhi petani dalam menentukan pilihan. Misalnya petani lebih menyukai padi varietas Memberamo asal Boyolali.

Saya pun mencoba mencari kelebihan dan kelemahan dari varietes Bagendit di internet. Saya menemukan deskripsi tentang varietas padi dalam format pdf terbitan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian (2009). Entah apakah informasi mengenai varietas padi sebatas itu. Saya pun menulis ini berdasarkan pengalaman petani di kampung saya.

Pencarian itu pun terkait varietes Bagendit yang ditanam pada musim tanam Maret-Juni atau masa juki kali ini. Pada masa juki 2010 lalu banyak tanaman padi terkena hama sundep. Namun, sejumlah petani yang menanam varietas Bagendit terhindar dari hama sundep. Akan tetapi, hasil produksi varietes Bagendit ini dinilai tidak sebanyak varietas Memberamo.

Konon hama sundep yang ditandai dengan mengeringnya daun tanaman padi ini juga dipengaruhi oleh waktu tanam. Petani yang memulai menanam awal banyak yang terkena sundep. Akhirnya, pada masa panen, kualitas dan kuantitas padi pun menurun drastis. Rata-rata turun 50 %, bahkan lebih. Namun, di tempat lain dengan masa tanam yang sama tidak begitu terpengaruh oleh hama sundep ini. Kemungkinan itu juga dipengaruhi oleh daya dukung tanah.

Masa labuh yang lalu banyak petani khususnya di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Nganjuk yang menanam varietas Ciherang. Saat akan panen, yakni batang mulai menahan bulir padi maka varietas ini dikenal tidak mudah roboh meski hujan lebat dengan angin kencang. Karenanya pada masa labuh atau masa tanam padi pada November 2010 sampai Februari 2011 yang lalu banyak petani yang menanam varietas ini. Antara bulan itu terjadi musim penghujan.

Berbeda dengan varietas Ciherang, varietas Memberamo mudah roboh saat hujan dengan angin kencang. Karenanya pada masa tanam Juli sampai dengan Oktober atau masa gadu, banyak petani menanam varietas ini. Di antara bulan itu memasuki musim kemarau. Dengan demikian, hujan lebat yang biasanya dengan angin kencang dimungkinkan tidak terjadi.

Setiap varietas memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Misalnya nasi dari varietas Memberamo ini memang lebih pulen dibandingkan dengan dengan varietas Ciherang. Bentuk bulir padi dari varietas Memberamo ini juga lebih bulat dibandingkan dengan Ciherang. Selain itu, kuantitas produksi padi lebih banyak dari varietas Memberamo dibandingkan dengan Ciherang. Karenanya penelitian dan pengembangan varietas yang unggulan mengingat padi sebagai makanan pokok orang Indonesia hendaknya tidak henti-hentinya dilakukan.

Varietas memang memiliki kelebihan dan kelemahan masing. Faktor cuaca terkadang turut memengaruhi. Misalnya pada tahun 2010 yang lalu secara umum Indonesia hampir tidak ada musim kemarau. Hujan terus turun sepanjang bulan di tahun 2010. Termasuk yang terjadi di Nganjuk. Namun, pertengahan tahun 2010 sempat tidak turun hujan selama beberapa minggu. Mungkin orang menduga itu sebagai pertanda musim kemarau.

Namun, kenyataannya itu tadi, hujan turun sepanjang bulan di tahun 2010. Terkadang, bahkan seringkali iklim tidak bisa diduga. Perhitungan petani yang menanam varietas Memberamo pada masa tanam Juli s/d Oktober 2010 silam meleset. Saat padi akan dipanen beberapa hari lagi, hujan turun dengan lebat dengan angin kencang. Banyak tanaman padi dari varietas Memberamo yang roboh. Tanaman padi yang roboh ini pun memengaruhi kenaikan upah pekerja yang memotong padi. Tanaman padi yang roboh pemotongannya lebih lama.

Ciherang, Memberamo, dan yang baru-baru ini dipakai oleh petani, yakni Bagendit adalah beberapa varietas padi. Masih ada varietas padi yang lain yang juga memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Misalnya ada varietas Cimelati yang nasinya berbau wangi. Juga ada varietas Way Apo, IR 64, dan puluhan varietas padi yang lainnya.

Minggu, 06 Maret 2011

De-konstruksi

De-konstruksi

Dalam KBBI (2002) belum ada istilah de-konstruksi. Namun, di KBBI 2002 ada istilah degenerasi. Dari kata “generasi” kemudian diberi awalan de-. Demikian juga dengan de-konstruksi dari kata “konstruksi” dengan awalan de-. Mungkin kita juga mengenal deregulasi, demiliterisasi, dan desentralisasi. Tiga kata itu sama-sama berawalan de-.

Dari sisi konteks, awalan de- itu bisa berarti perubahan. Entah itu penafsiran kembali, kemunduran, pembatasan, dan lain sebagainya. Misalnya deregulasi ini adalah istilah ekonomi yang menurut KBBI (2002) berarti “kegiatan atau proses menghapuskan pembatasan dan peraturan.”

Dalam tulisan ini dekonstruksi dimaknai sebagai penafsiran kembali. Intinya ada suatu perubahan. Contohnya di televisi program berita itu merupakan hasil kerja jurnalistik yang objektif. Namun, kemudian ada program berita, tetapi berita itu diplesetkan untuk kepentingan tawa atau komedi. Berita yang umumnya terkesan serius bisa dikomedikan atau diparodikan menjadi kepentingan hiburan. Mengundang gelak tawa.

Istilah dekonstruksi sendiri dikenalkan oleh filsuf Derrida. Jadi, istilah dekonstruksi ini tidak asing lagi dalam dunia filsafat. Saya berusaha mencari kliping koran milik saya mengenai pikiran Derrida tentang dekonstruksi ini. Akan tetapi, saya tidak menemukannya. Dengan demikian, penafsiran saya tentang dekonstruksi ini cenderung bebas.

Lagi pula, “kebebasan”, khususnya dalam pencarian kebenaran itu adalah satu sifat filsafat. Tentu saja kebebasan yang tidak asal-asalan dan tidak sembrono serta bisa dipertanggungjawabkan. Kebebasan yang sesuai dengan hakikat kebebasan itu sendiri dalam berfilsafat meskipun terkadang kebebasan itu relatif.

Mungkin kita lebih mengenal konstruksi dalam bidang bangunan. Misalnya konstruksi rumah terdiri atas pondasi, lantai, tiang, dinding, atap, dan seterusnya. Lagi pula, konstruksi juga berarti arsitektur, desain. Namun, konstruksi juga berarti penafsiran, interpretasi. Umumnya satu kata memang bisa digunakan untuk konteks yang berbeda.

Kembali lagi pada dekonstruksi terkait dalam filsafat juga dunia sosial. Judul “dekonstruksi” ini pun terinspirasi, misalnya program berita televisi yang telah ditulis di atas. Salah satu sifat filsafat adalah menyeluruh. Jadi, program di televisi pun bisa difilsafatkan. Khususnya dalam filsafat, kiranya kurang keren jika dekonstruksi ini dipilihkan kata “plesetan”. Namun, dalam surat kabar nasional setiap hari Minggu ada kolom komodifikasi, yakni ulasan mengenai pergeseran akan makna benda, istilah, simbol dan lain sebagainya. Dalam linguistik pun dikenal pergeseran atau perubahan makna. Ini pun menunjukkan bagaimana sifat perubahan.

Terkait dengan dekonstruksi, ambillah contoh lagi tentang acara televisi yang memarodikan superhero-superhero. Barangkali kita tahu acara tersebut. Sosok super hero dikonstruksikan berkemampuan super, bisa menghindar atau kebal dari peluru, biasanya mengalami mutasi gen ternyata bisa diparodikan atau di-dekonstruksikan kocak tidak seperti superhero yang ada di film. Akhirnya hasil dekonstruksi bisa menjadi komoditas hiburan.

Contoh program televisi itu juga tak lepas dari televisi itu sendiri sebagai salah satu alat komunikasi massa. Demikian juga dengan film yang biasanya dalam format cassette disc (CD). CD juga sebagai komunikasi massa. Dalam CD, superhero dikonstruksikan serius dan menolong orang lain. Namun, televisi mengemasnya atau men-dekonstruksinya dalam sinetron komedi. Dalam hal ini televisi juga sebagai alat konstruksi pikiran masyarakat atau konstruksi sosial.

Jika mengambil contoh program di televisi maka masih banyak lagi. Kita ketahui juga dalam kajian ilmu komunikasi, paling tidak ada realitas simbolis yang dibentuk oleh televisi itu sendiri, realitas subyektif (pemirsa televisi), dan realitas obyektif (fakta yang sesungguhnya). Pemirsa televisi juga memiliki kesadarannya sendiri. Itu mengingatkan bagaimana proses konstruksi maupun dekonstruksi oleh televisi.

Konstruksi maupun dekonstruksi juga tidak hanya terjadi di televisi. Dekonstruksi juga dipakai untuk menginterpretasi makna teks dari suatu kitab suci. Dekonstruksi ini tampaknya juga beriringan dengan posmodernisme. Satu hal yang saya ingat dari posmodernisme ini adalah “tidak ada kebenaran, yang ada adalah kebenaran-kebenaran.” Agaknya aliran-aliran “sempalan” dalam agama yang “mungkin” dinilai tidak menjadi bagian dari “kebenaran” itu tergolong dalam “kebenaran-kebenaran”.

Pandangan yang terakhir mengenai “kebenaran-kebenaran” itu memang bisa dilematis. Jika dikaitkan dengan agama maka itu bisa sangat sensitif. Sejarah telah berbicara, bidang keagamaan dalam beberapa kasus memunculkan konflik sosial. Juga bisa memunculkan kegelisahan maupun keterguncangan dalam masyarakat. Artinya kebenaran itu tak semata-mata kebanaran. Pada akhirnya kebenaran harus berhadapan dengan konsensus atau kesepakatan masyarakat yang bersangkutan.

Berbeda jika misalnya bahasa nasional di Indonesia adalah bahasa Indonesia. Lalu ada bahasa Madura, bahasa Jawa, Bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Jika bahasa Indonesia merupakan kebenaran, tetapi juga tidak memungkiri kebenaran-kebanaran bahasa-bahasa tadi.