Honda Astrea
Impressa produksi tahun 2000 ini dibeli oleh orang tua saya tahun 2000. Orang
tua saya membelinya baru di sebuah dealer terkenal di Kota Nganjuk. Kata bapak
saya sesaat setelah membelinya di dealer, ada orang yang berniat mau
membelinya. Konon, Honda Astrea Impressa tahun 2000 ini menjelang akhir
produksi. Tahun 2000 ini katanya blok mesinnya masih diimpor dari negara
asalnya, Jepang.
Saat itu saya masih kelas 1 SMA.
Sepulang sekolah, saya melihat ada motor baru yang belum ada plat nomornya di beranda
rumah. Langsung saya coba. Cat bau motor yang baru masih tercium. “Lumayan ini
motor,” batin saya saat itu. Motornya kecil. Suaranya empuk dan merdu. Joknya
juga empuk.
Namun, ketertarikan saya hanya
sebentar. Saya lebih memilih Suzuki Shogun 110 tahun 1997 untuk dipakai
sekolah. Shogun larinya lebih kencang daripada Impressa. Silinder Shogun lebih
besar daripada Impressa. Maklum, saya masih remaja. Awal-awal masuk SMA. Jadi,
lebih memilih motor yang larinya lebih kencang. Namun, Shogun Kebo warna hitam
itu di jual tahun 2013 akhir. Tahun 2014 awal saya membeli Honda Supra X 125
FI. Cerita Shogun Kebo dan Supra X FI mungkin dalam kesempatan lain.
Singkat cerita, ketertarikan saya
pada Impressa dimulai tahun 2018 sampai saat ini. Sejak tahun 2000, sejak
pertama beli, tidak ada masalah besar. Baru pada tahun 2018 motor sering sulit
dihidupkan. Setiap bulan sekali harus ganti busi. Saya sesungguhnya tidak
begitu paham dengan mesin. Kata orang bengkel piston dan lain-lain harus
diganti. Agustus 2018 pistonnya saya ganti di bengkel yang kata orang-orang
hasilnya bagus. Biayanya sekitar Rp 500.000,-.
Wajar, motor termasuk tua, sudah
berusia 19 tahun. Turun mesin jadi keharusan. Apalagi, sejak saya kuliah, saya
tidak tahu perawatan oleh bapak saya. Terkadang oli baru diganti setiap 6 bulan
sekali. Terkadang motor ini juga dipakai untuk angkut pupuk 2 sak. Satu sak 50
kg.
Sayang. Januari 2019
“penyakitnya” kambuh lagi. Motor jadi sulit dinyalakan. Setiap bulan sekali
harus ganti busi. Sampai Maret 2019 saya tanyakan di bengkel lain yang katanya
juga bagus. Setelah dibuka, ternyata bagian piston ada yang hangus. “Ini salah
penangan,” kata orang bengkel. Sarannya harus ganti piston dan lain-lain. Jadi,
ini episode kedua ganti piston. Saya nekat. Terpaksa motor itu harus saya
rawat. Biayanya kurang lebih sama saat ganti piston episode pertama. Rp
500.000,-. Saya sekalian minta piston yang asli. Suku cadang motor ini memang
lebih mudah didapat.
Kini, saya lebih memerhatikan
motor sejuta umat ini. Sejak Maret sampai September 2019 ini motor lancar
dikendarai. Oli saya tap paling lama 3 bulan. Saya mengikuti saran orang
bengkel langganan saya, oli untuk motor tua ini biasanya Supreme XX. Saya biasa
gantian mengendarainya untuk bekerja, mengajar di MAN 2 Nganjuk yang berjarak 8
km dari rumah. Sehari saya memakai Impressa. Esoknya saya memakai Supra X 100
CC tahun 2003. Sifat mesin, pemakaian tersebut sekaligus perawatan.
Jika melihat foto maupun video,
betapa saya ingin mempertahankannya. Mungkin nasibnya suatu hari seperti Honda
70 atau Honda Minti. Saat mengendarainya seakan terkenang, nostalgia dengan
masa lalu, dengan perasaan masih memiliki motor antik. Motornya bapak-bapak.
Banyak bagian yang masih asli. Misalnya,
spionnya asli. Jok dan kulitnya sudah saya ganti. Saya pasang jaring jok untuk
mengurangi kesan jok yang kecil. Panel jarum bahan bakar juga masih normal.
Jarum speedometer juga normal. Angka km speedometer juga masih berfungsi. Starter
otomatis masih bisa. Shockbreaker atau peredam kejut juga masih asli sejak beli
meskipun idealnya harus ganti. Sayap kiri dan kanan masih asli. Katengkas juga
masih asli. Bahkan, tutup karet rantai katengkas baru saya belikan seharga Rp
3.000,-
Kadang, saat saya kendarai ada
orang memerhatikan motor ini. Mungkin perhatiannya karena masih merawat motor
tua. Suka dengan motor klasik. Mungkin juga hatinya berkata “motor tua masih
dirawat, mungkin nggak punya duit beli motor lain”.
Memang, dibandingkan dengan motor
Honda Supra X 125 CC FI cukup jauh. Gas motor bebek ini terasa berat. Lajunya
juga lebih lamban. Lampu standarnya juga kurang terang. Posisi berkendara harus
duduk di jok dengan posisi agak mundur karena jarak dengan stang cukup pendek. Iritnya tentu
saja tidak seirit saat pertama kali beli.
Di balik itu, ada sebuah kesabaran. Kesabaran merawat motor yang sudah hampir 2 dasawarsa. Ada sebuah kepuasan. Kepuasan mengendarai motor yang pernah melegenda di jamannya. Ada sebuah kebanggaan. Bangga masih mempertahankan, mengendarai, merawat, memiliki motor yang makin lama makin langka.
Galeri foto:
Galeri foto:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar