Sabtu, 28 September 2019

Honda Astrea Impressa 2000


            
          Honda Astrea Impressa produksi tahun 2000 ini dibeli oleh orang tua saya tahun 2000. Orang tua saya membelinya baru di sebuah dealer terkenal di Kota Nganjuk. Kata bapak saya sesaat setelah membelinya di dealer, ada orang yang berniat mau membelinya. Konon, Honda Astrea Impressa tahun 2000 ini menjelang akhir produksi. Tahun 2000 ini katanya blok mesinnya masih diimpor dari negara asalnya, Jepang.
Saat itu saya masih kelas 1 SMA. Sepulang sekolah, saya melihat ada motor baru yang belum ada plat nomornya di beranda rumah. Langsung saya coba. Cat bau motor yang baru masih tercium. “Lumayan ini motor,” batin saya saat itu. Motornya kecil. Suaranya empuk dan merdu. Joknya juga empuk.
Namun, ketertarikan saya hanya sebentar. Saya lebih memilih Suzuki Shogun 110 tahun 1997 untuk dipakai sekolah. Shogun larinya lebih kencang daripada Impressa. Silinder Shogun lebih besar daripada Impressa. Maklum, saya masih remaja. Awal-awal masuk SMA. Jadi, lebih memilih motor yang larinya lebih kencang. Namun, Shogun Kebo warna hitam itu di jual tahun 2013 akhir. Tahun 2014 awal saya membeli Honda Supra X 125 FI. Cerita Shogun Kebo dan Supra X FI mungkin dalam kesempatan lain.
Singkat cerita, ketertarikan saya pada Impressa dimulai tahun 2018 sampai saat ini. Sejak tahun 2000, sejak pertama beli, tidak ada masalah besar. Baru pada tahun 2018 motor sering sulit dihidupkan. Setiap bulan sekali harus ganti busi. Saya sesungguhnya tidak begitu paham dengan mesin. Kata orang bengkel piston dan lain-lain harus diganti. Agustus 2018 pistonnya saya ganti di bengkel yang kata orang-orang hasilnya bagus. Biayanya sekitar Rp 500.000,-.
Wajar, motor termasuk tua, sudah berusia 19 tahun. Turun mesin jadi keharusan. Apalagi, sejak saya kuliah, saya tidak tahu perawatan oleh bapak saya. Terkadang oli baru diganti setiap 6 bulan sekali. Terkadang motor ini juga dipakai untuk angkut pupuk 2 sak. Satu sak 50 kg.
Sayang. Januari 2019 “penyakitnya” kambuh lagi. Motor jadi sulit dinyalakan. Setiap bulan sekali harus ganti busi. Sampai Maret 2019 saya tanyakan di bengkel lain yang katanya juga bagus. Setelah dibuka, ternyata bagian piston ada yang hangus. “Ini salah penangan,” kata orang bengkel. Sarannya harus ganti piston dan lain-lain. Jadi, ini episode kedua ganti piston. Saya nekat. Terpaksa motor itu harus saya rawat. Biayanya kurang lebih sama saat ganti piston episode pertama. Rp 500.000,-. Saya sekalian minta piston yang asli. Suku cadang motor ini memang lebih mudah didapat.
Kini, saya lebih memerhatikan motor sejuta umat ini. Sejak Maret sampai September 2019 ini motor lancar dikendarai. Oli saya tap paling lama 3 bulan. Saya mengikuti saran orang bengkel langganan saya, oli untuk motor tua ini biasanya Supreme XX. Saya biasa gantian mengendarainya untuk bekerja, mengajar di MAN 2 Nganjuk yang berjarak 8 km dari rumah. Sehari saya memakai Impressa. Esoknya saya memakai Supra X 100 CC tahun 2003. Sifat mesin, pemakaian tersebut sekaligus perawatan.
Jika melihat foto maupun video, betapa saya ingin mempertahankannya. Mungkin nasibnya suatu hari seperti Honda 70 atau Honda Minti. Saat mengendarainya seakan terkenang, nostalgia dengan masa lalu, dengan perasaan masih memiliki motor antik. Motornya bapak-bapak.
Banyak bagian yang masih asli. Misalnya, spionnya asli. Jok dan kulitnya sudah saya ganti. Saya pasang jaring jok untuk mengurangi kesan jok yang kecil. Panel jarum bahan bakar juga masih normal. Jarum speedometer juga normal. Angka km speedometer juga masih berfungsi. Starter otomatis masih bisa. Shockbreaker atau peredam kejut juga masih asli sejak beli meskipun idealnya harus ganti. Sayap kiri dan kanan masih asli. Katengkas juga masih asli. Bahkan, tutup karet rantai katengkas baru saya belikan seharga Rp 3.000,-
Kadang, saat saya kendarai ada orang memerhatikan motor ini. Mungkin perhatiannya karena masih merawat motor tua. Suka dengan motor klasik. Mungkin juga hatinya berkata “motor tua masih dirawat, mungkin nggak punya duit beli motor lain”.
Memang, dibandingkan dengan motor Honda Supra X 125 CC FI cukup jauh. Gas motor bebek ini terasa berat. Lajunya juga lebih lamban. Lampu standarnya juga kurang terang. Posisi berkendara harus duduk di jok dengan posisi agak mundur karena jarak dengan stang cukup pendek. Iritnya tentu saja tidak seirit saat pertama kali beli.
            Di balik itu, ada sebuah kesabaran. Kesabaran merawat motor yang sudah hampir 2 dasawarsa. Ada sebuah kepuasan. Kepuasan mengendarai motor yang pernah melegenda di jamannya. Ada sebuah kebanggaan. Bangga masih mempertahankan, mengendarai, merawat, memiliki motor yang makin lama makin langka.
Galeri foto:








Tidak ada komentar:

Posting Komentar