Sains di Mata Filsafat
(Resensi Buku)
Oleh: Puguh Utomo
Judul buku : Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar
Penulis : Reza A.A Wattimena
Penerbit : Grasindo, Jakarta
Tahun terbit : 2008
Tebal : 321 halaman
Apabila berbicara tentang filsafat, sebagian orang mungkin menganggapnya bisa akan melelahkan pikiran. Khususnya bagi yang tak terbiasa dengan bahasa filsafat maka bahasa dalam filsafat bisa sangat sulit dimengerti. Bahasa filsafat umumnya berbeda dengan bahasa sehari-hari. Apalagi membaca buku-buku filsafat maka bisa-bisa dahi berkerut. Terkadang bahasa filsafat menjadi kendala dalam mengenali filsafat.
Meskipun demikian, itu bukan berarti tidak ada pembumian terhadap filsafat. Hal itu ditandai dengan munculnya buku-buku filsafat yang bahasanya dikemas sedemikian rupa, khususnya untuk kalangan awam. Sehubungan dengan itu, tetap diperlukan pembacaan yang aktif terhadap sebuah buku, termasuk buku filsafat. Di samping itu, tak sedikit pula diskusi-diskusi tentang filsafat, entah dengan kopi darat maupun di dunia maya, internet.
Di samping itu, seringkali dikatakan bahwa setiap orang sebetulnya berfilsafat. Misalnya, orang bertanya, mengapa burung Merpati bisa terbang? Orang akan menjawab, burung merpati bisa terbang karena memiliki sayap. Orang pun akan menyetujui jawaban itu kendatipun itu hanya salah satu jawaban saja. Lalu ada pertanyaan lainnya, apakah hanya burung Merpati saja yang dapat terbang? Bagaimana dengan burung Onta? Apakah yang bersayap maka bisa terbang?
Itulah salah satu contoh sederhana berfilsafat. Salah satu ciri dari filsafat, yakni berupa pertanyaan-pertanyaan sekaligus jawaban-jawabannya yang masuk akal. Artinya, jawaban itu dapat diterima oleh akal manusia. Sementara itu, ciri lain lain dari filsafat adalah sifatnya yang menyeluruh. Sesuatu hal, oleh filsafat ditelusuri sampai pada akar-akarnya.
Kesulitan memahami filsafat biasanya setelah filsafat itu telah terrumuskan sebagaimana umumnya yang diajarkan di jurusan filsafat yang diajarkan di universitas. Pada wilayah itu maka lalu muncullah, misalnya istilah-istilah seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Agaknya bahasa filsafat itu pula yang menjadi keunggulan sekaligus kelemahan filsafat.
Dari sisi kurikulum pendidikan, filsafat pun baru diberikan sebagai mata kuliah di jenjang perguruan tinggi pada semester pertama. Mata kuliah itu bernama filsafat ilmu pengetahuan dan etika akademik. Pembarian mata kuliah tersebut di semester pertama pun untuk bekal dalam menerima mata kuliah-mata kuliah berikutnya. Maka dari itu, betapa pentingnya filsafat ilmu pengetahuan, terutama dalam dunia akademis.
Kemudian, sesuai dengan salah satu cirinya, yakni filsafat bersifat menyeluruh dalam kajiannya. Sains pun tak lepas dari kajian filsafat. Bahkan, filsafat pun disebut sebagai induk dari sains. Karena sains berakar dari filsafat maka dapat pula dikemukakan bahwa di semua sains terdapat unsur-unsur filosofis. Selanjutnya, sains pun tidak terlepas dari kajian filsafat, lalu muncullah filsafat-sains seperti yang akan dikemukakan di bawah ini.
Mengapa filsafat membicarakan sains? Jawabannya, antara lain, sains berkembang dengan cukup pesat. Bahkan, perkembangannya melebihi perkembangan filsafat itu sendiri. Sampai sekarang telah muncul ratusan cabang sains atau bidang akademis. Bidang akademis yang ada di universitas itu hanya sebagian saja. Sementara itu, sains pun masih dimungkinkan akan terus muncul cabang-cabang sains yang baru.
Sebagai contoh konkret hasil dari sains adalah teknologi nuklir, misi ke ruang angkasa, pemuliaan tanaman, rekayasa genetika, sistem politik, sistem ekonomi, dan lain sebagainya. Hasil-hasil sains itu masih terus berkembang dan dikembangkan. Namun, tak selamanya perkembangan sains itu sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, sains membutuhkan filsafat.
Tentu saja dalam hal ini filsafat sains tidak bermaksud mengganggu atau bahkan menggantikan posisi sains. Justru filsafat dapat menjadi refleksi bagi sains. Filsafat pun tak bermaksud “sok tahu”. Kiranya perlu dikatakan pula bahwa antara sains dan filsafat memiliki asas dan prosedur yang berbeda. Akan tetapi, jika demikian maka filsafat pun dapat dipandang sebagai sains. Apabila dibalik lagi maka sains pun juga bisa berposisi sebagai filsafat. Dalam hubungan itu, antara sains dan filsafat bersifat saling melengkapi.
Meskipun demikian, kiranya perlu dibuatkan batasan. Jika sains mengutamakan sains sendiri maka filsafat-sains berbicara tentang hakikat sains itu sendiri, antarsains maupun dalam kaitannya dengan segi-segi yang lain. Misalnya, sosiologi maka hanya akan menitikberatkan tentang sosiologi saja. Demikian juga dengan biologi maka juga akan memfokuskan pada biologi saja. Namun, jika filsafat-sains maka akan mengungkap tentang sains dan “aneka ragamnya”. Tidak hanya sosiologi saja atau biologi saja, tetapi juga semua bidang akademis.
Itu pula yang ingin dikemukakan oleh buku berjudul Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar yang ditulis oleh Reza A. A Wattimena. Meskipun pada judul tertulis “sains”, tetapi di pembahasannya ditulis “ilmu pengetahuan”. Agaknya istilah “sains” dan “ilmu pengetahuan” bersinonim. Kemudian, buku ini merupakan salah satu buku yang berbicara tentang sains dari kacamata filsafat. Tentu saja dengan bahasa filsafat.
Sebetulnya, hampir setiap buku yang berbicara tentang sains dari kacamata filsafat hakikatnya adalah sama. Sudut pandang setiap penulislah yang membedakan antara satu buku dengan buku lainnya. Dibandingkan dengan buku lainnya, buku ini lebih aktual berbicara tentang ilmu pengetahuan dari kacamata filsafat. Misalnya diulas tentang revolusi digital (hlm. 153). Pendapat-pendapat yang dikutip dalam buku ini pun sebagian bersumber dari tokoh-tokoh masa sekarang.
Umumnya buku filsafat-sains maka terdapat perkenalan tentang apa itu filsafat. Setelah itu penyelaman terhadap apa itu filsafat-sains. Terkait dengan itu, buku ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian I yang terdiri atas empat bab, memaparkan perkenalan tentang filsafat. Kemudian, baru pada bagian II berbicara tentang ilmu pengetahuan dari kacamata filsafat, sebanyak sembilan bab. Di akhir halaman pun terdapat epilog tentang sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan.
Lazimnya sistematika sebuah buku, pada bagian II ini pun kembali dipaparkan tentang filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan, yakni di bab 1. selanjutnya, pada bab 2 dikemukakan pula sejarah ilmu pengetahuan. Sementara itu, di bab 3 dan bab 4 berbicara tentang asas dan prosedur dalam ilmu pengetahuan.
Umumnya buku-buku filsafat yang mendedah ilmu pengetahuan, buku ini pun membedakan ilmu pengetahuan menjadi dua, yakni ilmu alam dan ilmu sosial. Itu dapat disimak pada bab 5. Pada pembahasan tersebut akan tampak pula bahwa kesenjangan juga terjadi dalam ilmu pengetahuan, yakni antara ilmu alam dengan ilmu sosial. Dalam hal ini ilmu alam lebih cepat maju daripada ilmu sosial. Agaknya hal seperti juga diulas oleh buku sejenis. Meskipun demikian, itu hanya dibahas secara tersirat saja. Lagi pula, Reza memandang posisi antara ilmu sosial dan ilmu ilmu alam adalah sama. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah di antara dua ilmu tersebut (hlm. 220).
Selanjutnya, bab 6 membicarakan permasalahan abadi dalam filsafat ilmu pengetahuan, yakni tentang nilai. Secara sederhana, nilai itu mengungkapkan baik buruknya ilmu pengetahuan. Lagi-lagi, dalam pembahasan itu filsafat menunjukkan analisisnya terhadap ilmu pengetahuan. Misalnya keterkaitan antara politik dan teknologi. Bagaimanapun juga ilmu pengetahuan adalah alat dan tidaklah bergerak sendiri. Tangan-tangan manusialah yang menggerakkannya.
Berkenaan dengan itu, buku ini pun memberi porsi yang lebih banyak membahas ilmu sosial. Itu dipaparkan pada bab 7, filsafat ilmu-ilmu sosial; dan filsafat ilmu-ilmu sosial II pada bab 8. Sementara itu, pada ilmu alam hanya dibahas pada bab 5. Memang, porsi itu menunjukkan bahwa banyak dari ilmu sosial yang perlu untuk diulas dari kacamata filsafat. Sebaliknya, tambahan ulasan itu juga menunjukkan pemihakan terhadap ilmu sosial.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar