Vitamin untuk Penulis
(Resensi Buku)
Oleh: Puguh Utomo
Judul buku : Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan
Menulis
Penulis : Hernowo
Penerbit : Penerbit Mizan Learning Centre (MLC), Bandung
Tahun terbit : 2004
Tebal : 325 halaman.
Judul buku yang ditulis oleh Hernowo ini lain dari yang lain. Pembaca yang pertama kali melihat sampul buku ini pasti akan bertanya-tanya tentang judul utama, yakni Vitamin T. Setelah membaca keseluruhan judulnya, pembaca yang pertama kali melihat buku ini kemungkinan juga masih akan bertanya-tanya tentang isi buku ini. Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin disertai dengan keraguan atas sampul dan isi buku ini. Namun, setelah mengetahui penulis dan penerbitnya barangkali keraguan itu akan berkurang. Nama penulis dan penerbit biasanya dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menilai apakah buku itu layak dibeli atau tidak. Seseorang yang penasaran pada kepenulisan maka kemungkinan besar akan membeli buku ini.
Namun, seseorang yang sudah mengenal karya-karya Hernowo sebelumnya, terutama terbitan MLC maka tidak akan terkejut. Misalnya, gagasan utama dalam karyanya, gaya tulisan yang dipakai, desain tulisan karyanya, dan lain sebagainya. Gaya tulisan yang dipakai, misalnya Hernowo cenderung “bebas” dalam gaya bahasanya.
Kemudian, penjelasan tentang judul buku yang provokatif ini dapat dibaca di bagian pembuka, mulai halaman 19. Namun, penulisnya terkesan tidak to the point menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Vitamin T (huruf “T” pun ditulis besar, mendominasi sampul depan). Di akhir penjelasannya pun penulis menutup dengan pertanyaan, “So, mengapa akhirnya buku ini dijuduli Vitamin T?” (hlm. 22).
Sementara itu, sesuai dengan subjudulnya, buku ini bertujuan memotivasi agar pembacanya menyukai aktifitas menulis dan tentu saja membaca. Tampaknya itulah vitamin yang terkandung sekaligus dimaksud oleh Hernowo dalam buku ini. Sejenis vitamin untuk membantu peningkatan membaca dan menulis. Hampir di setiap bab dan subbab dalam buku ini tak lepas dari kata “baca” dan “tulis”.
Melanjutkan paragraf di atas, gaya bahasa yang dipakai oleh Hernowo memang cenderung “bebas”. Artinya, Hernowo tidak terlalu mengikuti aturan tata bahasa yang baku. Justru yang dipentingkannya adalah bagaimana pembacanya bisa memahami isi tulisannya dan termotivasi oleh tulisannya. Itu misalnya, tampak dari banyaknya tanda baca koma di setiap halamannya yang meskipun itu sah-sah saja, tetapi itu agaknya itu kurang lazim dalam bahasa tulis. Kendatipun demikian, kalimat dalam buku ini lebih bertenaga dan lebih sugestif.
Dalam buku ini pula Hernowo banyak memakai kutipan dari banyak tokoh dengan berbagai latar belakang, khususnya kalangan yang bergelut dengan membaca dan menulis. Misalnya, Morrie Schawartz (hlm. 108). Dari dalam negeri ada Eep Saefulloh Fatah, seorang yang dikenal sebagai pengamat politik dan kolumnis yang menulis tentang politik pada sebuah koran nasional. Dalam buku ini Eep menyumbangkan tulisan berjudul Sikap Dasar tentang Kepenulisan (hlm. 144-149).
Di samping itu, juga dikutip sejumlah pandangan dari kalangan agamawan maupun ilmuwan. Menulis dan membaca pun merupakan kegiatan yang lebih membutuhkan olah rasa atau olah pikir. Oleh karena itu, membaca dan menulis pun perlu sentuhan-sentuhan yang bersumber nilai-nilai agama maupun temuan-temuan dari para ilmuwan.
Tokoh-tokoh yang disebut dalam tulisan ini bertujuan untuk mengambil pelajaran dari pandangan-pandangannya. Dalam hal ini tidak hanya berupa pandangan dari penulis buku ini saja. Pandangan-pandangan tokoh yang mengandung kata-kata mutiara itu untuk menguatkan dan meyakinkan akan manfaat membaca dan menulis.
Buku ini pun banyak mengungkapkan hal-hal argumentatif maupun pernyataan-pernyataan menarik berkaitan dengan membaca dan menulis. Terutama mungkin pernyataan-pernyataan itu aktual untuk pembaca maupun penulis pemula. Contohnya, “para siswa dan mahasiswa kita kurang benar diajak untuk berusaha keras dan habis-habisan berlatih MEMBACA DAN MENULISKAN PIKIRAN” (hlm. 48).
Dapat pula dikatakan bahwa buku ini menawarkan filosofi membaca dan menulis. Bahwa membaca dan menulis bisa bermanfaat. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, dengan membaca seseorang dapat lebih mengetahui sesuatu di luar jangkauan dirinya. Begitu juga dengan menulis, tulisan satu orang dapat diinformasikan pada banyak orang.
Agaknya dua hal itu, yakni membaca dan menulis tidak dapat saling dilepaskan satu sama lain. Banyak pembaca juga penulis mengatakan bahwa umumnya membaca lalu dilanjutkan dengan menulis. Sebaliknya, menulis pun biasanya perlu membaca. Dan lagi, sepertinya lebih banyak pembaca daripada penulis.
Kenyataannya tidak setiap orang aktif dalam membaca maupun menulis. Dalam artian membaca dan menulis secara intensif dan sebagaimana lazimnya membaca dan menulis. Misalnya membaca koran, majalah, buku dan lain sebagainya. Demikian juga dengan menulis, dalam arti misalnya menulis artikel di kolom opini di koran, menulis skripsi, menulis novel, dan lain-lain. Apabila dilihat dari jumlah penduduk yang sekitar 210 juta jiwa, sampai kini, jumlah pembaca dan penulis seperti itu di Indonesia jumlahnya tergolong sedikit. Anggaplah itu sebagai kelompok pertama.
Namun, bagaimanapun juga setiap orang pasti akan berbahasa dalam berbagai bentuk. Termasuk itu, berbahasa pun tidak harus dengan bahasa tulis. Berkenaan dengan itu, secara pasif setiap orang sebetulnya membaca dan menulis. Memang, di sekolah sejak jenjang taman kanak-kanak (TK) pun sudah mulai diajarkan membaca dan menulis. Akan tetapi, dalam proses perkembangan seseorang, tidak semua orang secara intensif melakukan kegiatan membaca dan menulis seperti pengertian di atas. Anggaplah ini sebagai kelompok kedua.
Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa keberadaan kelompok pertama terhambat. Bagaimanapun juga, terutama tulisan, juga sebuah karya. Sama halnya seperti sebuah lukisan, sebuah lagu, maupun sebuah patung. Sementara hasil tulisan itu bisa dalam media kertas seperti koran, buku, majalah, maupun media elektronik seperti internet. Keberadaan berbagai bentuk media itu pun membuktikan bahwa karya tulisan tetap dibutuhkan oleh manusia.
Barangkali kelompok pertama inilah yang ingin dibidik oleh buku ini. Tentu saja itu juga bukan berarti kelompok kedua bukan merupakan sasaran pembaca dari buku ini. Membaca dan menulis juga merupakan hak bagi setiap orang. Sama halnya hak untuk berbicara. Hak untuk membaca dan menulis pun tak memandang orang itu dari lapisan sosial mana. Lagi pula, menulis pun berhubungan dengan penyebaran akan ide-ide. Lepas dari hal itu, setiap orang pada dasarnya memiliki potensi untuk menulis. Sementara terkadang potensi itu perlu dirangsang agar potensi itu dapat berkembang. Rangsangan itu antara lain bisa lewat sebuah buku.
Kemudian, buku ini pun mengkritik tentang kegiatan membaca dan menulis di lembaga pendidikan. Misalnya, dikatakan “sayangnya, tak sedikit perguruan tinggi di masa kini yang kurang menekankan perlunya dua kecakapan tersebut untuk dimiliki secara hebat oleh para mahasiswa” (hlm. 132). Hal yang sama juga dikatakan oleh Eep sebagai bintang tamu dalam buku ini, yakni “celakanya, institusi pendidikan kita, baik formal maupun informal, justru mengajarkan sikap dasar menulis yang keliru” (hlm. 147).
Memang, membaca dan menulis pun tak luput dari kendala. Misalnya, membaca dan menulis merupakan aktifitas yang jelimet sebab harus mencermati setiap huruf, kata, sampai kesatuan wacana yang ditulis. Kendala itu pun terjadi pada kelompok pertama yang sesungguhnya tidak lepas dari membaca dan menulis secara aktif. Kemudian, buku ini menawarkan perspektif baru tentang membaca dan menulis menjadi lebih menyenangkan.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar