Dari Nganjuk Mampir ke Suramadu
Oleh: Puguh Utomo
Pagi itu jam 05.30, Sabtu, 10 Oktober 2009 saya, kedua orang tua, Bu Lek, misanan saya beserta suaminya dan seorang anaknya berangkat dari Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk dengan roda empat. Dengan mobil sewaan itu kami akan menghadiri acara wisuda adik kandung saya di sebuah universitas negeri di Surabaya. Tentu saja undangan wisuda itu hanya untuk kedua orang tua dan wisudawan maupun wisudawati.
Perjalanan mulai dari Nganjuk ke Surabaya pun dimulai. Saat masih di kawasan Nganjuk, saya masih sangat mengenal jalan. Sesampai di Kecamatan Sukomoro saya sempat memberitahu pada rombongan bahwa beberapa minggu yang lalu saya sempat mengikuti reuni di sebuah rumah. Kemudian, sampai kawasan Kabupaten Jombang saya masih ingat bahwa saya pernah melewati jalan ini. Kira-kira Maret 2009 yang lalu saya pernah bersepeda motor ke Kecamatan Sumobito, Jombang, untuk menghadiri acara akad nikah teman saya.
Memasuki Kabupaten Mojokerto, saya sudah tidak mengenal lagi jalan. Saya seperti melewati jalan yang belum pernah saya lewati. Maklum, saya termasuk orang yang jarang bepergian, khususnya dengan kendaraan roda empat maupun roda dua. Dulu saat masih kuliah di Universitas Jember, Jember, saya lebih sering naik kereta api (KA).
Begitu sampai di Krian, Surabaya, suhu udara pun terasa mulai berubah. Persisnya saat itu rombongan berhenti di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Waktu itu jam menunjukkan sekitar 08.00. Beberapa di antara rombongan harus buang air kecil. Saya pun memanfaatkan istirahat itu dengan sedikit berolahraga. Perjalanan selama kurang lebih 3 jam itu membuat saya pusing dan agak mual-mual.
Sementara itu, acara wisuda sendiri dilaksanakan jam 13.00 WIB. Namun, kami harus di tempat wisuda pada jam 11.00 WIB. Awalnya perjalanan itu telah direncanakan sebelumnya. Termasuk sebelum rombongan ke tempat wisuda, kami akan ke tol Suramadu. Kami hanya ingin mampir dan melewati tol tersebut. Orang juga mengenalnya sebagai jembatan Suramadu yang merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara.
Perjalanan ke ibu kota provinsi Jawa Timur itu memang bukan kali pertama bagi saya. Saat saya kelas 3 Sekolah Dasar (SD) saya pernah ke sana. Di samping itu, sejak lulus Sekolah Menengah Atas (SMU), untuk kepentingan studi saya agak kosmopolit. Artinya, jika mudik atau balik Nganjuk-Jember dengan KA maka saya selalu melewati Surabaya.
Kemudian, perjalanan dengan roda empat itu membuat saya berpikir tentang Surabaya. Suhu udara terasa begitu pengap. Saya pun memakai masker meskipun sedang berada di dalam kendaraan. Kemudian, jalan-jalan protokol padat dengan arus kendaraan. Terkadang disertai macet. Bahkan, kami harus melewati jalan tol. Tentu saja jalan tol itu tidak ada di Nganjuk.
Sekitar jam 10.00 kami tiba di gerbang Suramadu. Sebelum melewati tol itu kami harus membayar tarif tol sebesar Rp 30.000,- untuk kendaraan roda empat. Kami pun melewati tol itu dengan laju pelan. Sementara itu, di sisi kiri kami dari kejauhan tampak patung Jalesveva Jaya Mahe berwarna biru langit dengan ukuran kecil. Itu menandai pula Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Begitu mencapai tengah-tengah tol sepanjang kurang lebih 5 km itu, saya pun sempat memeriksa sinyal telepon seluler (ponsel). Aneh. Tidak ada sinyal sama sekali.
Saya bermaksud mengirim pesan pendek pada teman saya yang asli Pamekasan, Madura. Kini dia masih di Jember. Pesan pun tidak terkirim karena ketiadaan sinyal. Dalam pesan itu saya bermaksud ingin menjadikan teman saya itu saksi saat saya melewati Suramadu untuk yang pertama kalinya.
Saat memasuki tengah-tengah tol itu, suhu udara pun terasa sejuk. Pada dasarnya kami melewati Selat Madura. Betul, selat, yakni laut di antara pulau-pulau. Antara Pulau Jawa dan Pulau Madura. Suramadu pun menghubungkan kedua pulau tersebut. Tak salah jika laut pun turut berperan dalam penyerapan CO2.
Sampai di ujung tol dan memasuki Kabupaten Bangkalan, pulau Madura kami pun putar balik. Tentu saja sebelum melewati tol Suramadu kami harus membayar tarif lagi sebesar Rp 30.000,-. Saat tiba di sana di sepanjang pinggir jalan banyak pedagang makanan dan minuman dengan mendirikan rumah semipermanen. Anak misanan saya pun sempat dibelikan sebuah cambuk yang khas Madura. Saat kami berputar itu, saya melihat kembali sinyal ponsel. Ternyata sinyalnya penuh sampai tiba di Surabaya kembali. Itu berbeda dengan saat dari Surabaya ke Bangkalan. Saya pun dapat mengirim pesan pendek ke teman saya.
Akhirnya, sampailah rombongan di indekos adik kandung saya. Setelah menunggu selama beberapa saat, pada jam 11.45 rombongan pergi ke gedung milik universitas tempat diberlangsungkannya wisuda. Jalan di kawasan tempat wisuda pun padat dengan kendaraan khususnya roda empat. Pada saat yang sama Bu Lek saya berkomentar bahwa “sedemikian banyaknya mahasiswa seperti ini masak ingin jadi pegawai semua.”
Singkat cerita, menjelang maghrib setelah acara wisuda selesai, kami pergi ke rumah kerabat kami di Surabaya. Sebelumnya saya sudah mengatakan pada rombongan bahwa saya akan menginap semalam di situ. Pada saat kami bincang-bincang dan menyinggung tentang Suramadu, salah seorang kerabat mengatakan bahwa sesungguhnya masih ada masalah terkait dengan Suramadu itu. Masalah tersebut di antaranya masih adanya kekhawatiran tentang keberadaan tol tersebut, khususnya pengaruh masalah sosial terhadap Madura pada umumnya.
Kemudian, begitu rombongan pulang saya masih berada di Surabaya. Sekitar jam 20.00 saya langsung tidur. Itu merupakan tidur kali kedua saya di Surabaya. Pengalaman tidur itu pun seperti tidur pertama pada tahun 2004. Suhu udaranya panas dan ini membuat mudah berkeringat. Meskipun dapat tertidur, tetapi kurang membuat pulas. Udara pun terasa lebih pengap. Maklum, Surabaya. Saya juga tidak bisa menyalahkannya.
Keesokan paginya adik kandung saya menjemput saya dan sekalian saya akan kembali ke Nganjuk pada siang harinya dengan KA. Rentang waktu itu pun saya manfaatkan dengan mengunjungi tempat saudari saya itu bekerja. Setelah itu, saya dan saudari saya dengan mengendarai sepeda motor pergi ke sebuah toko buku di Surabaya. Saya menemukan satu buku di toko buku tersebut. Saya pun berpikir bahwa betapa lebih lengkapnya toko buku ini dibandingkan dengan, misalnya di Jember. Apalagi di Nganjuk.
Tak terlewatkan, kami mengunjungi sebuah hypermarket di Surabaya. Hypermarket yang terdiri atas beberapa tingkat lantai itu agaknya dijadikan oleh masyarakat Surabaya sebagai tempat rekreasi. Tempat yang luas, ruangan dengan berpendingin udara, dan aneka barang kebutuhan hidup pun menjadi daya tarik tersendiri. Di hypermarket tersebut juga toko buku besar dan saya pun tak melewatkannya meskipun saya tidak beli buku.
Perjalanan dari Nganjuk mampir ke Suramadu dan ke Surabaya pun berakhir di Stasiun Wonokromo. Dari stasiun itu saya kembali ke Nganjuk. Agaknya saya cukup lama tidak naik KA. Terakhir saya naik KA sekitar delapan bulan yang lalu. Dengan sebelumnya membeli tiket seharga Rp 17.000,- saya percaya diri dan siap naik KA yang mengantarkan saya ke Nganjuk.
Ada hal menarik saat saya naik KA itu, yakni saat satu bangku dengan dua orang dari Timor Leste. Mereka berdua juga berangkat dari Stasiun Wonokromo. Saat saya bertanya mereka akan ke Yogyakarta untuk tujuan studi. Dua orang kakak beradik itu memakai bahasa setempat, yang tak saya kenal, untuk berkomunikasi antar keduanya. Namun, sesekali mereka berbahasa Indonesia, terutama dengan orang lain.
Selain itu, ada hal yang membuat saya agak tercengang. Saat saya bertanya tentang pemakaian bahasa Inggris di sekolah-sekolah di Timor Leste, mereka menjawab bahwa bahasa tersebut masih diajarkan. Pertanyaan saya itu didasari bahwa Timor Leste telah memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI). Kemudian, saya bertanya lagi tentang posisi bahasa Indonesia di Timor Leste. Salah seorang di antaranya mengatakan bahwa rencananya tahun depan (2010) bahasa Indonesia akan ditiadakan dari kurikulum di sekolah-sekolah.
Menjelang maghrib saya pun tiba di rumah, Nganjuk. Tentu saja suasananya berbeda dengan Surabaya. Suatu saat mungkin saya akan ke Surabaya lagi dan mungkin juga akan melewati Suramadu lagi.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember
*Foto dari http://thebunx.files.wordpress.com/2009/05/suramadu13.jpg