Seorang teman pernah saya tanyai, “kapan menikah?” Dia (laki-laki) menjawab bahwa dia ingin bekerja dulu. Dua teman (keduanya perempuan) saya yang lain, dengan pertanyaan yang sama, juga menjawab seperti itu. Sementara itu, teman saya yang lain, dengan pertanyaan yang sama, menjawab bahwa dirinya belum siap meskipun secara karier dia sebetulnya sudah tergolong mapan. Saya pun oleh beberapa orang teman juga pernah ditanya tentang kapan menikah. Saya pun menjawab bahwa secara karier saya belumlah mapan dan jodoh pun belum ketemu. Saya juga mengatakan bahwa belum bertemunya jodoh itulah yang lebih mengemuka mengapa saya belum menikah.
Sebelum memulai paragraf selanjutnya, ada yang perlu diketahui dari tulisan ini. Tulisan ini tidak memberikan tips bagaimana meniti karier secara baik. Selain itu, tulisan ini juga tidak mengenalkan cara bagaimana mendapatkan jodoh. Tulisan ini pun tidak bermaksud memberikan ulasan tentang bagaimana mengarungi bahtera kehidupan pernikahan atau berumah tangga. Kiranya telah banyak sumber lain yang membicarakan tentang itu.
Kembali pada tulisan ini, dalam kebiasaan sosial di Indonesia, menurut saya pertanyaan itu wajar. Lagi pula, sebelum bertanya, saya mengidentifikasi dulu profil orang yang saya tanyai itu. Jadi, kemungkinan cukup kecil jika pertanyaan itu dapat menyinggung perasaan. Apalagi, kata kunci dari pertanyaan itu adalah “kapan”. Lagi pula, beberapa orang teman saya juga bertanya pada saya, kapan saya menikah. Saya sendiri menilai bahwa dalam batas “nilai rasa” pertanyaan itu wajar-wajar saja.
Di samping itu, ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi dari teman-teman yang saya tanyai saat itu. Mereka rata-rata berusia 25 tahun. Sebagian besar di antara mereka mengenyam pendidikan tinggi. Pada usia itu pula, mereka dapat dikatakan telah membangun karier pada tahun-tahun awal. Beberapa orang teman itu pula berasal dari kawasan pedesaan maupun kawasan perkotaan. Di samping itu, sejumlah teman-teman yang saya tanyai itu tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan.
Dalam kaitan itu, saya sempat memiliki asumsi terkait dengan pernikahan. Mereka yang berasal dari kawasan pedesaan maka akan lebih dulu menikah jika dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kawasan perkotaan. Satu alasan tentang itu adalah kultur sosial tempat seseorang berada. Di pedesaan, menikah usia muda adalah lebih baik daripada menikah di usia tua. Akan tetapi, asumsi saya itu ternyata salah. Justru mereka, entah dari kawasan perkotaan maupun pedesaan sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk menikah.
Dari hal itu, sebetulnya saya ingin menarik sebuah pola tentang karier, jodoh, dan, nikah. Namun, sepertinya itu tidak bisa dibuat generalisasi-nya. Sebagai contoh adalah asumsi saya tentang mereka yang tinggal di kawasan perkotaan maupun mereka yang di kawasan pedesaan. Contohnya lainnya adalah dua teman saya yang dapat dikatakan telah menemukan jodohnya. Bahkan, jalinan cintanya sudah berlangsung beberapa tahun. Akan tetapi, sampai tulisan ini ditulis, belum terdengar kabar darinya tentang tanggal pernikahan.
Setiap orang alasan sendiri-sendiri, termasuk urusan karier, jodoh, dan pernikahan. Lagi pula, bukankah setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri-sendiri? Sementara itu, terkait dengan karier, jodoh, dan nikah maka jawaban-jawaban itu pada setiap orang cenderung berbeda-beda. Tidak terkecuali bagaimana mereka memaknai arti karier, jodoh, dan nikah dalam hidupnya. Umumnya lebih pada masalah waktu. Barangkali “rumusnya” ada dalam diri setiap individu. Maka dari itu, tidak mudah untuk di-matematis-kan maupun di-generalisasi-kan pada semua individu. Jadi, kemungkinan-kemungkinan bisa saja terjadi sebagaimana sifat dari kehidupan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar