Saya sengaja mencatat bahwa kali pertama panen gabah di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, pada 19 Februari 2010. Karena tanamnya lebih dulu, kali pertama yang panen adalah sawah milik ayah saya. Setelah tanaman padi dipanen dengan biaya Rp 210.000,- dan selep keliling dengan biaya Rp 50.000,-, pada masa labuh (November s/d Februari) atau masa panen di musim hujan ini sawah dengan papan 125 itu menghasilkan hampir 12 kuintal gabah basah. Hasil itu hampir sama dengan perolehan pada musim yang lalu, yakni musim kemarau atau musim gadu, yakni tidak kurang dari 12 kuintal.
Mengingat musim hujan, pemanenan padi pun sengaja dilakukan tidak terlalu pagi, yakni sekitar jam 08.30. Tujuannya agar padi tidak terlalu basah oleh embun pada musim hujan. Di samping itu, untuk memudahkan perontokan padi dari batangnya dengan menggunakan selep keliling.
Begitu telah menjadi gabah maka sesegera mungkin padi itu dijual ke pengepul di kawasan pinggiran kota Nganjuk. Dengan gabah yang kandungan airnya seperti itu, waktu itu harganya masih Rp 2.650,- per kg. Pada musim sebelumnya harga mencapai Rp 2.700,- per kg. Saya masih ingat bahwa saat itu hari Jumat, 19 Februari 2010. Inilah yang saya jadikan patokan untuk aktifitas saya di musim panen kali ini. Kemudian, pada Minggu, 21 Februari harga gabah turun pada kisaran Rp 4.450,- per kg.
Sejak itulah aktifitas saya agak bertambah. Mulai dari memasukkan gabah ke dalam sak, menimbang gabah, sampai menjemur gabah, mengangkut gabah dengan pikap. Khusus saat menjemur gabah, pada musim ayah saya telah membeli alat untuk mengangkut gabah. Alat itu berbentuk “L” dengan dua roda kecil. Lalu, alat itu berkerangka besi.
Di samping itu, saat memasukkan gabah ke dalam sak saya sering memakai masker. Tujuannya untuk menghindari debu gabah, khususnya selesai gabah dijemur. Tentu saja pemakaian masker itu tidak biasa dipakai oleh orang-orang di dusun saya. Namun, saya tidak peduli dengan anggapan orang saat saya memakai masker. Lagi pula, saya tidak begitu merisaukan anggapan orang kampung terhadap saya yang sarjana sosial nonkependidikan, lulusan program studi sosiologi pada sebuah perguruan tinggi negeri ini. Mungkin dalam anggapan umum saya belum mendapatkan pekerjaan sampai hampir satu tahun ini. Keinginan menjadi guru sosiologi pun belum juga terwujud.
Pertambahan aktifitas itu pun karena ayah saya berbisnis atau berdagang di per-gabah-an ini. Sudah lebih dari 15 tahun ini ayah saya berbisnis di bidang tersebut. Selama musim panen pada masa labuh ini, kira-kira ayah saya sudah mengirimkan gabah ke pedagang di pinggiran kota sebanyak lima kali. Rata-rata sekali transaksi mengirimkan gabah sekitar 13 kuintal atau 1,3 ton.
Orang-orang yang berbisnis di gabah di dusun saya ini pun tercatat pernah mencapai 12 orang. Beberapa di antaranya bertahan, tetapi sebagian tidak bisa bertahan. Maklum, bisnis ini tergolong berat. Artinya, modalnya besar dan tenaganya berat, tetapi laba tergolong kecil. Bayangkan, misalnya seorang pedagang gabah membeli 600 kg atau 6 kuintal dikalikan Rp 2.400,- (untuk harga gabah per kg) maka hasilnya Rp 1.440.000,-. Anggap saja itu gabah milik satu kepala keluarga, belum gabah lain milik kepala keluarga yang lain.
Sementara itu, untuk bisnis seseorang harus siap otot untuk menimbang gabah yang satu saknya rata-rata 50 kg. Kemudian, untuk menimbang gabah dengan timbangan gantung maka umumnya dengan dua sak yang berarti 100 kg. Sementara itu, saya sendiri secara fisik dengan tinggi badan sekitar 172 cm, berat badan saya hanya 48 kg. Pernah suatu hari saya membantu menimbang gabah sebanyak hampir 2 ton.
Meskipun demikian, saya tidak selamanya mengerjakan aktifitas yang berat-berat itu sendirian. Ada kuli berotot kuat yang membantu mengangkat gabah. Berbicara mengenai kuli, mungkin itu tergolong satu potret hidup yang keras. Bayangkan, untuk 1000 kg (1 ton) seorang kuli untuk aktifitas menimbang dan memasukkan ke dalam pikap atau truk hanya dibayar Rp 10.000,-. Maka dari itu, tidak semua orang bersedia menjadi kuli. Memang, gaji kuli itu sedikit, tetapi terkadang saat masa peceklik dan segera membutuhkan uang, seorang kuli biasanya meminjam uang pada ayah saya sehingga tidak dapat dilepaskan dari hubungan seperti ini.
Tidak ada bisnis yang tidak be-resiko. Tidak terkecuali dalam bisnis pergabahan ini. Di satu sisi, laba bisnis ini tergolong kecil jika tidak ada strategi. Strategi ayah saya sendiri adalah sebagian gabah tidak dijual langsung. Namun, dijemur dulu dan menunggu selama beberapa minggu saat harga gabah membaik. Dengan dijemur maka kandungan air dalam gabah semakin berkurang dan harganya bisa semakin mahal. Saat diperkirakan sudah mendapatkan laba maka gabah dijual. Terkadang saat situasi finansial memburuk maka gabah segera dijual. Tanpa memperhatikan laba.
Di samping itu, kehilangan uang dalam jumlah jutaan pun juga menjadi salah satu risiko. Dalam hal ini, risiko kehilangan gabah justru lebih kecil dibandingkan dengan risiko kehilangan uang. Artinya, terkadang saat gabah sudah dijual dan pembayaran tidak dengan tunai maka uang bisa melayang. Dengan kata lain, ada kecurangan dalam berbisnis.
Persaingan antar pedagang pun juga tidak terelakan walaupun itu dalam lingkup lokal, yakni satu kampung. Setiap pedagang umumnya bisa dengan mudah menentukan harga gabah. Maksudnya, pemilik gabah akan menjual gabah ke pedagang yang berani memberikan penawaran harga tertinggi. Dalam lingkup pasar lokal, umumnya masih ada rantai pedagang lagi. Biasanya pembeli dari luar kecamatan. Pedagang dari luar inilah yang memberi persen pada pedagang lokal. Maka dari itu, terkadang pedagang lokal tidak perlu modal besar terlebih dahulu sebab pedagang lokal terkadang bertindak sebagai perantara.
Kemudian, pada musim panen kali ini ada satu pengalaman pertama saya. Awalnya saya cukup takut mengangkut gabah sebanyak 1,5 ton dengan pikap ke pedagang di pinggir kota. Bahkan, saya pernah mengangkut 1,7 ton gabah dengan pikap. Ketakutan saya itu dikarenakan saya belum memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) jenis A. Di samping itu, saya tahu bahwa muatan yang disarankan untuk pikap itu hendaknya tidak lebih dari 900 kg (0,9 ton).
Ketakutan itu sendiri misalnya juga karena ada satu titik jalan yang rusak. Saya pun pernah melewati titik jalan yang rusak itu dengan muatan 1,7 ton dan saya pun berhasil melewatinya dengan lewat pada sisi barat jalan tersebut. Namun, beberapa hari kemudian, dengan muatan 1,5 ton saya terjebak di kubangan pasir. Memang, waktu itu saya salah perhitungan dengan melewati sisi timur jalan. Untunglah waktu itu ada pikap pengangkut sapi yang menarik pikap yang saya kendarai. Namun akhirnya saya dapat menghadapi ketakutan saya sendiri. Selama musim ini saya beberapa kali mengangkut gabah ke pedagang di pinggir kota.
Sampai 19 Maret 2010 aktifitas itu berangsur-angsur berkurang seiring berkurangnya padi yang dipanen. Jadi, kurang lebih selama sebulan saya berjibaku dengan gabah. Pada saat yang sama, akhir Maret ini masa tanam padi pun dimulai. Masa juki (Maret s/d Juni) pun akan dilalui.