Di Toko Buku
Selasa, 15 Juni 2010 dengan mengendarai motor seorang teman mengajak saya pergi ke toko buku di Kota Kediri. Kediri adalah sebuah kabupaten yang membatasi Kabupaten Nganjuk di sebelah selatan. Kemarin, kami menempuh waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke kota. Maklum, di kabupaten tempat kami tinggal tidak ada toko buku seperti di Kediri.
Keberadaan toko buku di Kediri pun menandai bagaimana perkembangan Kediri. Khususnya cermin masyarakat akan kebutuhan buku. Dari segi perkembangan kabupaten, Kediri memang lebih besar daripada Nganjuk. Setahu saya, dua toko buku terkenal di Kediri baru ada akhir-akhir ini. Itu berbeda dengan keberadaan toko buku yang besar di Surabaya, Malang, dan di Jember. Apalagi di Yogyakarta maupun di Jakarta.
Saya sendiri hampir satu tahun ini tidak mengunjungi toko buku. Berbeda saat saya masih kuliah dulu. Paling tidak dua bulan sekali saya pergi ke toko buku meskipun tidak membeli buku. Jarak indekos saya dengan toko buku pun relatif dekat. Kunjungan ke toko buku hari itu ingin mengobati kerinduan saya terhadap tempat buku dipajang dan dijual.
Sebelum berangkat, saya menyiapkan uang Rp 65.000,-. Di dua toko buku itu saya berharap menemukan buku bagus. Nama dua toko buku yang terbilang terkenal itu pun tak asing lagi bagi saya. Berbagai jenis buku dari ratusan penulis dan puluhan penerbit akan saya temukan di dua toko buku itu. Dengan uang itu saya berniat membeli buku. Itu pun jika ada buku yang menurut saya bagus.
Pukul 07.45 kami tiba di toko buku A. Ternyata belum buka. Kami pun menuju toko buku B. Toko buku B memang sudah buka, tetapi pintu gerbang belum dibuka penuh sehingga kami belum bisa masuk. Beberapa menit kemudian kami masuk. Kami pengunjung atau pembeli pertama di pagi hari itu.
Begitu masuk saya langsung melihat buku-buku yang dipajang di sana, satu persatu. Seketika itu saya merasa tidak menemukan buku yang bagus. Memang, saya hanya melihat sebagian kecil buku yang dipajang di toko buku itu. Seakan-akan saya bisa menebak isi buku itu. Karena itu, tidak ada satu pun buku yang menarik bagi saya.
Saya pun berpikir bahwa buku merupakan benda seni. Hanya orang-orang tertentu yang merasakan manfaatnya. Layaknya benda seni maka tergolong barang yang mewah. Karena itu, bukan sebagai barang primer sebagaimana makanan. Jika di toko buku itu terpajang ratusan buku, akankah buku-buku itu terjual? Apalagi harganya selangit. Jangan-jangan itu menandai akhir dari minat baca saya. Kurang lebih itulah pikiran awam saya terhadap buku.
Misalnya, buku keagamaan, yakni keislaman. Dalam hati saya berkata, “paling-paling itu seperti buku yang pernah saya beli”. Judulnya bagus. Sampulnya yang tebal dan keren juga bagus. Namun, begitu saya membaca isinya, ternyata membuat saya kecewa. Isinya normatif sehingga saya merasa tidak menemukan pencerahan dari buku itu. Padahal, buku itu bagi saya terbilang mahal. Karena itu, saya merasa trauma membeli buku. Mungkin itu perasaan saya saja.
Saya juga ingin mengatakan, buku terjemahan berjudul Jangan Bersedih (2004) karya ‘Aidh bin ‘Abdullah Al-Qarni tergolong inspiratif. Menggebrak Dunia Mengarang (1992) karya Eka Budianta juga bisa menggugah saya. Setelah sekian lama mencari buku itu akhirnya beberapa waktu yang lalu saya menemukannya di rak bawah di perpustakaan deaerah Kabupaten Nganjuk. Menjadi Manusia Pembelajar (2004) karya Andreas Harefa juga motivasional. Paling tidak tiga buku itulah yang menurut saya bagus. Tidak semua buku itu bagus, tetapi ada juga buku yang menurut saya bagus.
Kemudian, saat di toko buku B, perasaan saya seperti saat di toko buku A. Di toko buku B ini, begitu kami masuk, kami disapa oleh dua orang karyawannya. “Selamat pagi, mas, silakan...,” kata dua orang karyawan. Di toko buku B ini memang ada beberapa buku yang bagus. Namun, saya betul-betul mengendalikan diri antara keinginan dan kebutuhan. Sebagaimana yang pernah saya alami, saya membeli buku karena keinginan. Padahal, saya tidak membutuhkannya. Lagi pula, saya tidak punya uang.
Kami pun pulang. Berbeda dengan teman saya. Dia membeli buku sekitar 10 judul. Dia menghabiskan uang sekitar Rp 250.000,-. Beberapa hari kemudian, saya mengiriminya pesan pendek. Saya ingin membaca sejumlah buku yang ia beli alias mencari gratisan.
keberadaan sebuah buku (saya pikir) memang berkorelasi positif dengan perkembangan suatu daerah. Nganjuk sebagai kota kecil (jika dibanding Kediri, apalagi Jakarta) memang kurang sekali minat bacanya. Buku bukan merupakan barang primer dan masih masuk kriteria barang mewah. Sebenarnya ada plus minusnya tinggal di Nganjuk. Apa-apa murah tapi gak ada toko buku. Di Jakarta dengan uangmu (yang katanya) Rp. 65.000,00 udah bisa untuk memborong 5-7 buku, baik terjemahan maupun buku asli Indonesia. Di kota besar soalnya sering juga diadakan bazar buku, end year sale, atau buku obral. Kebayang kan bisa ngiler dan kalap kalau pas ada event seperti itu. Murah meriah tapi tetap bisa baca. Intinya punya banyak pilihan lah. Tapi harus rela hidup nge-kos, makan di warung, dan jauh dari orang tua dan saudara. Ada harga, ada mutu. hehehe ;=)
BalasHapusMungkin semakin berkembang suatu kabupaten maka minat bacanya semakin tinggi. Namun, sepertinya perkembangan itu sama dengan perkembangan masyarakat perkotaan atau urban. Perkembangan suatu perkotaan menuju metropolis jg tak lepas dari masalah sosial seperti meningkatnya angka kejahatan, masalah lingkungan seperti sampah, polusi, kepadatan penduduk, dsb. Kembali pd soal buku sbg salah salah satu sumber baca, pertanyaan yg menggelitik, apa sich manfaat membaca dan apalagi menulis? Di kampungku, sebagian besar orang menganggap aktifitas membaca dan menulis itu aktifitas yg sia-sia. Namun, saya mencoba membuktikan anggapan itu.
BalasHapus