Mengelola Sekolah Secara Profesional
Judul buku : Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia
Penulis : Munif Chatib
Tebal : xxiv + 188 halaman
Penerbit : Kaifa, Bandung
Tahun terbit : Cet. VII, April 2010
Saya meminjam buku dengan judul yang provokatif itu di perpustakaan daerah Kabupaten Nganjuk, Sabtu, 23 April 2011. Awalnya saya berpikir itu buku baru, terbitan April 2011. Saya pun mengambil buku itu dari lemari etalase di perpustakaan. Jadi, perpustakaan juga baru mengeluarkannya untuk bisa dipinjam pada tanggal tersebut. Empat hari setelah saya pinjam, saya baru tahu buku itu terbit April 2010 silam. Saat saya mulai meresensinya.
Saya tahu setiap periode tertentu perpustakaan daerah itu menambah koleksinya. Misalnya buku-buku diperoleh dengan membeli di toko buku di Surabaya. Buku yang dibeli tidak semuanya baru. Lagi pula tidak semua buku yang baru akan dibeli. Namun, pengalaman meminjam buku pada hari Sabtu itu membuat saya berpikir, betapa terlambatnya saya terhadap akses buku di kabupaten yang tidak besar ini.
Secara umum buku berisi testimoni dari penulisnya yang bekerja di lembaga pendidikan di Yayasan Islam Malik Ibrahim (YIMI), Gresik, Jawa Timur. Status yayasan itu menandai lembaga pendidikan itu berstatus swasta. Juga lembaga itu berlatar belakang keislaman. YIMI itu pun mengingatkan saya pada lembaga pendidikan bernama Baitul Izzah di Nganjuk yang saat ini memiliki Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dan SMP Baitul Izzah.
Baitul Izzah sendiri merupakan laboratory school dari Universitas Negeri Malang (UM). Saat ini di Kabupaten Nganjuk, SDIT Baitul Izzah dikenal favorit untuk jenjang SD meskipun Baitul Izzah berstatus swasta. Karenanya biaya sekolah di Baitul Izzah dikenal lebih tinggi daripada jenjang sekolah yang sama yang berstatus negeri. Namun, dengan biaya itu Baitul Izzah juga dikenal profesional dalam mengelola sekolah. Salah satu bukti adalah nilai siswa dalam ujian nasional (UN) yang di atas rata-rata. Katakanlah dalam lingkup kabupaten.
Namun, saya tidak tahu apakah di Baitul Izzah juga menerapkan sistem berbasis multiple intelligences atau kecerdasan majemuk. Namun, baik Baitul Izzah maupun YIMI sebagai lembaga pendidikan swasta-keislaman tampaknya lebih leluasa menjalankan sistem yang lebih efektif sehingga hasilnya juga baik. Itu jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan dengan jenjang yang sama yang berstatus negeri.
Lagi pula, antara satu SD dengan SD lainnya juga berbeda. Jika metode berbasis kecerdasan mejemuk ini diterapkan di suatu SD maka belum tentu hasilnya juga akan baik. Itu bisa disebabkan oleh kesiapan guru maupun dukungan dari semua pihak. Barangkali inilah kelemahan dari kelebihan metode tersebut.
Di balik metode itu tentu ada pentolan atau penggerak, misalnya guru, kepala sekolah, maupun peran penting pihak lain. Sumber daya manusia yang ada itu, siap bersama-sama dan mampu, serius dengan pekerjaannya. Teori dan praktik betul-betul dijalankan. Hal yang detail dan memang penting dalam penyelenggaraan pendidikan turut diperhatikan. Contohnya dalam membuat rencana pembelajaran (hlm. 150).
Hal yang mengagumkan adalah proses pembelajaran dengan siswa yang saat masuk sekolah dianggap siswa-siswa bodoh dan bermasalah. Dalam metode kecerdasan majemuk semua siswa dianggap cerdas. Dengan begitu maka hasilnya, siswa yang lulus juga akan baik. Inilah yang disebut dengan “the best process” (hlm.91).
Apabila saya katakan sebuah metode dalam sistem, sistem pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk ini sangat memperhatikan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap siswa. Siswa sebagai individu memiliki kecerdasan yang unik. Antara satu siswa dengan siswa lainnya memiliki gaya belajar sendiri-sendiri. Kuncinya adalah pengenalan diri. Misalnya bagaimana interaksi antara guru dengan siswa bernama Bela kelas 2 SD yang awalnya dikenal sebagai pembuat masalah menjadi pembuat prestasi (hlm. 15). Itu juga tidak tidak lepas dari ketelatenan seorang guru.
Dalam perkembangan belajar usia SD agaknya lebih mudah siswa itu “dibentuk”. Testimoni dalam buku ini pun hanya menceritakan keberhasilan metode itu di jenjang SD. Belum menceritakan keberhasilan metode di jenjang SMA yang mungkin usia perkembangan belajarnya sudah terlambat untuk dibentuk.
Metode kecerdasan majemuk ini kiranya juga mendukung dalam konsep belajar sepanjang hayat. Artinya, belajar itu tidak melulu dari balik tembok ruang kelas, tetapi manusia juga bisa belajar dari kehidupan ini secara lebih luas. Lagi pula, jenjang pendidikan tidak sampai pada SD, tetapi juga SMP, SMA dan seterusnya. Jadi, selama manusia itu hidup, manusia hendaknya senantiasa belajar.