Selasa, 30 Desember 2008

Generasi dalam Prodi Sosiologi

Generasi dalam Prodi Sosiologi

Oleh: Puguh Utomo

Sebagaimana diketahui bahwa Program Studi (Prodi) Sosiologi berdiri pada 2001, sedangkan sekarang memasuki tahun ajaran baru, 2008. Berkaitan dengan hal itu, Program Studi Sosiologi telah ada delapan generasi. Apabila setiap generasi rata-rata terdiri atas 35 orang (mahasiswa) maka tinggal dikalikan, dan hasilnya 280 mahasiswa. Jumlah itu bisa lebih, sebab tahun-tahun setelah itu, kuota mahasiswa sosiologi pada setiap generasi mengalami penambahan.

Jumlah itu dihitung dari mahasiswa yang masih aktif maupun yang sudah lulus. Apabila melihat masa studi mahasiswa yang rata-rata empat tahun maka kelulusan dalam Program Studi Sosiologi dimulai pada 2005. Demikian seterusnya, setiap tahun Program Studi Sosiologi meluluskan sejumlah mahasiswanya.

Seperti dikemukakan di atas, bahwa telah ada delapan generasi dalam Program Studi Sosiologi. Inilah yang nantinya menarik, sebab setiap tambahan generasi berarti ada regenerasi pada setiap periode, saat tahun ajaran baru. Kemudian, dalam satu generasi, umumnya individu dalam generasi akan lebih sering berinteraksi intern generasi, khususnya dalam perkuliahan. Begitu satu generasi memulai perkuliahan di hari pertama, seketika itu seolah-olah satu generasi telah menanam satu cita-cita bersama, tetapi sifatnya abstrak. Proses interaksi ini sendiri terbilang berlangsung cukup lama, bertahun-tahun, sehingga cukup bagi individu untuk mengenal satu sama lain. Pada saat berinteraksi itulah individu-individu dalam generasi tersebut menghasilkan keunikan pada generasinya.

Lagi pula, sejumlah momentum yang notabene pembauran, agaknya tidak serta merta menghilangkan identitas ke-generasi-an. Momentum tersebut misalnya populer dengan nama orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Pada momentum tersebut dilakukan oleh generasi sebelumnya terhadap generasi baru. Periode kepengurusan dalam himpunan program studi pun tergolong dalam pembauran ini. Meskipun pada periode ini waktunya cukup lama, sekitar satu tahun, tetapi sepertinya identitas ke-generasi-an tetap terpelihara. Selain hal itu, momentum lainnya yakni peluang individu dalam suatu generasi ikut ke dalam kelas pada generasi lainnya dan sebaliknya. Hal itu karena penerapan sistem kredit semester (SKS). Momentum itu pun tergolong dalam pembauran antargenerasi, tetapi itu hanya membentuk identitas ke-generasi-an yang sesaat.

Sungguhpun demikian, bukan berarti antar generasi sama sekali tidak terdapat hubungan, pola-pola pewarisan. Perlu diketahui bahwa proses interaksi interaksi individu-individu dalam generasi maupun antargenerasi, tidaklah terbatas pada pertemuan fisik dalam satu ruang dan waktu. Maksudnya, interaksi tersebut tidak hanya pertemuan dalam ruang kelas, dalam kampus maupun luar kampus. Bahkan, proses interaksi tersebut juga berlangsung dalam medium cetak maupun elektronik. Pembacaan skripsi terdahulu dan interaksi lewat telepon seluler, tergolong ke dalam bentuk interaksi yang terakhir tersebut. Dengan demikian, sebetulnya antargenerasi terdapat pola-pola pewarisan. Pewarisan itu pula yang menjadikan antargenerasi nyaris tanpa konflik. Namun, sekali lagi bahwa pola-pola pewarisan tersebut tidak kemudian meniadakan identitas ke-generasi-an.

Kemudian, paling tidak tinjauan terhadap generasi dalam Program Studi Sosiologi ini dapat ditinjau pada empat hal. Sebelum itu, sebagai sampel, keempat tinjauan itu anggaplah dialami oleh tiga generasi, yakni generasi pertama (2001), generasi kedua (2002), dan generasi ketiga (2003).

Tinjauan pertama adalah dari sisi dinamika kelas setiap generasi. Kedua, konsolidasi internal setiap generasi. Ketiga, ketertarikan setiap generasi terhadap organisasi, baik intra kampus maupun ekstra kampus. Terakhir, konsepsi generasi terhadap bidang akademisnya, sosiologi. Dari empat tinjauan tersebut, agaknya ketiga generasi tersebut relatif sama, dalam arti ketiganya mengalami ke empat-empatnya. Baik generasi pertama, kedua, dan ketiga sama-sama mengalami, entah itu dinamika kelas, konsolidasi internal generasi, ketertarikan terhadap organisasi, maupun konsepsi generasi terhadap sosiologi. Sampai pada tahap itu, kedudukan setiap generasi adalah sama. Meskipun akhirnya muncul penilaian yang berlainan terhadap setiap generasi, tetapi sebetulnya setiap generasi sama-sama mengaktualisasikan diri.

Dalam pada itu, ada baiknya meninjau generasi dari empat hal tadi. Pertama, bagaimana setiap generasi melahirkan dinamika kelas. Sesuai dengan hal itu, pada 2001, generasi pertama mulai mengenyam Program Studi Sosiologi, untuk pertama kali. Generasi ini oleh sejumlah kalangan sering dinilai sebagai generasi yang cukup kritis. Memang, individu yang kritis dalam generasi ini agaknya mudah dijumpai. Artinya, khususnya dalam ruang kuliah, individu pada generasi pertama ini berani mengutarakan pendapatnya terhadap sesuatu hal. Kekritisan ini pun agaknya berimbang antara mahasiswa dan mahasiswi, sehingga kelas kian dinamis. Mengapa dikatakan kritis? Karena kekritisan itulah yang paling menonjol dan membuat nilai lebih pada diri individu dalam generasi, dalam Program Studi Sosiologi.

Dinamika dalam kelas yang dibangun pada generasi pertama inilah yang akhirnya menuai penilaian. Kendatipun sebagai generasi pertama, tetapi generasi ini dianggap berhasil menampakkan wajah sosiologi. Dengan kata lain, generasi ini dianggap mampu menancapkan karakteristik sebuah program studi di antara jurusan-jurusan yang lain. Generasi ini pula yang nantinya diharapkan menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.

Selanjutnya, pada generasi kedua. Selama proses perkuliahan, generasi kedua ini juga dikenal sebagai generasi yang kritis. Walaupun begitu, kekritisan generasi ini dinilai tidak se-kritis generasi sebelumnya. Menariknya, kekritisan pada generasi ini lebih didominasi oleh mahasiswa, laki-laki. Kendatipun demikian, dari kalangan mahasiswi (perempuan) bukan berarti tidak ada yang kritis. Dalam suatu generasi bisa dipastikan bahwa akan ada individu yang kritis, sementara individu yang kritis tersebut cenderung akan mempertahankan ke-kritis-annya dalam generasinya.

Dua tahun selanjutnya, Program Studi Sosiologi kehadiran generasi ketiga, generasi 2003. Menariknya jumlah mahasiswa maupun mahasiswi pada generasi ini nyaris berimbang. Akan tetapi, jumlah individu yang kritis lebih didominasi oleh kalangan mahasiswa. Seperti generasi sebelumnya, generasi ini pun tidak kalah kekritisannya. Namun, kekritisan pada generasi ketiga ini dinilai masih kalah dibanding dua generasi sebelumnya.

Sampai pada generasi ketiga ini, seolah-olah sudah memupus harapan bahwa generasi selanjutnya akan lebih baik lagi. Selain hal itu, seperti generasi sebelumnya, pada generasi ketiga ini juga terdapat sejumlah individu yang dikenal kritis. Akan tetapi, menariknya kekritisan ini tidak berkaitan dengan masa studi yang cepat. Artinya, ada sejumlah individu yang kritis dalam suatu generasi, baik generasi pertama, kedua, maupun ketiga, tetapi ternyata masa studinya lambat.

Kemudian, tinjauan yang kedua, yakni konsolidasi internal generasi. Dalam hal ini konsolidasi ini berwujud kemampuan beberapa individu dalam generasi tersebut membentuk kelompok dalam bentuk kelompok diskusi. Sementara itu, diskusi dalam kelompok tersebut dipusatkan pada peningkatan wawasan terhadap sosiologi sebagai ilmu. Konsolidasi internal generasi ini amat kentara terlihat pada generasi pertama. Kendatipun demikian, bukan berarti generasi kedua dan ketiga tidak terjadi konsolidasi internal generasi. Konsolidasi tetap ada, tetapi cenderung tidak berwujud dalam sebuah kelompok yang dapat memperluas wawasan sosiologi.

Pada tinjauan ketiga tentang ketertarikan individu dalam organisasi, agaknya menarik untuk disimak. Setiap individu dalam setiap generasi umumnya memiliki ketertarikan terhadap organisasi, baik intra kampus maupun ekstra kampus. Dalam pada itu, yang menonjol justru ketertarikan terhadap organisasi ekstra kampus. Faktanya, pada setiap generasi, hanya sejumlah individu saja yang melibatkan diri ke dalam organisasi. Sejumlah individu yang kritis dalam kelas pun ternyata berlatar belakang organisasi ekstra kampus. Jarang ditemukan individu yang kritis, sementara individu tersebut sama sekali tidak bergabung ke dalam suatu organisasi tertentu.

Pada bagian inilah menandai bagaimana peran organisasi ekstra kampus ini. Akan tetapi, lepas dari ini, muncul pertanyaan, mengapa apabila individu yang kritis (yang notabene ada nilai lebihnya) ini memiliki latar belakang organisasi ekstra kampus, tetapi tidak memengaruhi individu yang lain untuk juga bergabung ke dalam organisasi ekstra kampus? Dalam hal ini tentu saja setiap individu memiliki ketertarikan yang sifatnya otonom dan selektif.

Kemudian, dalam hal tertentu, sedemikian kuatnya peran organisasi ekstra kampus sampai dapat melebihi solidaritas generasi dalam Program Studi Sosiologi. Isu “bendera” pun tidak terlepas dari peran tersebut. Sungguhpun demikian, isu tersebut cenderung tersembunyi meskipun pada momentum tertentu isu tersebut bisa sangat sensitif khususnya bagi sebagian individu yang tergabung pada suatu organisasi mahasiswa ekstra kampus, pada setiap generasi dalam Program Studi Sosiologi.

Tinjauan ke empat tentang konsepsi generasi terhadap ilmu yang digelutinya, sosiologi. Bertalian dengan hal itu, awalnya muncul pertanyaan, apakah dengan usia Program Studi Sosiologi yang relatif muda, itu memengaruhi konsepsi sosiologisnya? Maksudnya, apakah konsepsi sosiologisnya masih pada tahap pencarian bentuk? Sungguhpun demikian, pertanyaan itu tidak begitu mengemuka pada setiap generasi. Kiranya bentuk konsepsi terhadap sosiologi ini dapat diamati dari pemilihan tema, topik, dan judul dalam skripsi. Umumnya, tidak ada tema, topik, apalagi judul yang dominan.

Pada generasi pertama pun dapat dikatakan bahwa skripsinya cukup variatif. Bahkan, selain penelitian lapangan juga terdapat penelitian pustaka. Memang, cukup sulit mengidentifikasi konsepsi sosiologis pada hasil skripsi tersebut. Kelonggaran yang diberikan kepada setiap generasi dalam pemilihan tiga unsur tersebut turut mendukung betapa variatifnya tema, topik, dan judul dalam skripsi. Hanya saja pada peralihan antara generasi kedua dan ketiga sempat muncul kejenuhan tentang tema yang berhubungan dengan budaya. Oleh karena itu, sempat beredar rumor bahwa tema-tema seputar budaya, agar tidak dijadikan prioritas.

Jadi, bagaimana dengan generasi selanjutnya?

Puguh Utomo

Mahasiswa Program Studi Sosiologi

FISIP Universitas Jember

3 komentar:

  1. Setiap generasi memiliki tantangannya sendiri.

    BalasHapus
  2. sebenarnya semua sama.cuma yang bikin beda adalah ikatan emosionalnya. angkatan 01 kritis karena kami dianggap anak bau kencur yang belum waktunya unjuk gigi.kami adalah angkatan pertama yang dianggap belum tau apa2. ketertindasan itu yang membuat kami bersatu membangun solidaritas. tidak hanya itu,sisi akademisi juga kami jamah.kami tidak mau dianggap pecundang karena itu bukan mental kami.sampai detik ini himasos 01 masih mencari jati diri dan kami berhasil dengan keunikan itu.
    unity in diversity


    trin mahera
    01-2071

    BalasHapus
  3. Wah...kalau ada komentar seperti jadi lebih ramai. Jadi, bisa melengkapi tulisan saya di atas. Thanks, Bu Hera.

    BalasHapus