Selasa, 30 Desember 2008

Prodi Sosiologi dan Metode Kualitatif

Prodi Sosiologi dan Metode Kualitatif

Program Studi (Prodi) Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Jember (Unej) telah berdiri sejak tahun 2001. Kemudian, pada 2005 telah ada lulusan dari Prodi Sosiologi sekaligus sebagai lulusan angkatan pertama. Berdasarkan pada hal itu Prodi Sosiologi tergolong jurusan yang relatif muda. Meskipun demikian, tentu juga tidak bisa dipungkiri bahwa semenjak awal berdirinya hingga saat ini Prodi Sosiologi telah memberikan kekhasan tersendiri terutama dalam tradisi akademik baik di tingkat fakultas maupun tingkat universitas.

Kemudian, bila memperhatikan skripsi yang dibuat oleh mahasiswa sosiologi maka ada hal yang tampak mencolok. Seperti diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa sosiologi mengambil penelitian kancah. Sementara itu, metode penelitian yang dipakai hampir kesemuanya menggunakan metode kualitatif. Sementara itu, hanya satu dua saja yang menggunakan metode kuantitatif.

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini, dalam tradisi penelitian, secara umum dikenal dan dibedakan dua macam metode, yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Sebagian besar literatur tentang metode penelitian, secara umum juga menyebut metode kualitatif dan metode kuantitatif. Kurikulum mata kuliah pun juga membedakan antara metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Pembedaan itu juga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan di antara kedua metode penelitian tersebut.

Sedikit menengok pada sejarah penelitian di Indonesia, tentu tidak dapat dilepaskan dari sosok Clifford Geertz (1926-2006), seorang indonesianis asal Amerika. Geertz pada dekade 1950-1960-an, melakukan penelitian di Indonesia tentang pertanian, perdagangan, perkotaan, Islam, politik klasik, hingga politik aliran. Lewat penelitiannya tersebut Geertz dinilai telah melawan suatu tradisi besar dalam dunia ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif. Kemudian, lewat penelitiannya itu pula lahirlah thick description theory. Selanjutnya, pandangan Geertz tersebut akhirnya menginspirasi sebagian ilmuwan lintas bidang, termasuk ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu sosiologi. Di balik itu, pada tataran empiri, seperti halnya awal-awal sosiologi, metode kualitatif menemukan momentum dan relevansinya.

Bertolak dari hal itu, bila berbicara pada lingkup Prodi Sosiologi maka tidak hanya berbicara tentang mahasiswanya, tetapi juga tentang dosen pengajar yang menjadi bagian dari struktur Prodi Sosiologi. Diakui atau tidak, pada kenyataanya tidak sedikit dosen sosiologi yang menaruh minat yang tinggi terhadap metode kualitatif. Apalagi penerapannya dalam suatu penelitian. Tentu hal tersebut juga tidak terlepas dari paradigma yang dikenalkan oleh Geertz.

Di sisi yang lain bisa diasumsikan bahwa ada hubungan fungsional antara minat dosen-dosen atas metode kualitatif dan pilihan mahasiswa dalam menentukan metode penelitian. Namun, perlu dikatakan di sini bahwa minat dosen-dosen tersebut tidaklah sebab yang sebenarnya mengapa metode kualitatif tumbuh subur di Prodi Sosiologi. Hal tersebut tampak dari kelonggaran yang diberikan dosen kepada mahasiswa sosiologi dalam memilih metode penelitian.

Dalam pada itu, sisa-sisa perdebatan antara kualitatif dengan kuantitatif sebetulnya masih berlangsung. Dalam hal ini, lambat laun mengemuka suatu pandangan bahwa penelitian bidang sosiologi akan lebih lebih reliable jika menggunakan metode kualitatif maupun perpaduannya (kualitatif-kuantitatif). Pandangan-pandangan seperti itu juga sering dijumpai pada beberapa pustaka khususnya pustaka tentang metode penelitian. Akhirnya, asumsi tersebut sering menjadi pijakan dasar, tetapi tidak mutlak, pengadaptasian metode kualitatif ke dalam penelitian sosiologi.

Kendatipun demikian, penelitian-penelitian yang dilakukan sebetulnya juga perlu mempertimbangkan objek telaah. Ingat bahwa kualitatif dan kuantitatif hanyalah metode. Jadi, sebuah penelitian yang seharusnya sesuai dengan memakai metode kualitatif tentu tidak bisa dipaksakan misalnya dengan menerapkan metode kuantitatif, demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain, pemilihan metode juga bergantung pada objek studi. Pertimbangan tersebut juga berkait dengan kualitas daripada hasil penelitian nanti.

Di sisi yang lain, minat pada metode kualitatif di Prodi Sosiologi tampaknya masih belum diiringi oleh pengembangan terhadap metode kualitatif itu sendiri. Selama pembelajaran setiap pembelajar menafsirkan secara beragam. Apabila tidak ada konsensus, maka dikhawatirkan di antara persilangan tersebut muncul subyektifitas-subyektifitas yang cenderung menjauh dari tuntutan ilmiah. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan interaksi yang terbuka baik antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, maupun sesama dosen.

Tentu minat yang tinggi pada metode tersebut itu tidak akan diakui sebagai konspirasi di Prodi Sosiologi. Artinya, minat tersebut tidaklah hasil kesepakatan bersama secara sengaja ramai-ramai memilih metode kualitatif. Meskipun hal itu sudah menjadi kenyataan, tetapi akan diakui bahwa minat tersebut berlangsung secara alamiah dan tidak ada paksaan sama sekali. Berkenaan dengan itu, setiap individu dipandang telah membuat pertimbangan atas apa yang menjadi pilihan ketika menentukan metode penelitian. Lagi pula, dalam paradigma konstruktivisme dan paradigma teori kritis, dalam ilmu sosial, keberadaan metode kualitatif cenderung lebih mapan.

Jika diperhatikan maka minat terhadap metode kualitatif ini agaknya merubah orientasi dalam tradisi penelitian di lingkungan FISIP. Setidak-tidaknya, penerapan metode kualitatif di lingkungan FISIP diharapkan akan membuka dialog baru khususnya dalam dunia penelitian. Tentu hal itu tidak dimaksudkan sebagai kompetisi antar metode. Sekali lagi, sudah tidak saatnya lagi mempertentangkan kedua metode tersebut. Meskipun silang pendapat akan tetap ada, tetapi hendaknya lebih dimaknai sebagai alternatif cara pengembangan sains lewat penelitian untuk menemukan sisi yang faktual.

Terlepas dari hal itu, pada semester III dan IV mahasiswa sudah dikenalkan mata kuliah metode penelitian baik metode kualitatif maupun metode kuantitatif. Namun, mahasiswa sosiologi tampaknya masih menaruh minat pada metode kualitatif. Padahal, sebagian besar di antara mereka terutama di akhir studi telah mengenal penelitian, yakni pendekatan kuantitatif sejak di jenjang sekolah menengah. Maklum, kurikulum di sekolah menengah menekankan pendekatan kuantitatif. Di samping itu, seperti ditulis di atas minat tersebut tidak melulu disebabkan oleh minat dosen maupun keberadaan literatur metode kualitatif dan metode kuantitatif.

Di satu sisi, minat terhadap metode kualitatif akan mengundang beberapa asumsi. Misalnya, minat tersebut karena ikut-ikutan tren belaka. Berkenaan dengan itu, ada desas-desus bahwa penguasaan terhadap metode kuantitatif dirasa masih lemah sehingga metode kualitatif menjadi prioritas. Ada pula pandangan, entah betul entah salah, bahwa dalam suatu penelitian penerapan metode kualitatif dirasa lebih mudah dibanding metode kuantitatif. Tentu hal itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun begitu, pilihan metode kualitatif sebetulnya turut mengasah keterampilan yang tidak ada pada metode kuantitatif. Di sisi yang lain, asumsi-asumsi tersebut bisa jadi merupakan kesimpulan yang terlalu terburu-buru, kecuali jika memang hal itu benar adanya. In abstracto.

3 komentar:

  1. Ayo, ayo silakan mengomentari tulisan ini...

    BalasHapus
  2. Mas,saya jg mahasiswa sosiologi unej, angkatan 2008. Pak Maulana jg sempat menyinggung tentang skripsi sosiolog unej yg rata-rata menggunakan metode kuantitatif. beliau bilang cuma da dua mahasiswa yg berani menggunakan metode kuantitatif. karena rata-rata semuanya menggunakan metode kualitatif. kenapa rata-rata mahasiswa menggunakan metode kualitatif? apa yg kuantitatif itu sulit? terus kira-kira kesulitannya dimana?

    Ahmad Alfan S. R.
    080910302042
    alfansm@yahoo.co.id

    BalasHapus
  3. Baik kualitatif maupun kuantitaif sama-sama sulit bergantung pada orang yg melihatnya. Bahkan, ada pandangan bahwa metode kualitatif itu lebih sulit. Secara umum kesulitan kuantitatif terletak pada kemampuan berhitung.

    BalasHapus