Masyarakat Wates Menyambut Panen
Sejak pertengahan Juni 2009 ini hampir tiap hari terdengar deru mesin perontok padi-keliling. Orang-orang di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Nganjuk mengenal alat itu dengan dos. Sesekali waktu gemuruh mesin perontok padi berbahan bakar solar yang biasanya dioperasikan oleh tiga orang itu juga terdengar di malam hari. Sekitar 20 tahun silam mesin beroda tiga dan dapat digerakkan seperti mobil itu belum dikenal. Selain itu, kadang-kadang juga terdengar suara mesin selep atau mesin penggiling padi-keliling yang beroperasi hampir setiap hari tanpa mengenal musim panen. Dulu, mesin selep ini permanen sehingga orang yang ingin gabahnya digiling menjadi beras maka perlu mengangkut gabahnya ke tempat penggilingan padi.
Pada saat yang sama, kesibukan orang-orang dewasa baik perempuan maupun laki-laki pun bertambah di dusun yang mayoritas warganya berprofesi sebagai petani ini. Sekarang, masyarakat berpaham keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan kini dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 200 ini menyambut panen padi. Dengan umur padi yang rata-rata 100 hari atau tiga bulan lebih, panen kali ini disebut dengan juki atau panen kedua.
Panen pertama, yakni rendeng yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi sebab bertepatan dengan musim hujan. Panen ketiga disebut dengan gadu, bersamaan dengan musim kemarau. Hasil panen di masa juki ini umumnya lebih rendah dibandingkan dengan rendeng maupun gadu. Pada masa juki pula biasanya cuaca tidak menentu dan ini berpengaruh terhadap perkembangan tanaman padi. Sementara itu, hasil penan terbanyak diperoleh saat panen gadu. Namun, panen gadu ini memerlukan biaya pemeliharaan padi yang tidak sedikit jika dibandingkan dengan masa panen lainnya.
Saat masa panen seperti sekarang, di beberapa halaman rumah warga yang telah memakai jasa perontok padi itu maka terlihat tumpukan jerami. Misalnya, tumpukan jerami terlihat di halaman rumah Pak Towo (45 tahun). Jika pemilik jerami memiliki sapi maka jerami itu disimpan di kandang untuk pakan. Jerami pun sekarang menjadi barang yang komersial. Jerami kering dalam satu bak penuh pick up bisa berharga Rp 200.000,00. Itu terkait dengan banyaknya warga yang sekarang memelihara sapi.
Kira-kira lebih dari 50 % kepala keluarga di dusun yang dikelilingi oleh pohon ini memiliki sapi yang umumnya dipelihara di belakang rumah dengan dibuatkan kandang. Bahkan, untuk pakan sapi berupa rumput, beberapa orang sampai mencarinya di dalam hutan. Rumput umumnya juga dicari di pematang sawah. Sapi sebagai binatang ternak juga sebagai aset ekonomi, selain kepemilikan sawah. Sebagai aset ekonomi, beberapa warga menjual anak sapi yang berusia kira lima bulan untuk membeli, misalnya sepeda motor.
Sementara itu, pada masa panen seperti ini di tempat-tempat tertentu di halaman rumah warga terlihat sejumlah orang laki-laki dewasa berkumpul membicarakan sesuatu. Umumnya mereka berembuk masalah pekerjaan memanen gabah. Misalnya, mereka membicarakan tentang rencana kerja esok hari untuk memanen gabah di sawah milik orang lain. Di samping itu, pertemuan itu sekaligus membagi-bagi upah hasil kerja memanen gabah yang telah mereka kerjakan. Rembukan itu berakhir begitu waktu menunjukkan kira-kira jam 20.30.
Sebagai salah satu potret masyarakat Dusun Wates dalam menyambut panen, hari ini, Sabtu, 20 Juni 2009 sawah milik Pak Wito yang juga warga Dusun Wates (60 tahun, bukan nama sebenarnya) juga panen. Hari itu, ada hal yang berbeda sebelum memotong padi, terutama jika dibandingkan dengan masa-masa panen 10 tahun silam. Biasanya sebelum padi dipotong, dilakukan acara bancakan dengan cara Jawa. Bancakan yang biasanya berisi panggang ayam, nasi, dan lauk pauk seperti gorangan tahu, mie dan sayuran itu dipimpin oleh seorang yang disebut sebagai tukang tanduk yang merangkap sebagai sesepuh dusun. Selain bertugas sebagai pemimpin upacara bancakan seorang sesepuh dusun biasanya juga dimintai petunjuk mencarikan hari dengan hitung-hitungan Jawa. Misalnya, hari untuk pernikahan. Kemudian, lafal dalam upacara yang disebut wiwit itu juga menggunakan bahasa Jawa. Selanjutnya, makanan itu lalu dimakan oleh pekerja yang akan memanen padi.
Hari itu upacara bancakan sudah tidak terlihat lagi. Hari itu makanan itu langsung dimakan oleh 15 pekerja yang hari itu memanen. Di samping itu, pemimpin upacara wiwit itu pun sudah tua dan tidak sanggup lagi untuk memimpin upacara wiwit. Generasi penggantinya pun sudah tidak ada. Panen-panen sebelumnya, biasanya upacara wiwit itu cukup dipimpin oleh salah satu pekerja santri dengan doa berbahasa Arab. Di Dusun Wates, sekarang wiwit itu tidak ada keharusan seperti upacara wiwit tahun-tahun yang lalu.
Selama kurun waktu enam tahun terakhir di dusun ini secara pelan-pelan banyak orang masuk sebagai santri, memeluk agama Islam dengan corak keagamaan khas pedesaan. Itu ditunjukkan misalnya, peningkatan jumlah orang sholat jumatan, sholat lima waktu, kegiatan yasinan, dan puasa Ramadhan. Kegiatan wisata rohani, yakni ziarah ke makam wali tertentu maupun wali songo maupun ziarah makam ke syekh tertentu belakangan ini juga agak rutin dilaksanakan setiap tahun. Lewat ziarah tersebut orang biasanya berpengharapan akan rezeki, keberhasilan-keberhasilan hidup seperti kelancaran usaha, hasil panen yang melimpah, dan lain sebagainya.
Peningkatan itu pun dipengaruhi oleh dinamika kelompok sifat paguyuban masyarakat di dusun ini. Dalam hal ini, justru peningkatan aktifitas keagamaan itu dipicu oleh khususnya konflik di antara tokoh, terutama tokoh keagamaan. Semenjak munculnya konflik terselubung di antara tokoh masyarakat yang berakar dari harga diri tersebut, Dusun Wates memiliki dua masjid. Sebelumnya, Dusun Wates hanya memiliki satu buah langgar yang juga digunakan sebagai sholat jumatan. Jadi, kini Dusun Wates memiliki tiga tempat ibadah.
Di antara masyarakat Jawa yang memegang teguh keharmonian, terkadang muncul bibit-bibit konflik sifatnya terselubung dan tak terhindarkan. Selain itu, pandangan sebagian anggota masyarakat Dusun Wates bahwa perlunya manut jaman (ikut zamannya) pun turut memengaruhi dinamika kelompok yang bersifat paguyuban ini terkait dengan aktifitas keagamaan.
Ada tiga petak sawah yang hari ini akan dipanen. Setiap petak rata-rata seluas 150 m2 (papan 150, begitu biasanya warga menyebutnya) dan terpisah dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Satu di antara tiga petak sawah itu adalah milik kedua orang tua Pak Wito. Karena sudah sangat tua dan tidak sanggup menggarap sawah maka kedua orang Pak Wito menggilir dua petak sawahnya kepada lima orang anaknya yang semuanya telah berkeluarga, termasuk Pak Wito.
Namun, sawah giliran yang digarap oleh Pak Wito itu sebetulnya tidaklah gratis. Setiap panen, Pak Wito memberikan 1/3 dari total hasil panen pada orang tuanya. Sawah giliran itu sendiri oleh Pak Wito digarap selama setahun atau tiga kali masa penen. Selanjutnya, tiba giliran saudara Pak Wito berikutnya.
Sekarang, sawah bernilai ekonomi tinggi. Dua puluh tahun yang lalu, katakanlah sebidang sawah bernilai Rp 20.000.000,- maka sekarang bisa bernilai sampai Rp 50.000.000,-. Oleh karena itu, sekarang jarang orang menjual sawah secara permanen. Beberapa orang hanya menjual sawah selama kurun waktu tertentu dengan sistem sewa. Beberapa di antaranya ada yang menjualnya dengan sistem gadai.
Seiring bertambahnya jumlah kepala keluarga maka papan untuk perumahan pun kian sempit. Beberapa lahan yang dulu berupa halaman rumah, kini telah dijadikan sebagai papan untuk perumahan. Sementara untuk keluarga yang secara ekonomi mampu, mulai menyiasati dengan rumah tingkat. Lahan yang semula persawahan pun kini mulai dijadikan papan untuk perumahan. Tercatat ada tiga rumah yang dibangun di atas lahan yang awalnya berupa sawah. Itu pun mengindikasikan perluasan wilayah dusun.
Memang, dibandingkan dengan 50 tahun silam, sekarang jumlah kepemilikan anak sudah menurun. Saat itu jumlah anak bisa mencapai enam orang. Kini, rata-rata setiap kepala keluarga memiliki dua anak. Namun, di dusun ini angka kelahiran tergolong tinggi, sedangkan angka kematian termasuk rendah. Itu terkait pula dengan usia pernikahan yang relatif muda. Rata-rata orang menikah di usia 20 tahun.
Sementara itu, untuk memanen sawahnya itu Pak Wito mempekerjakan 15 orang warga setempat yang semuanya laki-laki dewasa. Pengerjaannya sendiri dengan sistem borongan, bukan sistem harian. Dengan sistem itu Pak Wito mengupah 15 pekerja itu sebesar Rp 500.000,-. Panen sebelumnya, yakni tiga bulan yang lalu, upahnya masih Rp 450.000,-. Hari itu selain memanen padi milik Pak Wito, 15 orang itu juga memanen padi di seorang pemilik sawah yang lain dan diupahi Rp 400.000,-. Jadi, hari itu 15 orang itu mendapatkan upah Rp 900.000,-. Jika dibagi maka satu orang pekerja yang mulai bekerja sejak pagi sampai sore, mendapatkan upah kotor Rp 60.000,-. Biasanya hanya masa-masa panen seperti inilah pekerja-pekerja itu bisa mendapatkan upah seperti itu.
Dengan jumlah pekerja itu kira-kira padi dapat selesai dipotong dalam waktu lima jam. Setelah itu, padi itu diangkut dengan pick up yang disopiri oleh orang lain ke rumah keponakan Pak Wito. Di rumah keponakannya itu, padi milik Pak Wito itu akan di rontokkan dengan dos. Ongkos dos itu sendiri akan dibayarkan oleh keponakan Pak Wito, sedangkan jerami hasil dos itu menjadi milik keponakannya yang juga memelihara sapi. Pak Wito sendiri tidak memiliki sapi. Ongkos untuk dos itu sendiri Rp 135.000,-. Kemudian, dari hasil dos itu Pak Wito mendapatkan 55 sak atau karung dan setiap gabah dalam satu karung yang agak besar rata-rata berbobot 45 kg.
Petani lainnya, Pak Pardi (45 tahun) hari itu juga memanen gabahnya. Lain halnya dengan Pak Wito, Pak Pardi tidak menggunakan jasa dos. Sawah milik Pak Pardi oleh pekerjanya dipanen dengan cara alat perontok tradisional yang dalam bahasa setempat disebut dengan erek. Alat itu berkerangka kayu berbentuk persegi setinggi pundak orang dewasa itu ditutupi dengan sak. Di dalamnya terdapat roda berbentuk tabung dan bergerigi paku besar untuk merontokkan padi. Dulu roda bergerigi yang disambungkan dengan gerigi sepeda yang diikatkan dengan karet tali itu digerakkan oleh tenaga manusia dengan cara menginjak batang batang bambu.
Sekarang, mesin diesel kecil seharga Rp 800.000,- telah menggantikan tenaga manusia. Mesin itulah yang menggerakan roda bergerigi paku sebagai perontok padi. Dengan alat itu, gabah milik Pak Pardi langsung dimasukkan ke dalam karung. Selanjutnya diangkut dengan gerobak yang dijalankan dengan mesin traktor. Alat-alat itu menandai mekanisasi pertanian di dusun tersebut.
Kemudian, kini, umumnya harga gabah di tingkat petani jika dibeli oleh padagang Dusun Wates sendiri, yakni Rp 2.400,-. Jika dibeli oleh pedagang dari luar maka bisa sampai dengan Rp 2.500,-. Lazimnya pedagang dari luar tidak membeli langsung gabah dari petani sehingga tidak mematikan pedagang setempat. Pedagang luar umumnya hanya membeli dari tangan pedagang setempat. Akan tetapi, terkadang ada juga pedagang yang langsung membeli dari tangan petani. Mekanisme pasar pun berjalan, yakni petani menjual gabahnya ke pedagang luar dengan harga yang lebih tinggi.
Sebagian petani umumnya langsung menjual gabahnya karena segera membutuhkan uang. Namun, sebagian yang lain biasanya menyimpan gabahnya sampai harganya lebih tinggi. Jika harga sedang baik, kira-kira satu bulan berikutnya setelah panen harga gabah bisa mencapai Rp 3.000,-.
Pada masa panen seperti ini kesibukan Pak Wito dan istrinya (54 tahun) sebagai pedagang gabah juga meningkat. Selain sebagai petani, sudah 15 tahun terakhir Pak Wito yang lulusan Sekolah Dasar (SD) membeli gabah dari tangan petani lalu di jual kembali. Di dusun Wates ini Pak Wito merupakan satu di antara kira-kira sepuluh orang yang juga sebagai pedagang gabah. Sebagai pedagang, oleh Pak Wito terkadang gabah itu dijemur dan ditimbun untuk sementara waktu, menunggu harga gabah membaik, untuk diambil keuntungan dari harga pembelian semula. Sebagai pedagang pula, sudah tiga tahun ini Pak Wito mampu membeli mobil pick up untuk mendukung usahanya. Sebagai aset, mobil itu pun digunakan sebagai jaminan untuk meminjam uang di pegadaian di kecamatan kota.
Lewat pedagang seperti Pak Wito-lah, sebagai salah satu pintu perguliran uang di dusun tersebut. Dalam hubungan ini, Pak Wito juga sebagai orang yang meminjamkan uang dan sejumlah warga di Dusun Wates sebagai peminjamnya dengan bunga 5% setiap bulannya. Kini, di dusun ini sedikitnya ada dua orang yang aktif meminjamkan uang. Sekaligus sebagai pedagang, dalam hubungan itu biasanya seseorang yang meminjam uang ke Pak Wito biasanya juga menjual gabahnya ke Pak Wito sesuai dengan harga pasar di tingkat petani.
Seperti pertengahan Mei 2009 yang lalu sejumlah orang membutuhkan uang untuk biaya pengurusan sertifikat tanah. Sertifikat tanah kali ini merupakan kolektif dan Dusun Wates terpilih untuk pengurusan sertifikat tanah. Biaya sertifikat tanah pun bervariasi sesuai luas lahan. Ibu Saminah (55 tahun), misalnya mengeluarkan biaya Rp 4.400.000,- untuk tiga lahan miliknya. Kemudian, pada masa panen seperti inilah biasanya uang peminjaman itu dikembalikan.
Kini, petani di Dusun Wates ini telah menebar benih padi. Umumnya petani menanam benih dari satu varietas. Awal-awal penangkaran itu pula, petani juga memupuk benih. Biasanya, selama proses penangkaran itu benih diserang oleh hama kaper yang bertelur di benih. Oleh petani biasanya dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Benih itu kira-kira akan ditangkarkan dalam waktu kira-kira 25 hari. Setelah itu, benih ditanam dan menunggu kira-kira 100 hari ke depan untuk dapat dipanen.