Alumni Prodi Sosiologi
Oleh: Puguh Utomo
Sampai wisuda 21 Maret 2009, dari 32 orang pada angkatan 2003 telah ada 21 orang yang menjadi alumni dari Program Studi (Prodi) Sosiologi, Universitas Jember (Unej). Sementara itu, masih ada 11 orang yang belum mengikuti wisuda dan sekarang mereka kini telah terhitung duduk di semester XII. Meskipun demikian, Juli 2009 nanti akan ada sejumlah orang yang akan mengikuti wisuda. Sayang, 11 orang tersebut tidak semuanya bisa mengikuti wisuda Juli nanti. Maklum, mereka itu belum menyelesaikan skripsi yang merupakan syarat utama kelulusan. Terkait dengan itu, tulisan ini sekadar menyorot alumni angkatan atau generasi 2003. Bagaimanapun juga alumni generasi 2003 juga bagian dari alumni Prodi Sosiologi.
Kemudian, sampai Maret ini tersiar kabar tentang alumni Prodi Sosiologi, khususnya pada generasi 2003. Kabar yang dimaksud yakni tentang pekerjaan atau profesi alumni Prodi Sosiologi yang beberapa di antaranya telah melangsungkan pernikahan ini. Berkaitan dengan pekerjaan, ada desas-desus tentang masa studi yang lama, sedangkan masa tunggu kerja alumninya pun masih cukup lama. Rata-rata keprofesian ini dikembangkan secara lebih intensif setelah menjadi alumni.
Penting untuk dicatat bahwa kenyataannya ke-profesi-an ini tidaklah seragam. Artinya, Prodi Sosiologi sebagai lembaga akademis yang nonkependidikan, tidak identik menghasilkan “sosiolog”. Paling tidak itu dalam arti sempit bahwa “sosiolog” itu identik dengan dosen sosiologi di universitas. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa tidak setiap alumnus menjadi dosen sosiologi sebagai karier atau profesi akademis. Lagi pula, sebagai prodi yang nonkependidikan atau ilmu murni, sosiologi tidak berlabel pendidikan profesi sebagaimana umumnya. Kemudian, ketidakseragaman profesi itu akan dibicarakan berikut ini.
Sementara itu, merupakan kenyataan sosiologis bahwa secara umum dalam dunia kerja dikenal ada dua sektor, yakni sektor negeri dan sektor swasta. Dua sektor itu dari sisi jender tidak ada perbedaan yang sangat mencolok. Artinya, baik alumnus laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki etos kerja yang sebanding.
Pada sektor negeri, sekarang dua orang dipastikan menjadi guru sosiologi pada jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU). Dengan sendirinya status mereka sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada lembaga pendidikan formal. Mereka ini sebelumnya telah mengantongi akta IV (A-IV) untuk mengajar. Namun, sampai Oktober 2008 tidak semua pemilik A-IV bisa terserap pada sektor lembaga pendidikan formal.
Meskipun rasio formasi guru sosiologi di setiap kabupaten masih tergolong rendah, tetapi formasi pada sektor tersebut cukup terbatas. Oleh karena itu, ketidakterserapan tersebut karena pintu seleksi yang memunculkan proses kompetisi. Walaupun demikian, kesempatan mengajar tidak harus melewati tes PNS. Buktinya, seorang alumnus juga telah mengajar di jenjang SMU meskipun masih berstatus sebagai guru honorer. Sementara sekarang kesejahteraan guru honorer atau non-PNS tidak lebih baik seperti guru PNS.
Sebetulnya sektor negeri tidak terbatas pada lembaga pendidikan formal. Beberapa departemen tingkat nasional juga membuka kesempatan PNS. Sektor ini tak mengharuskan memiliki A-IV. Namun, tampaknya belum ada alumnus generasi 2003 yang menempati sektor ini. Sekali lagi bahwa formasi untuk sektor negeri ini cukup terbatas. Selain itu, rasio antara formasi dan pendaftar pun tergolong tinggi. Terlebih lagi kompetisi untuk lolos pada sektor ini lebih ketat dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal. Barangkali kompetisi tersebut cukup berat bagi alumni generasi 2003.
Terkait dengan itu, sektor negeri pun tak terbatas pada dua pintu tadi. Maksudnya, masih ada kesempatan karier pada jenjang perguruan tinggi (PT). Kesempatan yang dimaksud, yakni rekrutmen dosen sosiologi. Sebagai contoh, rekrutmen yang diselenggarakan oleh almamater sendiri, yakni Prodi Sosiologi, Unej. Dalam artian ini, lembaga, yakni Prodi Sosiologi, Unej, berkemampuan menyediakan lapangan pekerjaan.
Awalnya memang disyaratkan bahwa formasi tersebut untuk jenjang strata 2 (S-2). Akan tetapi, akhirnya diturunkan menjadi S-1. Rekrutmen pada akhir 2008 yang lalu itu tercatat ada empat alumnus dari generasi 2003 yang mendaftar pada tes tersebut. Sementara itu, ada 12 pendaftar, sepuluh orang di antaranya dengan gelar S-1 berasal dari Prodi Sosiologi, Unej, dari berbagai generasi. Sementara itu, dua di antaranya dari almamater lain, tengah menyelesaikan S-2.
Adapun saat itu ada tiga formasi. Sebagai prodi yang relatif baru, yakni berdiri pada 2001, wajar jika formasi tersebut termasuk tinggi. Paling tidak itu dibandingkan dengan formasi dosen di lingkungan prodi maupun jurusan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Unej yang umumnya hanya satu formasi. Itu pun formasi untuk S-2 sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Namun, lagi-lagi bahwa formasi di sektor negeri cukup terbatas. Meskipun ada empat alumni Prodi Sosiologi yang mendaftar, hanya dua orang yang lolos pada seleksi tahap pertama. Selanjutnya, mereka tidak lolos pada seleksi tahap II. Sampai kini, baik tes calon PNS di jenjang SMU, departemen, maupun tingkat PT, tidak setiap alumnus Prodi Sosiologi generasi 2003 bisa lolos.
Satu dua alumnus pun dikabarkan memasuki dunia kerja pada sektor swasta. Tentu saja itu merupakan pilihan yang strategis sebab kesempatan bekerja tidak terbatas pada sektor negeri semata. Seketika itu ada proses sosiologis berkaitan dengan pandangan atas kesempatan bekerja tersebut. Kendatipun demikian, itu rupanya tidak menyurutkan minat alumni Prodi Sosiologi untuk memasuki sektor negeri.
Pada pemilihan umum (pemilu) legislatif 9 April 2009 yang lalu, seorang alumnus juga meramaikan bursa calon lagislatif kabupaten. Namun, perolehan suara alumnus yang wisuda 21 Maret 2009 itu masih belum memenuhi syarat untuk duduk di kursi dewan. Dalam kaitan ini, ada satu hal yang patut dicatat bahwa itu merupakan awal yang baik pada proses regenerasi dari rahim program studi.
Selanjutnya, sedikit alumnus dari generasi 2003 juga berkiprah dengan melibatkan diri dalam lembaga survei. Di Jember, kemunculan proyek survei itu sendiri agak ramai dimulai pada akhir 2003. Proyek yang merupakan ilmu terapan dalam penelitian tersebut ditempatkan di sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus (Ormek). Mereka yang mau dan mampu serta menjadi bagian dari Ormek bisa terlibat dalam survei tersebut sebagai tenaga pengumpul data. Terkait dengan itu, akhir-akhir ini tenaga survei rupanya tidak tertutup bagi mereka yang menjadi bagian dari Ormek. Artinya, dalam kesempatan tertentu mereka yang mau dan mampu meskipun bukan bagian dari Ormek bisa ikut dalam survei tersebut.
Survei yang sering berfokus pada ilmu terapan politik itu sendiri memakai pendekatan kuantitatif. Melihat cakupan geografis objek studi yang cukup luas maka memang cocok menggunakan metode kuantitatif yang instrumen penelitiannya, antara lain, kuesioner. Pada dasarnya survei itu sendiri berada di luar lingkungan akademis. Itu menandai bahwa pasaran penelitian metode kuantitatif masih laris.
Hal yang sama rupanya tidak terjadi dalam penelitian-penelitian bermetode kualitatif. Kecuali itu, metode kualitatif yang instrumen penelitiannya, yakni peneliti sendiri, tampaknya masih terbatas dikembangkan di lingkungan akademis, sedangkan di luar akademis masih cukup sepi. Buktinya, sekarang metode kualitatif masih banyak digunakan dalam skripsi-skripsi karya alumni Prodi Sosiologi.
Walaupun demikian, dalam pengertian di luar lingkungan akademis, metode kualitatif sesungguhnya dapat diterapkan dalam jurnalisme. Patut dicatat bahwa antara dunia akademis dan dunia jurnalisme ada perbedaannya. Misalnya, dunia akademis lebih berorientasi pada isu ilmiah atau akademis, sedangkan fokus jurnalis biasanya peristiwa maupun fakta sehari-hari untuk pangsa jurnalisme. Sementara itu, juga ada sisi-sisi persamaannya, misalnya baik peneliti kualitatif maupun wartawan sama-sama mensyaratkan kemampuan mengekspresikan pikiran dalam bentuk tulisan.
Dalam pada itu, dunia jurnalisme itu sepertinya belum dimasuki oleh alumni Prodi Sosiologi. Memang, seringkali ada pertimbangan-pertimbangan tertentu pada diri alumni dalam pemilihan karier. Dalam kaitan ini, setiap alumnus memiliki tujuan masing-masing. Maka dari itu, ini pun berkaitan dengan proses psikologis dalam diri setiap alumnus Prodi Sosiologi yang kebanyakan berasal dari keluarga lapisan menengah ini.
Berkenaan dengan itu, seorang alumnus dikabarkan juga melanjutkan strata 2 (S-2). Kenyataannya, alumnus yang melanjutkan jenjang itu bisa dihitung dengan jari. Apalagi jenjang itu membutuhkan kemauan, kemampuan, dan tentu saja jika dengan biaya mandiri maka keuangan juga harus mencukupi. Apabila dengan biaya mandiri, masa studi selama empat semester dan umumnya ditempuh selama dua tahun itu dari segi biaya pendidikan dan biaya hidup mirip dengan menempuh S-1 yang umumnya delapan semester.
Puguh Utomo
Alumnus Program Studi Sosiologi
FISIP Universitas Jember
Jangan pesimistis kawan-kawan yang berasal dari alumni prodi sosiologi seluruh Indonesia, karena dengan meningkatnya zaman, maka semua dibutuhkan. apa arti seorang sarjana, kan bukan diciptakan untuk mencari lapangan kerja, lebih baik kalau menciptakan lapangan kerja. jadi kita sama-sama bisa membangun negeri ini dengan ilmu yang telah kita unduh. setuju tidak guh dan kawan lainnya se antero dunia??? by Wawan Suprianto
BalasHapusDi satu sisi saya setuju. Saya kadang-kadang sebagai orang yang pesimis. Akan tetapi, kiranya kita perlu kritis baik terhadap diri sendiri maupun di luar diri kita. Dalam hubungan ini, kita jangan sampai menjadi korban politik pendidikan. Btw, thanks atas komentrnya, Bung Wawan.
BalasHapus