Pupuk, Barang dalam Pengawasan
Oleh: Puguh Utomo
Kini, karung wadah pupuk bertuliskan “barang dalam pengawasan”. Selain itu, juga tertulis “pupuk bersubsidi pemerintah”. Tulisan itu telah ada beberapa tahun belakangan ini. Kelangkaan pupuk yang terjadi setiap tahun, membuat pupuk menjadi barang dalam pengawasan. Hal itu berkaitan pula bahwa pupuk pun tergolong sebagai barang yang strategis, khususnya dalam sektor pertanian. Sementara itu, sektor pertanian pun juga tidak dapat dilepaskan dari sektor lainnya seperti sektor ekonomi dan sektor politik.
Sekarang distribusi pupuk melibatkan kelompok tani. Kelompok tani dilibatkan dalam pengelolaan pendistribusian pupuk secara langsung kepada petani. Dari kelompok tani itu pula dikoordinasi bahwa setiap pemilik sawah mendapatkan jatah pupuk sesuai dengan luas lahan persawahan yang dimiliki.
Itu seperti terlihat di Dusun Wates pada Minggu, 26 Juli 2009. Hari itu, memasuki masa musim tanam gadu, petani di dusun tersebut mengambil pupuk di gudang kecil, di rumah salah seorang anggota kelompok tani setempat. Karena kapasitas gudang milik anggota kelompok tani itu terbatas, pupuk yang setiap saknya memiliki berat bersih 50 kg itu juga ditempatkan di sebuah gudang kecil, di rumah kamituwo di dusun tersebut. Setiap sak pupuk yang diambil oleh petani pada hari itu pun semuanya tertulis “barang dalam pengawasan” dan “pupuk bersubsidi pemerintah”. Namun, label tersebut hanya untuk jenis pupuk tertentu saja yang dianggap sebagai pupuk yang strategis.
Sekarang pembelian pupuk dikoordinasi oleh kelompok tani setempat. Kelompok tani bernama Surya Buana itu membeli pupuk lewat sebuha kios resmi yang juga bertempat di dusun tersebut. Kios resmi itulah yang pertama kali membeli pupuk dari distributor di atasnya. Dengan kata lain, kelompok tani Surya Buana membeli pupuk secara kredit dari kios resmi tersebut. Tentu saja kios resmi tersebut bermodal besar untuk memenuhi kebutuhan pupuk untuk seluruh petani di Dusun Wates itu. Bahkan, cakupan wilayah kios tersebut tidak hanya Dusun Wates saja, tetapi juga beberapa dusun lainnya.
Seorang kios distributor pupuk pun perlu memenuhi beberapa syarat. Di antaranya sebuah kios resmi perlu mendapatkan ijin dari perangkat desa setempat. Itu dilakukan dengan pengurusan berkas-berkas surat ijin yang ditandatangani oleh perangkat desa setempat. Di samping itu, di depan rumah tempat kios tersebut perlu dipasang sebuah papan yang bertuliskan bahwa kios tersebut merupakan kios resmi distributor pupuk.
Selanjutnya, penyaluran pupuk kepada petani bukan oleh kios tersebut. Akan tetapi, dikelola oleh kelompok tani yang terdiri atas sejumlah orang yang juga petani setempat. Pengelolaan oleh kelompok petani itu pun memungkinkan petani mendapatkan jatah pupuk sesuai dengan luas lahan. Meskipun demikian, pada pengambilan pupuk hari itu, Minggu, 26 Juli 2009 ada beberapa petani yang meminta lebih jatah pupuk pada kelompok petani. Tentu saja itu tidak berarti kemudian kelompok tani bisa memenuhi permintaan para petani tersebut.
Pada hari itu, petani pun mendapatkan pupuk dengan cara kredit. Misalnya, untuk pupuk urea dengan sistem kredit itu petani membayarnya sebesar Rp 73.000,00. Pembayarannya dilakukan oleh patani pascapanen padi, kira-kira 3,5 bulan lagi pada kelompok tani. Oleh kelompok tani, petani pun dikondisikan membelinya dengan cara kredit. Kelompok tani memanfaatkan dana bantuan dari pemerintah untuk menalangi pembelian pupuk dari distributor. Bantuan itu pun telah menjadi hak kelompok tani untuk mengelolanya.
Diperkirakan, misalnya untuk pupuk urea, kelompok tani membeli dari distributor dengan harga Rp 67.000,00. Dalam hal ini kelompok tani juga mengambil keuntungan atas perannya dalam penyaluran pupuk. Jika dihitung maka setiap sak kelompok tani dapat keuntungan dari sistem kredit itu sebesar Rp 6.000,00. Sistem kredit itu pun sebetulnya menguntungkan petani sebab sebagian besar umumnya petani baru memiliki uang saat panen tiba. Di samping itu, kelompok tani pun tidak begitu membutuhkan uang secara cepat lewat sistem pembelian tunai.
Meskipun demikian, sebagian besar petani ada yang merasa tidak puas atas bagian pupuk yang mereka dapatkan. Misalnya, ada beberapa petani yang menginginkan dua sak pupuk jenis urea, tetapi kelompok tani hanya bisa menyediakan satu sak. Lagi-lagi ini pun berkaitan dengan, antara lain, dosis pupuk yang digunakan oleh petani.
Sekarang, pupuk sebagai barang dalam pengawasan, tidak setiap orang bisa membelinya. Untuk mendapatkannya seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertetu. Maka dari itu, sekarang jika satu bak pick up mengangkut pupuk yang dalam pengawasan itu dan tanpa disertai surat-surat resmi maka bisa berurusan dengan pihak kepolisian. Dalam program berita, sebuah televisi pernah menayangkan polisi yang menangkap sopir pick up yang membawa puluhan sak pupuk bersubsidi.
Kemudian, akhir Juli 2009 itu merupakan masa pemupukan. Oleh karena itu, kelompok tani setempat membagi pupuk. Pembagian itu pun dijatah dan diperkirakan sesuai dengan luas lahan yang dimiliki oleh setiap petani. Hari itu, misalnya Pak Purnomo (65 tahun, bukan nama sebenarnya) kebagian 4 sak urea, 4 sak ZA, 4 sak TS, 3 sak, 3 sak phonska, 2 sak pupuk organik, dan 2 sak pupuk bio. Itu masih ditambah dengan pupuk jenis lainnya sehingga totalnya 15 sak. Dibandingkan dengan kebanyakan petani lainnya, jatah pupuk yang diterima oleh Pak Purnomo tergolong banyak. Hari itu pun Pak Purnomo mengangkut 22 sak pupuk itu dengan mobil pick up miliknya.
Kini, memasuki masa tanam gadu, petani di Dusun Wates ini tidak begitu mengalami kesulitan dalam mendapatkan pupuk. Masa gadu yang identik dengan musim kemarau ini kemungkinan juga tidak akan terjadi kelangkaan pupuk. Itu berbeda dengan saat musim hujan, yakni biasanya ada penambahan lahan untuk ditanami, misalnya areal hutan. Penambahan lahan itu berarti meningkatkan permintaan terhadap pupuk sehingga kemungkinan terjadi kelangkaan pupuk. Tentu saja itu hanya salah satu faktor saja dan masih banyak faktor lain yang lebih dominan terkait dengan distribusi pupuk.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember