Rabu, 07 Oktober 2009

Pemadaman Listrik

Padamnya Listrik di Dusun Saya

Oleh: Puguh Utomo


Tiba-tiba listrik di dusun saya, Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, padam (6/10/2009). Itu terjadi kira-kira jam 17.20 WIB. Saat itu saya sedang menyaksikan berita di televisi tentang gempa bumi dengan skala 6,7 skala richter di wilayah Sumatera Barat. Sudah hampir satu minggu ini program berita di televisi fokus pada berita tentang gempa di wilayah Sumatera Barat pada Rabu, 30 Oktober 2009 dan gempa susulannya. Posisi televisi sebagai salah satu media elektronik tentu saja hal itu logis. Namun, padamnya listrik membuat televisi tidak dapat dihidupkan.

Kemudian, praktis, kehidupan rasanya kembali ke zaman “Dinosaurus”. Padamnya listrik itu sendiri berlangsung sejak kira-kira jam 17.20 sampai dengan 20.45 WIB. Televisi, komputer, radio, dan lampu tidak dapat dihidupkan. Maklum, perkakas itu sangat bergantung pada aliran listrik. Pada saat yang sama saya teringat tentang penderitaan, khususnya warga Sumatera Barat yang harus memikul akibat atas gempa yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi itu.

Namun, tanda-tanda “ke-modern-an” masih ada. Telepon seluler (ponsel) milik saya masih bisa digunakan. Terkadang juga terdengar deru kendaraan, terutama roda dua. Lampu senter yang dari korek bensol juga masih dapat digunakan. Dimar cublik atau lampu berbahan bakar minyak tanah juga masih dapat digunakan. Lampu senter yang ada di ponsel saya juga masih dapat digunakan.

Selepas maghrib, saat listrik masih padam, ibu (57 tahun) saya bercerita tentang keganasan pada Gerakan September Tiga Puluh (G-30-S PKI) pada 1965 silam. Ibu saya menyebutnya dengan Gestapu, yakni kependekan dari Gerakan September Tiga Puluh. Demikian juga dengan sejumlah orang juga lebih mengenal peristiwa itu dengan Gestapu. Ibu saya menceritakan bahwa saat suasana gelap seperti ini dengan jalan yang masih belum beraspal, sering terjadi “manusia membunuh manusia”. Ibu saya menceritakan bahwa pada saat itu ada orang yang tewas dan organ tubuhnya dipotong-potong dan organnya diletakkan di atas kursi. Mengerikan! Ibu saya menceritakan dengan raut muka kesedihan sebagaimana orang-orang yang menceritakan tentang tragedi itu pada saya. Mereka pun tidak ingin peristiwa itu terulang kembali.

Pada jam 20.00 listrik belum menyala. Selama itu saya coba berkirim-kiriman pesan pendek lewat ponsel. Misalnya, saya bertanya pada teman saya yang hari ini mengikuti tes untuk menjadi satuan pengamanan (satpam) pada perusahaan jasa tenaga kerja. Teman saya itu membenarkan saat saya bertanya apakah perusahaan itu memakai sistem outsourcing. Dengan teman yang lain saya juga berkirim-kiram pesan pendek tentang tes Calon Pegawai Dalam Negeri (CPNS). Maklum, saya sendiri juga masih tergolong pencari kerja dan mendambakan bekerja sebagai PNS lembaga pendidikan.

Kemudian, pada saat jam 20.45 begitu listrik kembali menyala, terdengar sorak sorai dari tetangga sebelah. Kembali menyalanya listrik itu disambut dengan gembira. Kehidupan pun rasanya kembali normal.

Puguh Utomo

Alumnus Prodi Sosiologi

FISIP, Universitas Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar