Selasa, 09 Maret 2010

LDII di Kawasan Pedesaan


Gambar dipinjam dari sini

LDII di Kawasan Pedesaan

Tahun 2007 salah satu stasiun televisi swasta dalam situsnya menurunkan berita berjudul “Ratusan Warga Jember Hancurkan Masjid LDII ” (selengkapnya klik di sini). LDII adalah kependekan dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia. Kemudian, 4 Februari 2010 ini sebuah stasiun televisi swasta melalui situsnya juga menurunkan berita berjudul “Musala LDII di Mojokerto Dirusak Warga” (http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/02/04/99088/Musala-LDII-di-Mojokerto-Dirusak-Warga/). Bandingkan juga dengan pemberitaan salah satu situs yang juga menurunkan berita tersebut dengan judul “Musholla LDII di Mojokerto Dirobohkan Warga” (http://id.news.yahoo.com/dtik/20100203/tid-musholla-ldii-di-mojokerto-dirobohka-b1ae096.html).

Ada yang perlu dicermati atas pemberitaan tersebut. Misalnya kata “rusak” dan kata “robohkan” kedua judul tersebut. Dari nilai rasa bahasa, kata “rusak” mengesankan kuat, telah terjadi konflik sosial keagamaan secara keras. Kata “robohkan” lebih tidak mengesankan adanya konflik sosial keagamaan. Di samping itu, keterbatasan media seperti ruang maupun akurasi pemberitaan pun patut disadari. Hal itu berkaitan dengan kenyataan objektif atau peristiwa yang sesungguhnya di lapangan.

Meskipun demikian, tentang sifat media itu tidak akan kita panjang lebarkan. Namun, peristiwa atas kasus itu mengingatkan kembali, yakni kerukunan kehidupan beragama. Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan beragama dapat dimaknai sebagai kehidupan kolektif atau kehidupan bersama. Sering pula kita menyebutnya dalam kehidupan bermasyarakat. Biasanya pada kehidupan kolektif itulah, termasuk di dalamnya kehidupan beragama, memunculkan situasi konflik sosial keagamaan.

Dalam hubungan ini, katakanlah kesadaran bertuhan itu lebih pada keadaan kejiwaan atau psikologis. Keadaan kejiwaan tersebut juga bisa terjadi pada dunia sosial dalam wujud konflik sosial keagamaan dengan beragam tipe kasus. Artinya, sudah tidak melibatkan satu individu, tetapi banyak individu. Agaknya itulah yang terjadi dari pemberitaan media seperti yang telah disinggung di atas.

Kembali pada pemberitaan di atas, pengrusakan tempat ibadah itu menandai adanya sebuah konflik sosial keagamaan. Memang, di Indonesia ada beberapa kasus konflik sosial keagamaan. Termasuk yang menyangkut keberadaan LDII dalam hubungannya dengan masyarakat setempat. Di beberapa tempat, hubungan antara orang LDII dengan masyarakat setempat menunjukkan hubungan yang tidak harmonis.

Kiranya perlu diketahui terlebih dahulu tentang LDII ini. Jemaah Darul Hadits merupakan nama sebelum LDII. Jemaah Darul Hadits menurut penelitian Moeslim Abdurrahman yang dipublikasikan tahun 1978 merupakan “suatu gerakan ortodoxsi ketat yang dipimpin oleh kiyahi Nur Hasan Al Ubaidah, berpusat di pondok LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam), Burengen, Kodya Kediri.” Pada perkembangannya LDII pun menyebar, antara lain di beberapa kecamatan dan di beberapa kabupaten.

Berbicara mengenai LDII ini juga tidak dapat dilepaskan dari aspek agama yang, antara lain, berupa kebenaran di dunia maupun di akhirat, keselamatan, aturan, yang pahami, dihayati, diterapkan oleh pemeluknya. Di samping itu, juga perlu diingat bahwa dalam situasi sosial tertentu agama bisa menjadi pembicaraan yang cukup sensitif karena. Maka dari itu, terkadang klaim-klaim kebenaran pun tidak dapat dihindarkan.

Jika melihat kasus di Mojokerto, itu terjadi di sebuah desa. Komunitas petani-santri biasanya berdomisili di pedesaan. Umumnya, komunitas petani-santri ini berpaham keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Kasus di Desa Tanggul Wetan, Jember, Jawa Timur dan di Dusun Kaweden, Desa Balongwono, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur menunjukkan kedua kasus itu terjadi di kawasan pedesaan. Satu lagi yang saya ketahui adalah di Dusun Gawok, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Kasus di Dusun Gawok itu sendiri terjadi pada Jumat malam, 5 Oktober 2007. Kasus ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Lokasi Dusun Gawok sendiri berjarak sekitar 1 km dari dusun tempat saya tinggal. Dari cerita orang-orang setempat, tempat ibadah milik LDII itu baru tiga bulan dan sudah dipakai jumatan oleh anggota LDII di dusun itu.

Malam itu di balai desa setempat dilakukan musyawarah terkait keberadaan tempat ibadah milik LDII itu. Tempat ibadah itu pun dari sisi bangunan masih berupa seperti rumah biasa. Beberapa tokoh seperti salah seorang pengurus cabang NU dan tokoh dari LDII sendiri juga turut dalam musyawarah itu. Ini pun menunjukkan peran tokoh agama masih sangat penting. Dalam musyawarah itu pun juga dihadiri oleh massa yang tidak lain adalah warga setempat.

Sebelum musyawarah digelar, sempat muncul isu akan merobohkan tempat ibadah milik Jemaah LDII di Dusun Gawok itu. Malam itu begitu musyawarah selesai, sebagian massa yang mengikuti musyawarah itu ingin melihat lokasi tempat ibadah tersebut. Saat mendekati lokasi, tiba-tiba ada insiden, yakni ada seorang yang tidak dikenal, dari tempat tersembunyi, melempar batu ke arah massa yang ingin mengetahui tempat ibadah milik LDII. Namun, insiden itu akhirnya dapat diredam dan tidak timbul insiden lanjutan. Isu perobohan tempat ibadah juga tidak terjadi. Peristiwa ini pun waktu itu kiranya tidak terekspose oleh media.

Pada saat yang sama, muncul isu bahwa anggota LDII memberikan sejumlah materi, seperti makanan, kepada warga di Dusun Gawok. Tujuannya terkait dengan keberadaan LDII. Jemaah LDII sendiri hanya beberapa orang yang asli warga Dusun Gawok dan kesemuanya masih berhubungan saudara. Muncul pula isu, Jemaah LDII di dusun itu dekat dengan kepala desa setempat.

Kasus di Dusun Gawok itu sendiri salah satunya dipicu oleh pelaksanaan dua sholat jumat dalam satu dusun. Karena alasan tertentu, pelaksanaan dua sholat jumat, apalagi di sebuah dusun yang kecil itu kurang lazim. Di samping itu, citra sosial keagamaan terhadap LDII yang pun turut memengaruhi bagaimana masyarakat memposisikan LDII. Selama ini ada kesan bahwa ada beberapa pemahaman LDII yang dinilai “asing” bagi warga setempat. Misalnya, keinginan sholat jumat menyendiri itu tadi.

Namun, sampai tulisan ini saya buat, tidak ada konflik lanjutan tentang kasus tersebut. Meskipun ada konflik, tetapi sampai sekarang sepertinya bersifat terpendam. Aktifitas beribadah pun berjalan sebagaimana biasa. Jemaah LDII tetap sholat jumat di tempat ibadah miliknya. Warga lainnya sholat jumat di sebuah masjid yang ada di dusun tersebut. Mayoritas warga di dusun Gawok itu pun berpaham keagamaan NU. Keberadaan mayoritas petani-santri di dusun itu pun mencirikan hal itu.

Kembali pada keberadaan petani-santri yang berada di kawasan pedesaan. Menurut tesis Abdul Munir Mulkhan dalam disertasinya yang telah dibukukan (2000) mengatakan, gerakan Islam yang cenderung fundamentalis di kawasan pedesaan telah mengalami pemudaran, sebaliknya neo-sufisme cenderung berkembang di kawasan pedesaan. Dalam hal ini tipe gerakan keagamaan yang cenderung fundamentalis perlu dimaknai secara hati-hati. Berdasarkan itu, gerakan keagamaan seperti LDII yang, antara lain, dikenal eksklusif akan sulit berkembang di kawasan pedesaan. Seandainya berkembang maka akan muncul hubungan konflik dengan berbagai bentuknya.

Sebagai perbandingan, kiranya ada satu kasus menarik di Kecamatan Tanjunganom. Di Kelurahan Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, LDII di kelurahan tersebut justru dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial setempat. Artinya, keberadaan LDII di kelurahan tersebut tidak sampai memunculkan konflik secara langsung dengan masyarakat setempat. Setidak-tidaknya tidak seperti kasus di Jember maupun di Mojokerto. Namun, perlu diingat tentang status wilayah “kelurahan” di tempat tersebut. Secara administratif status kelurahan pada awalnya adalah desa yang telah berkembang dan telah meninggalkan karakteristik pedesaan, menuju perkotaan. Belakangan ini juga muncul wacana tentang citra LDII yang sedang berubah.

Kemudian, kasus-kasus yang berkaitan dengan LDII tentu tidak bisa dilihat dari satu sisi. Apalagi menggeneralisasikan kasus sebab setiap kasus bisa berbeda-beda bergantung dengan akar permasalahannya. Tentu saja kerukunan kehidupan beragama baik secara internal agama maupun eksternal agama perlu selalu dipelihara. Dalam hal ini, misalnya peran tokoh agama di masing-masing tempat masih memainkan peran yang penting dalam kerukunan kehidupan agama.









6 komentar:

  1. Mas Puguh,
    Senang sekali saya membaca tulisan sampeyan ini yang bernada ilmiah dan tidak serta merta memojokkan LDII. Sebab secara prinsip yang di kaji LDII adalah Quran dan Hadist, yang diamalakan juga Quran Hadist yang didalammnya juga ada rukun Islam seperti membaca dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat wajib 5 waktu, puasa Ramadhan, zakat dan menunaikan haji ke Baitullah. Jadi sungguh ceroboh kalo ada yang mengatakan LDII itu sesat.

    Dari tulisan anda ini saya berharap mas Puguh bisa menjadi tokoh yang dapat mejembatani perbedaan antara umat.

    Di sini saya ingin memberi saran, sebaiknya mas Puguh juga bisa memandang dari sudut LDII sehingga bisa menelaah suatu permasalahan lebih jernih dan obyektif.

    1. Masalah LDII eksklusif seperti yang anda tulis, memang ada benarnya. Dan itu merupakan sifat dari suatu organisasi yang mandiri. Semua organisasi massa bersifat ekslusif karena masing-masing organisasi mempunyai platform sendiri-sendiri. Tidak bisa dicampur aduk. LDII memang beda dengan NU, dengan Muhammmadiyah dan beda dengan organisasi lainnya. Keyakinana adalah hak azazi manusia yang paling mendasar.

    2. LDII mengadakan jum'atan sendiri tidak mau bergabung dengan umat lain. Inipun bagian keyakinan yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam salat Jum'at LDII menggunakan kotbah bahasa Arab karena Kutbah Jum't itu merupakan pengganti 2 rakaat salat dhuhur. Jadi tidak mungkin warga LDII Jum'atan bareng umat lain.

    3. Kasus-kasus pertentangan terhadap warga LDII kebanyakan bukan masalah akidah. Sebab kalo kita berpegang teguh terhadap Quran dan Hadist maka kita tidak akan menemukan penyimpangan dalam LDII. Seperti kasus di Kweden Trowulan sebenarnya adalah dipicu oleh permusuhan antar angggota keluarga.

    4. Terhadap permusuhan sebagian masyarakat terhadap LDII, warga LDII menaggapi secara biasa saja, karena sudah menjadi ayat bahwa agama Allah yang benar pasti mendapat pertentangan. Dalam sejarah tidak ada satupun nabi dan rasul Allah yang tidak dimusuhi oleh masyarakatnya. Ajaran Nabi Musapun diperangi dan dilarang oleh pemerintahnya.

    Terima kasih

    BalasHapus
  2. Terima kasih kembali atas komentarnya.

    BalasHapus
  3. impresif. Cuma saya masih bingung satu hal, LDII, NU, Muhammadiyah itu emang paham keagamaan ya? Setahu saya itu adalah sebuah kumpulan (organisasi/unity) gitu, dan kesemuanya berpaham Islam yang meletakkan AlQuran dan Hadist sebagai petunjuk pelaksanaan ibadahnya. ;=)

    BalasHapus
  4. LDII, NU, dan Muhammadiyah, umumnya memang dikenali sebagai organisasi keagamaan. Sebagai organisasi keagamaan, LDII, NU, dan Muhammadiyah memiliki identitas keorganisasian masing-masing. Identitas itu berpengaruh terhadap, misalnya penghayatan nilai-nilai dan praktik keagamaan.

    BalasHapus
  5. Ass...Numpang comment aja
    Peace buat semua organisasi islam...ana emang kurang banget pengetahuan agama...jadi mohon maaf jika salah dalam menyampaikan kritisi ini.
    LDDI pernah ana shalat jumat di ajak teman. Agak unik juga khotbah dalam bahasa arab, ada sejumlah wanita yang ikut shalat jumat...unik juga sih...cuma mungkin pendekatan LDII kepada masyarakat aja...ana juga berindentitas persis, tapi ana sih shalat dimana aja karena masjid kan milik Allah...cuma unik aja ya LDII gpp sih asal jangan saling mengganggu satu sama lain yang jelas peace2 aja saling membina kerukunan antar umat beragama.
    Wass

    BalasHapus
  6. Posting yang berat nan nice ^_^

    BalasHapus