Pasca-konversi Tabung Elpiji
Konversi dari minyak tanah ke tabung elpiji memang telah dilakukan, belum genap satu tahun ini. Namun, apakah itu berarti telah banyak orang memakai tabung elpiji untuk memasak? Meskipun sebagian orang telah memakai tabung elpiji, tetapi sampai April 2010 ini ternyata sebagian yang lain memakai kayu bakar. Sementara sekarang sangat jarang orang memasak dengan kompor berbahan bakar minyak tanah. Itu karena harga minyak tanah menjadi melambung semenjak alih bentuk ke kompor gas.
Selama itu, penggunaan tabung elpiji memang sudah disosialisasikan oleh pemerintah, antara lain, lewat televisi. Pada 12 April 2010, malam hari, saya masih menyaksikan sosialisasi penggunaan tabung elpiji itu. Misalnya sosialisasi mengenai hematnya, keamanannya, kemudahannya, dan lain sebagainya. Namun, program berita di televisi juga menayangkan tentang kasus ledakan akibat pemakaian tabung elpiji.
Kembali pada paragraf pertama, paling tidak kenyataan itu terjadi di kampung saya. Dari sekitar 200 kepala keluarga di kampung saya di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk ini perkiraan hanya 25 % yang menggunakan tabung elpiji, yakni yang ukuran 3 kg. Sisanya memakai kayu bakar.
Memang, ada sejumlah alasan mengapa rumah tangga-rumah tangga di kampung saya ini memakai kayu bakar. Biaya antara kayu bakar dan tabung elpiji relatif sama. Maklum, kayu bakar di kampung ini masih bisa didapat dengan mudah. Perkampungan ini masih relatif dekat dengan kawasan hutan. Memasak dengan kayu bakar pun relatif lebih aman jika dibandingkan dengan kompos gas.
Kebiasaan memang kerapkali sulit diubah. Sebelumnya selama bertahun-tahun warga telah terbiasa menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kemudian, agak lebih praktis dengan kompor berbahan bakar minyak tanah. Lagi pula, berita di televisi tentang kasus ledakan tabung elpiji sungguh membuat sebagian warga ketakutan memakai kompos gas. Khususnya rumah tangga yang telah lanjut usia.
Menurut saya, sosialisasi penggunaan tabung elpiji di televisi dan pemberitaan kasus ledakan tabung elpiji yang juga oleh televisi cenderung kontradiktif. Sosialisasi cenderung mirip iklan agar masyarakat menggunakan tabung elpiji sebagaimana telah ditulis pada paragraf kedua. Namun, pemberitaan kasus ledakan tabung elpiji bahwa ada yang sampai merenggut nyawa. Bahkan, terkadang pemberitaan terkesan menonjolkan tentang ledakannya daripada sebab ledakan. Bagaimanapun juga itulah efek dari televisi.
Lagi pula pengalaman di rumah saya, yang juga memakai tabung elpiji, tak selamanya tabung elpiji bisa mudah dipakai. Misalnya, tabung elpiji yang harganya pada kisaran Rp 13.000,- s/d Rp 14.000,- ini ring karetnya sering bermasalah. Saat tabung elpiji telah habis dan diganti maka biasanya berbunyi mendesis pada bagian regulator.
Itu pertanda ada kebocoran dan ini berbahaya jika kompor gas dinyalakan sehingga ring karet harus diganti. Terkadang diganti dari mencungkil ring karet di tabung elpiji yang telah habis tadi. Kalau masih terdengar bunyi mendesis maka harus membeli ring karet seharga Rp 500,-. Sebetulnya hal seperti itu juga dialami oleh warga lain.
Sekarang, bahkan beberapa warga telah menjual tabung elpijinya pada kisaran harga Rp 80.000,- per tabung. Padahal, apabila memesan pada pengecer maka harga tabung elpiji bisa mencapai Rp 130.000,- per tabung. Mereka yang telah menjual tabung elpijinya maka dipastikan tidak lagi menggunakan kompos gas pemberian dari pemerintah itu.