Rabu, 21 Juli 2010

Kematian


Gambar diunggah dari sini.

Kematian

Sejak awal Juli 2010 ini, khususnya selepas maghrib di rumah kakek-nenek saya agak ramai. Anak-anak dari kakek-nenek saya, para menantu, para cucu, dan cicit biasanya berkumpul di sana. Di sana kami biasanya ngobrol, membicarakan hal yang terkadang remeh temeh. Alasan kami datang ke rumah kakek-nenek adalah kakek saya sudah tua. Umurnya lebih dari 80 tahun. Sekarang kakek sedang sakit karena memang sudah tua. Dan, sepertinya kakek kami akan tutup usia.

Tentu kami tidak mengharapkan kakek akan segera tutup usia. Namun, jika melihat keadaannya sekarang maka takdir jualah yang menentukan. Kakek sudah tidak dapat berjalan. Hanya dapat berbaring di tempat tidur. Ingatannya pun berkurang drastis. Terkadang kakek juga tidak mau makan. Selama dalam kondisi itu, anak-anak dari kakek dan sejumlah menantu bergiliran merawat kakek. Misalnya, membersihkan badan kakek dengan air secukupnya, sehari sekali.

Nenek sendiri juga sudah tua. Namun, masih dapat berjalan dan ingatannya masih kuat. Hanya sekarang nenek tidak bisa memasak sendiri. Salah seorang dari anaknya nenek biasanya mengiriminya makanan berupa nasi beserta lauk pauk.

Dalam konteks tertentu kita memilih kata yang tepat. Tak terkecuali dengan kata “tutup usia” identik dengan “tewas”, “berpulang”, “meninggal”, “gugur”, “mati” dan lain sebagainya. Judul ini pun sengaja memakai kata “mati” yang mudah dikenal. Memang, biasanya kata “mati” ini berkenaan dengan hewan. Misalnya, “Ayam yang mati”. Selain kata “mati”, karena nilai rasa, di antara kata yang disebut itu berkenaan dengan manusia. Misalnya, “Pengendara sepeda motor itu tewas terlindas truk”.

Selasa, 29 Juni 2010 kemarin diberitakan Kerata Api (KA) Logawa kelas ekonomi anjlok dan terguling di sekitar perbatasan Saradan, Madiun dan Wilangan, Nganjuk. Disebutkan enam orang tewas dan puluhan luka-luka. Wilangan merupakan tetangga dari Bagor, kecamatan saya. Dulu saat masih kuliah saya biasa menaiki Logawa Nganjuk-Jember dan sebaliknya.

Kemudian, Minggu pagi, 11 Juli 2010 terjadi kecelakaan maut. Bus pariwisata vs bus pariwisata. Dalam kecelakaan yang terjadi di Desa Petak, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk itu, diwartakan tiga orang tewas dan sejumlah orang terluka. Saya sendiri hanya menyaksikan berita itu di televisi dan membacanya di koran. Saya tidak melihat langsung tempat kecelakaan meskipun berada di kecamatan tempat tinggal saya.

Sementara itu, di program televisi rasanya hampir tiap hari disuguhi berita ketewasan. Tewas karena ledakan tabung gas elpiji; tewas karena kebakaran; tewas karena terbunuh; tewas karena terseret arus banjir; dan lain sebagainya. Tentu saja dalam lingkup negara Indonesia yang penduduknya sekian juta ini peristiwa itu mungkin saja terjadi.

Peristiwa-peristiwa itulah yang akhirnya saya menuliskan judul Kematian. Salah seorang facebooker mengatakan, kematian itu merupakan suatu kepastian, khususnya bagi yang bernyawa. Namun, kapan kematian akan terjadi, itu merupakan suatu misteri. Kecuali kasus bunuh diri yang dilakukan oleh manusia. Kiranya belum ada laporan hewan membunuh dirinya sendiri seperti kasus-kasus yang pernah dilakukan oleh manusia.

Dalam kecelakaan Logawa dan kecelakaan antar dua bus pariwisata itu sempat membuat saya berpikir bagaimana jika saya menjadi bagian dari penumpang alat transportasi itu? Bagaimana jika saya menjadi korban atas kecelakaan itu? Jika jari tangan yang tertusuk jarum saja terasa sakit maka bagaimana rasa sakit yang dialami korban baik yang luka-luka maupun yang meninggal?

Seingat saya Imam Syafei pernah berkata pada muridnya, sesuatu yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Jadi, bukan orang tua, kekasih, istri, suami dan lain sebagainya. Dalam kasus kecelakaan itu tentu ada benarnya. Kematian yang sebetulnya tidak dikehendaki, tetapi terjadi. Dalam hal ini juga berlaku “manusia merencanakan, tetapi Tuhan yang memutuskan”.

Kemudian, jika diibaratkan, hidup merupakan sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan itu memerlukan pemberhentian. Dalam kaitan ini, pemberhentian adalah kematian. Hampir selalu sebuah kematian menghadirkan kesedihan. Entah itu kematian yang dikehendaki maupun tidak dikehendaki. Bahkan, kematian atas kehendak-Nya pun juga bisa meninggalkan kesedihan.




2 komentar: