Nganjuk-Jakarta
Di Jakarta saya melihat yang tidak saya lihat di Nganjuk. Misalnya, gedung pencakar langit yang terdiri atas puluhan lantai. Kendaraan bernama bajaj juga tidak saya temui di Nganjuk, tetapi saya jumpai di Jakarta. Di Jakarta saya juga menjumpai jalur untuk bus way yang tentu saja tidak saya temui di Nganjuk. Di Jakarta saya juga menjumpai kemacetan, tetapi tidak saya jumpai di Nganjuk. Di Jakarta, saya juga kali pertama melihat Monumen Nasional (Monas) dengan mata kapala saya sendiri.
Sebelumnya, saya hanya melihat itu semua lewat televisi. Di sana pula, saya melihat gedung pusat tiga stasiun televisi nasional. Monorel yang masih mangkrak, Jackmania, jalur three in one, joki, mobil-mobil mewah yang lalu lalang, sampai parkir mobil di lantai lima.
Dua paragraf itu mengawali tulisan di Oktober ini. Perjalanan dengan kereta bisnis dari Nganjuk ke Jakarta sejak Senin, 25 Oktober 2010 sampai dengan Minggu pagi, 31 Oktober 2010 lalu ingin saya abadikan lewat tulisan ini. Mereka yang pernah mengenal Jakarta tentu tak asing lagi dengan ibu kota negara Indonesia itu. Namun, ada kesan tersendiri untuk saya yang kala itu pertama kali ke Jakarta.
Senin sore itu bertepatan dengan waktu maghrib sebuah kereta bisnis yang akan membawa saya ke Jakarta tiba. Saya sengaja memilih kereta bisnis yang harga tiketnya Rp 140.000,-. Itu tarif untuk Senin sampai Kamis. Jumat sampai Minggu Rp 160.000,-. Kereta kelas ekonomi harga tiketnya sekitar Rp 50.000,-.
Harga karcisnya saja berbeda. Apalagi fasilitasnya. Secara umum baik kelas bisnis maupun kelas ekonomi relatif sama, tetapi ada perbedaannya. Kereta kelas bisnis lebih tetapi waktu. Waktu tempuh juga relatif lebih cepat. Di dalam kereta kelas bisnis juga lebih bersih dan tidak terlalu berbau amis. Kereta bisnis juga dipasang tirai dan kipas angin yang masih berfungsi. Tempat duduk kereta kelas bisnis juga lebih nyaman. Itu semua berbeda dengan kereta api kelas ekonomi.
Toilet kereta kelas bisnis juga lebih bersih dan tidak terlalu berbau tidak enak. Di dalam toilet juga tersedia air untuk buang air besar. Air itu dipakai saat kereta berjalan. Juga ada wastafel kecil untuk cuci muka. Toilet kereta kelas ekonomi lebih kotor, berbau, dan biasanya tidak tersedia air untuk buang air besar. Di kelas bisnis juga tidak ada satu pun pengamen. Keberadaan pedagang pun hanya ada saat kereta berhenti di stasiun. Di kelas ekonomi, pedagang hampir selalu lalu lalang meskipun kereta dalam kondisi berjalan. Di kelas ekonomi biasanya juga ada pengamen.
Seorang teman mengatakan jika ke Jakarta sebaiknya naik kereta kelas bisnis. Di samping perjalanan jauh, yakni sekitar 13 jam, saat masuk Bekasi biasanya juga sesak dengan penumpang yang berangkat bekerja. Meskipun ini relatif, tetapi konon kereta kelas bisnis lebih aman dibandingkan dengan kelas ekonomi. Artinya aman misalnya di kereta kelas bisnis hampir tak ada pencopet.
Pengalaman saya tahun 2003 saat pertama kali dari Nganjuk ke Bandung dengan kereta kelas ekonomi pun turut memengaruhi saya memilih kelas bisnis. Memang, tarif karcis bisnis lebih mahal daripada kereta kelas ekonomi. Meskipun demikian, kereta kelas ekonomi juga masih ada peminatnya. Harga karcis yang murah umumnya menjadi alasan utama.
Saya pun tiba di Stasiun Pasar Senen, hampir pukul 08.00. Molor dari jadwal seperti yang tertulis di karcis, yakni 06.36. Perjalanan Nganjuk-Jakarta selama kurang lebih 13 jam pun seakan tak terasa. Atas petunjuk dari saudara yang di Tangerang, saya naik bus jurusan Cikokol. Tanpa ponsel sebagai alat komunikasi, maka saya akan sangat kesulitan menuju rumah saudara saya di Tangerang itu. Karena itu, saya menulis nomor ponsel yang saya anggap penting jika ponsel saya hilang.
Kira-kira pukul 11.00 saya tiba di rumah saudara saya. Itu merupakan kali pertama saya ke sana. Namun, pertengahan 2010 yang lalu saudara saya itu pernah berkunjung ke rumah saya. Selepas maghrib saya diantarkan oleh saudara saya ke Ciputat yang juga masih saudara saya. Ciputat ini dekat dengan tempat ujian saya pada Rabu, 27 Oktober 2010, mulai pukul 08.00, yakni di sebuah universitas di Pamulang, Tangerang Selatan.
Ujian tertulis dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di salah satu kementerian itulah yang membawa saya ke Jakarta, khususnya di Tangerang. Selain itu, saya juga ingin dolan ke rumah saudara saya yang di Tangerang maupun yang di Jakarta. Itu juga pertama kali saya mengikuti tes CPNS sebuah kementerian.
Bisa jadi, perjalanan hidup selanjutnya, terutama perjalanan karier, ditentukan oleh tes seperti itu. Memang, awalnya saya ragu dan nyali saya menciut. Untuk kualifikasi akademik sarjana sosiologi seperti saya, formasinya hanya ada satu. Sementara satu formasi itu direbutkan oleh lulusan sosiologi nonkependidikan se-Indonesia. Namun, berhubung di sana ada saudara, yakni saya bisa menginap di rumah saudara saya itu, akhirnya saya mendaftarkan diri.
Saya bersyukur, tempat ujian saya relatif dekat dengan rumah saudara saya yang di Tangerang Selatan. Tempat ujian itu sendiri ditentukan oleh panitia seleksi CPNS. Jadi, peserta tidak bisa memilih tempat ujian. Tentu saya sangat berterima kasih pada saudara-saudara yang telah membantu saya.
Pagi itu, saya tiba di tempat ujian, sekitar pukul 07.00. Di auditorium di sebuah universitas itu sudah banyak peserta yang datang. Tempat tes di auditorium ini khusus untuk peserta yang melamar di salah satu unit kerja di sebuah kementerian tadi. Sebelumnya, saya memeriksa peserta tes di unit kerja ini berjumlah 925 peserta.
Saya pun mencari tempat duduk saya. Begitu dapat, peserta lain dengan kualifikasi akademik yang sama seperti saya juga telah tiba. Saya pun menyapa salah satu peserta yang duduk di sebelah kanan saya. Dia alumnus universitas terkemuka di Indonesia. Dia yang angkatan 2000 itu sudah beberapa kali mengikuti tes sejenis itu. Saya pun sempat pesismis dan peluang saya untuk lolos dalam tes itu pun sangat kecil. Bahkan, dipastikan saya tidak akan lolos dalam tes itu.
Di sebelah kiri saya juga dari almamater yang sama dengan yang duduk di sebelah kanan saya. Dia angkatan 2005. Sementara saya angkatan 2003 dari sebuah universitas pinggiran di Pulau Jawa. Saya juga mahasiswa yang tidak pandai. Namun, saya berusaha mengerjakan tes tulis itu semampu saya.
Menjelang tengah hari, tes pun selesai dan saya mengikutinya sampai selesai. Saya sadari tes tulis tersebut sangat sulit bagi saya yang ber-IQ rendah ini. Terkadang saya berpikir, saya ikut tes itu paling tidak agar ijasah sarjana saya ada gunanya. Sorenya saya kembali ke rumah saudara saya. Saya pun menginap di malam kedua di rumah saudara saya itu.
Kamis sore, 28 Oktober 2010 saya izin pulang. Sebelum pulang ke Nganjuk, saya juga izin akan dolan di rumah saudara saya di Jakarta Selatan. Melalui saudara saya inilah pertama kali saya bisa tahu kota Jakarta seperti yang saya kemukakan di awal paragraf. Sekali lagi, saya sangat berterimakasih pada saudara-saudara saya.
Sabtu sore, saya pun balik ke Nganjuk. Awalnya saya akan naik kereta kelas ekonomi. Namun, atas bantuan saudara saya akhirnya saya naik kereta kelas bisnis. Saya tiba di Stasiun Nganjuk sekitar pukul 05.00 pada Minggu pagi, 31 Oktober 2010. Perjalanan dari Jakarta ke Nganjuk pun seolah-olah tak terasa dengan naik kereta kelas bisnis tersebut.
Yang penting bukan hasil tapi usaha. hehehe
BalasHapusKapan-kapan aku jg pengen ke Jakarta.
UNPAM wi deket ma nggon krjku mas,,,,,aku krj nang PMC,,,,,,,,
BalasHapusYoi.
BalasHapus