Minggu, 27 September 2009
Makam Syekh Sulukhi
Sabtu, 12 September 2009
Puasa
Puasa
Oleh: Puguh Utomo
Akhir Agustus 2009 sampai dengan akhir September 2009 nanti, khususnya umat Islam menjalankan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan sendiri, puasa merupakan salah bentuk ibadah yang paling kentara. Tidak hanya umat Islam di Indonesia, tetapi juga umat Islam di seluruh dunia. Pada awal-awal puasa biasanya ibadah yang yang dilaksanakan selama sebulan ini tidak begitu terasa berat.
Akan tetapi, setelah memasuki 20 hari terakhir atau 10 hari terakhir biasanya fisik merasakan efek puasa. Apalagi, seperti tahun sebelumnya puasa kali ini bertepatan dengan musim kemarau yang saat siang hari suhu udaranya cenderung panas. Berkenaan dengan itu, sebagian besar orang yang berpuasa mengatakan bahwa yang paling sangat terasa adalah rasa dahaga.
Pada saat yang sama, menjelang dan selama puasa, dunia media, terutama di televisi, juga menayangkan berbagai hal yang berkaitan dengan puasa yang dilaksanakan di bulan Ramadhan ini. Logika pasar pun berjalan. Bahkan, beberapa minggu sebelum ibadah puasa dilaksanakan telah gencar iklan seperti minuman berupa sirup maupun operator telepon seluler (ponsel). Bahkan, saat puasa, khususnya saat sahur sejumlah televisi menyelenggarakan acara kuis.
Seperti telah ditulis atas bahwa awal puasa tahun ini berada di akhir bulan Agustus 2009. Itu memengaruhi pula terhadap jadwal kegiatan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) yang ke-64 yang jatuh pada 17 Agustus. Sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan peringatan tersebut dimampatkan sebelum pelaksanaan puasa di hari pertama.
Pada dasarnya puasa merupakan bentuk ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Pada wilayah keagamaan, itu dilakukan secara bersama-sama atau kolektif oleh pemeluk agama. Karena kolektif maka lahir pula aturan-aturan dalam pelaksanaan perintah agama tersebut sebagai pedoman pemeluk agama. Tentu saja aturan-aturan ini juga berlaku untuk bentuk-bentuk ibadah yang lain, seperti sholat, zakat, dan naik haji. Aturan-aturan itu pun untuk memperkuat identitas dalam suatu agama.
Ketaatan itu pun berkaitan dengan kesadaran akan bertuhan. Dibandingkan dengan kesadaran beragama, kesadaran bertuhan ini lebih individual, tetapi tetap terpelihara dalam ke-kolektif-an. Dalam kesadaran bertuhan tersebut, Tuhan sebagai yang transendental dirasakan sebagai kekuatan tertinggi yang memiliki segala-galanya tanpa perkecualian.
Dalam banyak bentuk peribadahan dalam agama, dapat dipetik pelajaran tentang pengendalian diri. Tak terkecuali puasa. Di satu sisi pengendalian diri tersebut dapat bermakna penderitaan. Akan tetapi, di sisi lain dengan sifat manusia sebagai makhluk beragama dan makhluk bertuhan, puasa juga bermakna pencapaian martabat kemanusiaan yang tertinggi. Paling tidak, pelaksanaan puasa ini telah teruji dalam kurun waktu yang sangat lama di setiap tempat, di setiap masanya secara turun temurun.
Kemudian, media, baik elektronik maupun cetak, memediasi perihal puasa. Sebagian media memasukkan nuansa Ramadhan, termasuk di dalamnya puasa, ke dalam. Sementara pada puasa, sisi medis mengatakan bahwa puasa dapat mendukung kesehatan. Di samping itu, ajakan agar puasa juga berefek pada dimensi-dimensi lain seperti empati sosial. Tak ketinggalan pula pengalaman religius yang menyertai selama menjalankan ibadah puasa.
Selain itu, “ritual” rutin saat puasa Ramadhan pun terjadi kembali. Misalnya, kenaikan harga beberapa jenis kebutuhan pokok seperti gula pasir dan minyak goreng. Arus mudik khususnya pada H-10 maupun H+10 pada Lebaran pun meningkat dibandingkan dengan hari-hari biasa. Pada saat yang sama, selama Ramadhan, seperti yang ditayangkan oleh media seperti televisi, kepolisian juga merazia, misalnya minuman keras (miras).
Tiba-tiba pada pertengahan puasa, di Indonesia, alam pun berkehendak. Persisnya di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya diguncang gempa dengan kekuatan 7,3 skala richter. Sebagaimana diberitakan oleh media, puluhan orang tewas, sekian orang mengalami luka-luka, ribuan orang mengungsi, dan ribuan rumah rusak yang diakibatkan oleh gempa. Tentu kita semua berharap bahwa penanganan musibah tersebut dapat berjalan dengan baik.
Kemudian, dalam masyarakat Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, puasa Ramadhan yang diakhiri dengan Lebaran sudah menjadi bagian dari budaya. Itu ditandai, antara lain, mudik dan silaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Sebagian besar masyarakat di Indonesia menjadikan Lebaran juga sebagai kembalinya pada akar sosial.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember
Senin, 07 September 2009
Diesel di Sawah
Diesel di Sawah
Oleh: Puguh Utomo
Di sawah di sebelah utara Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk ini ada sekitar 36 diesel yang dioperasikan. Hampir di setiap petak sawah milik petani di dusun tersebut terdapat mesin pompa air yang digunakan untuk mengairi sawah. Sebagian besar adalah diesel milik petani di dusun yang kini terdiri atas kira-kira 200 kepala keluarga tersebut. Hampir setiap diesel di sawah tersebut tidak dibawa pulang, tetapi tetap dibiarkan berada di sawah. Sementara itu, selang penyedot pada wayer tetap dibiarkan menancap pada sumur diesel dengan kedalaman sekitar 40 meter.
Di sawah itu, beberapa diesel dibuatkan rumah-rumahan yang dengan empat tiang bambu dan atap yang beberapa rumah-rumahan itu di antaranya dari genteng. Umumnya rumah-rumahan itu tanpa dinding. Sebagian lagi hanya ditanami pohon talok untuk memayungi diesel dari sinar matahari. Sementara itu, sejumlah diesel hanya ditutupi karung goni. Bahkan, ada beberapa diesel yang dibiarkan terpapar sinar matahari langsung.
Petani di dusun itu sendiri mulai ramai-ramai memakai diesel dengan kapasitas besar, yakni 8 PK pada 2006. Kira-kira pada 1990-an petani masih mengandalkan sistem irigasi dengan pasokan air dari sungai. Setelah itu, petani memakai diesel kecil berbahan bakar bensin dan minyak tanah. Kemudian, mulai tahun 2006 itu mulai banyak petani yang memakai diesel dengan ukuran lebih besar.
Pada pertengahan Juli 2009 diesel-diesel itu mulai intensif dioperasikan. Persisnya saat mulai pengolahan sawah, yakni mentraktor lahan. Diesel memompa air dari dalam tanah dan mengairi lahan sehingga memudahkan tanah untuk ditraktor. Pada saat yang sama, petani juga daud atau mencabut benih padi yang berumur kurang lebih 25 hari.
Saat musim tanam seperti sekarang ini, akhir Agustus 2009, diesel biasa dioperasikan pada pagi hari sekitar jam 06.00. Misalnya, hari itu, Kamis, 3 September 2009, sawah milik Pak Tomo, 69 tahun, dengan luas lahan 450 ru sejak pagi telah mengoperasikan satu unit dieselnya. Karena posisi sawahnya terpisah, Pak Tomo juga menyewa satu unit diesel milik orang lain. Tujuannya untuk mengairi sawahnya yang seluas 150 ru dari luas 450 ru tersebut. Dengan begitu, waktu untuk mengairi sawahnya pun lebih cepat. Setelah air merata, Pak Tomo mematikan dieselnya sekitar pukul 10.00.
Diesel itu sendiri berbahan bakar solar. Sejak pertengahan Juli 2009 sampai dengan akhir Agustus 2009, Pak Tomo telah membeli Rp 600.000,- solar dengan harga per liternya Rp 4.500,-. Terakhir kali Pak Tomo membeli pada Senin, 31 Agustus 2009. Rata-rata Pak Tomo membeli solar setiap 15 hari sekali. Jadi, jika dihitung sampai sekarang Pak Tomo telah membeli sekitar 133 liter solar. Sementara itu, usia padi sampai 2 September 2009 ini baru 47 hari. Umur padi sendiri pada musim gadu ini diperkirakan mencapai 100 hari.
Memang, pada musim gadu ini punya karakteristik sendiri. Pada musim ini biaya yang dikeluarkan oleh petani lebih besar daripada musim lainnya. Biaya tambahan itu khususnya untuk pengairan sawah dengan mengandalkan diesel. Biaya itu misalnya membeli solar, membeli suku cadang diesel jika rusak, termasuk biaya servis diesel. Di samping itu, pada musim gadu ini usia padi biasanya lebih lama dibandingkan dengan dua musim lainnya. Meskipun demikian, hasil panen padi pada musim gadu ini lebih banyak dibandingkan dengan dua musim tanam lainnya.
Sebetulnya cukup beresiko meninggalkan diesel di sawah. Di sejumlah desa di Kabupaten Nganjuk, terjadi pencurian diesel. Akan tetapi, di Dusun Wates sendiri belum pernah terjadi kasus pencurian diesel. Berkenaan dengan itu, warga di Dusun Wates pun membeli diesel buatan Cina. Untuk satu unit diesel buatan Cina dengan kekuatan 8 PK seharga Rp 4.000.000,-. Rata-rata petani memilih diesel dengan kekuatan 8 PK. Dengan kapasitas mesin itu, tentu diesel pun cukup berat untuk dipindah-pindah sehingga lebih praktis ditinggalkan di sawah.
Diesel tersebut lebih murah dibandingkan dengan buatan Jepang yang harganya bisa mencapai dua kali lipatnya. Tentu saja harga itu juga memengaruhi kualitas diesel. Namun, warga setempat mengatakan bahwa selain harganya yang murah, pilihan terhadap diesel buatan Cina itu juga untuk meminimalisir kasus pencurian diesel di sawah. Artinya, jika diesel yang ditempatkan dan ditinggal di sawah itu dicuri maka kerugian yang ditanggung tidaklah terlalu besar.
Sawah milik petani di dusun itu pun tidak hanya di sebelah utara dusun, tetapi juga di sebelah selatan dusun. Di sebelah selatan dusun ini tidak banyak diesel yang dioperasikan dibandingkan dengan areal sawah di utara dusun. Di areal persawahan ini atau 1 km dari Dusun Wates terdapat sungai yang cukup lebar, yakni sekitar 4 atau 5 meter. Kadang-kadang diesel menyedot air dari sungai ini meskipun telah ada sumur diesel sendiri.
Di sisi barat juga masih ada lahan persawahan. Agak ke barat sudah merupakan perbukitan sekaligus untuk pemukiman. Oleh karena itu, tanah di areal ini konturnya miring dan ini cukup menguntungkan. Keuntungannya, yakni persediaan air tanah cukup melimpah sehingga setiap tahun, air tanah yang disedot oleh diesel sampai kini pun belum pernah habis. Kendatipun demikian, pada waktu tertentu, khususnya sore hari saat diesel-diesel banyak yang dioperasikan maka biasanya sumur-sumur warga di belakang rumah volumenya menyusut.
Di antara seluruh areal persawahan di sekeliling Dusun Wates ini, kondisi tanah tidaklah homogen. Ada sebagian tanah yang tergolong lahan rawa. Namun, tanah jenis ini sangat sedikit. Kemudian, ada pula lahan tegal, yaitu di barat daya dusun ini. Sebagai lahan tegal maka hanya lebih produktif ditanami saat musim penghujan.
Sepanjang tahun, sebagian besar areal persawahan di dusun itu ditanami padi. Umumnya tanaman padi, dalam setahun bisa panen sebanyak tiga kali. Dalam tiga kali panen itu, secara umum melewati dua musim, yakni musim kemarau dan musim penghujan. Pada saat musim kemarau itulah diesel memegang peran yang penting. Musim kamarau sendiri berlangsung antara bulan Juli sampai dengan bulan Januari.
Kini, September 2009 masih berlangsung musim kemarau. Diesel-diesel pun dioperasikan untuk menyedot air dan mengairi sawah milik petani masing-masing. Selama itu, setiap hari sejak pagi sampai sore hari pasti terdengar deru suara diesel yang dioperasikan di sawah.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember
Kamis, 03 September 2009
Pelacuran Ilmiah
Pelacuran Ilmiah
Dulu, pada awal 2009 atau beberapa bulan sebelum saya mengikuti wisuda, saya sempat berniat menjadi konsultan skripsi. Waktu itu saya telah mengikuti ujian skripsi dan dinyatakan lulus pada 26 September 2008 dengan nilai “A”. Umumnya ujian skripsi, pascaujian pun saya melalui tahap revisi skripsi. Hanya saja saat itu ada satu kendala sehingga saya baru dapat mengikuti wisuda pada 21 Maret 2009. Rasanya niat itu bukan pilihan, tetapi upaya mengamalkan pengalaman selama saya mengerjakan skripsi. Itu terkait pula dengan bayangan akan susahnya mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari jenjang sarjana.
Saya sendiri sebetulnya tidak cukup mumpuni dalam konsultasi skripsi tersebut dan ini hanya niat saja. Niat itu sendiri sesungguhnya dipicu oleh pengalaman saya dalam mengerjakan skripsi selama dua tahun. Rentang waktu pengerjaan skripsi yang lama itu bisa berarti dua hal. Pertama, saya kesulitan dalam mengerjakan skripsi. Kedua, dengan melihat hasil ujian skripsi dengan nilai “A” itu menandakan bahwa saya cukup makan asam garam dalam pengerjaan skripsi.
Niat itu pernah saya ceritakan pada teman-teman saya dan pandangannya beragam. Beberapa di antaranya bisa menerimanya, tetapi ada juga yang menyayangkan niat tersebut. Mereka yang menerimanya mengatakan bahwa itu bisa membantu teman-teman yang kesulitan mengerjakan skripsi, terutama dengan metode kualitatif di Program Studi (Prodi) Sosiologi, Universitas Jember (Unej). Sementara mereka yang menyayangkan mengatakan bahwa apakah sebegitu teganya membantu teman-teman yang mengerjakan skripsi dan sebagai imbalannya meminta uang dari teman yang kita bantu?
Masih menurut teman saya itu, bukankah membimbing skripsi sudah merupakan tugas dan wewenang dosen? Maka dari itu, tidak sepatutnya kita melangkahi tugas dan wewenang tersebut? Kendatipun demikian, teman saya itu pun juga mengatakan bahwa jika sebatas tukar pikiran tentang pembuatan skripsi itu tidak jadi soal.
Entah bagaimana niat saya itu bisa menyebar. Pada suatu hari ada seorang dosen yang bertanya pada saya bahwa katanya saya akan buka usaha jasa pembuatan skripsi. Saya pun kaget dengan pertanyaan dari dosen saya itu. Apalagi pertanyaan itu dilontarkan di luar ruangan, dalam pertemuan santai, sementara di situ ada teman-teman saya yang lain. Kebetulan pertanyaan itu dilontarkan saat saya bergegas hendak undur diri untuk pulang sehingga pertanyaan itu tidak berlanjut.
Waktu itu saya hanya tersenyum dan dengan mencoba mengalihkan perhatian saya pun mengemukakan tentang feature di sebuah koran, Radar Jember, yang memberitakan tentang jasa pembuatan skripsi. Demi etika jurnalistik, identitas sumber berita itupun disamarkan. Berita itu tersebut terbit selama tiga hari berturut-turut pada akhir Februari 2009. Setelah itu, saya pun undur diri dengan tanpa menanggapi lebih jauh pertanyaan dosen saya tersebut. Memang, itu kurang sopan, tetapi saya pun kesulitan menanggapi pertanyaan dosen saya tersebut.
Dari pemberitaan koran tersebut saya dapat simpulkan bahwa pengerjaan skripsi sebatas pada konsultasi itu tidaklah jadi soal. Artinya, saran dari orang lain terhadap skripsi adalah sah-sah saja, tetapi bagaimanapun juga skripsi perlu dikerjakan dengan tangan sendiri. Dikerjakan oleh keringat sendiri dan bukan keringat orang lain. Sementara itu, jual beli skripsi tergolong pelanggaran akademis atau pelanggaran ilmiah. Bahkan, secara ekstrim ada yang berpandapat bahwa itu tergolong pelacuran ilmiah. Baik penjual skripsi maupun pembeli skripsi sama-sama sebagai pelanggar.
Istilah “pelacuran ilmiah” pun ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI (2002: 623) “pelacuran ilmiah” adalah “penyelewengan yang terdapat pada dunia ilmu pengetahuan.” Se-arti dengan itu, ada istilah “pelacuran intelektual”. Dalam hal ini arti “pelacuran” mengalami perluasan makna, yakni tidak hanya berarti aktifitas menjual diri dalam transaksi seksual. Jual beli skripsi sendiri hanyalah salah satu bentuk yang dapat digolongkan ke dalam pelacuran ilmiah. Contoh lainnya, dan masih berkait dengan itu adalah jual beli gelar akademis.
Dalam dunia akademis, sanksi terberat terhadap pelanggaran akademis pun bervariasi bergantung pada pelanggarannya. Mulai dari penangguhan suatu karya ilmiah sampai pencabutan gelar akademis. Maka dari itu, misalnya untuk skripsi perlu dilampiri surat pernyataan bahwa yang skripsi tersebut merupakan karya asli penulis skripsi. Akan tetapi, sanksi pun kadang-kadang tidak selalu dapat menjangkau pelanggaran.
Pada kesempatan yang lain, kira-kira Mei 2009, seorang teman pernah bercerita tentang jasa pembuatan skripsi dan makalah tugas kuliah oleh seorang teman. Teman saya itu pun hanya tahu dari temannya yang tinggal di Jember dan menjalankan bisnis tersebut. Untuk satu skripsi, kata teman saya itu, tarifnya Rp 900.000,00. Sementara itu, untuk jenis makalah, satu makalah Rp 20.000,00. Tarif tersebut sampai menjadi sebuah skripsi dan/atau makalah.
Dalam praktiknya, kata teman saya itu, lebih mudah membuatkan makalah daripada skripsi. Skripsi biasanya memerlukan waktu yang relatif lama. Saat pemesan skripsi selesai ujian skripsi pun biasanya masih ada tahap revisi. Dengan tarif tersebut, revisi itu pun biasanya menjadi urusan pembuat skripsi. Lain halnya dengan skripsi, pembuatan makalah tidak memerlukan waktu yang lama. Begitu makalah dikumpulkan ke dosen, seketika itu juga pekerjaan pembuat makalah selesai. Itu karena makalah tidak memerlukan revisi.
Berkenaan dengan itu, suatu hari saat ngobrol dengan seorang teman satu angkatan yang belum seminar proposal. Teman saya itu meminta bantuan saya agar dibantu dalam pengerjaan skripsinya. Teman saya itu saat itu sudah ada di semester XII. Topik skripsi yang akan diangkat oleh teman saya itu sudah cukup bagus. Hanya saja pekerjaan membuat skripsi tidak cukup sampai di situ. Skripsi pun perlu pengolahan sampai dapat dikatakan sebagai skripsi. Tampaknya hal itulah yang masih sulit dilakukan oleh teman saya itu.
Selain itu, teman saya itu juga mengatakan bahwa jika saya membantunya lebih jauh maka dia juga akan memberikan imbalan bagi saya. Memang, saya sempat sekali membaca naskah proposal seminarnya. Selama itu, saya hanya berbicara sebatas pengetahuan saya saja. Itu pun sebetulnya tak banyak membantu dalam penyelesaian skripsinya.
Seiring waktu, saya pun tidak jadi membantu teman saya itu. Jumat, 8 Mei 2009 saya sudah boyongan ke kampung halaman. Itu menandai pula bahwa saya meninggalkan tempat saya menyelesaikan program sarjana. Hanya sesekali waktu lewat short message service (SMS) saya menanyakan tentang skripsi yang sampai kini (Agustus 2009) dia belum ujian skripsi. Di samping itu, sampai sekarang saya juga masih berkomunikasi lewat telepon seluler (ponsel) dengan sedikit adik-adik tingkat saya berkaitan dengan skripsi. Tentu saja, menurut saya itu tidak tergolong pelacuran ilmiah.
Selasa, 01 September 2009
Keseharian Mahasiswa Sosiologi
Keseharian Mahasiswa Sosiologi
Oleh: Puguh Utomo
Entah apa yang dirasakan oleh mahasiswa sosiologi saat pertama kali mengikuti kuliah di Program Studi (Prodi) Sosiologi, FISIP, Universitas Jember (Unej). Kiranya di awal-awal kuliah itu belum banyak testimoni. Sebetulnya hal-hal seperti itu mulai digali saat pengenalan kehidupan kampus, baik dari pihak fakultas maupun dari pihak prodi sendiri. Hanya saja proses tersebut relatif pendek, sedangkan testimoni tersebut memerlukan waktu yang lama, yakni selama mereka menjadi mahasiswa sosiologi.
Mungkin dalam kuliah itu mereka merasakan betapa berbedanya antara suasana saat SMU atau yang sederajat dengan suasana kuliah. Misalnya, dulu saat SMU mereka memakai seragam, sedangkan saat kuliah berpakaian bebas, tetapi sopan. Sistem akademik pun berbeda. Ada sistem kredit semester (SKS) dalam perkuliahan, sedangkan di SMU ini tidak ada. Contoh-contoh seperti inilah yang bisa jadi sebagai pengalaman baru bagi mahasiswa sosiologi di awal semester.
Jadwal perkuliahan sendiri terbagi menjadi tiga waktu, dengan durasi masing-masing 2,5 jam. Jam 06.00-08.30; 08.30-11; dan 11.00-13.30. Setiap 2,5 jam itu untuk satu mata kuliah. Akan tetapi, durasi yang 2,5 jam itu kadang-kadang tidak dimaksimalkan.
Kemudian, di semester pertama ini mereka mendapatkan sistem paket. Artinya, di semester itu setiap mahasiswa diberikan 20 SKS yang terdiri atas delapan mata kuliah. Kebanyakan mata kuliah itu merupakan mata kuliah pengantar, misalnya pengantar sosiologi. Di semester pertama ini pula kegiatan perkuliahan di dalam kelas hampir dilaksanakan setiap hari sesuai dengan jadwal. Jadwal kuliah pun terkadang bisa berubah sesuai dengan kesepakatan antara mahasiswa dengan dosen.
Di semester pertama sampai di pertengahan semester maka banyak penugasan dari dosen. Sebagai misal, mahasiswa diminta membuat makalah. Makalah ini biasanya dibuat sebagai pengganti ujian tengah semester (UTS). Selama kuliah kadang-kadang juga ada penugasan, seperti membuat makalah. Selain itu, penugasan ini bertujuan agar mahasiswa membaca, menulis, dan berdiskusi. Meskipun demikian, sebagian mata kuliah yang lain tetap dengan ujian tulis. Kemudian, untuk transparansi, nilai mata kuliah biasanya ditempel di papan pengumuman.
Begitu tiga bulan usai maka selanjutnya memasuki tiga bulan kuliah untuk menggenapi satu semester. Pergantian itu biasanya diikuti dengan pergantian dosen pengajar. Meskipun demikian, terkadang ada dosen yang mengajar secara penuh, yakni selama satu semester untuk satu mata kuliah. Perkuliahan pun seperti sebelum UTS, tetapi dengan materi lanjutan dan tentu saja materinya berbeda. Di akhir semester, kemudian diadakan ujian akhir semester (UAS) yang umumnya dengan ujian tulis.
Setelah UAS di semester ganjil berakhir, ada rentang waktu tertentu untuk pengurusan beberapa hal dan itu telah terjadwal. Oleh karena itu, selama itu sekaligus merupakan masa liburan. Rentang waktu itu di antaranya digunakan untuk pembayaran-pembayaran seperti Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) untuk semester genap, yakni bulan Januari sampai dengan Juni. Keterlambatan pembayaran ini bisa dikenai sanksi pemotongan 12 SKS.
Kemudian, slip pembayaran tersebut digunakan sebagai syarat pengambilan Formulir Konsep Rencana Studi (FKRS) dan pengambilan Lembar Hasil Studi (LHS). Baik FKRS maupun LHS ini diketahui oleh Dosen Pembimbing Akademik (DPA) yang ditandai dengan paraf DPA. Khusus mengenai LHS, salah satu salinannya dikirimkan pada wali mahasiswa. Setelah mengetahui indeks prestasi (IP) maka mahasiswa bisa memprogram mata kuliah sesuai dengan perolehan IP.
Perolehan IP itu memengaruhi jumlah SKS yang ditempuh. Misalnya, jika IP 3,00 maka mahasiswa bisa menempuh 24 SKS. Apabila IP di bawah 3,00, misalnya 2,80 maka mahasiswa hanya bisa menempuh 21 SKS. Tentu saja dengan jumlah 24 SKS itu maka semakin banyak pula mata kuliah yang bisa ditempuh. Kemudian, jika perolehan IP itu di atas 3,00 maka semakin baik dan bisa menempuh jumlah SKS secara maksimal. Inilah salah satu ciri sistem SKS yang memungkinkan adanya penjenjangan antarmahasiswa dalam pencapaian prestasi akademis.
Kemudian, aktifitas kuliah semester I sampai dengan semester IV umumnya relatif sama. Sementara itu, di semester V mulai ada mata kuliah dengan penugasan di luar kelas, yakni mata kuliah Kajian Sosial Budaya Masyarakat Pertanian. Penugasan itu antara lain sebagai persiapan untuk penulisan skripsi. Misalnya pada tahun 2006 mahasiswa yang menempuh mata kuliah itu dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok ditugasi membuat makalah sesuai dengan topik yang telah diberikan. Data dari makalah itu perlu dicari di lapangan atau lokasi tertentu.
Hal seperti itu umumnya berlangsung hingga semester VIII. Setelah semester ini mahasiswa biasanya sudah tidak masuk kelas untuk kuliah. Umumnya, mata kuliah sudah mereka tempuh dan tinggal mengerjakan skripsi. Meskipun demikian, sebagian mahasiswa masih memprogram mata kuliah yang belum ditempuh maupun mengulang beberapa mata kuliah tertentu. Kondisi ini pun dipengaruhi oleh sistem akademis, yakni SKS.
Di luar kuliah mahasiswa sosiologi pun menjalankan aktifitas sehari-hari sebagaimana umumnya. Karena sebagian mahasiswa berasal dari luar kota, bahkan luar provinsi sampai luar pulau maka mereka ini umumnya tinggal di indekos. Dengan situasi itu tentu sangat sulit untuk membawa serta keluarga dan karenanya mereka harus berpisah dengan keluarganya untuk sementara waktu. Sebagai mahasiswa indekos maka aktifitas seperti makan perlu diurus sendiri. Tentu saja ini berbeda dengan mahasiswa yang tidak indekos atau tinggal di rumah sendiri tanpa terpisah dengan keluarganya.
Terkait dengan itu, awal-awal semester biasanya mahasiswa mulai mengenali kehidupan organisasi mahasiswa. Khususnya di tingkat universitas, jumlah organisasi lebih banyak jika dibandingkan dengan tingkat SMU. Secara umum organisasi mahasiswa di kampus dibedakan menjadi dua jenis, yakni Organisasi Mahasiswa Intra Kampus (Ormik) maupun Organisasi Mahasiswa Ektra Kampus (Ormek). Khusus mengenai Ormek, bagi sebagian mahasiswa merupakan hal yang relatif baru. Itu karena Ormek relatif tidak begitu dikenal di bangku SMU. Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa Ormek ini sama sekali tidak diminati.
Khusus mahasiswa sosiologi yang terjun dalam organisasi maka kesehariannya agak berbeda dengan mahasiswa sosiologi yang tidak tergabung ke dalam organisasi. Sebagaimana umumnya dalam organisasi maka ada struktur organisasi, aturan-aturan tertulis organisasi maupun tidak tertulis, program kerja organisasi, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, selain menjalani aktifitas akademis, mahasiswa yang terjun dalam organisasi atau disebut juga dengan aktifis juga sibuk di organisasi. Bahkan, karena kesibukannya, sejumlah aktifis merasakan bahwa porsi antara aktifitas akademis, dalam arti kegiatan perkuliahan, dengan aktifitas di organisasi relatif sama. Bahkan, mungkin sejumlah aktifis menghadapi tumpang tindih di antara keduanya.
Dalam lingkungan perguruan tinggi seperti universitas, antara organisasi mahasiswa dan lingkungan akademis, misalnya dalam bentuk fakultas maka juga tidak dapat saling dilepaskan. Hubungan keduanya ibarat dua sisi mata uang dan relatif independen.
Dalam pada itu, seorang mahasiswa sosiologi rata-rata memerlukan waktu empat tahun untuk menyelesaikan program sarjananya. Sebagian di antaranya membutuhkan waktu lima tahun, bahkan lebih. Selama mereka menjadi mahasiswa maka ada kewajiban-kewajiban terkait statusnya sebagai mahasiswa. Selama rentang waktu itu pula sebagian waktu, tenaga dan biaya tersita untuk kewajiban-kewajiban atas statusnya tersebut.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember