Pelacuran Ilmiah
Dulu, pada awal 2009 atau beberapa bulan sebelum saya mengikuti wisuda, saya sempat berniat menjadi konsultan skripsi. Waktu itu saya telah mengikuti ujian skripsi dan dinyatakan lulus pada 26 September 2008 dengan nilai “A”. Umumnya ujian skripsi, pascaujian pun saya melalui tahap revisi skripsi. Hanya saja saat itu ada satu kendala sehingga saya baru dapat mengikuti wisuda pada 21 Maret 2009. Rasanya niat itu bukan pilihan, tetapi upaya mengamalkan pengalaman selama saya mengerjakan skripsi. Itu terkait pula dengan bayangan akan susahnya mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari jenjang sarjana.
Saya sendiri sebetulnya tidak cukup mumpuni dalam konsultasi skripsi tersebut dan ini hanya niat saja. Niat itu sendiri sesungguhnya dipicu oleh pengalaman saya dalam mengerjakan skripsi selama dua tahun. Rentang waktu pengerjaan skripsi yang lama itu bisa berarti dua hal. Pertama, saya kesulitan dalam mengerjakan skripsi. Kedua, dengan melihat hasil ujian skripsi dengan nilai “A” itu menandakan bahwa saya cukup makan asam garam dalam pengerjaan skripsi.
Niat itu pernah saya ceritakan pada teman-teman saya dan pandangannya beragam. Beberapa di antaranya bisa menerimanya, tetapi ada juga yang menyayangkan niat tersebut. Mereka yang menerimanya mengatakan bahwa itu bisa membantu teman-teman yang kesulitan mengerjakan skripsi, terutama dengan metode kualitatif di Program Studi (Prodi) Sosiologi, Universitas Jember (Unej). Sementara mereka yang menyayangkan mengatakan bahwa apakah sebegitu teganya membantu teman-teman yang mengerjakan skripsi dan sebagai imbalannya meminta uang dari teman yang kita bantu?
Masih menurut teman saya itu, bukankah membimbing skripsi sudah merupakan tugas dan wewenang dosen? Maka dari itu, tidak sepatutnya kita melangkahi tugas dan wewenang tersebut? Kendatipun demikian, teman saya itu pun juga mengatakan bahwa jika sebatas tukar pikiran tentang pembuatan skripsi itu tidak jadi soal.
Entah bagaimana niat saya itu bisa menyebar. Pada suatu hari ada seorang dosen yang bertanya pada saya bahwa katanya saya akan buka usaha jasa pembuatan skripsi. Saya pun kaget dengan pertanyaan dari dosen saya itu. Apalagi pertanyaan itu dilontarkan di luar ruangan, dalam pertemuan santai, sementara di situ ada teman-teman saya yang lain. Kebetulan pertanyaan itu dilontarkan saat saya bergegas hendak undur diri untuk pulang sehingga pertanyaan itu tidak berlanjut.
Waktu itu saya hanya tersenyum dan dengan mencoba mengalihkan perhatian saya pun mengemukakan tentang feature di sebuah koran, Radar Jember, yang memberitakan tentang jasa pembuatan skripsi. Demi etika jurnalistik, identitas sumber berita itupun disamarkan. Berita itu tersebut terbit selama tiga hari berturut-turut pada akhir Februari 2009. Setelah itu, saya pun undur diri dengan tanpa menanggapi lebih jauh pertanyaan dosen saya tersebut. Memang, itu kurang sopan, tetapi saya pun kesulitan menanggapi pertanyaan dosen saya tersebut.
Dari pemberitaan koran tersebut saya dapat simpulkan bahwa pengerjaan skripsi sebatas pada konsultasi itu tidaklah jadi soal. Artinya, saran dari orang lain terhadap skripsi adalah sah-sah saja, tetapi bagaimanapun juga skripsi perlu dikerjakan dengan tangan sendiri. Dikerjakan oleh keringat sendiri dan bukan keringat orang lain. Sementara itu, jual beli skripsi tergolong pelanggaran akademis atau pelanggaran ilmiah. Bahkan, secara ekstrim ada yang berpandapat bahwa itu tergolong pelacuran ilmiah. Baik penjual skripsi maupun pembeli skripsi sama-sama sebagai pelanggar.
Istilah “pelacuran ilmiah” pun ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI (2002: 623) “pelacuran ilmiah” adalah “penyelewengan yang terdapat pada dunia ilmu pengetahuan.” Se-arti dengan itu, ada istilah “pelacuran intelektual”. Dalam hal ini arti “pelacuran” mengalami perluasan makna, yakni tidak hanya berarti aktifitas menjual diri dalam transaksi seksual. Jual beli skripsi sendiri hanyalah salah satu bentuk yang dapat digolongkan ke dalam pelacuran ilmiah. Contoh lainnya, dan masih berkait dengan itu adalah jual beli gelar akademis.
Dalam dunia akademis, sanksi terberat terhadap pelanggaran akademis pun bervariasi bergantung pada pelanggarannya. Mulai dari penangguhan suatu karya ilmiah sampai pencabutan gelar akademis. Maka dari itu, misalnya untuk skripsi perlu dilampiri surat pernyataan bahwa yang skripsi tersebut merupakan karya asli penulis skripsi. Akan tetapi, sanksi pun kadang-kadang tidak selalu dapat menjangkau pelanggaran.
Pada kesempatan yang lain, kira-kira Mei 2009, seorang teman pernah bercerita tentang jasa pembuatan skripsi dan makalah tugas kuliah oleh seorang teman. Teman saya itu pun hanya tahu dari temannya yang tinggal di Jember dan menjalankan bisnis tersebut. Untuk satu skripsi, kata teman saya itu, tarifnya Rp 900.000,00. Sementara itu, untuk jenis makalah, satu makalah Rp 20.000,00. Tarif tersebut sampai menjadi sebuah skripsi dan/atau makalah.
Dalam praktiknya, kata teman saya itu, lebih mudah membuatkan makalah daripada skripsi. Skripsi biasanya memerlukan waktu yang relatif lama. Saat pemesan skripsi selesai ujian skripsi pun biasanya masih ada tahap revisi. Dengan tarif tersebut, revisi itu pun biasanya menjadi urusan pembuat skripsi. Lain halnya dengan skripsi, pembuatan makalah tidak memerlukan waktu yang lama. Begitu makalah dikumpulkan ke dosen, seketika itu juga pekerjaan pembuat makalah selesai. Itu karena makalah tidak memerlukan revisi.
Berkenaan dengan itu, suatu hari saat ngobrol dengan seorang teman satu angkatan yang belum seminar proposal. Teman saya itu meminta bantuan saya agar dibantu dalam pengerjaan skripsinya. Teman saya itu saat itu sudah ada di semester XII. Topik skripsi yang akan diangkat oleh teman saya itu sudah cukup bagus. Hanya saja pekerjaan membuat skripsi tidak cukup sampai di situ. Skripsi pun perlu pengolahan sampai dapat dikatakan sebagai skripsi. Tampaknya hal itulah yang masih sulit dilakukan oleh teman saya itu.
Selain itu, teman saya itu juga mengatakan bahwa jika saya membantunya lebih jauh maka dia juga akan memberikan imbalan bagi saya. Memang, saya sempat sekali membaca naskah proposal seminarnya. Selama itu, saya hanya berbicara sebatas pengetahuan saya saja. Itu pun sebetulnya tak banyak membantu dalam penyelesaian skripsinya.
Seiring waktu, saya pun tidak jadi membantu teman saya itu. Jumat, 8 Mei 2009 saya sudah boyongan ke kampung halaman. Itu menandai pula bahwa saya meninggalkan tempat saya menyelesaikan program sarjana. Hanya sesekali waktu lewat short message service (SMS) saya menanyakan tentang skripsi yang sampai kini (Agustus 2009) dia belum ujian skripsi. Di samping itu, sampai sekarang saya juga masih berkomunikasi lewat telepon seluler (ponsel) dengan sedikit adik-adik tingkat saya berkaitan dengan skripsi. Tentu saja, menurut saya itu tidak tergolong pelacuran ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar