Senin, 12 April 2010

Andaikan Saya Profesor Sosiologi


Foto dipinjam dari sini.

Andaikan Saya Profesor Sosiologi

Judul itu merupakan saran dari seorang pengirim pesan pendek (sandek) yang saya terima pada Kamis, 11 Februari 2010. Pengirim sandek itu sampai sekarang masih enggan menunjukkan identitasnya seperti nama. Tiga kali saya menanyakan identitasnya, tetapi dia tetap saja enggan. Saya berusaha mencari tahu pemilik nomor SIM card telepon seluler (ponsel) itu pada dua teman saya. Namun, mereka tidak tahu siapa pemilik nomor ponsel tersebut.

Dalam sandek itu dia mengemukakan tiga pertanyaan kepada saya. Pertama, seberapa penting mempelajari sosiologi di negara berkembang. Kedua, apa grand design pembelajaran sosiologi. Ketiga, untuk apa dan mengapa mempelajari sosiologi, “hanya untuk konsumsi akademis saja, to?”, kata pengirim pesan itu. “Hanya untuk konsumsi akademis saja” itu merupakan ungkapan yang kritis. Saya pun sehaluan dengan ungkapan itu.

Kemudian, dari pertanyaan-pertanyaan itu dia meminta saya memberikan alasan yang objektif dan argumentatif. Di samping itu, dia memperkenankan saya menanggapainya dalam tulisan dengan judul “Andaikan Saya Profesor Sosiologi”. Akhirnya, saya memenuhi saran pengirim sandek itu atas judul tadi. Memang, baru kali ini saya diminta menulis yang mana bukan atas inisiatif saya sendiri. Jujur, saya agak berat, tetapi saya coba.

Saya sempat merasa tidak bisa memenuhi saran pengirim sandek itu. Beberapa lama setelah mengirimkan sandeknya itu, saya dihubungi lagi olehnya. Tampaknya pengirim sandek itu memperhatikan blog saya. Lewat sandek pula, komentarnya tentang apakah blog saya itu bisa dimengerti oleh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Madrasah Aliyah (MA). Seketika itu, saya mengatakan bahwa saya belum bisa memenuhi saran atas judul tersebut.

Kembali lagi pada ungkapan kritis di atas. Saya terdiam sejenak mengetahui ungkapan itu. Ungkapan itu mengingatkan pada salah seorang dosen saya. Jadi, kemungkinan kecil jika sandek itu dikirim oleh teman-teman satu angkatan maupun adik kelas di almamater saya. Di samping itu, mungkin juga sandek itu dikirim oleh salah seorang kakak angkatan saya, yakni angkatan 2002 maupun 2001.

Ungkapan itu skeptis, tetapi ada benarnya juga. Kiranya ungkapan itu sesuai dengan sosiologi yang dipandang masih sebagai ilmu untuk pemahaman daripada ilmu untuk tindakan. Di samping itu, keberadaan sosiologi di SMA dan MA serta sejumlah perguruan tinggi (PT) menunjukkan arti penting sosiologi di negara berkembang seperti Indonesia. Tentu saja arti penting itu tidak dapat dilepaskan dari politik pendidikan. Secara sederhana itu menjawab pertanyaan yang pertama, tetapi saya tidak bermaksud menyederhanakan tiga pertanyaan itu.

Ungkapan kritis itu pun kiranya layak ditujukan terhadap sosiologi. Ungkapan kritis itu pun kiranya berhubungan juga dengan ungkapan kritis yang lain. Misalnya, pembelajaran sosiologi sampai kini masih terkesan begitu teoretis dan melangit. Barangkali ini berlebihan, tetapi seakan-akan dalam kehidupan nyata tidak ada kemanfaatannya.

Sementara itu, grand design pembelajaran sosiologi dapat dilihat pada kurikulum yang ada di SMA maupun MA dan PT. Dalam hal ini kurikulum tersebut sebagai panduan dalam pembelajaran sosiologi. Kurikulum itu sifatnya hitam di atas putih. Jadi, kurikulum itu bukanlah satu-satunya pembelajaran sosiologi. Justru, kenyataan sosiologis seperti interaksi antar etnis Tionghoa dan etnis Pribumi juga dapat dijadikan perhatian kajian sosiologis.

Selanjutnya, pertanyaan apa dan mengapa mempelajari sosiologi itu merupakan pertanyaan personal. Artinya, pertanyaan itu ditujukan untuk setiap orang yang mempelajari sosiologi dan tiap-tiap orang bisa berpandangan berbeda-beda. Seseorang bisa berharap dengan mempelajari sosiologi, kuliah di jurusan sosiologi akan menjadi pegawai negeri sipil (PNS), entah di tingkat pusat maupun daerah. Mungkin juga seseorang merasa hatinya terpanggil dan mendedikasikan hidupnya untuk sosiologi. Bahkan, seseorang bisa karena “terpaksa” mempelajari sosiologi, dan seterusnya.

Di balik pandangan saya itu, saya bukanlah seorang profesor sosiologi. Lagi pula, bukankah dalam judul di atas hanya sekadar “andaikan”. Saya hanya sarjana sosiologi nonkependidikan dari sebuah universitas dengan status negeri, di timur Pulau Jawa. Untuk menjadi profesor yang sebenar-benarnya profesor, saya harus kuliah strata 2 (S-2), lalu S-3. Umumnya, profesor adalah seorang akademisi di lingkungan perguruan tinggi di universitas.

Setelah S-2 maupun setelah S-3, seseorang, terutama seorang dosen, misalnya perlu banyak meneliti dan banyak menulis, entah di jurnal skala nasional, syukur internasional. Menulis di surat kabar juga ada nilai tersendiri. Itu dilakukan untuk mendapatkan kredit poin terkait gelas guru besar sampai pada gelar seorang profesor.

Sekali lagi, saya bukanlah seorang profesor. Apalagi profesor sosiologi. Namun, langkah kecil dengan menulis di blog ini, secara narsis, saya terkadang menilai diri saya seorang “profesor”.


2 komentar:

  1. wadew, keren sekali kegiatan nge-blognya, sampai ada yang request tulisan segala. keep writing bos, ngri banget akan keproduktifanmu dalam menulis di blog ;=)

    BalasHapus