Berorganisasi? Penting Nggak Sich?
Saya menulis artikel dengan judul itu sebagai orang yang pernah berorganisasi. Saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) saya pernah bergabung dengan salah satu ekstrakurikuler, yakni kerohanian Islam. Secara efektif saya masuk kepengurusan pada 2001-2002. Ketika itu hampir selalu setiap minggu ada kegiatan organisasi. Sebagian waktu pun tercurah pada organisasi.
Kemudian, saat di perguruan tinggi (PT) saya juga pernah terlibat dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus (Ormek) tingkat fakultas. Namun, karena sesuatu hal, di Ormek ini saya tidak sampai menjadi pengurus. Itu berlangsung pada akhir tahun 2004 dan awal 2005 silam. Di samping itu, saat itu juga pernah terlibat dalam organisasi program studi. Namun, karena sesuatu hal pula, waktu itu saya tidak masuk dalam kepengurusan yang aktif.
Pengalaman berorganisasi di jenjang SMA dan PT itu akan saya bagi dalam tulisan ini. Pengalaman secara personal telah saya ceritakan pada judul Majelis Taklim SMADA Nganjuk di blog ini. Maka dari itu, saya ingin mengemukakan secara umum pengalaman di jenjang SMA maupun PT.
Saya sadari bahwa saat bergabung dengan salah satu organisasi di SMA, saya terbilang ikut-ikutan. Artinya, secara sadar maupun tidak sadar, secara naluriah hati saat itu saya terpanggil untuk masuk dalam organisasi. Sementara mempertimbangkan untung ruginya, saya berharap dengan masuk organisasi itu saya mendapatkan sesuatu yang baru. Entah itu teman maupun pengalaman saat berorganisasi.
Sebetulnya, saat di Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat kelas 3 (sekarang kelas IX) saya juga pernah ikut kerohanian Islam. Namun, kegiatan di jenjang tersebut masih terbatas pada melatih diri dalam seni baca Al Quran. Jadi, pilihan saya untuk ikut kerohanian Islam di SMA juga dipengaruhi oleh pengalaman saya saat di SMP. Selain itu, orang terdekat kita seperti orang tua, saudara, dalam lingkungan tempat tinggal kita biasanya juga memengaruhi minat berorganisasi.
Sebagaimana telah ditulis bahwa naluriah atau kata hati itu pula yang menggiring saya bergabung dalam organisasi. Mungkin ini juga yang melandasi seseorang bergabung dalam organisasi. Dalam hal ini kita bisa berpikir bahwa berorganisasi itu kegiatan yang positif dan normatif. Dalam kaitan ini, hendaknya jangan semata-mata bertujuan, misalnya mendapatkan kekasih, jodoh maupun keuntungan materi. Memang, tujuan seperti itu bisa sulit untuk dipisahkan. Namun, idealnya dalam berorganisasi, kepribadian seseorang dapat lebih terasah.
Lalu, apakah proses diri seseorang harus melalui organisasi? Tidak harus. Juga tidak dimaknai bahwa proses diri seseorang hanya berlangsung pada organisasi yang ada di SMA. Berorganisasi terbilang sebagai salah satu sarana berproses seseorang dalam hidupnya sebagai manusia. Kembali lagi pada panggilan hati tadi. Seseorang yang merasa berorganisasi itu bermanfaat berarti itu penting untuk dirinya. Apabila masih ada sarana lain, selain dalam bentuk organisasi maka berorganisasi itu tidak penting. Dalam hal ini, berorganisasi atau tidak berorganisasi merupakan sebuah pilihan.
Kembali pada organisasi di SMA, pihak sekolah juga mendukung terbentuknya organisasi ekstra kurikuler. Misalnya, sekolah menghimpun sekian persen dana dari sumbangan pendidikan dan pembangunan (SPP) untuk organisasi ekstra kurikuler. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa dana itu dari siswa dan kembali pada siswa.
Di SMA misalnya ada ekstra kurikuler kerohanian Islam, Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, Pencinta Alam, Karya Ilmiah Remaja (KIR), English Club (EC), komputer, bela diri, dan lain sebagainya. Dan, tentu saja organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Itu merupakan wujud dukungan sekolah terhadap keberadaan organisasi ekstra kurikuler. Di samping itu, penilaian partisipasi dalam organisasi pun masuk dalam rapot. Namun, penilaiannya cenderung terpisah, yakni di luar akademis.
Sebagaimana diketahui, sebuah organisasi tidak kosong tanpa kegiatan. Setiap organisasi pun memiliki kegiatan masing-masing. Entah kegiatan itu ditujukan untuk internal organisasi maupun eksternal organisasi. Orang-orang dalam organisasi-lah sebagai penggerak utama yang menjalankan kegiatan. Maka dari itu, seringkali dikatakan bahwa mereka yang beroganisasi atau biasa disebut dengan aktifis hendaknya pintar-pintar mengatur waktu. Paling tidak citra ke-aktifis-an senantiasa dijaga.
Terkadang dalam pelaksanaan kegiatan itu muncul konflik, tetapi juga bisa lahir kata sepakat yang heroik. Bahkan, di kemudian hari bisa jadi modal persahabatan yang abadi. Kita tahu organisasi terdiri atas berbagai pribadi yang juga punya kesadaran, karakter masing-masing. Bukan salah kesadarannya yang memunculkan konflik, tetapi situasi sulit juga bisa memicu konflik. Bagaimanapun juga, konflik dalam organisasi merupakan keniscayaan. Tinggal bagaimana konflik itu disikapi. Toh, konflik itu pula dapat menguji tingkat emosi seseorang.
Kemudian, berorganisasi di jenjang perguruan tinggi (PT) tidak jauh berbeda dengan jenjang di SMA. Dalam kaitan ini seperti dikemukakan di atas. Akan tetapi, tentu saja ada perbedaannya. Di PT, khususnya PT yang besar dan berusia tua, ada organisasi yang intra maupun ekstra. Organisasi mahasiswa intra kampus (Ormik), misalnya pencinta alam, kerohanian Islam, paduan suara dan lain sebagainya. Ormik relatif sama dengan ekstrakurikuler di SMA. Lalu, organisasi mahasiswa ekstra kampus (Ormek), misalnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrat (LMND), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan lain sebagainya.
Pengalaman saya, Ormek-lah yang cenderung dinamis. Momentum pemilihan dekan maupun rektor biasanya melibatkan orang-orang Ormek. Unjuk rasa seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), skandal keuangan negara, biasanya juga dilakukan oleh orang-orang Ormek. Tempat atau rumah yang pada Ormek tertentu disebut dengan komisariat menjadi tempat konsolidasi setiap keputusan organisasi. Jaringan organisasi yang luas pun turut memengaruhi ke-dinamis-an Ormek.
Sebagai organisasi ekstra, secara formal Ormek tidak didukung langsung oleh, misalnya fakultas sebagai lembaga. Tidak seperti Ormik yang didukung oleh fakultas. Entah dalam bentuk dana, fasilitas, keterlibatan kegiatan, dan lain sebagainya. Namun, secara informal, Ormek didukung oleh orang-orang yang tidak mengatasnamakan diri secara kelembagaan. Orang-orang dalam fakultas, misalnya dosen yang merupakan “alumnus” Ormek biasanya membantu, antara lain, dalam bentuk dana untuk kegiatan tertentu.
Jadi, berorganisasi atau tidak berorganisasi, silakan Anda memilihnya.