Gambar diunggah dari
sini.
Sistem yang Menjerumuskan?
Judul itu terilhami saat saya membaca sebuah artikel pada sebuah kolom opini di sebuah koran nasional. Namun, dalam artikel itu tiga kata itu bukan judul. Tiga kata itu terkait dengan sistem yang menjerumuskan sehingga ada celah untuk melakukan korupsi. Tiga kata itu terletak di sebuah paragraf di akhir artikel. Saya sudah tidak lagi bisa melacak judul dan kapan artikel itu diterbitkan. Saya pun merasa tercerahkan saat membaca tiga kata itu meski tiga kata itu bukan hal baru.
Maksudnya, dalam sosiologi ada teori sistem. Dalam aliran teori itu, masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem. Katakanlah sistem ini ibarat sepeda yang dikayuh oleh pengendaranya. Kita tahu sepeda terdiri atas bagian-bagian seperti setang, sadel, rem, dan lain sebagainya. Terkait sistem, sebuah sepeda dapat berjalan karena memiliki dua roda. Roda itu digerakkan oleh sepasang pedal yang dikayuh oleh pengendaranya. Rangkaian rantai menghubungkan pedal dengan roda belakang. Saat roda belakang bergerak maka roda depan ikut bergerak. Begitu seterusnya.
Namun, saat seseorang mengendarai sepeda dengan kecepatan tertentu dan tidak memerhatikan bahwa remnya rusak maka seseorang itu bisa celaka. Karena itu, ada sub-sistem yang rusak pada sepeda, yakni sistem remnya. Dengan kata lain, kerusakan sistem rem itu bisa menjerumuskan pengendara sepeda. Ini hanya perumpamaan saja. Terlebih pada sebuah sistem seperti sistem sosial pada sebuah negara hal ini sungguh sangat komplek.
Lewat tulisan ini saya juga ingin mengukui sekaligus ini sebagai contoh. Saya tergolong bukan warga negara Indonesia (WNI) yang baik. 10 Mei 2010 yang lalu yang mengurus SIM A dengan memakai jasa oknum. Dengan Rp 320.000,- saya mendapatkan SIM A dalam waktu tiga hari. SIM A milik saya itu pun sah dan asli. Pengurusan SIM dengan cara terselubung seperti ini pun sudah menjadi rahasia umum. Paling tidak orang-orang di kampung halaman saya ini tahu.
Sebelum mengurusnya saya bertanya pada sejumlah orang tentang pengurusan SIM A. Dua orang yang sebelumnya telah mengurus SIM A dengan cara “titip”, menyarankan agar juga “titip”. Satu orang lagi secara tersirat juga menyarankan agar “titip”. Satu orang lagi, memilih netral. Kesimpulan saya, pengurusan SIM A lebih mudah “titip” daripada mengurus sesuai prosedur.
Prosedurnya SIM harus diurus bukan dengan cara “titip”. Dengan “titip” itu pencari SIM memang tidak mengikuti serangkaian tes seperti tes kesehatan, tes tulis, dan tes mengemudi. Jika lulus serangkaian tes itu, biaya pengurusan SIM sesuai prosedur memang lebih murah. Namun, konon, misalnya tes tulis itu tidak mudah. Banyak orang yang tidak lolos saat tes tulis.
Sosialisasi tes seperti tes tulis pun agaknya kurang maksimal. Materi apa yang diujikan, bagaimana mengerjakan soal-soal tes, kiranya tak banyak disosialisasikan. Sebagian orang yang tidak lolos pada tes itu pun memengaruhi pencari SIM untuk mengurus SIM dengan cara “titip”. Meskipun agak mahal, tetapi ada jaminan mendapatkan SIM. Artinya pula, sistem seperti itu menjerumuskan orang untuk mengurus SIM dengan cara “titip”.
Sebagai perbandingan, baca juga tulisan saya yang lain berjudul Mengurus SIM C di arsip Juli 2010. Agaknya sejak tanggal 25 Mei 2010 para pencari SIM tidak bisa “titip” lagi. Artinya, cara “suap” kiranya sudah tidak bisa lagi dilakukan. Dalam tulisan itu pula, saya ceritakan betapa tidak mudahnya mengurus SIM C.
Contoh kedua, masih tentang diri saya. Dulu saat masa orientasi siswa baru di Sekolah Menengah Atas (SMA) setiap siswa diberi beberapa lembar kertas. Isinya berupa daftar nama-nama kakak kelas, yakni yang aktif di organisasi ekstrakurikuler. Setiap nama dalam daftar itu harus dimintakan tanda tangan oleh siswa baru. Tujuannya agar siswa baru mengenal kakak kelasnya. Namun, juga terkesan “meng-orientasi” siswa baru.
Dalam waktu sekian hari yang notabene waktunya terbatas, setiap siswa baru idealnya harus mendapatkan tanda tangan dari kakak kelas. Jika tidak akan ada sanksi meskipun sanksinya belum ditentukan. Sementara itu mustahil bisa mendapatkan semua tanda tangan sebanyak nama yang ada di daftar. Sanksi itu pun memunculkan ketakutan dalam diri sebagian siswa baru. Salah satunya saya.
Maklum, usia masuk jenjang SMA, individu cenderung polos. Dalam sistem seperti itu, memungkinkan terjadi pemalsuan tanda tangan, sementara tidak ada antisipasi terhadap pemalsuan ini. Lagi pula, tidak ada penjelasan mengenai tanda tangan itu jauh-jauh hari sebelumnya. Misalnya, siswa hendaknya tidak memalsukan tanda tangan. Alasannya tindakan itu tidak benar alias curang atau tidak jujur. Saat itu ada satu teman saya yang tahu saya memalsukan beberapa tanda tangan. Teman saya itu juga memalsukan tanda tangan seperti saya. Dalam hati nurani saya merasa bahwa itu tidak benar. Namun, berhubung akan sanksi maka akhirnya saya memalsukannya.
Akhirnya, beberapa hari sejak tanda tangan itu diberlakukan, sejumlah guru masuk ke setiap kelas. Guru meminta agar yang merasa memalsukan tanda tangan berkumpul di lapangan basket. Kira-kira ada 15 siswa yang mengaku memalsukan tanda tangan, salah satunya adalah saya. Itu pun atas ajakan dari teman saya tadi dan ini sebagai wujud kejujuran dan tanggung jawab. Seingat saya yang mengaku saat itu semuanya adalah laki-laki. Saat itu pun ada dua guru yang membimbing dan menyesalkan perbuatan tersebut.
Contoh lainnya adalah teman saya. Cerita ini pun saya dengar dari teman saya yang lain. Ceritanya, sebelum tes pegawai negeri sipil (PNS) tahun 2008 di sebuah kabupaten, teman saya ini masih lulusan nonkependidikan. Padahal, dia akan mengisi formasi kependidikan. Agar dapat mengisinya, dia memerlukan akta mengajar IV (A-IV). Begitu lulus dia belum memiliki A-IV.
Akhirnya, dia “membeli” A-IV pada sebuah perguruan tinggi swasta. Pengurusan A-IV itu pun memerlukan waktu sekitar dua minggu. Padahal, aturannya A-IV ditempuh dalam waktu dua semester. Sejak awal, penerapan A-IV pun tak luput dari perdebatan. “Membeli” A-IV tanpa menempuh perkuliahan jelas curang. A-IV itu sendiri sangat penting bagi karier teman saya itu. A-IV pun diakui dan sah. Dia pun lolos dalam tes PNS di sebuah kabupaten.
Lembaga tempat dia memperoleh gelar sarjana nonkependidikan kiranya tak banyak memberi perhatian terkait dengan A-IV ini. Jurusan nonkependidikan dalam bidang akademis noneksak pun terkesan kehilangan orientasi akan kejelasan lulusan setelah lulus. Antara lulusan nonkependidikan dan kependidikan pun tak luput dari saling tuding. Misalnya, kemampuan lulusan antara nonkependidikan dengan lulusan kependidikan dalam mengajar di sekolah. Sekali lagi, sedikit perhatian mengenai A-IV ini pun dapat menggoda seseorang, bahkan menjerumuskan seseorang untuk berbuat curang.
Kecurangan itu dinilai dari kesepakatan yang terwujud dalam peraturan. Misalnya, peraturan tentang A-IV itu harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Jelasnya, bukan dalam waktu dua minggu. Kecurangan atau pelanggaran itu pun dapat memunculkan kecemburuan.
Membicarakan negara sebagai sebuah sistem organisasi, sosiologi memandang bahwa organisasi harus memiliki sistem yang baik. Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi ujung tombak utama. Sama halnya dengan si pengendara sepeda tadi sebagai ujung tombak dalam menjalankan sistem bernama sepeda. Jadi, dalam dua contoh tadi adalah kepemimpinan yang sekaligus memegang wewenang dalam lembaga kepolisian maupun lembaga pendidikan.
Dalam kaitan ini, individu hendaknya memiliki kesadaran atas sistem tempat individu tinggal. Misalnya, dalam contoh pemalsuan tanda tangan di atas hendaknya diikuti antisipasi agar siswa tidak memalsukan tanda tangan. Jadi, bukan malah mengancam dan menakut-nakuti siswa dengan sanksi yang belum jelas. Akhirnya bisa menjerumuskan siswa sebagai individu memalsukan tanda tangan.
Demikian juga dengan pandangan psikologi. Setiap individu pada dasarnya bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Agak berbeda dengan sosiologi, psikologi biasanya menyeru pada individu dalam suatu sistem. Kerapuhan jiwa individu hendaknya dijauhi. Tujuannya agar sistem itu berjalan ideal dan dapat diandalkan.
Dalam kaitan ini, seburuk apapun sistem atau sebagus apapun sistem, individu haruslah tegar menjalani sistem tersebut. Individu harus memulai dan mengubah dari dirinya sendiri menjadi individu yang tangguh sebelum mengubah sistem di luar dirinya. Pada saat yang sama, sebetulnya individu juga sebagai sistem yang berjalan mekanis. Namun, dalam ruang lingkup individu sebagai satu tubuh.
Dalam kaitan ini pula, seseorang yang ingin mendapatkan SIM C tidak boleh “titip”. Sama halnya, seseorang yang ingin memperolah A-IV hendaknya juga tidak membeli A-IV yang jadi dalam waktu dua minggu.
Meskipun demikian, suatu sistem sangat mungkin memiliki kelemahan. Bagaimanapun juga kelemahan sistem itu perlu diminimalisasi. Tujuannya agar kelemahan itu tidak merusak sistem. Jika sebuah sistem yang rusak maka yang rugi juga kita sendiri. Jika kita tidak rugi maka yang akan menanggung ruginya adalah anak cucu kita, generasi kita yang akan datang. Terkecuali jika kita memang menginginkan sistem itu berjalan seperti itu.